Berita penangkapan itu menyebar cepat di kalangan anak-anak Indonesia. Kami semua merasa was-was. Kabarnya mereka mencari seorang bernama Hendri, anak Indonesia yang datang ke Amerika memakai visa F1 alias Student Visa tapi tidak mendaftar ulang di sekolahan alias kabur.
Modus ini dulu aman-aman saja tapi setelah peristiwa 911 aturan diperketat. Pihak sekolahan langsung melaporkan ketidakhadiran si calon pelajar kepada Homeland Security Department. Mereka kemudian menindaklanjuti dengan melacak keberadaan si pelajar.
Alih-alih sekolah, Si Hendri malah bekerja di Deli jadi tukang bikin sandwich. Egg and Cheese on Bagel, Pastrami on Rye, Steak and Cheese on Sub, Rueben, Tuna Sandwich, Chicken Club, BLT – jadi urusannya sehari-hari. Dan memang bekerja itulah tujuan para pendatang, ada gula ada semut, bekerja untuk mendapatkan dollar. Dari cerita beberapa temannya, Hendri baru 1 tahunan masuk Amerika. Jadi kalau dihitung – hitung secara matematika (hitungan para perantau), modal yang dikeluarkan untuk berangkat ke Amerika belum impas alias tekor. Kami hanya bisa menghela nafas.
Dari kesemua penghuni apartemen yang terletak di dekat Union Station, Hendri, Zulkifli, Karim, dan Madi – semua diangkut petugas. Sudah menjadi resiko kalau satu orang ketangkap, yang lainnya dipastikan ikut terangkut. Dan biasanya hanya sedikit yang dilepaskan kembali kecuali mereka punya surat-surat lengkap atau minimal sedang mengurus status keimigrasian tertentu. Sebagai perantau sekaligus pendatang gelap, barangkali suatu saat itu bisa juga menimpa kami.
Sunday, June 22, 2008
CSIG di Amerika: APARTEMEN ZULKIFLI DIGREBEK PETUGAS - EMPAT ORANG PENGHUNINYA DIANGKUT.
Posted by Janu Jolang at 1:01 AM 0 comments
Saturday, June 14, 2008
CSIG di Amerika: TERNYATA BANYAK JUGA ORANG MISKIN DI AMERIKA
Amerika yang dalam bayanganku dulu (waktu masih tinggal di Indonesia) adalah sebuah negara Adidaya, maju, makmur dan kaya - ternyata masih juga menyisakan sebuah permasalahan sosial yang rumit. Seperti Washington, DC. – ibukota Amerika dimana aku tinggal, ternyata dari data Biro Sensus U.S. tahun 2005 menyebutkan: 1 dari 5 orang penduduk Washington DC hidup dibawah garis kemiskinan. Persentase 19.1% atau sejumlah 104.000 orang itu menduduki peringkat ke 3 secara nasional dalam hal jumlah orang miskin. Sangat ironis jika melihat ibukota negara Super Power ini banyak dihuni orang-orang miskin dan gelandangan.
Pada tahun 2006, sejumlah 9369 orang di Washington, DC. tidak punya tempat tinggal atau dengan sebutan kerennya para 'homeless'. Kebanyakan dari mereka hidup menggelandang dan tidur di emperan toko atau di taman-kota. Taman Lafayette di depan White House, taman samping Gedung Keuangan, atau di taman Dupont Circle banyak kulihat gelandangan tidur-tiduran dan menghabiskan waktunya di sana. Hal yang paling menyedihkan jika musim dingin tiba. Berhubung shelter atau tempat penampungan bagi homeless jumlahnya terbatas, maka banyak dari mereka ditolak dengan alasan penuh. Para homeless itu terpaksa bertahan di luar membungkusi tubuhnya dengan selimut flanel, plastik, atau kertas koran. Kadang terdengar kabar gelandangan ditemukan mati kedinginan di bawah suhu -13 derajat celcius di emper toko, atau di taman kota. Ketika ditemukan, tubuhnya telah beku dengan ekspresi wajah menahan dingin.
Aku lantas teringat salah satu gelandangan muda berkulit putih yang biasa 'nongol' di belakang restoran tempatku bekerja. Ia suka mengaduk-aduk tempat sampah, memilah-milah mana yang bisa dimakan, dan langsung melahapnya. Bau busuk tempat sampah tak dihiraukan, Ia asyik mengisi perutnya yang kelaparan. Melihat caranya makan, aku merasa jijik. Tapi dalam hati, aku kasihan -- si gelandangan itu tak mampu membeli makanan. Bukankah Ia masih muda lagi berbadan tegap? Kenapa ia tidak bekerja saja? Kalau dipikir-pikir, status dia yang warga negara Amerika lebih menguntungkan dibandingkan aku yang imigran gelap. Segala gerak-gerikku yang terbatas kuakui menyulitkan diriku. Aku tak punya ijin bekerja, tak punya ijin tinggal di Amerika lagi, dan menggunakan bahasa Inggrispun masih gagap. Bisa saja suatu hari aku ketangkap petugas Imigrasi, masuk penjara, dan dideportasi. Atau yang paling menyedihkan jika tidak ada lagi restoran yang mau mempekerjakan pendatang gelap yang tidak punya surat-surat lengkap. Hanya dengan modal nekat dan bekerja keraslah aku berusaha untuk 'survive'.
Barangkali si gelandangan muda itu punya problem mental, kecanduan obat dan alkohol, atau memang sudah tidak punya semangat hidup lagi. Mungkin gelandangan itu salah satu diantara 1891 orang di Ibukota ini yang terdaftar sebagai homeless kronis. Status menggelandang lebih dari satu tahun atau setidaknya punya catatan sebagai homeless 4 kali selama 3 tahun terakhir.
Posted by Janu Jolang at 10:52 PM 0 comments