Ketika restoran sedang sepi di sore hari, teman-teman kerja
sering terlibat pembicaraan ringan, bercanda dan ketawa-tawa. Kali ini
suasananya agak beda, si Chef orang Taiwan menurutku agak kelewat batas, entah
seharian sedang ada masalah keluarga atau memang sedang kesal denganku,
tiba-tiba dia melontarkan pertanyaan kepadaku," Why Indonesian people
killing Chinese?" Kenapa orang Indonesia "suka" membunuhi
orang Cina. Lantas si Chef mengingatkanku akan tragedi Mei 1998, dimana
kerusuhan massa melanda Jakarta, Medan, dan Solo, amok massa menjarah
toko-toko, mall, dan rumah-rumah mewah, juga dengan keji memperkosa para WNI
keturunan bahkan membunuhnya.
Pertanyaan itu dilontarkan di depan para pelayan restoran,
Pui dari Thailand, Markus Yap dari Malaysia, Shelly dari Beijing, Alex bule
Amrik mahasiswa GWU yang sedang belajar bahasa China, juga Wang Chuan si
delivery man dari Shichuan.
Aku merasa terpojok dengan pertanyaan itu. Pandangan mata
benci menyorot ke arahku seolah aku mewakili bangsa yang tak beradab, barbar,
dan tak berperikemanusiaan. Layaknya sebuah persidangan di PBB, seolah aku
sedang dimintai klarifikasi atas tragedi kemanusiaan 1998 silam dihadapan wakil
- wakil bangsa di dunia. Ingin rasanya memanggil Sang Singa Tua MR. Ali Alatas
diplomat handal yang pandai berdiplomasi untuk membantu menjelaskan masalah ini
kepada mereka. Atau ingin segera lari ke Kedutaan Indonesia yang jaraknya tak
jauh dari restoran, meminta salah satu staf Politik untuk menjelaskan kepada
teman-teman kerjaku.
Dengan terbata-bata (karena Inggrisku memang jelek) ditambah
mengingat kembali kejadian kala itu yang memang kacau, simpang siur, aku
sebetulnya sudah tak ingat persis peristiwanya; dengan segala kerendahan hati
aku mencoba menjelaskannya kepada Chong-san dan teman-teman kerjaku.
" Pada waktu itu situasi ekonomi Indonesia kacau.
Indonesia kena krisis keuangan Asia. Nilai mata uang Indonesia jatuh ekstrim
terhadap dolar, dari 2000an turun ke 7000an rupiah sedollar. Banyak
pengangguran, rakyat kekurangan makan. Rakyat protes, mahasiswa protes. Mereka
tak percaya lagi dengan pemerintahan Soeharto. Soeharto sudah 7 kali jadi
presiden, kabinet baru diisi oleh keluarga dan kroni-kroninya. Polisi dan
tentara makin represif terhadap mahasiswa. 4 mahasiswa ditembak mati oleh
aparat. Rakyat marah. Situasi ini dimanfatkan orang-orang untuk bikin kondisi
makin memburuk, chaos. Itu (peristiwa) terjadi sangat cepat. Ada orang-orang
yang memprovokasi untuk melakukan amok massa, merusak toko-toko, merampas
isinya, dan membakarnya."
Tapi Chong san tak mau menerima penjelasanku; mengenai latar
belakang timbulnya amok massa, dan juga akibat yang ditimbulkan, ia
mempertanyakan siapa yang merampas harta, memperkosa wanita-wanita dan membunuh
WNI keturunan, dan ketika kujawab yang memperkosa dan membunuh WNI Chinese
adalah para kriminal, Chong san lagi-lagi tak bisa menerima jawabanku.
Ya .. aku tahu masalah Kerusuhan Mei tak ada penyelesaiannya.
Siapa yang salah, siapa yang bertanggung jawab tak ada satupun yang diajukan ke
pengadilan. Aku tahu jawabanku kurang memuaskan dan selalu dibantah oleh Chong
san. Sepertinya orang Indonesia tempatnya yang jelek-jelek. Anti Cina,
Pemerkosa, Teroris, dan Korupsi.
Rupanya Chong-san lebih mengikuti berita kala itu dari
Komunitas Global Etnik Chinese yang melabeli kerusuhan Mei 98 sebagai
"Anti-Chinese" dan dikenal dengan peristiwa Black May. Chong san yang
orang Taiwan mengecam padaku: (pemerintah) Taiwan menuntut orang-orang yang
terlibat kerusuhan Mei 98 untuk dihukum. Kalau tidak Taiwan akan segera menarik
investasinya dari Indonesia, juga menyetop para TKW yang jumlahnya puluhan ribu
di Taiwan. Aku hanya terdiam. Ingin rasanya lari ke Kedutaan Indonesia dan
menggeret seorang staff politik untuk membelaku, berdiplomasi dengan Chong san,
atau setidaknya bisa meyakinkan Chong san bahwa Indonesia bukan bangsa yang
Anti Cina seperti Nazi yang anti Yahudi, juga bukan tukang perkosa seperti
Congo Army sebutan untuk tentara-tentara "mbalelo" yang
merampas harta dan memperkosa wanita dalam operasi militer.
Doctor Wang si delivery man yang melihat aku diserang
habis-habisan oleh Chong san mungkin merasa iba, dan beruntung dia sedikit
mencairkan suasana tegang dengan tidak ikut menyalahkanku," Don't be
sad,..... in China, Chinese kill Chinese everyday."
Dan aku tiba-tiba nelangsa, terkucil diantara teman-teman
kerjaku yang berasal dari berbagai bangsa di dunia. Aku yang minoritas di
perantauan mungkin tak bisa bicara searogan atau selantang orang-orang di
Jakarta. Tak bisa berargumentasi bahwa itu hanyalah kejahatan biasa. Tak bisa
berkelit dan menuding itu salahnya si X atau si Y, atau menganggap kerusuhan
itu adalah ongkos politik yang harus ditanggung semua pihak. Kerusuhan Mei
adalah lembar hitam sejarah bangsaku.
Tiba-tiba anganku melayang nun jauh ke kampung halamanku,
apapun keadaan bangsaku aku tetap mencintainya. Aku yang dilahirkan di sana,
aku yang tumbuh dan berkembang meminum air yang mengalir dari hulu sungai, atau
yang mengalir dari mata air pegunungan, dan hidup dari benih-benih mekar dari
tanah garapan pak tani, sedih bangsaku dihujat demikian.
Dalam kesedihan aku teringat seorang seniman yang pernah
membacakan sajaknya Taufik Ismail di TIM, Malu Aku Jadi Orang Indonesia. Dalam bait-bait
terakhirnya aku merinding mendengarnya:
III
..... ... ...
Di negeriku ada pembunuhan, penculikan
dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh,
Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng,
Nipah, Santa Cruz dan Irian,
ada pula pembantahan terang-terangan
yang merupakan dusta terang-terangan
di bawah cahaya surya terang-terangan,
dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai
saksi terang-terangan,
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,
tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang
menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.
dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh,
Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng,
Nipah, Santa Cruz dan Irian,
ada pula pembantahan terang-terangan
yang merupakan dusta terang-terangan
di bawah cahaya surya terang-terangan,
dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai
saksi terang-terangan,
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,
tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang
menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi
dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di tumpukan jerami
selepas menuai padi.
IV
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.