Coyote
adalah sejenis anjing liar yang ganas, mirip srigala, punya daya
endus yang hebat dan efisien dalam membunuh mangsanya. Binatang ini
banyak ditemui di Dataran Amerika hingga Kanada.
Dalam dunia penyelundupan manusia, human trafficking, terutama di daerah perbatasan Mexico dengan Amerika Serikat dikenal istilah Senor Coyote, dia bukan anjing melainkan orang yang pekerjaannya memandu rombongan orang orang gelap masuk ke Amerika. Pekerjaan ini dibayar mahal karena memang tugasnya cukup berat. Membawa rombongan imigran gelap menempuh perjalanan berat selama berhari-hari melewati gunung-gunung, menyebrangi sungai, padang bebatuan, atau padang pasir. Garis batas sepanjang 8000 miles dari Tijuana dekat California turun ke Juares dekat New Mexico sampai Matamoros dekat Texas adalah lahan pekerjaan Senor Coyote.
Ibarat
Rambo yang menguasai medan, tahu seluk beluk menghapus jejak, tahu
menghindar dari sergapan musuh, perjalanan melintasi perbatasan
adalah sesuatu hal yang mendebarkan. Mereka harus tahu kapan
berangkat, kapan istirahat, dari daerah mana mereka masuk Amerika,
juga menghindar atau bersembunyi dari patroli petugas perbatasan.
Ketika
helikopter melintas, mereka harus tiarap, menutupi tubuh mereka
dengan selimut atau bersembunyi di semak semak pohon perdu, tak boleh
menyalakan api unggun, memasak dan membuang bungkus sisa-sisa
makanan. Dan ketika mereka berjalan lagi, orang terakhir harus
menghapus bekas jejak langkah mereka dengan ranting-ranting
pohon.
Tukang cuci piring di restoran tempatku bekerja bernama Jose cerita bahwa untuk bisa masuk ke Amerika dia harus bayar 7000 dollar pada mafia penyelundup di Tegucigalpa ibukota Honduras. Jose dulunya adalah kuli pemetik jeruk dengan bayaran 5 dollar sehari di kampung halamannya di sebuah kota kecil di Honduras. Lelaki muda dan ganteng serta bermata biru itu barangkali kalau di Indonesia sudah jadi bintang iklan dan jadi pujaan banyak wanita.
Tukang cuci piring di restoran tempatku bekerja bernama Jose cerita bahwa untuk bisa masuk ke Amerika dia harus bayar 7000 dollar pada mafia penyelundup di Tegucigalpa ibukota Honduras. Jose dulunya adalah kuli pemetik jeruk dengan bayaran 5 dollar sehari di kampung halamannya di sebuah kota kecil di Honduras. Lelaki muda dan ganteng serta bermata biru itu barangkali kalau di Indonesia sudah jadi bintang iklan dan jadi pujaan banyak wanita.
Ketika kutanya butuh paspor untuk melintasi tiga negara, Salvador, Guatemala, dan terakhir Mexico, Jose yang hanya bisa bahasa Spanyol dan buta huruf itu menjawab, " No necesidad de pasaporte, solo dinero." Nggak butuh paspor, hanya uang saja. Seolah jawaban Jose ingin menggambarkan bahwa untuk melintasi ketiga negara tersebut si Coyote Honduras akan mengurus mereka dengan aman dan nyaman layaknya seorang travel guide alias pemandu wisata yang akan memandu mereka melintasi 3 negara.
Tapi janganlah dibayangkan para pelintas batas itu mau pesiar seperti turis-turis berkantong tebal, melainkan mereka lebih mirip pengungsi. Jose si tukang cuci piring ketika kutanya hanya berbekal 1000 lempira mata uang Honduras yang kira-kira setara 50 US dollar. Sepanjang perjalanan Honduras – Mexico yang memakan waktu kurang lebih 8 hari dengan mengendarai mobil van, mereka hanya dijatah makan sehari sekali oleh Senor Coyote. Kalau ada dari mereka yang protes, rewel atau menyusahkan selama perjalanan, si Coyote tak segan-segan bersikap kasar dan menurunkannya di jalan.
Ketika mereka kelelahan dan kelaparan saat menginap di Guatemala, mereka tak boleh keluar rumah untuk membeli makanan atau minuman. Bisa bisa nanti mereka ditangkap petugas karena tak punya paspor. Selama perjalanan Honduras - Mexico mereka selalu kucing kucingan dengan aparat imigrasi atau menyuap kepada oknum petugas polisi yang mencegat di jalan.
Setelah sampai di Mexico, Jose bercerita bahwa mereka masih harus menunggu selama berhari-hari dan ditampung di sebuah rumah, berganti Coyote Mexico lain yang akan mengurus mereka hingga masuk Amerika. Di sini banyak polisi yang berpatroli, mencari-cari orang gelap yang akan menyeberang ke Amerika, aparat tahu bahwa daerah-daerah tertentu adalah “surga”nya mafia pemberangkatan para pelintas-batas. Jose dan kawan-kawan lebih banyak mengeram di rumah.10 hari mereka tersekap dalam ruangan sempit menunggu saat yang tepat untuk melewati perbatasan Mexico - Amerika.
Ketika kutanyakan darimana mereka berangkat. Jose hanya menjawab, “No saber” alias nggak tahu. Layaknya seseorang yang bermimpi di suatu tempat yang awam baginya, yang tak tau mana Utara mana Selatan, yang bisa dia ceritakan hanyalah dia berjalan bersama rombongan melewati pinggir sungai selama berjam – jam, dan ketika sungai itu mulai menyempit dan dangkal -- mereka menyeberang. Setelah itu mereka menemui rintangan alam -- padang tandus berbatu. Mereka berjalan di bawah sengatan matahari yang panas. Seseorang amat mudah tertinggal dari rombongan dan tersesat karena mengalami dehidrasi, kelelahan, dan tak jarang mereka tidur sambil jalan. Saat mereka berasa lapar, si Coyote hanya bilang, “momento”, nanti di pemberhentian selanjutnya akan mendapatkan makanan. Tapi apa yang dijanjikan Tuan Coyote hanyalah bualan belaka. Ketika mereka istirahat dan tak mendapatkan makanan, si Coyote mengulangi lagi kata-katanya dengan bilang, .. nanti, ....nanti, sampe Jose dan teman-teman lainnya merasakan kelaparan yang amat sangat.
Malam menjelang, rombongan mereka yang berjumlah 20 an orang itu istirahat di daerah perbukitan, udara sangat dingin dan tak boleh menyalakan api unggun. Ketika kutanya Jose, jika ada salah satu orang yang sakit, “una persona enfermo”, sambil aku memperagakan orang yang sakit, “todo personas ayuda”? Apakah semua teman-teman membantu? Sambil aku memperagakan gerakan memapah kemudian menggendong.
Jose
dengan santainya menjawab, “Nada”, Enggak ada. Sambil dia
memperagakan lambaian tangannya dan bilang “Adios - Amigo”,
Slamat tinggal, kawan. Yaa, mereka “terpaksa” meninggalkan si
sakit, sambil Jose menambahkan ucapannya, “para perro”, alias si
sakit biar untuk mangsa anjing liar. Sungguh ironis, betapa kerasnya
hidup mereka hingga tak tersisa sedikitpun jiwa tolong menolong
antar sesama yang sedang mengalami kesusahan. Banyak para pelintas
batas ditemukan mati setiap tahunnya, entah itu tersesat, kehabisan
bekal, atau sakit.
Dan
setelah berjalan kaki selama 3 hari akhirnya mereka bisa memasuki
Amerika. Sebuah truk yang disupiri Coyote Amerika sudah siap
menunggu mereka di kegelapan malam. Rasa letih dan lapar tiba-tiba
sirna. Mereka tak peduli lagi dengan keadaan yang compang camping
kepayahan. Rasa gembira dan sorak sorai kemenangan memenuhi hati
mereka. Gembira karena separuh impiannya untuk bisa keluar dari
kemiskinan telah tercapai. Mereka membayangkan segera bisa bekerja di
restoran, atau di jasa konstruksi, atau jadi tukang
bersih-bersih gedung perkantoran. Dalam benak mereka terbayang
bayaran 80 dolar sehari, 16 kali lipat dari yang selama ini mereka
dapatkan di negeri asalnya. Tak sia-sialah usaha mereka sampai
mempertaruhkan harta dan nyawanya.
Perjalanan ke tujuan akhir Maryland masih memakan waktu sehari. Baru saja truk keluar dari jalan tanah berbatu tiba-tiba mereka dikepung oleh gabungan petugas perbatasan. Semua imigran gelap yang berjumlah 20 orang itu disuruh keluar, dijejerkan secara berderet dengan tangan ke atas. Tampak wajah mereka kecewa bercampur sedih. Impian untuk bekerja dan hidup layak di Amerika pupus sudah. Mereka digiring ke penjara imigrasi. di data asal negaranya, direkam identitas tubuhnya, di check pernah berbuat kriminal di Amerika sebelumnya. Dan nasib Jose selanjutnya berakhir di penjara, ia mendekam selama 20 hari sebelum ia dipulangkan ke Honduras bersama-sama imigran gelap dari negaranya.
40 hari perjalanan menempuh bahaya yang “gagal” tak menyurutkan niat Jose untuk tetap kembali mencoba masuk Amerika. Tiga bulan berikutnya dia mengulangi lagi dan berhasil. Perjuangan yang luar biasa dahsyat itu diceritakan Jose dengan nada enteng, tanpa beban, sungguh ekspresi wajahnya seolah-olah dia hanyalah seorang pecinta alam yang sedang napak tilas, naik gunung dan menyeberangi sungai saja. Atau memang dia sudah terbiasa ditempa dengan kerasnya hidup sehingga menjadikannya lebih “rileks” mensikapi hidup ...
Perjalanan ke tujuan akhir Maryland masih memakan waktu sehari. Baru saja truk keluar dari jalan tanah berbatu tiba-tiba mereka dikepung oleh gabungan petugas perbatasan. Semua imigran gelap yang berjumlah 20 orang itu disuruh keluar, dijejerkan secara berderet dengan tangan ke atas. Tampak wajah mereka kecewa bercampur sedih. Impian untuk bekerja dan hidup layak di Amerika pupus sudah. Mereka digiring ke penjara imigrasi. di data asal negaranya, direkam identitas tubuhnya, di check pernah berbuat kriminal di Amerika sebelumnya. Dan nasib Jose selanjutnya berakhir di penjara, ia mendekam selama 20 hari sebelum ia dipulangkan ke Honduras bersama-sama imigran gelap dari negaranya.
40 hari perjalanan menempuh bahaya yang “gagal” tak menyurutkan niat Jose untuk tetap kembali mencoba masuk Amerika. Tiga bulan berikutnya dia mengulangi lagi dan berhasil. Perjuangan yang luar biasa dahsyat itu diceritakan Jose dengan nada enteng, tanpa beban, sungguh ekspresi wajahnya seolah-olah dia hanyalah seorang pecinta alam yang sedang napak tilas, naik gunung dan menyeberangi sungai saja. Atau memang dia sudah terbiasa ditempa dengan kerasnya hidup sehingga menjadikannya lebih “rileks” mensikapi hidup ...
Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap di Amerika