Enam bulan lalu, ketika anak-anak kubawa pindah ke Amerika, terus-terang pertama kali yang kucemaskan dari mereka adalah masalah perbedaan budaya, lingkungan, dan bahasa. Dalam bayanganku,anak-anak hanya diam membisu di kelas karena nggak ngerti bahasa Inggris. Anakku pasif, menyendiri, dan yang aku takutkan tidak bisa menangkap pelajaran yang disampaikan guru. Berabe nih kalo anak-anak malah mengalami krisis kepercayaan diri, mental jatuh, dan ngambek nggak mau sekolah.
Dulu ketika mereka masih di Indonesia dan aku di Amerika,lewat telpon - aku selalu menganjurkan, biar nantinya mudah menyesuaikan diri, kursuslah bahasa Inggris.Tapi kenyataannya tak semudah itu memberi pengertian kepada anak-anak. Beberapakali sudah ganti guru, mereka bilang males. Ada saja alasan yang bilang pak gurunya mbosenin, hanya itu-itu aja ngajarinnya, dan cas cis cus lainnya, sampai kusuruh mereka menambah perbendaharaan vocab baru tiap hari minimal 10 kata, mereka sering nggak nurutnya.
Akhirnya aku pasrah, dan hanya menyampaikan kepada anak-anakku, minimal kata-kata yang harus dihapal adalah yang berhubungan dengan kebutuhan dirimu seperti: lapar, haus, ngantuk, sakit perut, pingin ke belakang, dll. Itupun kadang dilain waktu ketika kutanyakan, beberapa kata masih banyak yang lupa.
Singkat cerita, 4 hari setelah tiba di Amerika, lewat "placement test" di education center anakku yang pertama dimasukkan ke grade 6 middle school, adiknya masuk grade 3 elementary school. Mereka berdua masuk kelas HILT khusus untuk murid-murid yang memakai Inggris sebagai bahasa keduanya alias Inggrisnya bukan bahasa pokok. Syukurlah, kulihat mereka bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Mereka bilang suka sekolah di sini. Nggak ada upacara, sragam-sragaman, dan banyak belajar sambi bermain.Anakku yang paling kecil, Alma bahkan lebih senang karena dia bilang nggak banyak PR seperti di Indonesia. Di Indonesia PR tiap hari, sedangkan di sini, kadang saja bu guru ngasih PR dan baru beberapa hari diminta.
Memang ketika kulihat PR anak-anakku, sepertinya mereka bisa menerima pelajaran di sekolah. Bahkan ada beberapa istilah - istilah science dan matematik yang aku sendiri kurang paham. Ada Cardinal Direction, Body of Water, Evaporation, Condensation, Pentagon, Griot, dan lain-lain yang bagiku awam.
Baru saja kecemasanku mereda, tak berapa lama -- karena mereka masuk di pertengahan kuartal-- anak-anakku sudah terima rapot. Anakku yang klas 3 SD mendapat nilai "D" untuk Matematika dan kakaknya "C". Kulihat mereka berdua tampak tenang-tenang saja dengan hasil yang didapat. Hal ini berkebalikan dengan ibunya yang tercengang tak percaya. Bukannya apa, karena setiap anakku ditanya, Ia selalu bilang," Bisa. Matematika di sini lebih gampang daripada di Indonesia, mah."
Nah kini giliran ibunya yang senewen alias nggak terima. "Di Indonesia Alma selalu mendapat nilai bagus walau jarang belajar. Lagian Alma juga suka cerita kalau di kelas Matematika dia sering menjawab pertanyaan dari bu Guru dibandingkan teman-temannya. Ini sekolah aneh, masak nggak ada buku pelajaran sama sekali, kita nggak bisa mantau, nggak seperti di Indonesia. Kalau gini caranya, mendingan sekolah di Indonesia saja. Mutu pendidikan di sana juga nggak kalah sama di Amerika. Bahkan di kota kita sudah banyak sekolah yang bertaraf Internasional, pengantarnya bahasa Inggris, sekolah unggulan."
Akhirnya giliran bapaknya anak-anak yang buru-buru ke sekolahan, mencari-cari ibu guru, meminta penjelasan kenapa si Alma mendapat nilai "D" untuk pelajaran Matematika.
