Riska mencuil pitta bread lalu
mengoleskan pada hummus dan kemudian mengunyah dengan lembut. Sam,
pasangan bulenya asik memperhatikan sambil mencecap apple martini Keduanya
tengah menghabiskan akhir pekan di sebuah restoran Amerika yang menyajikan
pertunjukan singing servers di daerah Dupont Circle. Riska dan Sam
berbeda warna kulit dan kebangsaan, tapi keduanya terlihat amat serasi malam
itu.
Bagi Sam, Riska adalah pengalaman
pertamanya menjalin cinta dengan wanita Asia. Tadinya ia mengira Riska adalah
orang Thailand, Kamboja, atau Vietnam karena paras Riska seperti yang terekam
dalam film perangnya Sylvester Stallone.. Tetapi setelah Riska mengatakan asal
Indonesia, Sam harus membuka ulang buku geografi dunianya untuk lebih
mengetahui posisi Indonesia, sejarah, kebudayaan, dan manusia yang menghuninya.
Sudah satu tahun hubungan percintaan
mereka berjalan. Riska tak memungkiri bahwa Sam seorang lelaki bule ganteng,
tinggi, romantis, dan sangat berbeda dengan laki – laki Indonesia yang pernah
menjadi pacarnya. Bersama Sam, ia seperti tak ada jarak, sederajat, dan tidak
diatur harus ini itu. Semua mengalir begitu saja tanpa kekangan tapi justru
tenggang rasalah yang lebih menonjol dalam hubungan mereka.
Bagi Sam, sebetulnya telah lama dalam
hatinya memendam hasrat untuk lebih mengenal wanita Asia, menjalin cinta dengan
salah satunya. Barangkali karena dia lelaki tulen yang masih muda, baru 28
tahun, dan ketika ia memandang postur wanita Asia yang berbeda dari wanita –
wanita lain yang pernah singgah di hatinya -- baik bule Amerika, Eropa Timur,
kulit hitam, atau mamasita Dominica. Rasa penasaran itu lain dari yang
pernah ia rasakan ketika jaman masih SMA atau awal – awal di college,
rasa penasaran yang didorong keinginan untuk pamer pada kawan – kawannya –
bahwa ia sudah meniduri wanita sejumlah jari tangannya. Rasa penasaran itu kini
tidak butuh sorak sorai teman – temannya. Bukankah mengenal wanita dari segala
penjuru dunia adalah satu cara juga untuk mengenal peradaban dan budaya mereka?
Ya, alam telah memberikan sari kehidupan yang berbeda untuk tumbuh dan kembang
masing – masing wanita itu. Riska tumbuh dari tanah Jawa yang konon terkenal
keluwesannya, kelembutannya, dan keeksotisannya. “Hidup hanya sekali, maka
nikmatilah sepuas – puasnya”, pikirnya dalam hati.
Dan kenyataannya ia memang jatuh cinta
pada Riska. Riska sempurna. Mata Riska yang tak terlalu sipit dan tulang hidung
mungil tapi bangir, dengan kulit kuning langsat, dan tubuh mungil
berisi, dinilainya perpaduan antara ras
Asia dan Hispanic, barangkali wajahnya lebih mirip wanita Polynesia. Dan
benarlah apa yang pernah dikatakan temannya bahwa wanita Asia “kecil – kecil
cabe rawit”, little spicy. Bersama Riska, ia merasakan sengatnya, selalu
bergairah, membuat lidahnya selalu menari – nari kepedasan, tetapi selalu
membangkitkan selera lagi. Lagi dan lagi….
Pelayan restoran membawakan hidangan
utama pesanan mereka dan menaruhnya di meja, fillet mignon dan rib eye steak.
Kemudian pelayan wanita bernama Megan pamit menuju panggung ditengah antara bar
dan restoran untuk menyanyikan lagu New York State of Mind -nya Billy Joel
diiringi denting piano lembut dari Steve pianisnya. Malam itu restoran dipenuhi
pengunjung, sebagian menunggu di bar, dan yang lainnya antri di pintu masuk.
“ Riska, ...I have a little
surprise for you. Guess what?”, wajah Sam jenaka menyembunyikan sesuatu.
“ Apa?”, tanya Riska. “ Did you buy
me something?”
“ No, no, no “, jawab Sam masih dengan muka
jenaka.“ Trus apa?”, tanya Riska memaksa.
“ Aku sudah dapat apartemen baru, di
daerah downtown sini. One bedroom, kamu pindah ya dari apartemenmu? Kita hidup
bersama.”
