Soni temanku punya teman bernama Dudi. Mereka dulu tinggal bersama di sebuah apartemen yang cukup elit dekat White House dan disewa atas nama Dudi. Satu tahun yang lalu Dudi pulang ke Indonesia 'for good' istilah untuk nggak balik lagi ke Amerika.
Setelah 10 tahun bekerja di Amerika, barangkali si Dudi punya tabungan lebih dari cukup untuk memulai bisnis, atau menjalani 'program pensiun dini' di Indonesia. Aku juga mengenal Dudi. Anaknya 'perlente', selalu memperhatikan penampilan. Pokoknya mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki selalu mendapatkan perhatian yang berlebih. Mulai tata rambut yang 'kinclong', kemeja segala merk dan suasana: dari Armani Exchange hingga Calvin Klein, jam tangan bermerk khas anak muda, celana ketat maupun baggy, sampai sepatu jenis 'sneaker' hingga sepatu kulit berujung persegi. Tak ketinggalan, wangi parfum di tubuhnya selalu berganti-ganti mulai dari Hugo Boss, Polo, Versace, hingga Armani.
Bergaulnyapun Dudi lebih memilih ke anak-anak Indonesia yang eksklusif, yang tiap akhir pekan selalu punya acara 'dugem' di klab malam atau diskotik. Ketika DJ kondang Tiesto datang ke salah satu klab di DC, ia dan teman - temannya antusias merogoh kocek ratusan dollar untuk melihat aksinya di atas meja DJ.
Untuk mendukung pola hidup 'glamor'nya, tentu (dalam bayanganku) membutuhkan 'modal' yang tidak sedikit. Isi dompetnya terselip semua jenis kartu kredit mulai dari Discover, Amex, Mastercard dan Visa. Dari pekerjaannya yang terbilang cukup bagus sebagai 'waiter', barangkali Dudi bisa menutup pengeluaran tiap bulannya. Untungnya lagi - Dudi masih 'single' jadi tak perlu repot-repot memikirkan kiriman uang ke Indonesia.
Sepeninggalan Dudi, Soni tetap tinggal di apartemen dengan 'roommate' baru bernama Awan, teman kerjanya di restoran Zingbiz. Mereka berbenah, menata ulang apartemen dengan membeli futon
baru yang bisa berubah tempat tidur, mengganti karpet, mengecat ulang, hingga melengkapi peralatan Audio Visual mereka dengan perangkat 'home theater' keluaran terbaru.
Beberapa bulan berlalu, barulah terkuak cerita di balik cerita dari si Dudi ini. Soni bilang kalau di apartemennya kedatangan bill – bill tagihan kartu kredit. Tercatat tagihan dari Amex, Discover, Visa, dan Mastercard yang total sekitar USD 40an ribu. Kalau dikurs dengan rupiah 10.000 per dollar kira-kira tagihan si Dudi sebesar 400an juta rupiah. Rupanya segala penampilan perlente si Dudi selama ini dimodali dengan 'kemplangan' utang kartu kredit.
Saya kasihan melihat Soni dan Awan. Bukannya apa-apa, berhubung kamar tersebut masih atas nama Dudi, maka status mereka berdua hanyalah 'menumpang'. Si bapak kosnya masih tetap si Dudi. Wajar mereka berdua merasa ketakutan karena tiap minggu selalu diteror oleh kedatangan surat tagihan utang. Salahsatunya bahkan dengan status yang sudah dialihkan kepada perusahaan 'debt collector' sehingga dalam bayangan mereka muncul seorang berbadan kekar, mengancam, mengintimidasi, atau main hakim seperti yang kerap terjadi di Indonesia.
Akhirnya dengan segala keterpaksaan, mereka berdua cepat-cepat mengemasi barang – barang dan siap-siap kabur. Aturan pertama pendatang gelap untuk bisa 'survive' adalah selalu 'Tiarap' ( istilah dalam perang gerilya) alias jangan sampai terlihat 'musuh'. Jadi jangan sekali-kali Kita bertindak yang 'nyrempet – nyrempet' bahaya, ataupun berada dalam kondisi yang membahayakan. Lebih baik menjauhi hal-hal yang berurusan dengan hukum. Maka mereka mematuhi aturan itu.
Berita itu cepat menyebar dalam komunitas orang Indonesia. Beberapa menyayangkan tindakan si Dudi yang membiarkan Soni dan Awan terkena getahnya. Masalah ngemplang utang urusan pribadi. Tapi dengan membiarkan temannya dalam kondisi bahaya? Salah satu temanku Rudi berkomentar,”Wah... payah nih si Dudi, 'berak' di mana-mana - ninggalin tai!!!”.
Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap Di Amerika
Monday, June 7, 2010
TEMAN DARI TEMANKU “BERAK” DI MANA – MANA
Posted by Janu Jolang at 11:40 PM 0 comments
Subscribe to:
Posts (Atom)