Setelah ketemu Miss Molly, baru kutahu kalau anakku itu pendiam banget di kelasnya. Bu guru bilang anakku pemalu, suaranya lirih kalau menjawab pertanyaan. Sering bu guru sampai kebingungan mau ngomong apa karena anakku "diem-banget". Yang lebih mencengangkan lagi -- ketika kutahu bahwa untuk pelajaran Matematika, anak-anak dilatih mandiri dengan mengambil sendiri PR di keranjang A, dan mengembalikan PR di keranjang B keesokan harinya. Nah inilah jawaban kenapa dulu anakku bilang bu Guru nggak pernah ngasih dan nagih PR-nya, kecuali memang anakku nggak pernah ngambil PR di kranjang A dan nyerahin PR di kranjang B.
Aku tahu anak-anakku bukan tipe pribadi pemalu. Kalau nilai raport untuk 'usaha' anakku mendapat 'excellent', perilaku sopan, tapi kurang mematuhi 'instruksi', berarti ada sesuatu yang nggak nyambung alias "Jaka Sembung Bawa Golok", nggak nyambung bok!
Ya kendala bahasa, itulah kecemasan yang kukhawatirkan dulu. Anakku masih kebingungan menyerap Bahasa Inggris yang datang bertubi-tubi lewat tulisan dan percakapan. Sehari 7 jam di sekolahan selama seminggu.
Andaikan mereka dulu di Indonesia sudah belajar bahasa Inggris yang cukup, tentu mereka tak akan menemui kesulitan di sekolahnya seperti sekarang ini. Bukannya apa-apa, aku bukanlah konglomerat yang gampang saja mengeluarkan uang untuk menyekolahkan anaknya, kapan saja, kemana saja. Aku hanya seorang 'blue collar' atau kasarnya "Pick Penny" di Amerika sini, alias pemungut recehan yang harus membanting tulang dan memeras keringat untuk bisa 'survive'. Biaya hidup di Amerika khususnya di kota besar sangat-sangat mahal.Tapi untungnya biaya pendidikan alias biaya sekolah yang 13.000an dollar pertahun peranak sudah ditanggung negara alias gratis.Walau begitu, untuk ongkos apartemen yang 1500an dollar, belum biaya kebutuhan harian dan utility, dan lain-lain yang tak kurang 1000an dollar- amatlah mencekik leherku. Ibarat uang adalah oksigen, aku bernafas dengan tersengal-sengal.
Sebagai kepala keluarga tentu aku punya pemahaman tentang 'Hitungan-Rasional" kalau anak-anakku nggak naik kelas. Sebagai anak-anak, mereka belum memahami hal itu. Kulihat mereka masih dalam 'suasana-pesiar', sekolah sambil tamasya ke Amerika. Seperti brosur-brosur Sekolah Bahasa Inggris di Mancanegara yang pernah kulihat jaman aku SMA. Anakku yang kecil bahkan sering ngobrol dengan ibunya tentang kangen pulang kampung dan balik sekolah di Indonesia.Ya begitulah anak-anak..., dunianya masih penuh dengan permainan, ekstasi dan kegembiraan.
Jelas aku nggak tega kalau "Hitungan-Rasional" itu kusampaikan secara detil kepada anak-anakku. Mereka belumlah mengenal apa itu : tanggung jawab, sensitif, dan logis. Lagian toh itu sudah jadi tanggung jawab orang tua terhadap anak-anaknya.
Akhirnya dengan kepasrahan total kubiarkan semuanya mengalir apa adanya. Aku tak bisa dan tak punya kuasa mengatur ini itu yang memang itu diluar jangkauanku. Kubiarkan anak-anak menemukan sendiri jalan keluarnya. Aku hanya bisa menyemangati mereka, menyemangati ibunya, bahwa ini semua bagian dari proses adaptasi yang harus dilewati.
Hari demi hari berlalu, orang Amerika biasa guyon: Same Shit - different day, dan pada suatu hari ada sesuatu yang berbeda. Tak disangka-sangka anak-anakku seolah mengucapkan mantra: SIM SALABIM dan aku terbengong-bengong sendiri dibuatnya.