Riska tak bisa menyembunyikan
kegembiraannya,“ Tapi Sam, aku nggak bisa buru – buru. Aku harus bilang room
mate- ku dulu, Kathy bisa marah kalau tiba – tiba kutinggal.”
“ Apapun terserah, sementara kau masih
di sana, kau bisa tidur di apartemen baruku. Tiap hari malah lebih baik.” “
Dasar anak nakal ”, kerling Riska manja. Ya, untuk urusan yang satu itu, ia
merasa melayang – layang dibuatnya.
“ Sam, aku juga punya kejutan buat
kamu.” Sejenak Riska diam, dan itu dilihat Sam seolah Riska bercanda. Sam makin
penasaran.
“ Aku nggak dapat masa periodeku, Sam.
Mungkin aku hamil”
Bagai disambar petir wajah Sam berubah
tegang, kata-katanya tiba-tiba seperti orang tersedak makanan. Ia tak bisa
menyembunyikan kecemasannya. Wajah jenakanya hilang seketika. “ Apakah kamu
yakin?”
“ Ya, aku sudah tes kemarin, aku
hamil… surprise!!”
Kini Sam malah diam saja. Ia benar –
benar terkejut atas berita itu. Bukankah Riska selalu meminum obatnya? Atau
jangan – jangan dia lupa. “ Kamu kelihatan sedih mendengarnya Sam?” “ Oh tidak,
tidak. Aku gembira kau hamil Riska “
“ Kau bohong Sam” “ Aku bahagia Riska,
betul.”
“ Kamu nggak menghendaki bayi ini
Sam?” “ Ooo jangan berpikiran seperti itu Riska. Aku bahagia mendengar kamu
hamil, cuma rasanya kok terlalu cepat bagiku. Aku surprise …”
Sesungguhnya ia belum siap. Sam takut jadi orang tua. Sam takut tidak bisa
menjadi orang tua yang baik bagi anaknya.
“ Sam, lantas bagaimana?” “ Sudah kita
nikmati makan malam ini. Lihat sweetie, daging rib eye ini, oogh rasanya
juicy banget. Kamu harus mencobanya …” Sam memanggil pelayan, dia
memesan Jack and Coke double, sepertinya ia ingin menenggelamkan galau
hatinya pada gelas alkohol itu.
***
Malam
itu Riska memilih pulang ke apartemen. Biasanya akhir pekan selalu dihabiskan
untuk bermesraan hingga pagi, entah di kamar apartemennya atau di tempatnya
Sam. Kali ini ia sedang tidak berhasrat, ia ingin sendiri, memikirkan dan
merenung kembali apa yang telah terjadi, dan apa yang akan diperbuat nanti.
Akankah kehamilanku ini kukabarkan pada papa dan mama di Indonesia?
Ia
kemudian membayangkan wajah marah ayahnya. Seorang Raden Wiryoatmodjo yang
menjabat Dirjen sebuah departemen prestise di Indonesia itu pasti akan malu
mendengar anaknya hamil diluar nikah, “ Muka papa akan ditaruh mana? Di depan
Menteri, Dirjen – dirjen lain, dan kolega – kolega papa? Belum pada keluarga
besar Wiryoatmodjo. Kamu disekolahkan jauh – jauh biar pintar, ini malah bikin bubrah
pasar.... Sopo jenenge bocah londo iku? Dia harus sembodo,
harus bertanggung jawab.”
Riska
makin bertambah bingung membayangkan ayahnya yang marah. Ketika tadi ia katakan
kehamilannya kepada Sam, dan Sam hanya tenang – tenang saja, mungkinkah dia mau
bertanggung jawab? Kini disadarinya ada jarak yang lebar antara dirinya dan
Sam. Jarak lebar dalam mengartikan sebuah makna tanggung jawab. Bagi keluarga
besar Wiryoatmodjo tanggung jawab berarti: menikah secepatnya. Menutupi aib
keluarga, untuk menyelamatkan kewibawaan dan kehormatan keluarga. Tapi bagi Sam
yang orang bule, tanggung jawab tidak selalu berarti pernikahan. Di Barat,
pasangan tidak menikah boleh punya anak. Dan sepertinya mereka tak peduli dan
asik – asik saja dengan status yang disandangnya. Bahkan masyarakat sekitar
juga tak peduli. Dan kalau jalan itu yang dipilih Sam sebagai bentuk tanggung
jawab, tentu ayahnya akan mencak – mencak tak karuan sambil berkata,” Londo
kucluk. Londo edan.”
“Akankah
kehamilanku ini kukabarkan pada papa dan mama di Indonesia? Kenapa harus
kukabarkan?” Terbersit rasa malu dalam dirinya. “Aku yang mengaku wanita
modern, yang telah bertahun – tahun tinggal di Amerika, yang telah nyaman
dengan nilai – nilai kebebasan individu, yang dengan sadar memilih pergaulan
bebas, kini merasa tak berdaya dan harus berpaling pada orang tuaku hanya
karena kehamilanku.” Nyatanya Riska tidak siap mental jika ia kemudian
kehilangan kasih sayang orang tuannya dan dukungan keuangannya.
Pernikahan adalah
solusi terbaiknya. Ya, ia harus utarakan ini pada Sam. Ia tak ingin melukai
perasaan orang tuanya lebih dalam lagi, ia tak mau durhaka terhadap mereka.
Orang tuanya sudah begitu baik, perhatian dan sayang kepadanya. Berita
kehamilan dirinya tentu akan membuat pecah kepala orang tuanya. Tapi, kenapa
reaksi Sam tidak seperti yang dibayangkannya? “ Ya Riska, kita akan menikah
segera”, tentu itu akan mengurangi galau hatinya. Juga mengurangi kemarahan
kedua orang tuannya.
Riska masih
menimbang – nimbang keinginannya untuk mengajak Sam menikah. Bagi kebanyakan
lelaki bule, ditodong seorang wanita untuk menikah ibarat mendapatkan “sebuah
bencana”. Sementara bagi wanita, menodong lelaki bule untuk menikahinya adalah
tabu. Kini ia jengkel dengan kenyataan seperti itu. Siapa sih yang bikin aturan
– aturan yang mengada – ada itu? Barangkali kalau Sam lelaki Indonesia
masalahnya menjadi sederhana, ia akan menuntut pertanggung jawaban untuk
menikahinya. Tapi sayangnya Sam warga negara Amerika. Cara berpikir, melihat,
dan adat budayanya amat berbeda dengan dirinya, dengan keluarga besar
Wiryoatmodjo.
Tiba – tiba
cellphonenya berdering, dilihatnya id caller dari Sam. “ Hmm ...”
“ Are you all
right, honey?”
“ I’m fine Sam,
but.. leave me alone …”
“ Are you sure?”,
tanya Sam.
Dimatikan telpon
genggamnya. Riska menyadari menikah adalah panggilan hati, tidak bisa
dipaksakan. Tapi dalam kondisi kepepet seperti ini apakah mesti harus menunggu
panggilan hati? Minimal kita saling mencinta, apakah modal itu kurang cukup?
****
Sam yang kini
berada di apartemennya tergolek lesu di atas sofa dengan segelas Jack Daniels
dan asap rokok mengepul pada mulutnya. Kabar kehamilan Riska bagai kilat
menyambar di siang bolong. Sikap keterkejutannya tadi di restoran membuat ia
merasa tak enak kepada Riska. Ya sepertinya ia kehilangan sikap kedewasaannya
dan berubah menjadi anak kecil, seperti anak kecil yang baru saja memecahkan
guci kesayangan ibunya dan mengelak untuk mempertanggung jawabkannya.
Ada
ketakutan yang memenuhi hatinya ketika terngiang kata - kata menikah. “ Buat
apa menikah?”, tanya Sam dalam hati. Ketika ia memutuskan untuk menikah, hal
itu ibarat ia memasuki sangkar burung untuk tidak bisa bebas lagi. Kebebasannya
akan segera terampas dan digantikan rutinitas kewajiban sebagai seorang suami.
Tapi kalau tidak menikah tentu itu menyakiti perasaan Riska. Ya, ia ingat
ketika pertamakali bermain cinta dengan Riska, ketika ia terlena akan kemolekan
tubuhnya, Riska masih sempat membisikkan ke telinganya agar berhati – hati
jangan sampai hamil. Dan dilain waktu dalam suasana rileks Riska menceritakan
tentang adat istiadat di tanah Jawa bahwa berhubungan sex sebelum menikah
adalah dilarang agama, juga melanggar etika susila. Apalagi sampai hamil, itu
merupakan aib bukan hanya diri sendiri melainkan seluruh keluarga. Si wanita
bisa dicap sebagai orang tak bermoral. Biasanya mereka kemudian dinikahkan
secepatnya agar jangan sampai kabar itu tersebar.
Ya,
ia merasa kasihan kalau Riska sampai dikucilkan keluarganya, dicap wanita yang
tidak bermoral oleh lingkungannya. Ia benar – benar jatuh cinta pada Riska,
tapi siapkah ia menikah? Ia sering mendengar keluhan teman – temannya yang
sudah menikah, cerita di majalah, atau melihat di tv tentang sebuah pernikahan.
