Asylum dalam terminologi hukum keimigrasian AS
adalah Peminta Suaka Politik. Mereka adalah orang-orang dari berbagai bangsa
yang mengajukan dan meminta perlindungan kepada pemerintah Amerika karena
alasan-alasan yang berkaitan dengan pelanggaran hak azasi manusia terhadap
dirinya.
Ketika meletus kerusuhan Mei 98 banyak WNI keturunan
Cina yang lari ke Amerika untuk meminta suaka politik dengan alasan kekerasan
rasial dan kriminal. Banyak dari mereka akhirnya menjadi penduduk tetap dan
kemudian mengajukan naturalisasi menjadi warga negara Amerika.
Tiga tahun berlalu, tepatnya setelah peristiwa 911,
ketika serangan bunuh diri pesawat yang menghujam ke gedung kembar WTC dan
Pentagon, Amerika menjadi paranoid dengan hal-hal yang berbau muslim. Mereka
lantas mengadakan program wajib lapor diri bagi warga negara yang berasal dari
negara - negara yang “dicurigai” ada kaitannya dengan terorisme, Al Qaida, dan
Indonesia termasuk di dalamnya.
Kala itu banyak pendatang gelap merasa ketakutan.
Status mereka yang dicap seolah-olah atau setengahnya "teroris"
membuat nyali mereka ciut. Beberapa dari mereka mengadu ke Kedutaan Indonesia
untuk meminta penjelasan tentang proses wajib lapor dan nasib mereka di
kemudian hari. Saat itu kalau mereka tidak lapor atau mangkir, mereka akan
diburu oleh satgas khusus bentukan Department of Homeland Security. Beberapa
yang ketakutan mematuhi peraturan itu, mereka antri menyerahkan paspornya,
didata, diperiksa, dan yang ketahuan overstay pasrah tinggal menunggu
dideportasi.
Dalam suasana yang kacau dan penuh ketidakpastian,
ada satu cara yang ditempuh para imigran gelap agar bisa tetap bertahan atau
minimal memperpanjang waktu untuk "tinggal" di Amerika, yaitu
mengajukan Suaka Politik. Maka mereka berbondong-bondong mencari tahu pengacara
imigrasi mana yang bisa membantu menangani kasus mereka.
Selalu ada yang bermain. Yaa demikian istilah dalam
dunia abu-abu Imigran Gelap di Amerika. Sebut saja mbak Rani -- yang bekerja
sebagai staff paralegal di sebuah kantor Pengacara Imigrasi di area DC,
Maryland, Virginia -- akhirnya kebanjiran klien dadakan dari imigran gelap
Indonesia.
Mbak Rani mempermudah proses pengajuan Asylum para
pendatang gelap untuk didaftarkan ke Kantor Imigrasi. Mulai dari "karangan
cerita" sampai bukti-bukti yang nantinya akan di review dan diputuskan di
pengadilan oleh hakim urusan keimigrasian. Kenapa disebut karangan
cerita? Karena kebanyakan data dan fakta yang disodorkan ke pengadilan adalah
fiktif alias karangan belaka. Isu yang diangkat kalau kebetulan si pemohon
adalah WNI keturunan Tionghoa maka ceritanya dia "seolah-olah"
menjadi korban sentimen ras, dengan diperlakukan secara kejam, disiksa, atau
diperkosa.
Kalau kebetulan si pemohon adalah orang yang
beragama Nasrani, maka cerita yang akan diangkat bisa bermacam-macam. Mulai
dari dilarang beribadah, dianiaya warga, hingga gereja dibakar.
Andai si pemohon orang Aceh, maka isu GAM-lah yang
diangkat sebagai cerita di pengadilan. Tapi kalau anda orang Purwokerto maka
tidak masuk akal kalau alasannya adalah mau mendirikan Gerakan Purwokerto
Merdeka. Cerita yang masuk akal adalah Anda "seolah-olah" dituduh
sebagai pemasok kebutuhan logistik untuk GAM. Hidup anda merasa terancam karena
dikejar-kejar aparat polisi atau intelijen negara.
Lain lagi kalau si pemohon adalah seorang aktivis
demokrasi, maka tindakan represif dari sang penguasa; lewat agen intelijen,
polisi, atau preman suruhan; lewat tindakan menculik mereka, mengintimidasi,
menganiaya, atau bahkan sampai menghilangkan nyawa.
Salah satu teman dari Indonesia sebut saja Romli
yang dahulu di Indonesia adalah pembalap motor liar yang kerjanya kebut-kebutan
di jalan raya, bahwa ia pernah kecelakaan parah hingga tangan dan kakinya
patah, maka dengan menyajikan foto-foto ronsen yang penuh sambungan pin
diantara kaki dan tangannya sebagai bukti di persidangan, ditambah plintiran
cerita bahwa itu akibat disiksa tentara di masa era Presiden Soeharto, akhirnya
permohonan Asylum Romli disetujui oleh hakim.
Singkatnya, inti cerita dan bukti-bukti yang akan
disampaikan ke hakim haruslah masuk akal, meyakinkan, dan memenuhi kriteria
sebagai korban pelanggaran hak azasi manusia, entah itu berkaitan dengan ras,
agama, kebangsaan, anggota kelompok sosial tertentu, atau pandangan politik
yang berbeda dengan pihak penguasa.
Para pemohon Asylum sadar bahwa rasa nasionalismenya
tengah digadaikan. Mereka mengambil sikap seolah-olah sebagai “musuh” negara
atau”korban” dari sebuah institusi negara. Tujuannya jelas, untuk tetap bisa
bertahan dan mencari nafkah serta hidup di Amerika. Dan kondisi mereka yang
serba belum pasti, yaitu mengambil sikap sebagai musuh Indonesia sekaligus
belum diakui (bahkan bisa ditolak) oleh hakim, para pemohon Asylum tak mau
statusnya diketahui oleh sesama perantau. Mereka takut akan dicap sebagai
“pengkhianat” bangsa.
Aku jadi teringat lagunya Gombloh: Indonesia .. Merah darahku, Putih
tulangku, Bersatu dalam semangatmu. Indonesia ... debar jantungku, Getar
nadiku, Berbaur dalam angan anganmu. Kebyar ... kebyar ... pelangi jingga.
Sekali lagi, hidup memberikan warnanya tak sekedar hitam atau putih melainkan
juga abu-abu.