Hal itu kutahu ketika anakku yang kelas 3 SD ada PR mengarang cerita di rumah, yang ditulisnya sendiri tanpa bantuan kamus dan orang tuanya. Aku tertegun membaca hasil karangan cerita itu. Tulisannya kulihat rapi tak ada coretan atau bekas dihapus. Enam bulan yang lalu Alma tidak bisa bahasa Inggris, kini aku yang sudah setua ini menjadi malu dan minder melihat kemampuan menulis Inggrisnya. Terus terang aku tak pernah mengungkapkan ide atau tulisan dalam bahasa Inggris lebih dari satu paragraf. Barangkali kalau disuruh mencoba, aku tak bisa menulis sepadat itu.
Beginilah tulisan anakku yang belum dikoreksi bu gurunya:
GO TO THE MOVIE THEATER
Last week I went to the movie theater. I go with my mom, my dad, and my sister. We saw Alice in Wonderland.
Alice in Wonderland is about a girl who found the world about wonderland. The girl was Alice, she was going marry, but the rabbit from wonderland set the timer, and going to the rabbit hole. The rabbit hole is the door to the wonderland.
Alice go inside of the rabbit hole and it's upside down, then she got fell off and it was not upside down again. She found a lot of doors and she don't know where to get to the wonderland!
When she found the key, the doors is not match. She found a curtain and there was a little door, that door was match to the key!
Alice can't fit on the door, she found a drink that says "drink me", after she drinks it she was shrank!
Now she can fit on the door,but there is one more problem. The door was locked again.
The key is on the table but it was too tall, so she can't reach the key. Under the table she found a piece of cake says "eat me" and she ate just one bite. After she ate the cake, she was streched!
after steched, she picked the key and drink again that says "drink me" and she shrank again. After she opened the little door, she found the wonderland ! (to be continued)
Razzle Dazzle,
by Almasita
Aah... betapa selama ini aku meragukan kemampuan anak-anakku. Dan akhirnya kini terbalas sudah. Anakku yang gede, Cedar tak mau kalah dengan adiknya, tiba-tiba Ia menunjukkan segepok hasil karangannya di sekolah yang tak pernah ditunjukkannya padaku. Salah satunya kucomot dan kutulis seperti di bawah ini:
Tugas dari bu guru:
Write about a time when you had to think quickly. What happened? What did you do?
I have to think fast when something need help or emergency. When some people got hurt or something, I will get first aid box and help. If it not really help them, I should call ambulance or call someone that can help me.
When I was swimming, I fell from the slide. I was bleeding. I called my mom and we went to emergency room. The nurse gave me some medicine and after that I went to hospital,`and the doctor help with more medicine. It was so scared.
note bu guru: falling from slide! You were lucky you didn't break any bones
Aaah... ternyata usahaku membawa anak-anakku ke sini tidaklah sia-sia. Apa yang selama ini kuperjuangkan dan kuyakini telah membuahkan hasilnya. Rasa lelah dan kekhawatiran yang selama ini kurasakan hilang sudah. Cucuran keringat dan letih lesu sehabis kerja seolah hilang ketika menemukan mereka sedang belajar.
Aku sadar bahwa aku bukanlah figur ayah yang sempurna bagi anak-anakku, tapi setidaknya inilah usaha terbaik yang bisa aku lakukan. Aku ingin memberikan sebuah pengalaman kepada mereka, sebuah pembelajaran hidup yang mungkin suatu saat menjadi sebuah "kenangan" yang indah bagi mereka.
Kalau hal itu ada yang menyangkal, setidaknya aku ingin memberikan sebuah "kenangan" atau memori yang paling tidak berkesan positif, baik, dan tidak meninggalkan bekas trauma dalam hati mereka.
Aku sendiri tidak tahu kelak mereka akan menjadi apa, kubiarkan saja tangan-tangan gaib membacakan mantranya: SIM SALABIM!!
Janu Jolang
8 April 2010
Thursday, April 8, 2010
EduRantau: ANAKKU MENGUCAP MANTRA SIM SALABIM
Posted by Janu Jolang at 3:42 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment