Selama tinggal di Amerika aku belum pernah melihat anak-anak yang hidupnya menggelandang di jalan-jalan, menjadi pengemis, atau tidur di emperan toko. Sebaliknya hal itu amat mudah kutemui di Jakarta atau kota-kota besar di Indonesia. Mereka hidup di jalanan, jadi pengemis, kurir narkoba, pedagang asongan, atau tidur di kolong jembatan. Aku jadi teringat filmnya Garin Nugroho, Daun Di atas Bantal, yang menggambarkan betapa sosok anak yang masih ingusan sudah dihadapkan pada ganasnya kehidupan, diekpoitasi fisik dan mentalnya, menjadi korban kekerasan sexual, dan bahkan dibunuh untuk diambil organ tubuhnya.
Anak-anak terlantar di Amerika bukannya tak ada, bahkan cukup banyak. Perkiraan, 600.000 -an anak tercatat setiap tahunnya dan kesemuanya dipelihara negara. Ada lembaga khusus yang mengurusinya yaitu Child Protective Services. Anak-anak terlantar mendapat sebutan Foster Child dan mereka ditampung dalam sebuah “lingkungan” bernama Foster Care, bisa berupa Juvenile House untuk anak-anak yang nakal, dan Foster Family, Keluarga yang bersedia menjadi Orang Tua Asuh.
Anak-anak terlantar tak boleh berkeliaran di jalan dan harus mendapatkan kebutuhan hidup yang layak termasuk fasilitas kesehatan dan gizi yang memadai.
Anak-anak juga harus mendapatkan perlindungan dari segala eksploitasi terhadap diri mereka, seperti dipekerjakan secara paksa sebagai pekerja di bawah umur, dijadikan obyek prostitusi anak-anak, dijadikan obyek dalam perdagangan obat bius dan narkoba, dianiaya fisik dan mentalnya, atau secara sexual.
Hal utama yang menjadi tanggung jawab negara terhadap anak-anak adalah: memenuhi hak azasi anak-anak sebagai manusia untuk tumbuh dan berkembang secara wajar dengan mendapatkan pendidikan di sekolahnya, juga standar hidup yang layak untuk perkembangan fisik, mental, spiritual dalam kehidupan pribadi dan sosialnya.
Untuk mewujudkan "ide luhur" tersebut, negara menyediakan fasilitas berupa: pendidikan dasar dan menengah dimana anak-anak tidak dipungut biaya alias digratiskan sampai mereka lulus SMA.
Mengenai masalah kesehatan, sejak dini anak-anak sudah diberikan imunitas terhadap berbagai macam virus dengan memberikan vaksin yang jumlahnya bisa mencapai belasan, mulai dari Polio sampai Hepatitis, bahkan untuk pelajar wanita yang menginjak remaja diwajibkan untuk vaksin cervix guna perlindungan terkena kanker mulut rahim. Dan sekali lagi kesemuanya gratis.
Sebagaimana diketahui bahwa biaya kesehatan di Amerika sangat tinggi maka anak-anak miskin dan terlantar dipenuhi fasilitas kesehatan mereka setara dengan orang-orang yang punya asuransi kesehatan.
Masalah pemenuhan gizi, anak-anak yang hidup di bawah garis kemiskinan akan mendapatkan "jatah" makan gratis lewat program Stamp Food, dan juga makan pagi dan siang gratis di sekolahan.
Untuk masalah Perlindungan Anak, Amerika sangat peduli bahkan sering dianggap sebagai "surganya" anak-anak. Cara pandang mereka terhadap anak sebagai makhluk yang belum berdaya, rentan, dan mudah dimanipulasi, dan di sisi lain anak-anak adalah cikal bakal penerus masa depan bangsanya, sungguh dua hal itu mendapatkan perhatian yang sangat serius.
