Kakiku
masuk ke dalam pesawat yang akan membawaku ke Singapore. Aku mengikuti Hendro
yang berjalan santai di depanku. Dia sudah terbiasa bepergian jauh dengan
pesawat, kali ini adalah yang ketiga kalinya ia ke Amerika. Tak ada rasa takut
dan canggung dalam menghadapi para petugas bandara dan kru pesawat. Bagiku
melihat pesawat dari jauh adalah hal yang biasa, aku dulu kos di dekat jalur
naik turunnya pesawat di Bandara Adi Sucipto Jogja. Tapi urusan naik pesawat
aku belum pernah sama sekali. Saat itu aku hanya bisa membayangkan betapa asyik
terbang bersama burung besi meliuk-liuk menembus awan, menerjang badai, dan
melaju tenang di ketinggian.
Hari
ini adalah pertama kali aku terbang dan tak tanggung-tanggung jarak yang akan
kutempuh 15.000-an km. Aku duduk di kelas ekonomi dekat sayap sisi jendela.
Hendro mengajari aku cara memakai sabuk pengaman, juga cara merebahkan kursi.
Hatiku berdebar ketika ada pemberitahuan pesawat segera lepas landas. Sabuk
pengaman sudah kukenakan dari tadi dan kini kuperiksa kembali sembari
mengencangkan perutku. Perasaan takut menyergap diriku. Ketika bunyi bising
mesin jet mulai mendengung keras, roda-roda pesawat mulai terasa kencang melaju
di atas landasan pacu, ketakutanku makin menjadi-jadi. Benar tingkat keamanan
menggunakan pesawat jauh lebih aman daripada mengendarai mobil, tapi kalau
sekali celaka dampaknya bisa dipastikan fatal. Dan ketika pesawat mulai
terangkat oleh angin perutku terasa berdesir, jantungku seakan meloncat.
Moncong yang mendongak ke atas bergoncang ketika menembus awan tebal yang
menggantung di atas langit.
Tak
lama posisi pesawat datar dan aku merasa lega, barangkali ini sudah di
ketinggian. Suara dari kabin pilotpun sudah memperbolehkan kita melepas sabuk
pengaman. Kulihat di kejauhan kerlap kerlip cahaya kapal di laut Jawa. Hatiku
mulai agak tenang, Hendro yang duduk di sebelahku mulai sibuk dengan menyetel
film-film yang ada di layar kecil di balik punggung tempat duduk. Para
pramugari sudah mulai mondar mandir sepanjang lorong pesawat. Mereka menawarkan
handuk panas untuk membasuh wajah dan tangan. Aku coba pencet-pencet remote
ingin nonton film, Hendro akhirnya memberitahuku cara mengoperasikannya.
Jamuan
makan malam tak lama diantar oleh pramugari yang gesit lagi ayu. Dari gerobak
dorongnya mereka menawarkan kepadaku pilihan ayam atau daging sapi. Mereka juga
menawarkan minuman. Hendro memesan red wine, minuman anggur beralkohol
sedangkan aku pilih jus jeruk. Tak terasa perutku keroncongan, aku belum makan
sejak siang. Kumakan daging ayam dan nasi gurih dengan lahap sambil sesekali
menyeruput jus jeruk. Hendro minta tambah red wine lagi, aku
ikut-ikutan, rasanya pahit.
"
Perjalanan masih panjang, satu jam lagi sampai Singapore. Transit 4 jam
kemudian dilanjut 10an jam ke Frankfurt. Entar nunggu lagi 4 jam di
sana, baru ke Amerika. Total kira-kira 21 jam lagi .."
Hendro
punya pengalaman kerja di kapal pesiar Eropa, ia pernah ke Venesia, Yunani,
Prancis, Belanda, dan Inggris. Pergi bersama dia aku tak merasa khawatir.
Inggrisnya lancar, lagak bicara dan tingkah lakunya sopan. Diapun pandai memuji
dan suka bercanda, pramugari tak keberatan menuangkan gelas ketiga red wine-nya.
Tak
terasa perjalanan ke Singapore hampir sampai, pilot menyuruh penumpang untuk
memakai sabuk pengaman. Kurasakan badan pesawat mulai turun perlahan-lahan,
juga mulai mengurangi kecepatannya, sesekali kurasakan pesawat itu mengerem di
udara, terasa seperti kehilangan daya dorong dan terhenyak kena gravitasi.
Badan pesawat sesekali miring kekiri kanan untuk mensejajarkan sudut pendaratan
dengan landasan. Dan tak lama roda-roda mulai keluar menimbulkan bunyi
gemeretak seakan pesawat akan pecah. Tak terasa roda-roda sudah menyentuh
landasan di bandara Changi, pilotnya sangat pandai dan halus dalam
mengoperasikan burung besi itu.
***
Singapore,
inilah pertama kali aku menginjakkan kaki di luar negeri. Ya, walau hanya
sekedar transit di bandara Changi, tapi tetap saja ini berada di Singapore, aku
menghirup udara dan menjejakkan kakiku di sana, meminum air kran dan
meninggalkan air kencing di toilet.
Teman-teman
pelaut semua berjumlah 12 orang. Kami berjalan beriringan menuju Gate tempat
pemberangkatan pesawat yang menuju Frankfurt. Masih ada waktu empat jam menunggu.
Diantara kami ada team leader yang membawa dokumen perjalanan. Tadi
dalam penerbangan Jakarta - Singapore Hendro sudah wanti-wanti kepadaku untuk
tidak bercerita apapun tentang rencana "Jump Ship" alias kabur dari
kapal. Aku mendengar ada rombongan yang akan menuju Miami dan New York.
Aku melihat-lihat sekeliling bandara Changi yang megah.
Banyak toko-toko yang menjual barang oleh-oleh, ada permen coklat, rokok,
minuman beralkohol, barang elektronik juga barangi-barang bermerk seperti tas,
sepatu, dan jam tangan. Aku tak tertarik sama sekali dengan apa-apa yang
ditawarkan mereka. Uang di saku celanaku hanya 500 dolar, dan aku bukan mau
pesiar, tapi mau merantau. Perjalanan ke Amerika masih jauh. Hendro bilang
bahwa nanti aku akan ditampung di rumah mas Windi di Maryland, dan itu sudah
termasuk dalam perjanjian awal ketika aku sepakat untuk menggantikan Tirta
Projo yang batal mengurus visa.
Hendro juga memberikan jaminan bahwa nanti saudaranya akan mencarikan aku
pekerjaan ketika sudah sampai di Amerika. Yaa, kini aku masih berada di
Singapore, dan uangku hanya 500 dollar. Aku harus berhemat dan uangku akan
kugunakan untuk kebutuhan yang penting saja.