Ketika ia harus dipusingkan oleh kewajiban rutin berumah tangga seperti:
menyediakan tempat tinggal yang layak, membesarkan anak, menghidupi istrinya
kalau istrinya memilih tidak bekerja, menyediakan asuransi bagi keluarga,
menyediakan biaya pendidikan bagi anaknya, dan beban – beban lainnya.
Sejujurnya secara ekonomi ia belum bisa dibilang mapan. Gajinya sebagai
perancang grafis pada sebuah perusahaan iklan cukuplah untuk hidup sendiri,
membiayai hobi fotografi untuk proyek foto – foto gedung tuanya, membiayai
aktivitas waktu luang, dengan sedikit kelebihan uang untuk ditabung. Tapi kalau
ia menikah dengan satu anak, apalagi biaya hidup di Washington, DC yang tinggi,
mana cukup gaji segitu buat hidup?
Sam
yang asli Texas itu bertambah pusing, dituangnya lagi alkohol ke dalam
gelasnya. Ia mencoba telepon Riska tapi tak diangkat. Diraihnya gelas dari meja
dan meneguk isinya sekali habis, dirasakan panas alkohol membakar
kerongkongannya. Ia termenung lama.
Kini
Sam diliputi ketakutan – ketakutan akibat sebuah pernikahan. Kebebasannya akan
segera terampas. Digantikan dengan kewajiban – kewajiban terhadap keluarga,
yang diikat dan dilindungi negara. Dan ketika ia alpa akan kewajiban itu,
tangan – tangan hukum akan menjeratnya. Sam makin pusing memikirkannya. Alkohol
membenamkan dirinya dalam kepusingan yang hebat, ia tak sadarkan diri.
***
Sudah
seminggu mereka saling menjauh, tidak telepon maupun bertemu. Hari – hari Riska
dilalui dengan gundah gulana. Ia belum memberitahukan kehamilannya pada kedua
orang tuanya, ia takut, takut akan kenyataan buruk yang akan menimpanya. Ia
juga belum meminta Sam untuk menikahinya, tabu. Malah terlintas niatan untuk
menggugurkan kandungannya. Ia bingung, ia sudah bertanya – tanya klinik atau
rumah sakit mana untuk menggugurkan kandungannya.
“
Ya, sebentar lagi aku akan terbebas dari masalah ini. Sebentar lagi kehidupanku
akan normal kembali. Menyelesaikan sekolah bisnisku, kembali ke Indonesia,
bersikap wajar di depan papa mama, lalu menyibukkan diri dalam pekerjaan. Ya,
bekerja di salah satu perusahaan asing mitra kerja papa atau di perusahaan
milik kakak.”
Tiba
– tiba Riska dikejutkan oleh suara ketokan pintu. Ia berjalan ogah – ogahan
menuju pintu, mengintip dari lubang kaca. Dilihatnya muka Sam yang cembung pada
lubang kaca itu. Hatinya berdegup keras, serasa darah berhenti mengalir di
sekujur tubuhnya ia merasa lemas.
Dari
balik pintu yang belum dibuka Sam berkata keras,“ Riska, Would you marry me?”
Riska
terkaget-kaget di balik pintu. Sejenak ia tak percaya dengan apa yang diucapkan
Sam dari balik pintu,“ Oh Sam, are you serious …?”, kata Riska terbata –
bata,” apakah aku tidak salah dengar?”
Setelah
pintu dibuka Sam mengulangi kata-katanya sambil merebahkan lututnya ke lantai,“
Would you marry me?”
Riska
terharu,“ Tapi kenapa Sam?”
“
Ya, aku cinta berat sama kamu Riska. Jangan kuatir tentang kehamilanmu. Aku
akan bertanggung jawab. Seminggu berpisah rasaku nggak karuan, kacau.
Ayo kita segera menikah ..”
“
Ya, tapi sabar dulu Sam, ada aturannya, –
pertama kamu harus melamar dulu ke orang tuaku.”
“
Rumit banget!! .. Oke demi kamu dan jabang bayi yang ada di perutmu, aku akan
melamar ke orang tuamu. Kita pergi ke Indonesia sekarang?”
“
Oh.. Sam, you are so ... kemplu amat sih, just call my father ...say you
want to marry me. The rest ... I ' ll
take care of it.”
“
Baik … baik sebelum telepon papamu aku ingin goyang-goyang denganmu …”
“ Oh Sam you … bad boy”