Seberapa seriuskah orang-orang perantauan dalam menjalani kehidupannya? Kalau itu ditanyakan kepada Ari temanku yang asal Madura tentu Ia akan menjawab dengan logat Madura-nya yang sangat kental: ...Ngat ...sangat serius....tak... iya.
Ari datang ke Amerika 8 tahun lalu pakai visa pelaut alias 'Seaman'. Menurut ceritanya, banyak orang Madura merantau keluar negeri karena faktor ekonomi. Dari tetangganya Ia ditunjukkan salah satu agen di Kelapa Gading yang bisa memberangkatkan ke Amerika untuk bekerja di kapal ikan atau kapal pesiar. Ari ditraining bahasa Inggris, diajar memahami kode buku pelaut dan diberitahu seluk beluk bekerja di kapal. Demi meraih harapannya, Ari yang katanya hanya sekolah sampai kelas 5 SD itu rela menghabiskan berpuluh juta rupiah (hasil ngutang orang tuanya) untuk bisa bekerja di Amerika.
Sungguh sangat mendebarkan sekaligus lucu mendengar cerita Ari. Ia baru pertama kali naik pesawat dan nggak tanggung-tanggung langsung terbang ke Amerika yang jaraknya kira-kira 15.000 km. Kelucuan yang wajar ketika Ari tidak tahu cara memakai sabuk pengaman, memakai wc duduk yang sempit, melahap semua makanan yang ditawarkan pramugari tanpa tanya daging ayam, sapi, atau babi, dan ketika Ari kehausan dan minta segelas air putih, Ia mengatakan dalam bahasa Inggris ala Ari: “white – water .. please...white – water .. please.... ”, dan itu bikin pramugari bingung.
Lalu kejadian yang paling mendebarkan ketika pesawat sudah 'landing' dan mereka menuju ke loket pemeriksaan imigrasi di bandara LAX Los Angeles. Ari bersama ketiga temannya tampak seperti orang kebingungan. Mereka was-was karena visa pelaut mereka 'cabutan' alias asli tapi palsu. Peluang lolos pemeriksaan “fifty-fifty”. Cara lama ini kata Ari memakai visa pelaut kepunyaan orang lain, tapi fotonya diganti wajah Ari. Ketika mau masuk dalam antrian, ada suara dalam bahasa Indonesia yang menginstruksikan sesuatu,” Kelapa Gading ... dari Kelapa Gading ke loket 5. Bersikap tenang, jangan tengak – tengok, langsung ke loket nomer 5. Kalau penuh pergi dulu ke kamar mandi di ujung sana.”
Rupanya jaringan si agen cukup oke”, pikir Ari. Lantas mereka berempat mematuhi perintah itu, antri di loket 5.
Tiba-tiba mereka dikejutkan suara petugas yang memerintahkan sebagian antrian di loket 5 pindah ke loket 6 yang kosong. Teman Ari yang paling depan tak bisa menolak dan pindah ke jalur 6. Sementara suara tadi tetap memantau dan menginstruksikan kepada Ari dan kawannya untuk tetap tenang. Akhirnya dari 4 orang yang berangkat, hanya Ari dan Kamil yang lolos pemeriksaan Imigrasi. Dua temannya ditahan alias visa pelautnya ketahuan palsu.
Memang mereka mengambil resiko terlalu berani dengan mengorbankan uang yang tidak sedikit, juga menempuh bahaya nekat dipenjara demi bisa masuk ke Amerika. Dan betul setelah itu mereka memang bekerja keras siang malam mengumpulkan dollar untuk perbaikan hidup mereka di kemudian hari. Apakah itu yang dinamakan bermain-main dengan hidupmu?
Berbeda ceritanya dengan si Dedi, lelaki usia 45an tahun. Ia datang ke Amerika dengan tujuan ingin melunasi hutang-hutangnya di Indonesia akibat bisnisnya bangkrut. Awalnya si Dedi terlihat rajin dan bekerja sangat keras. Dari penghasilannya sebagai ''waiter' di sebuah klab Middle East di daerah turis, si Dedi bisa meraup penghasilan 3500an dollar sebulan. Ia bekerja dari jam 8 malam hingga dini hari pukul 5 pagi. Dari caranya men'service' pelanggan, juga kepandaiannya meramu Hookah, sejenis rokok khas Timur Tengah dengan berbagai cita rasa buah-buahan, si Dedi mempunyai banyak pelanggan fanatik yang rela memberikan 'tip' besar kepadanya.
Sayang sungguh sayang 'etos kerja' si Dedi tak bertahan lama. Hanya 1 tahun si Dedi bekerja keras kemudian ia terlena. Gara-garanya sepele, hanya-karena ia mulai mengenal dunia chatting. Alih-alih harus bekerja, Dedi malah berbulan-bulan tak bekerja. Kerjaan utamanya kini beralih ke dunia maya, dunia chatting sampai pagi. Terutama chatting dengan cewek-cewek Indonesia yang 'merantau' di Hongkong, sungguh mereka menawarkan sebuah 'kecanduan' tersendiri. Beberapa wanita itu bahkan berani memperlihatkan 'webcam'nya dengan pose seronok. Barangkali itu salah satu yang membuat si Dedi kecanduan. Singkat cerita Dedi kemudian menjalin cinta jarak jauh atau apalah sebutannya, 'cyber love', atau apa dengan salah satu cewek Hongkong itu dan tiba-tiba ia sudah melupakan tanggung jawabnya menafkahi anak-anak dan istrinya di Indonesia. Ia juga lalai melunasi hutang-hutangnya sehingga rumah satu-satunya yang ditempati anak istrinya disita dan mereka terusir dari rumah itu. Apakah itu yang dinamakan bermain-main dengan hidupmu?
Aku lantas teringat sebuah penggalan cerita dalam bukunya Albert Camus – The Stranger, tentang seorang perantau yang mengambil setting di negara Czech.
Beginilah ceritanya:
Seorang anak muda pergi meninggalkan kampung halamannya untuk merantau ke kota. Duapuluh tahun kemudian, dan sekarang ia kaya raya, dia kembali bersama istri dan anaknya untuk menengok kampung dimana dia dilahirkan.
Ibunya kini menjalankan usaha penginapan kecil-kecilan di kampung bersama kakak perempuan si pemuda. Untuk membuat sebuah kejutan kepada mereka, si pemuda meninggalkan istri dan anaknya di hotel lain dan pergi untuk mengunjungi ibunya secara diam-diam. Ketika dia masuk, ibunya tidak mengenali anaknya lagi. Sebagai lelucon sekaligus pamer, si pemuda itu punya ide memamerkan segepok uang kepada ibu dan kakaknya. Di tengah malam, ibu dan kakaknya membunuh si pemuda itu dengan menghantamkan palu untuk merampok uang dan membuang tubuhnya ke sungai. Keesokan paginya, si istri datang ke hotel dan, tanpa tahu, ia memberikan identitas pelancong suaminya kepada si ibu dan kakaknya.
Mengetahui yang dibunuh adalah anaknya, kemudian si ibu menggantung diri. Kakak perempuannya juga bunuh diri. Satu sisi cerita itu tidak menyenangkan. Tapi disisi lain, sangat sangat manusiawi. Bagaimanapun si pelancong patut mendapatkan akibat kecerobohannya dan sebaiknya jangan pernah bermain-main dengan hidupmu.
Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap Di Amerika
Thursday, August 7, 2008
YOU SHOULD NEVER PLAY GAMES
Posted by Janu Jolang at 3:10 PM 0 comments
Subscribe to:
Posts (Atom)