Jiwa
jurnalisku terbangkitkan kembali gara-gara si Crystal Ball, seorang wanita
kulit hitam berkepala plontos yang sering mondar mandir di area sekitar
restoran tempatku bekerja. Ya semasa mahasiswa aku pernah aktif di lembaga Pers
Mahasiswa. 5 W 1H itulah resep dasar menjadi jurnalis, resep yang diajarkan
dalam diklat pers mahasiswa yang pernah kuikuti, What, Who, When, Where, Why
dan How. Dan cara menuliskannya menganut konsep Piramida Terbalik, ketika
sebuah berita kepanjangan maka seorang editor akan memangkas informasi yang
kurang penting mulai dari bagian bawah.
Yaaa
... aku tahu diri bahwa aku bukan seorang penulis yang diperhitungkan kala itu.
Tulisanku
dulu jaman mahasiwa tak punya mutu tinggi. Ikut aktif di dunia pers mahasiswa
bagiku sudah cukup menyenangkan, menambah pertemanan dan wawasan. Aku tahu diri
ketika tak pernah dilibatkan dalam penulisan berita yang butuh analisa
mendalam, riset data yang akurat, dan diskusi panjang sebelum diterbitkan. Kala
itu aku tak bisa masuk ke dalam kalangan penulis elit yang menggarap rubrik
Laporan Utama tentang Peta Perpolitikan Indonesia, atau tentang Militerisme di
era Soeharto, atau penumpukan kekayaan pejabat dan kroninya lewat jalan KKN.
Aku kalah pintar, kalah kritis, kalah berani, dalam membuat berita dengan
analisa yang dalam. Pokoknya aku kalah segala-galanya dalam membuat sebuah
tulisan yang menarik lagi menggemaskan. Dan tentu saja tulisan seperti itu
berakibat sewaktu-waktu bisa diciduk intel Kodim.
Aku
selalu kebagian menulis yang ringan-ringan seputar tulisan feature,
tulisan ringan tentang humanisme; kisah seorang penjaga parkir motor kampus,
atau penjaga palang kereta api, atau nasib seorang pemulung. Ya aku cuma kebagian nulis berita
kisah, berita ringan yang lebih menekankan sisi human interest. Tak
terlalu aktual tema-temanya, hanya sekedar merekam sebuah kejadian atau
fenomena dalam realitas sosial.
Andai
aku dapat peran yang lebih, itu karena posisiku yang fotografi dan ilustrator
majalah universitas, maka giliran para penulis elit sibuk membahas masalah
filsafat Post Modernisme, mengadakan diskusi dengan pakar-pakar kala itu
seperti Ariel Heryanto, Nirwan Dewanto, Ahmad Arsuka dkk, aku kebagian
mendapatkan tugas merancang sampul depan majalah dengan tema dekonstruksi.
Segera
kuambil beberapa majalah dan kupilih beberapa warna mencolok, kupotong-potong
beberapa warna menjadi sebuah kolase, dengan latar depan foto Derrida dan
Fucoult yang kumutilasi menjadi sebuah disain cover berwujud Bola Dunia,
dalam tatanan baru yang mencoba berdamai dengan nilai-nilai modernitas, atau
merekonstruksinya kembali ke dalam sebuah aliran pemikiran baru.
****
Crystal
Ball menurutku unik, kalau tak kenal dia pasti mengira ia seorang laki-laki,
perawakannya kurus pendek, teteknya hampir tak ada, gaya bicaranya lantang dan
macho, merokok, serta perangainya mudah marah. Apalagi kalo dari mulutnya
tercium bau alkohol, maka perangainya makin runyam. Caci maki dan sumpah
serapah dalam bahasa "slank" yang paling jorok keluar bertubi-tubi
dari mulutnya, dan herannya -- itu tak ada henti-hentinya. Ibarat senjata api
yang menyalak dalam perang kota di Baghdad, si Crystal Ball mengutuk siapa saja
secara membabi buta. Barangkali semua orang sepakat bahwa si Crystal Ball punya
problem mental alias sakit jiwa.
Crystal
Ball tak punya pekerjaan tetap. Kadang ia membantu membersihkan kaca di toko grocery
milik orang Korea, atau mengelap meja kursi di kedai Sandwich, atau menyapu
trotoar sepanjang satu blok. Kalau kutanya siapa yang membayarmu untuk menyapu
jalanan, dia hanya menjawab tak ada yang membayar. Dia melakukan untuk kebersihan
lingkungan. Rasa peduli lingkungannya kuacungi jempol. Di sini orang dilihat
dari partisipasinya dalam komunitas sosial.
Tapi
kalau dibandingkan dengan si Afghanistan, Sakhi Gulestan sungguh si Crystal
Ball tak ada seujung kukunya, apalagi sifat dan perilakunya sangat
berseberangan bagai langit dan bumi. Sakhi adalah sosok pria yang baik hati di
komunitas Dupont Circle. Yang hidup di van mobil bersama istrinya dekat stasiun
kereta. Di pagi hari mereka jualan payung, syal, dan asesori pernik pernik dari
Afganistan di pinggir jalan. Malam hari mereka menampung roti-roti donasi dari
toko bakery yang tak habis terjual kemudian membagi-bagikan roti itu kepada
para homeless di taman Dupont Circle, membangunkan mereka yang tengah tidur
kelaparan di malam hari dengan suara bersahabat, teman kamu pasti lapar - ini
ada sepotong roti buatmu.
Dan
kalau ada roti yang tersisa maka ia meremahkan roti-roti itu untuk keesokan
harinya ia memanggil merpati-merpati liar yang berterbangan secara bergerombol
dan diberikan kepada mereka. Sering dia disebut si Bird Man karena
kepeduliannya terhadap burung-burung itu. Kuperhatikan adegan itu seperti
seorang Mujahidin tanpa senjata dengan pakaian sorban serta brewok sedada
sedang memberi makan merpati-merpati. Demikianlah budi baik itu dilakukan Sakhi
selama bertahun-tahun dengan tulus ikhlas.
+++
+++
Crystal
Ball sungguh mengusik rasa keingintahuanku. Kubayangkan si Crystal Ball adalah
seorang pesakitan mental yang mencoba bertahan hidup. Ia selalu berkata dan
mengulangi pernyataannya, " somebody gonna kill me." Dan entah
siapa yang akan membunuhnya aku juga tak tahu.
Pada suatu hari kulihat
di seberang jalan di depan hotel si Crystal Ball sedang marah-marah dengan
petugas Doorman dan manager hotel. Tak lama polisi datang. Beberapa hari
kemudian ketika aku bertemu dengannya ia menceritakan bahwa ia dituduh meludahi
pegawai hotel. Sedangkan dia beralasan saking antusiasnya dia berargumen ludah
muncrat dari mulutnya. Sejak kejadian itu ia mendapatkan notice dari polisi tak
boleh mendekati hotel tersebut. Dalam komunitas Dupont Circle dia dipandang
sebagai seorang relawan sosial sekaligus "trouble maker".
Sungguh sangat absurd.