Bandara Soekarno Hatta menjadi pertemuan terakhirku dengan paman. Wajahnya
tampak kecewa walau ia berusaha menutupinya. Ibu juga terlihat sedih anak
tertua yang kelak jadi andalan keluarga, jadi tempat berbagi suka dan duka akan
pergi meninggalkannya.
Aku
kembali teringat betapa paman sangat bijaksana menghadapi kerasnya keinginanku
untuk merantau ke Amerika. Ya, aku telah mengecewakan paman dengan tindakanku
meninggalkan bisnis percetakan yang sudah mulai besar, dan kedua (yang aku
merasa sangat malu) saat aku memohon-mohon pada paman untuk dipinjami uang guna
melunasi sisa hutangku kepada Hendro. Aku kalang kabut minta tolong kepada
siapa lagi. Jelas ibu tak punya uang sebanyak itu untuk menutup hutangku. Aku
sempat mengutarakan kepada Haji Uung untuk pinjam uang tapi dia bilang tak
punya. Pikiranku kalut saat Hendro dan Pak Parman mulai menagih kekurangan
pembayaranku. Paman saat itu hanya terdiam, tak bicara apa-apa.
Aku
putus asa; cara apalagi yang harus kutempuh? Permintaanku kepada Hendro untuk
mengangsur kekurangan uang ketika aku sudah kerja di Amerika tak bisa dipenuhi.
Uang itu katanya akan dibagi-bagi kepada orang dalam, mereka sudah menagih. Aku
putus asa, sempat terlintas dalam kepala niat untuk membatalkan
keberangkatanku. Tiket pesawat akan kuuangkan untuk membayar utangku. Dalam
detik-detik terakhir kegalauanku tiba-tiba paman mengajak aku bicara.
"
Ini bukan duit paman ... Ambillah. Paman mati-matian cari pinjaman ini, ...
Haji Uung yang berbaik hati meminjami. Berangkatlah ke Amerika kalau kamu yakin
di sana kamu akan menjadi lebih baik."
Aku
terharu mendengar perkataan paman, kebaikan paman. Tak terasa air mata keluar
dan menghilangkan segala beban berat di dadaku. " Aku akan segera lunasi
uang pinjaman ini setelah aku dapat kerjaan." kataku meyakinkan paman.
Jujur dalam hati kecilku aku malu sekaligus merasa bersalah kepada paman, juga
kepada diriku sendiri. Semestinya aku tak boleh gegabah waktu pertamakali
menerima tawaran Hendro. Aku juga mestinya tak boleh mengandalkan paman untuk
melunasi hutangku. Andai aku tak bisa membayar hutangku tentu aku akan dicap
sebagai penipu, tak bisa menepati janji. Hampir saja aku terjerumus ke dalam
tindakan kriminal. Untung paman menolongku, aku tak akan lupa dengan jasa
baiknya.
Terminal Keberangkatan
Luar Negeri menjadi tempat terakhir aku berpisah dengan paman dan ibu. Kepada
keduanya aku sungguh-sungguh meminta doa restu dan keikhlasannya. Aku tak kuat
menahan air mata yang mulai mengambang. Segera aku berbalik dan masuk ke dalam
bandara.