Saturday, October 11, 2008

ENJOY THE LIVE

(Si Pengantar makanan Wang Chuan menceritakan sebuah cerita)

Ada seorang tua yang tiap hari menghabiskan waktunya mancing di sebuah danau. Sambil sesekali rebahan, ia lantas meminum kopi dan merokok. Si orang tua itu sangat sabar mengamati pancingannya berjam – jam tanpa rasa bosan. Seorang pemuda yang baru lulus universitas dan ingin menikmati sedikit waktu luangnya sebelum nanti bekerja memperhatikan si orang tua itu selama beberapa hari ini. Timbul rasa ingin tahu si pemuda dan menanyakan kepada orang tua itu.

Si orang tua itu menjawab, “ Aku mencari ikan”

Melihat cara orang tua itu mencari ikan lantas si pemuda menyarankan kenapa tidak memakai jala saja sehingga tangkapannya bisa lebih banyak. Dari hasil penjualan ikan itu kemudian bisa dibelikan perahu kecil untuk mencari ikan lebih banyak lagi, dan barangkali usahanya bisa berkembang dan maju, lalu bisa membeli kapal dan sanggup mempekerjakan orang-orang untuk mencari ikan. “ Anda bisa menikmati hidup setelah itu”, kata si pemuda.

Saran si pemuda itu lantas ditanggapi si orang tua itu dengan berkata,” Kalau aku melakukan saranmu, punya jala, kemudian membeli perahu kecil, lalu punya usaha penangkapan ikan, dan dari jerih payahku itu katamu aku bisa menikmati hidup. Tentu aku tak akan melakukannya. Kenapa aku harus berputar – putar dan bersusah payah kalau toh akhirnya aku akan kembali ke danau ini dan memancing ikan selama berjam – jam, sambil rebahan minum kopi dan menghisap rokokku. Aku sudah menikmati hidupku anak muda ....


Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap Di Amerika

Thursday, August 7, 2008

YOU SHOULD NEVER PLAY GAMES

Seberapa seriuskah orang-orang perantauan dalam menjalani kehidupannya? Kalau itu ditanyakan kepada Ari temanku yang asal Madura tentu Ia akan menjawab dengan logat Madura-nya yang sangat kental: ...Ngat ...sangat serius....tak... iya.

Ari datang ke Amerika 8 tahun lalu pakai visa pelaut alias 'Seaman'. Menurut ceritanya, banyak orang Madura merantau keluar negeri karena faktor ekonomi. Dari tetangganya Ia ditunjukkan salah satu agen di Kelapa Gading yang bisa memberangkatkan ke Amerika untuk bekerja di kapal ikan atau kapal pesiar. Ari ditraining bahasa Inggris, diajar memahami kode buku pelaut dan diberitahu seluk beluk bekerja di kapal. Demi meraih harapannya, Ari yang katanya hanya sekolah sampai kelas 5 SD itu rela menghabiskan berpuluh juta rupiah (hasil ngutang orang tuanya) untuk bisa bekerja di Amerika.

Sungguh sangat mendebarkan sekaligus lucu mendengar cerita Ari. Ia baru pertama kali naik pesawat dan nggak tanggung-tanggung langsung terbang ke Amerika yang jaraknya kira-kira 15.000 km. Kelucuan yang wajar ketika Ari tidak tahu cara memakai sabuk pengaman, memakai wc duduk yang sempit, melahap semua makanan yang ditawarkan pramugari tanpa tanya daging ayam, sapi, atau babi, dan ketika Ari kehausan dan minta segelas air putih, Ia mengatakan dalam bahasa Inggris ala Ari: “white – water .. please...white – water .. please.... ”, dan itu bikin pramugari bingung.

