Andai kautancapkan belati
di dadaku
(Janu Jolang)
Komunitas Anak Rantau
Andai kautancapkan belati
di dadaku
Posted by Janu Jolang at 1:28 AM 0 comments
Balon pie dalam bahasa Spanyol berarti football atau sepak bola.
Disela-sela waktu kerja ketika restoran sedang senggang Lazaro si tukang masak, Jose si tukang cuci piring, dan aku -- suka ngobrol tentang sepak bola. Kita suka membanding-bandingkan kehebatan antara Lionel Messi dengan Cristiano Ronaldo. Zinedin Zidan dengan Ronaldo the Phenomenon, Atau Pele dengan Maradona. Gocekan maut mereka mampu menyihir penonton -- baik di stadion maupun layar tv -- sampai terbengong-bengong , seolah-olah bola lengket di kaki, meliuk-liuk diantara pemain lawan, (sambil aku memperagakan gaya naik sepeda " bicicleta " khas Ronaldo) serta menceploskan si kulit bundar itu ke gawang. Gol-gol indah itu terlahir dari kelincahan dan kekuatan kaki-kaki mereka.
Ketika Jose yang asli Honduras bertanya tentang bagaimana sepak bola di indonesia, apakah ada kompetisi liganya? Maka kujawab ada. Dan dia tanya lagi, kenapa tak pernah kedengaran nama Indonesia di pentas Piala Dunia? Nah kini aku kebingungan menjawabnya.
Honduras yang notabene negara kecil dan tak kaya, dengan iklim juga postur tubuh dan kulit mirip orang Melayu, tapi timnas sepakbolanya bisa berlaga di Piala Dunia, bahkan sudah dua kali tahun 1982 dan 2010, sungguh sebuah prestasi yang membanggakan dan membuat diriku iri.
Juga Mexico negaranya Lazaro, yang selalu melahirkan legenda sepak bola seperti Hugo Sanchez, Jorge Campos, Chicharitto, dan tim yang cukup disegani di dataran Amerika Tengah ataupun benua Amerika, dan timnas sepakbolanya sudah 14 kali lolos ke putaran Piala Dunia, aku jadi makin iri dibuatnya.
Jujur aku nggak mau kalah gengsi di hadapan Jose dan Lazaro, karena kita sama-sama berasal dari negara dunia ke 3, tapi apa yang mau kuceritakan tentang kehebatan Timnas Indonesia? Pernah kuceritakan secara guyon bahwa sepak bola di Indonesia berbeda dengan Mexico atau Honduras. Sepakbola di Indonesia main sepakbolanya hanya 10 menit, sisanya untuk pertandingan karateka alias berkelahi. Mix Sports, campuran antara sepak bola dan karateka, seperti pertandingan hoki es di Amerika di liga NHL, dimana sering para pemainnya baku hantam sampai kelelahan, dan baru kemudian dilerai oleh sang wasit. Untung mereka berdua tak percaya dengan apa yang kuceritakan dan mengira aku hanya bercanda.
Andai kuceritakan dengan serius hal sesungguhnya yang terjadi dengan persepakbolaan Indonesia yang kacau balau, jelas aku malu sendiri. Akankah kuceritakan bagaimana para suporter pingin jadi wasit pertandingan? Dengan merangsek ke lapangan untuk mengejar-ngejar wasit? Atau lain waktu para suporter turun lapangan membela jagoannya yang gemar berkelahi di lapangan?
Atau akankah kuceritakan keberingasan suporter saat mereka menjarah toko kelontong, warung makan, dan melempari rumah- rumah warga dari atas kereta, atau tak segan-segan menganiaya suporter lawan hingga memakan korban jiwa?
Bermain sepak bola setengahnya adalah bakat lahir, pemberian Tuhan, God gifted. Selebihnya adalah membentuk mental juara, latihan keras, belajar giat tentang teknik-teknik sepak bola dan jam terbang tinggi dalam sebuah kompetisi yang ditata secara profesional. Jangan harap akan mempunyai tim dengan talenta hebat walau penduduk kita 250an juta orang. Bahkan itu lewat program khusus seperti Pemusatan Latihan di Itali atau proses naturalisasi menjadi WNI.
Aku lantas teringat "joke" lucu tentang gaya bermain sepak bola yang sampai sekarang sepertinya masih relevan. Kalau Brazil terkenal gaya sepak bola Sambanya, Argentina gaya Tanggonya, Belanda Total Football, Itali dengan Cattenacio. Maka Indonesia terkenal dengan gaya Salah Umpannya.
Atau memang jangan-jangan genetik bermain bola bukan kepunyaan ras Melayu? Karena selama ini terbukti bangsa Melayu lebih lihay menggunakan tangannya daripada kakinya, dengan lahirnya bakat-bakat besar perbulutangkisan di tanah Melayu seperti Rudi Hartono, Liem Swie King, Tjun tjun - Johan Wahyudi, Taufik Hidayat, Alan Budi Kusuma, Verawati, Susi Susanti.
Atau olah raga sepak bola memang tak cocok dengan karakter emosi bangsa Melayu yang temperamen dan mudah menyerah? Atau memang pengurus sepak bolanya yang tak profesional dalam menjalankan organisasi persepakbolaan? Sehingga dari dulu yang ada hanyalah kericuhan yang tak ada habis-habisnya? Tuhan tahu mana yang terbaik ....
Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap di Amerika
Posted by Janu Jolang at 12:36 AM 0 comments