Anak anak korban perceraian, walau secara kejiwaan mereka terluka tapi tidak (seharusnya) secara finansial. Kedua orangtuanya tetap harus bertanggung jawab dengan mewajibkan mereka "menafkahi" si anak hingga berusia 18 tahun. Besaran uang "child support" dibebankan kepada salahsatu orang tuanya yang tidak ketempatan untuk mengasuh anak. Jumlahnya sesuai dengan kebutuhan hidup dasar anak, juga dilihat dari besaran penghasilan kedua orang tuanya.
Andai si ortu lari dari tanggung jawabnya, maka institusi penegak hukum segera bertindak. Apabila telat atau lalai tidak menyetor uang child support maka lewat perintah hakim polisi akan mendatangi dan menangkapnya. Andai si ortu benar-benar menghilang, maka mereka dimasukkan ke dalam daftar "buronan", dikejar kemanapun pergi, lewat proses pelacakan nomer Social Securitinya, juga di "suspend" SIMnya. Kapanpun dan dimanapun identitas sang ayah atau ibu muncul, entah itu lewat slip gaji, atau transaksi perbankan, maka mereka dikejar untuk melunasi utang child supportnya.
Sebagian besar anak anak terlantar karena orang tuanya miskin. Orang tua yang kehilangan hak asuh terhadap anaknya tak bisa berkutik apa-apa. Ketika mereka dinyatakan tak mampu merawatnya, maka anaknya akan segera diambil (atau secara paksa) oleh Badan Perlindungan Anak dan segera dicarikan dan kemudian ditempatkan pada rumah orang tua asuh atau Foster Family.
Tapi secara hukum, kedua orangtua mereka tetaplah “legal guardians”, yang berarti ketika si anak misalnya akan menjalani operasi maka si orang tua biologisnyalah yang berhak memberikan persetujuan dan membubuhkan tanda tangannya.
Dalam kondisi yang normal, kedua orangtuanya tetap diberikan hak untuk mengunjungi anaknya, kecuali ada surat yang menyatakan mereka dilarang atau harus didampingi supervisor. Untuk kedua hal yang terakhir biasanya dikarenakan kedua orangtuanya pernah melakukan kekerasan atau kejahatan terhadap anaknya, atau punya problem kejiwaan yang bisa membahayakan si anak.
Jessica, pelayan kulit putih yang bekerja di restoran pernah mengalami menjadi Foster Child. Ia menceritakan betapa sedihnya ketika harus dipisahkan dari ibu tercintanya gara-gara si ibu tak mampu menyediakan tempat tinggal semenjak ayahnya masuk penjara gara-gara terlibat narkoba. Tercerabut dari keluarganya dirasa Jessica sangatlah menyakitkan. Ia harus meninggalkan apa-apa yang telah menjadi keseharian hidupnya, tempat tinggalnya, ibu tercintanya, sekolahnya, teman-teman dan tetangganya, untuk ditempatkan di rumah orang tua asuh.
Walau orang tua asuh Jessica amat sayang dan perhatian tapi ia tetap saja merasa kehilangan ibunya. Ia selalu cemas, merasa tak pasti masa depan hidupnya, dan takut tak bisa hidup bersama ibunya lagi. Ia sering merasa marah, pedih sebagai ekspresi dari rasa kehilangan seseorang yang dicintainya.
Anak-anak butuh seseorang untuk bersandar, ibarat mereka adalah anak harimau yang ditinggal mati induknya di tengah padang tandus yang menyengat, sedangkan mereka belum punya bekal untuk bertahan hidup. Dan negaralah sebagai harimaunya ketika induk biologisnya absen.
Aku jadi teringat sebuah adegan film tv yang menggambarkan seorang ibu tua yang sedang memandangi tembok yang penuh foto-foto anak asuhnya, foto-foto anak-anak tanpa dosa, yang dibesarkannya dengan perasaan tulus kasih seorang ibu, dijauhkan dari trauma, dan hingga kini si ibu tua itu masih dikunjungi oleh anak asuhnya. Diantara mereka ada yang menjadi dokter, pengacara, dan agen penyelidik. Betapa mulianya si ibu walau mereka bukan anak kandungnya sendiri.
Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelapdi Amerika