Surat
panggilan kerja dari sebuah perusahan kapal pesiar kondang di Amerika membuat
hatiku berdebar-debar. Hal ini sebetulnya terjadi secara kebetulan. Pak
Parmanlah yang memperkenalkan aku dengan Hendro, ia saudara jauh Pak Parman
yang pernah merantau ke Amerika sebagai pelaut. Hendro telah malang melintang
bekerja di beberapa kapal pesiar seperti Royal Caribbean, Holland America Line,
dan Carnival Cruise.
Ketika
Hendro menunjukkan kepadaku surat panggilan kerja dari sebuah perusahaan kapal
pesiar kondang di Amerika, aku sedikit bingung memahaminya. Hendro meyakinkanku
bahwa surat panggilan kerja ini asli, asli dari saudaranya di Amerika yang
punya jabatan dalam perekrutan tenaga kerja di kapal pesiar. Memang kudengar
banyak sekali pelaut-pelaut asal Indonesia yang bekerja di kapal pesiar baik
rute Asia, Eropa maupun Amerika. Ya tapi surat undangan itu bukan atas namaku,
di situ tertera nama Tirto Projo, bagaimana aku bisa memakai itu untuk diriku?
Hendro menjelaskan bahwa masalah identitas adalah hal yang mudah dipalsukan di
Indonesia. Mulai dari KTP sampai paspor, semua bisa dibikin asal ada uang. Dan
posisi yang akan kuisi atas nama Tirto Projo, kata Hendro adalah tukang
bersih-bersih kamar. Tirto Projo sendiri (kata Hendro) tak jadi berangkat ke
Amerika. Hendro kemudian menjelaskan bahwa prosedur prescreening dan
interview bersama perwakilan perusahaan sudah tak diperlukan lagi, ia lantas
menunjukkan masa kontrak kerja yang berlaku dan surat garansi dari bagian
perekrutan tenaga kerja yang telah ditandatangani.
"
Hanya tinggal proses pengajuan visa ke Kedutaan Amerika." kata Hendro
seolah meyakinkan aku.
Aku
mulai tergiur dengan ajakannya. Keinginan pergi ke Amerika yang telah kukubur
dalam-dalam kini menyeruak lagi. Disaat bersamaan timbul juga rasa khawatirku
bagaimana menyampaikan semua itu kepada paman dan ibuku. Aku yakin paman akan
kecewa dengan niatku untuk merantau ke Amerika. Paman sudah terlanjur
mempercayai aku untuk menjalankan usaha percetakannya. Apalagi aku baru saja
meminta seperangkat komputer dan scanner yang lebih canggih untuk
keperluan disain grafis. Kalau kutinggalkan siapa yang akan mengerjakan
order-order yang mulai menumpuk?
Aku
tak tahu pasti apakah Hendro berbohong tentang surat panggilan kerja itu, aku
sungguh awam tentang seluk beluk mendaftar jadi pelaut di kapal pesiar. Tapi
entah seperti aku tersihir kekuatan magis, aku menuruti kata-kata Hendro. Aku
mulai membuat KTP baru dengan meminta tolong Pak Usup hansip desa. Setelah itu
aku membuat paspor baru dan buku pelaut lewat calo di Tanjung Priok. Untuk
identitas baru, namaku kini berubah menjadi Tirto Projo sesuai dengan nama yang
tertera di surat panggilan.
Ketika
menurutku saatnya sudah tepat, maka kusampaikan keinginanku merantau ke Amerika
pada paman, ia langsung tak setuju. Ia membujuk aku dengan mengatakan bahwa
Hendro mau menipuku. Ketika aku bersikeras ingin pergi kesana, sekaligus
kusampaikan niatku untuk meminjam uang sejumlah 40 juta rupiah, paman berbalik
marah. "Kamu ponakan celaka ...Apa yang membuat otakmu diracuni
iming-iming Amerika? Selama ini kamu buang-buang uang ibumu hanya untuk ngurus
visa yang nggak ketahuan juntrungannya. Sekarang kamu minta
pinjam uang paman; bukankah kamu tahu semua uang paman sudah habis buat beli
mesin cetak, komputer grafis, dan peralatan lain? Niatmu nggak berkah;.. mau
jadi gelandangan di sana??"
Aku
tak menjawab. Aku hanya diam dan pergi meninggalkan paman di ruang makan. Di
dalam kamar aku merenungkan kembali niatku pergi ke Amerika. Ada rasa berdosa
ketika tiba-tiba aku meninggalkan semua apa yang telah aku rintis bersama paman
dalam memajukan usahanya. Disisi lain ada perasaan menggebu-gebu dalam diriku,
keinginan untuk menjamah Amerika. Entah kekuatan gaib apa, ibarat Amerika
adalah seorang gadis molek berkaki jenjang, sungguh membuat aku gelap mata
ingin memburunya. Kuhitung-hitung jumlah
tabunganku, hanya ada 30 juta. Sementara Hendro mematok harga 60 juta, aku
berpikir keras bagaimana cara mencari sisa kekurangannya.