Lalu kejadian yang paling mendebarkan ketika pesawat sudah 'landing' dan mereka menuju ke loket pemeriksaan imigrasi di bandara LAX Los Angeles. Ari bersama ketiga temannya tampak seperti orang kebingungan. Mereka was-was karena visa pelaut mereka 'cabutan' alias asli tapi palsu. Peluang lolos pemeriksaan “fifty-fifty”. Cara lama ini kata Ari memakai visa pelaut kepunyaan orang lain, tapi fotonya diganti wajah Ari. Ketika mau masuk dalam antrian, ada suara dalam bahasa Indonesia yang menginstruksikan sesuatu,” Kelapa Gading ... dari Kelapa Gading ke loket 5. Bersikap tenang, jangan tengak – tengok, langsung ke loket nomer 5. Kalau penuh pergi dulu ke kamar mandi di ujung sana.”

Rupanya jaringan si agen cukup oke”, pikir Ari. Lantas mereka berempat mematuhi perintah itu, antri di loket 5.

Tiba-tiba mereka dikejutkan suara petugas yang memerintahkan sebagian antrian di loket 5 pindah ke loket 6 yang kosong. Teman Ari yang paling depan tak bisa menolak dan pindah ke jalur 6. Sementara suara tadi tetap memantau dan menginstruksikan kepada Ari dan kawannya untuk tetap tenang. Akhirnya dari 4 orang yang berangkat, hanya Ari dan Kamil yang lolos pemeriksaan Imigrasi. Dua temannya ditahan alias visa pelautnya ketahuan palsu.

Memang mereka mengambil resiko terlalu berani dengan mengorbankan uang yang tidak sedikit, juga menempuh bahaya nekat dipenjara demi bisa masuk ke Amerika. Dan betul setelah itu mereka memang bekerja keras siang malam mengumpulkan dollar untuk perbaikan hidup mereka di kemudian hari. Apakah itu yang dinamakan bermain-main dengan hidupmu?

Berbeda ceritanya dengan si Dedi, lelaki usia 45an tahun. Ia datang ke Amerika dengan tujuan ingin melunasi hutang-hutangnya di Indonesia akibat bisnisnya bangkrut. Awalnya si Dedi terlihat rajin dan bekerja sangat keras. Dari penghasilannya sebagai ''waiter' di sebuah klab Middle East di daerah turis, si Dedi bisa meraup penghasilan 3500an dollar sebulan. Ia bekerja dari jam 8 malam hingga dini hari pukul 5 pagi. Dari caranya men'service' pelanggan, juga kepandaiannya meramu Hookah, sejenis rokok khas Timur Tengah dengan berbagai cita rasa buah-buahan, si Dedi mempunyai banyak pelanggan fanatik yang rela memberikan 'tip' besar kepadanya.

Sayang sungguh sayang 'etos kerja' si Dedi tak bertahan lama. Hanya 1 tahun si Dedi bekerja keras kemudian ia terlena. Gara-garanya sepele, hanya-karena ia mulai mengenal dunia chatting. Alih-alih harus bekerja, Dedi malah berbulan-bulan tak bekerja. Kerjaan utamanya kini beralih ke dunia maya, dunia chatting sampai pagi. Terutama chatting dengan cewek-cewek Indonesia yang 'merantau' di Hongkong, sungguh mereka menawarkan sebuah 'kecanduan' tersendiri. Beberapa wanita itu bahkan berani memperlihatkan 'webcam'nya dengan pose seronok. Barangkali itu salah satu yang membuat si Dedi kecanduan. Singkat cerita Dedi kemudian menjalin cinta jarak jauh atau apalah sebutannya, 'cyber love', atau apa dengan salah satu cewek Hongkong itu dan tiba-tiba ia sudah melupakan tanggung jawabnya menafkahi anak-anak dan istrinya di Indonesia. Ia juga lalai melunasi hutang-hutangnya sehingga rumah satu-satunya yang ditempati anak istrinya disita dan mereka terusir dari rumah itu. Apakah itu yang dinamakan bermain-main dengan hidupmu?

Aku lantas teringat sebuah penggalan cerita dalam bukunya Albert Camus – The Stranger, tentang seorang perantau yang mengambil setting di negara Czech.

Beginilah ceritanya:
Seorang anak muda pergi meninggalkan kampung halamannya untuk merantau ke kota. Duapuluh tahun kemudian, dan sekarang ia kaya raya, dia kembali bersama istri dan anaknya untuk menengok kampung dimana dia dilahirkan.

Ibunya kini menjalankan usaha penginapan kecil-kecilan di kampung bersama kakak perempuan si pemuda. Untuk membuat sebuah kejutan kepada mereka, si pemuda meninggalkan istri dan anaknya di hotel lain dan pergi untuk mengunjungi ibunya secara diam-diam. Ketika dia masuk, ibunya tidak mengenali anaknya lagi. Sebagai lelucon sekaligus pamer, si pemuda itu punya ide memamerkan segepok uang kepada ibu dan kakaknya. Di tengah malam, ibu dan kakaknya membunuh si pemuda itu dengan menghantamkan palu untuk merampok uang dan membuang tubuhnya ke sungai. Keesokan paginya, si istri datang ke hotel dan, tanpa tahu, ia memberikan identitas pelancong suaminya kepada si ibu dan kakaknya.

Mengetahui yang dibunuh adalah anaknya, kemudian si ibu menggantung diri. Kakak perempuannya juga bunuh diri. Satu sisi cerita itu tidak menyenangkan. Tapi disisi lain, sangat sangat manusiawi. Bagaimanapun si pelancong patut mendapatkan akibat kecerobohannya dan sebaiknya jangan pernah bermain-main dengan hidupmu.


Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap Di Amerika

Wednesday, July 2, 2008

CSIG di Amerika: MAKAN DUREN DI AMERIKA

Duren adalah buah yang sangat populer di Indonesia, banyak orang suka. Bila musim duren tiba, udara serasa penuh aroma duren. Entah itu di bis umum, di rumah-rumah, di pinggir jalan, atau di Super Market. Semua bau duren. Musim Duren menawarkan sebuah kegembiraan tersendiri, mulai dari memilih duren yang bagus, menawar harga, dan menyantap duren yang rasanya manis bercampur sedikit pahit. Sungguh duren meninggalkan rasa mantap di mulut, juga di perut.

Berbeda dengan di Amerika, duren di sini tidaklah populer. Tidak banyak orang tahu kecuali hanya imigran asal Asia. Malam tadi Ekki pulang dari Asian Market membawa tiga geluntung duren besar-besar, duren Montong asli Thailand. Duren ini memang besar, baunya wangi. Tapi rasanya tidak manis dan sudah mulai berair. Maklum di Amerika kita tak bakalan mendapatkan buah duren yang matang di pohon. Semuanya telah lewat proses impor yang memakan waktu panjang dan masuk gudang pendingin.

Walau tak seenak duren Indonesia, kami tetap melahapnya sampai habis. Sedikitnya – ini bisa mengobati kerinduan dan mengingatkan saat-saat musim duren tiba.

Kira-kira 15 menit setelah pesta duren usai - ada suara orang mengetuk pintu. Kami terkejut ketika mengetahui ada 4 atau 5 petugas Pemadam Kebakaran telah berdiri di depan pintu lengkap dengan peralatan 'tempurnya'. Salah satu petugas menjelaskan kalau Ia dapat laporan ada kebocoran gas dari kamar kita. Ia menanyakan apakah mencium bau aneh, seperti pipa gas bocor.

Lantas Kami mengendus-enduskan hidung seolah mempertajam indera penciuman. Kamipun serempak menjawab”TIDAK”. Tapi salah satu dari mereka mencium bau aneh dari kamar kita.

Dan tanpa ba-bi-bu lagi mereka langsung menuju dapur sambil mengeluarkan alat pendeteksi kebocoran gas. Satu orang lagi merunut pipa gas dari kamar mandi pakai detektor. Kami sekamar hanya terbengong-bengong campur was-was. Bau duren yang menyengat mungkin dikira gas bocor oleh tetangga.

5 sampai 10 menit kemudian petugas Pemadam Kebakaran pasrah tidak menemukan sumber kebocoran. Mereka hanya menyarankan jendela dibuka lebar-lebar supaya (kalo ada kebocoran gas) kita tidak mati lemas. Atau menghindari percikan api yang bisa menimbulkan kebakaran.

Setelah pergi, kami merasa lega. Cepat-cepat Bang Herdi membuang kulit duren ke tempat sampah.

Untuk selanjutnya, kita harus berhati-hati kalau mau makan duren. Orang di sini tak tahan bau duren yang menyengat. Mereka mengira itu bau gas 'butane' dan beberapa mengira bau comberan.

Sunday, June 22, 2008

CSIG di Amerika: APARTEMEN ZULKIFLI DIGREBEK PETUGAS - EMPAT ORANG PENGHUNINYA DIANGKUT.

Berita penangkapan itu menyebar cepat di kalangan anak-anak Indonesia. Kami semua merasa was-was. Kabarnya mereka mencari seorang bernama Hendri, anak Indonesia yang datang ke Amerika memakai visa F1 alias Student Visa tapi tidak mendaftar ulang di sekolahan alias kabur.

Modus ini dulu aman-aman saja tapi setelah peristiwa 911 aturan diperketat. Pihak sekolahan langsung melaporkan ketidakhadiran si calon pelajar kepada Homeland Security Department. Mereka kemudian menindaklanjuti dengan melacak keberadaan si pelajar.

Alih-alih sekolah, Si Hendri malah bekerja di Deli jadi tukang bikin sandwich. Egg and Cheese on Bagel, Pastrami on Rye, Steak and Cheese on Sub, Rueben, Tuna Sandwich, Chicken Club, BLT – jadi urusannya sehari-hari. Dan memang bekerja itulah tujuan para pendatang, ada gula ada semut, bekerja untuk mendapatkan dollar. Dari cerita beberapa temannya, Hendri baru 1 tahunan masuk Amerika. Jadi kalau dihitung – hitung secara matematika (hitungan para perantau), modal yang dikeluarkan untuk berangkat ke Amerika belum impas alias tekor. Kami hanya bisa menghela nafas.

Dari kesemua penghuni apartemen yang terletak di dekat Union Station, Hendri, Zulkifli, Karim, dan Madi – semua diangkut petugas. Sudah menjadi resiko kalau satu orang ketangkap, yang lainnya dipastikan ikut terangkut. Dan biasanya hanya sedikit yang dilepaskan kembali kecuali mereka punya surat-surat lengkap atau minimal sedang mengurus status keimigrasian tertentu. Sebagai perantau sekaligus pendatang gelap, barangkali suatu saat itu bisa juga menimpa kami.

Saturday, June 14, 2008

CSIG di Amerika: TERNYATA BANYAK JUGA ORANG MISKIN DI AMERIKA

Amerika yang dalam bayanganku dulu (waktu masih tinggal di Indonesia) adalah sebuah negara Adidaya, maju, makmur dan kaya - ternyata masih juga menyisakan sebuah permasalahan sosial yang rumit. Seperti Washington, DC. – ibukota Amerika dimana aku tinggal, ternyata dari data Biro Sensus U.S. tahun 2005 menyebutkan: 1 dari 5 orang penduduk Washington DC hidup dibawah garis kemiskinan. Persentase 19.1% atau sejumlah 104.000 orang itu menduduki peringkat ke 3 secara nasional dalam hal jumlah orang miskin. Sangat ironis jika melihat ibukota negara Super Power ini banyak dihuni orang-orang miskin dan gelandangan.

Pada tahun 2006, sejumlah 9369 orang di Washington, DC. tidak punya tempat tinggal atau dengan sebutan kerennya para 'homeless'. Kebanyakan dari mereka hidup menggelandang dan tidur di emperan toko atau di taman-kota. Taman Lafayette di depan White House, taman samping Gedung Keuangan, atau di taman Dupont Circle banyak kulihat gelandangan tidur-tiduran dan menghabiskan waktunya di sana. Hal yang paling menyedihkan jika musim dingin tiba. Berhubung shelter atau tempat penampungan bagi homeless jumlahnya terbatas, maka banyak dari mereka ditolak dengan alasan penuh. Para homeless itu terpaksa bertahan di luar membungkusi tubuhnya dengan selimut flanel, plastik, atau kertas koran. Kadang terdengar kabar gelandangan ditemukan mati kedinginan di bawah suhu -13 derajat celcius di emper toko, atau di taman kota. Ketika ditemukan, tubuhnya telah beku dengan ekspresi wajah menahan dingin.

Aku lantas teringat salah satu gelandangan muda berkulit putih yang biasa 'nongol' di belakang restoran tempatku bekerja. Ia suka mengaduk-aduk tempat sampah, memilah-milah mana yang bisa dimakan, dan langsung melahapnya. Bau busuk tempat sampah tak dihiraukan, Ia asyik mengisi perutnya yang kelaparan. Melihat caranya makan, aku merasa jijik. Tapi dalam hati, aku kasihan -- si gelandangan itu tak mampu membeli makanan. Bukankah Ia masih muda lagi berbadan tegap? Kenapa ia tidak bekerja saja? Kalau dipikir-pikir, status dia yang warga negara Amerika lebih menguntungkan dibandingkan aku yang imigran gelap. Segala gerak-gerikku yang terbatas kuakui menyulitkan diriku. Aku tak punya ijin bekerja, tak punya ijin tinggal di Amerika lagi, dan menggunakan bahasa Inggrispun masih gagap. Bisa saja suatu hari aku ketangkap petugas Imigrasi, masuk penjara, dan dideportasi. Atau yang paling menyedihkan jika tidak ada lagi restoran yang mau mempekerjakan pendatang gelap yang tidak punya surat-surat lengkap. Hanya dengan modal nekat dan bekerja keraslah aku berusaha untuk 'survive'.

Barangkali si gelandangan muda itu punya problem mental, kecanduan obat dan alkohol, atau memang sudah tidak punya semangat hidup lagi. Mungkin gelandangan itu salah satu diantara 1891 orang di Ibukota ini yang terdaftar sebagai homeless kronis. Status menggelandang lebih dari satu tahun atau setidaknya punya catatan sebagai homeless 4 kali selama 3 tahun terakhir.

Monday, May 5, 2008

CSIG di Amerika: HEAD SUSHI CHEF DI RESTORAN TIPE ORANG YANG SERIUS.

Namanya Mr. Chow - orang Taiwan, berhubung kerja di restoran Jepang dipanggil dengan sebutan terhormat Chow-san atau kadang dipanggil Seinsei, yang dalam bahasa Jepang berarti master atau guru. Chow-san pandai berbahasa Jepang karena dia pernah tinggal dan bekerja di restoran China di kota Tokyo. Potongannya jangkung, tubuhnya kurus, kalau bicara mulutnya meledak-ledak. Kadang saking tak terkontrol sampai - sampai ludah 'muncrat' dari sela-sela giginya. Ada kesepakatan antara Aku dan anak-anak Malaysia untuk menyebut si Chow ini dengan sebutan Si Kurus. Ini untuk menghindari kecurigaan kalau kita sedang "ngrumpiin" dia.

Si Kurus adalah tipe orang yang serius. Barangkali didikan orangtuanya yang keras sehingga membuat si Kurus sering melihat sesuatu hal yang sepele jadi bertele-tele. Sudut pandangnya selalu serius. Kalau si Marcus Yap anak Malaysia bilang, si Kurus ingin berperilaku dan bertindak sempurna dalam segala hal, “Dia mau 'face' bagus. Apa .. dia cakap always betol”. Saking seriusnya, kadang ia berkomentar terlalu pedas di telinga kita.

Tadi malam, si boss (kadang) minta kita untuk membuatkan sushi “to go” (sebelum restoran tutup) untuk ibunya di rumah. Setelah sushi dibuat dan kita mulai beres-beres, datang seorang wanita muda mencari si boss. Si boss ini sudah menikah tapi rumah tangganya berantakan. Mereka sudah pisah rumah dan sedang dalam proses perceraian. Konon kabarnya, penyebabnya adalah Jane, salah satu pelanggan restoran. Maklum si boss ini memang pandai bergaul, ramah, suka humor, dan bisa menyenangkan hati wanita. Kini mereka asik ngobrol bahkan kulihat sangat mesra.

