Tirto
Projo, begitulah nama yang tertera dalam pasporku, juga visa pelaut yang
dikeluarkan oleh Kedutaan Amerika di Jakarta, tapi sungguh itu bukan identitas
diriku sebenarnya. Awalnya aku mendaftarkan diri untuk permohonan visa turis
dengan memakai nama asliku, Joko Lelono, sama persis seperti yang tertera di
akte kelahiranku.
Kata
beberapa orang yang pernah berurusan dengan Kedutaan Amerika -- untuk
mendapatkan visa kunjungan ke Amerika sulitnya setengah mati. Walaupun si
pemohon sudah menyertakan bukti penguat seperti mengikuti tour wisata ke
Amerika, diundang untuk hadir dalam sebuah seminar, diundang berkunjung oleh
warga Amerika, atau undangan untuk menghadiri wisuda anaknya, semuanya itu
bukanlah jaminan. Petugas pewawancara tak pandang bulu apakah pemohonnya
seorang Artis, Pengusaha, Jendral atau sekedar Kepala Desa, semua sama di mata
mereka. Hak untuk menentukan siapa yang diloloskan siapa yang ditolak ada di
tangan mereka. Celakanya mereka diberi kebebasan untuk tidak menjelaskan alasan
penolakan tersebut. Siapa sangka artis papan atas Indonesia yang terkenal dan
kaya raya berkali-kali ditolak permohonan visanya -- sampai ia merasa trauma,
juga seorang jendral yang mencak-mencak di Kedutaan karena visa pesiarnya
ditolak. Sepertinya para pewawancara lebih mengandalkan intuisinya untuk
memberikan keputusan menerima atau menolak.
Maka
tak ada salahnya kalau aku mencoba peruntunganku, siapa tahu permohonan visaku
lancar - seperti yang pernah dialami Pak Parman, lelaki paruh abad tetanggaku
di Kali Baru yang cenunak - cenunuk alias lugu, tak bisa berbahasa
Inggris, tapi dengan keluguannya itu ia bisa meluluhkan hati mereka.
Ketika
kutanyakan hal itu kepada Pak Parman, apa yang dilakukan ia di depan petugas
pewawancara kok sepertinya amat mudah? Pak Parman menjawab dengan simpel, aku
berdoa terus di depan petugasnya, dik Joko. Berdoa kepada Tuhan semoga si
petugas tergerak hatinya meluluskan permohonan visa-ku. Dan semuanya terjadi
begitu saja, teramat sederhana dan tak berbelit-belit. Pak Parman yang tak
punya pangkat apa-apa, tak punya harta melimpah, pensiunan pegawai negeri
rendahan, ternyata dengan mudah mendapatkan visa ke Amerika.
Foto-foto
Pak Parman yang bergaya di Patung Liberty, New York adalah bukti dia pernah ke
sana, juga kulihat di album fotonya ketika ia mengunjungi Hollywood Boulevard
-- trotoar yang berisi jejak nama pesohor terkenal di Amerika. Dalam fotonya ia
jongkok sambil mengacungkan jempolnya di depan nama John Travolta.
Pak
Parman lantas menceritakan ketika ia kabur dari rombongan di hari terakhir
pesiarnya dan dijemput oleh Jerry, teman si agen Indonesia yang berjanji untuk
menampung dan mencarikan pekerjaan. Tapi sayang bagi pak Parman (berusia 55
tahun waktu itu) mendapatkan pekerjaan di Amerika bagi seusia dia sama susahnya
untuk mendapatkan visa Amerika bagi orang-orang yang pernah ditolak. Bagi usia
yang mulai menua dengan tenaga yang tak sekuat dulu, tulang belulang yang mulai
keropos, ditambah tak cakap berbahasa Inggris, Pak Parman harus bersaing keras
dengan imigran gelap asal Amerika Tengah yang masih muda, berbadan kekar, dan
mau dibayar murah. Sungguh ibarat seseorang diterjunkan dan tersesat dalam
hutan belantara yang masih perawan, tak ada peta, tak ada kompas, dan pisau
komando, hanya naluri bertahan hiduplah yang akan menuntun Pak Parman untuk
bisa survive.
"
Sawang sinawang, dik Joko ", kata pak Parman, " waktu itu aku
mudah mendapatkan visa, tapi mati-matian waktu cari pekerjaan. Banyak restoran
yang menolak pegawai tua seperti saya. Tapi alhamdulillah semuanya Gusti Allah
yang ngatur."
Dan
cerita Pak Parman yang lugu dan sederhana itu menambah semangatku untuk
merantau ke Amerika.
++++
++++
Ketika
pertamakali memasuki gerbang Kedutaan Amerika perasaanku seolah sudah berada di
Amerika walau sebetulnya aku tahu itu adalah tetangganya stasiun Gambir.
Beberapa bangunan utamanya yang angker, juga petamanan yang ditata rapi menyatu
dengan beberapa pohon tua membuat atmosfir yang kurasakan memang terasa beda.
Ketika aku memasuki ruangan pemeriksaan yang dijaga tentara Amerika yang tegap
serta berwajah angker hatiku deg-degan, mereka tak banyak ngomong, hanya
nadanya yang keras berisi instruksi ala militer agar semua pengunjung
meletakkan barang- barang logam dan tas ke mesin scan.
Rupanya
beginilah aura yang disebut Negara Super Power, negara Adi Daya. Negara yang
sering diprotes oleh para demonstran. Entah itu rombongan bersorban dari
berbagai ormas Islam yang meneriakkan yel yel Amerika antek Yahudi, atau
rombongan nasionalis yang meneriakkan yel yel Amerika Neokolonialis, si
penjajah gaya baru. Mereka mulai membakar karikatur presiden Amerika, merangsek
ingin masuk halaman Kedutaan Amerika. Pasukan Anti Huru - hara datang untuk
membuat barikade, juga panser serta mobil water canon yang siap menyemprotkan
air untuk membubarkan para demonstran. Dan keangkuhan itu tak sedikitpun
bergeming.
Maka
keangkuhan yang sama ditunjukkan oleh seorang lelaki tua kulit putih petugas
kedutaan yang menginterview aku, ia dengan ketus bertanya," untuk apa Anda
ingin ke Amerika?"
Kujawab,"
Aku ingin pesiar. Ke Las Vegas, Grand Canyon, Disneyland, dan Hollywood."
"
Hmmm " , gumam dia lantas kembali bertanya," Anda bekerja di
mana?"
"Aku
masih kuliah", kataku sambil kutunjukkan kartu mahasiswaku yang masih
berlaku.
"Maaf
permohonan visa Anda kami tolak", kata Si orangtua kulit putih itu tanpa
basa-basi.
Ternyata
peruntunganku jeblok, walau aku sudah menyertakan bukti penguat dengan
mengikuti tour wisata ke Amerika dari biro travel ngetop di Jakarta tapi tetap
saja permohonan visaku ditolak.
Aku
harus mendaftar ulang lagi, dan itu berarti aku harus mengeluarkan uang yang
tak sedikit. Saat itu Amerika belum menerapkan sistim keamanan secara ketat.
Andai kita pernah ditolak permohonan visanya maka data diri kita akan ada
bersama catatan penolakannya dalam database komputer selama 4 bulan. Entah
kebenarannya sampai dimana aku percaya ucapan orang-orang itu dan kemudian
mengganti identitas diriku merubah namaku, membuat KTP baru, dan paspor baru.
Namaku berubah menjadi Wicak Jodhi. Dan kini aku hanya bisa menunggu barangkali
beberapa minggu lagi akan dipanggil untuk wawancara.
+++
Dini
hari sebelum besok jadwal wawancara aku sudah datang ke daerah Gambir Monas.
Aku ingin datang awal supaya bisa dapat antrian yang terdepan. Sebelum ini
aku datang mendekati jam buka kantor dan dalam proses menunggu hingga
sore hari aku tak kebagian giliran. Ternyata daya tarik Amerika mampu menyedot
orang-orang rela berpanas-panasan dan mandi matahari untuk mengantri.
Malam
itu udara terasa panas, di depan gerbang Kedutaan Amerika sudah ada lin
antrian. Beberapa kutahu mereka tenaga sewaan dan ketika pagi tiba -- si Tuan
datang dan langsung merogoh koceknya memberikan beberapa lembar 50.000 dan
segera menggantikan tempatnya.
Dari
beberapa cerita yang kudengar, kini aku makin mengenal beberapa trik ketika
wawancara. Selain aku mengikuti paket wisata ke Amerika, aku juga menyertakan
Surat Pengantar dari salah satu Perusahaan terpandang di Indonesia yang
menyatakan aku sebagai karyawan dengan jabatan Manager yang ingin berpesiar ke
Amerika. Dan tak lupa aku juga menyertakan copy saldo rekening bankku yang
jumlahnya cukup banyak. Tentunya semua surat keterangan itu palsu.
Mungkin
dengan cara seperti itu si pewawancara akan punya pikiran bahwa aku tak bakalan
menjadi imigran gelap di Amerika karena aku punya pekerjaan bagus dan cukup
uang untuk sebuah kehidupan mapan di Indonesia.
Kulihat
si pewawancara masih muda, sopan, dan dapat berbahasa Indonesia dengan lancar.
Dia menyapaku apa kabar dan kujawab dengan ramah. Lantas dia sibuk membaca
dokumenku, membolak - balik beberapa formulir, dan menanyaiku dengan singkat,
" Sudah berapa lama kerja di PT. A ."
"
Satu tahun.", jawabku.
Si
bule itu manggut-manggut. Tak lama terdengar suara sopan diseberang loket
tetapi kudengar bagai kilat menyambar telingaku," Maaf kami menolak
permohonan visa Anda."
Dan ini kali kedua aku
gagal mendapatkan visa Amerika. Aku kecewa, peruntunganku tak sebesar Pak
Parman. Barangkali benar juga cibiran orang tentang susahnya masuk Amerika,
"Lebih gampang masuk surga daripada masuk Amerika." Tapi ya sudahlah,
karena setelah kunalar akhirnya aku mendapatkan jawaban kenapa si petugas
itu menolak visaku, ya karena menurut logika, tak masuk akal kalau baru bekerja
satu tahun sudah dapat bonus pesiar ke Amerika.