Waktu
terus berjalan dan aku dikenalkan Hendro kepada Pak Amin saudara sepupunya yang
katanya "orang dalam" yang akan membantu dan mendampingi aku untuk
mengetahui seluk beluk bekerja di kapal pesiar. Sementara aku berpikir keras
mencari pinjaman uang, aku (karena awam dan tak tahu apa-apa tentang bekerja di
kapal pesiar) ada baiknya menuruti anjuran Pak Amin untuk mengikuti kursus BST
alias Basic Safety Training tentang dasar-dasar keselamatan kerja yang
disyaratkan oleh calon-calon pelaut. Mulai dari menghadapi kebakaran dan cara
mengatasinya, Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan, cara-cara pengamanan sampai
menyelamatkan diri jika kapal mengalami musibah. Aku juga disuruh ikut tes
Marlin, tes wajib bahasa Inggris untuk para kru kapal, secara nanti aku harus
bisa berinteraksi dengan tamu-tamu kapal pesiar, juga dengan kru kapal yang
berasal dari berbagai negara. Beberapa surat pengalaman kerja dari hotel amat
mudah kupalsukan dengan bantuan komputer grafis dan mesin pencetak paman.
Untuk
tes kesehatan dan biaya tiket pesawat aku memberikan uang 2000 dollar kepada
Hendro. Dari beberapa cerita bahwa tiket pesawat ditanggung maskapai kapal
pesiar, aku tak bertanya lebih lanjut kepada Hendro. Aku masih punya hutang 30
juta rupiah kekurangannya dan akan kulunasi setelah aku dapat "visa
pelautku".
Lewat
jasa Pak Amin, aku kini tinggal menunggu jadwal interview visa. Tes kesehatanku
dinyatakan layak, dan kini tibalah aku mengantri untuk ketiga kalinya di depan
Kedutaan Amerika. Kali ini bersama teman-teman pelaut yang akan wawancara visa.
Ya jumlahnya banyak ... Orang Indonesia memang terkenal dalam dunia pelayaran.
Puluhan ribu orang Indonesia tersebar ke berbagai penjuru dunia entah itu kapal
pesiar, kapal tanker atau kargo. Ada yang sedang bersandar di Peru, Liverpool,
Korea, atau Bahama, atau ada yang sedang cuti di kampung halamannya. Tak begitu
salah (ternyata) dengan lagu Nenek Moyangku seorang pelaut, bahwa dari akar
sejarahnya -- di dalam tubuh kita memang ada jiwa Bahari. Orang-orang kapal
senang melihat cara kerja orang Indonesia yang rajin, penurut, dan bisa
diandalkan.
Dan
ketika rombongan calon pelaut satu persatu mulai diinterview, timbul rasa
deg-degan di hatiku. Trauma menghantui diriku. Aku tak bisa membayangkan andai
permohonan visaku ditolak lagi. Sudah puluhan juta kuhabiskan dan aku tak bisa
berpikir lagi andai yang ketiga ini gagal.
Terdengar dari balik loket seorang lelaki bersuara ramah," Sugeng
enjing..." selamat pagi."
Aku kaget orang bule itu kok ngomongnya bahasa Jawa," Saged
basa Jawai to Pak? " -- Bapak bisa bahasa Jawa ternyata.
" Lha aku wis tau urip nang Jogja je .... Japhe methe dab !!!
(slank bahasa jogja: kanca dewe .. mas)." Aku pernah tinggal di Jogja.
Aku tersenyum, rasa takutku cair sambil manggut-manggut keheranan.
Rupanya dia tau aku dari Jogja, membaca pasporku, namaku yang Jawa (banget) -
Tirto Projo, juga tempat dan tanggal lahirku yang asli Jogja.
Ketika dia membolak balik semua dokumen pelaut kepunyaanku, dia tak
banyak mengajukan pertanyaan. " Mas Projo ... Slamet ...panjenengan
siap - siap bidal Amerika njih." Mas Projo .. Selamat ... Anda
siap-siap berangkat ke Amerika ya.
"
Oh matur nuwun Pak dhe." Oh terima kasih Pak dhe, jawabku kegirangan.
Kali ini proses wawancara visa nampaknya sekedar formalitas belaka. Hatiku
girang bukan kepalang. Keberuntungan sedang berpihak kepadaku, aku serasa
terbang ke awan-awan, hatiku berdesir seakan mendapat perhatian dari gadis
molek berkaki jenjang, ia tak bertepuk sebelah tangan. Aku seperti tersihir
dengan kekuatannya, akan kukejar terus dirimu Amerika ...