Keesokan harinya, sushi dalam kotak plastik itu masih tergeletak di meja dapur alias tidak dibawa pulang si boss. Melihat hal itu si Kurus tersulut emosinya. Aku cuma berkomentar maklum sambil bercanda, “ Barangkali si boss tidak pulang semalam, lupa pada ibunya karena ada wanita cantik yang harus diurus...”.

Tak kuduga, si Kurus menanggapi ini dengan serius. Kata-katanya sungguh keras, “ Selama 45 tahun aku hidup, belum pernah kutemui seorang laki-laki tidak mempedulikan ibunya, sangat egois, punya 'mental problem', dan bla bla bla bla....”.

Sambil terus 'nyerocos', Mr Chow menarik sudut bibirnya ke atas yang kira-kira menyiratkan bahasa tubuh mencibir. Giliran si boss datang di siang hari, kulihat mereka bercakap akrab dalam bahasa Mandarin. Seolah lupa apa yang tadi dia ucapkan, si Kurus terlihat antusias, penuh rasa hormat, manggut-manggut dan setuju dengan apa yang semua boss ucapkan.

Tuesday, April 8, 2008

CSIG di Amerika: KENAPA IBU REPOT – REPOT KIRIM BUKU DARI INDONESIA

Malam ini sepulang kerja aku mendapati ada bungkusan di atas meja. Setelah kubaca ternyata paket kiriman dari Indonesia. Ya, aku minta dikirimi rokok sama ibu. Maklum, rokok Indonesia amat jarang di sini. Jikapun ada, biasanya berharga mahal. Ada sebuah toko kecil dekat apartemen yang menjual beberapa rokok Indonesia dengan harga USD 8 perbungkus. Bayangin di Indonesia sebungkus hanya 10 ribuan rupiah. Ditambah ongkos kirim sekitar Rp. 800.000, aku bisa mendapatkan 2 karton rokok dan bisa menghemat 50 sampai 70an dollar.

Kubuka bungkusan dengan segera, Bang Herdi yang sedang di depan laptop ngelirik. Dia juga perokok berat. Dari lirikan matanya seolah Bang Herdi mengatakan, “bisa di join, nih”. Dan ketika kukeluarkan rokok itu dari bungkusnya, terselip sebuah buku kecil. Dalam hati aku bertanya,”apa yang ibu kirimkan untukku?”

Kubaca sepintas buku itu berjudul Sholat dan Faedahnya. Dalam pikiranku kenapa ibu masih sempat – sempatnya kirim buku seperti itu. Bukankah mengenai sholat telah aku pelajari sejak kecil? Barangkali beliau khawatir aku terlibat dalam pergaulan bebas, narkoba, atau kriminal – seperti gambaran kebanyakan film – film hollywood yang ada di tv – tv Indonesia.

Sejenak kemudian hatiku merasa kosong. Seperti ada sesuatu yang hilang di lubuk hatiku yang terdalam. Ibu benar ia berusaha mengingatkanku. Sepertinya Tuhan telah menjauh dari keseharianku. Yang kupikirkan hanya bekerja dan bekerja. Waktuku habis untuk bekerja.

Rasanya aku seperti mengejar sesuatu yang hampa, kosong; tapi jika aku tak berlari aku akan terlindas sesuatu, semuanya serba terburu-buru. Suasana khidmat dan khusyu yang muncul secara alami di Indonesia amat susah kurasakan di sini. Semua serba nyata. Aku serasa dikejar – kejar waktu, diperas tenagaku, demi imbalan dollar. Aku mimpi kerja santai bayaran gede, tapi tak ada. Terus terang kuakui jiwaku mengalami kekosongan. Semangat spiritual dalam berTuhan menurun jauh atau lebih buruk lagi “hilang” sama sekali.

 
Site Meter