Apakah engkau disana pernah sesekali?
Bersimpuh kala senja hari dalam hangatnya mentari;
dan sejenak menandai prasasti yang pernah kita patri pada tebing pantai,
diantara semilir angin yang telah membawa cinta kita pergi.
Masih terbacakah prasasti itu?
Yang melukis rona merah pipimu kala kita bertemu?
Ataukah telah tertutup lumut?
Saat kuberlutut membelai tanganmu dengan lembut?
Coba ke kiri dan naik sejengkal pada bibir tebing!
Masih adakah gambar yang kupahat dengan cucuran keringat?
Dua anak manusia yang bersuka cita dalam badai asmara?
Isak tangismu membahana. Kita terhempas tak berdaya
Sungguh aku tak sedang membuat tanda
seperti orang bahula meninggalkan pertanda,
melainkan ingin mengubur cinta kita yang muram.
Pada nisan-nisan tebing karang sebagai makam.
Coba kini naikilah batu lancip itu dan ke kanan sedepa!
Disana akan kautemui ganasnya ombak badai dipekat malam,
yang tak henti henti menghantam
Lalu kuputar layar untuk menghindar; dalam derasnya hujan
Yang menghalangi pandanganku, yang membuat perih mataku.
Tiba-tiba layar retak dihempas ombak
Biduk limbung menghujam batu karang,
sempal di buritan, remuk di anjungan.
Sementara Hiu hiu ganas berkeliaran siap menerkam dengan beringas
Holly Molly!! Semuanya porak poranda!!
Tanpa kemudi tanpa kendali
terombang ambing di lautan tanpa tepi
Lantas kegamangan hati merambat
Membuat surut semangat
untuk bertahan dalam pelayaran ini.
Dan merasa lelah, dan tak tahu lagi
Kini aku terdampar di pantai antah berantah ini
Siuman dan compang camping
Dan dirimu bersandar kembali pada dermaga di garis pantai
Memandangi lautan yang penuh misteri
Cinta tak harus bersatu ---
Kupahat dengan sisa-sisa tenagaku pada tebing karang pantai antah berantah ini
Penuh suka cita dan rasa cinta
Dan dengan bodoh kutegaskan sekali lagi:
Cinta tak harus memiliki!
Sebagai nisan pembebasan cinta kita dari belenggu kefanaan ini.
Mengubur segala rasa gundah, amarah, dan kalah.
Dari tanah kembali ke tanah, dari hati kembali ke hati. Rest In Peace: Cinta
Bersimpuh kala senja hari dalam hangatnya mentari;
dan sejenak menandai prasasti yang pernah kita patri pada tebing pantai,
diantara semilir angin yang telah membawa cinta kita pergi.
Masih terbacakah prasasti itu?
Yang melukis rona merah pipimu kala kita bertemu?
Ataukah telah tertutup lumut?
Saat kuberlutut membelai tanganmu dengan lembut?
Coba ke kiri dan naik sejengkal pada bibir tebing!
Masih adakah gambar yang kupahat dengan cucuran keringat?
Dua anak manusia yang bersuka cita dalam badai asmara?
Isak tangismu membahana. Kita terhempas tak berdaya
Sungguh aku tak sedang membuat tanda
seperti orang bahula meninggalkan pertanda,
melainkan ingin mengubur cinta kita yang muram.
Pada nisan-nisan tebing karang sebagai makam.
Coba kini naikilah batu lancip itu dan ke kanan sedepa!
Disana akan kautemui ganasnya ombak badai dipekat malam,
yang tak henti henti menghantam
Lalu kuputar layar untuk menghindar; dalam derasnya hujan
Yang menghalangi pandanganku, yang membuat perih mataku.
Tiba-tiba layar retak dihempas ombak
Biduk limbung menghujam batu karang,
sempal di buritan, remuk di anjungan.
Sementara Hiu hiu ganas berkeliaran siap menerkam dengan beringas
Holly Molly!! Semuanya porak poranda!!
Tanpa kemudi tanpa kendali
terombang ambing di lautan tanpa tepi
Lantas kegamangan hati merambat
Membuat surut semangat
untuk bertahan dalam pelayaran ini.
Dan merasa lelah, dan tak tahu lagi
Kini aku terdampar di pantai antah berantah ini
Siuman dan compang camping
Dan dirimu bersandar kembali pada dermaga di garis pantai
Memandangi lautan yang penuh misteri
Cinta tak harus bersatu ---
Kupahat dengan sisa-sisa tenagaku pada tebing karang pantai antah berantah ini
Penuh suka cita dan rasa cinta
Dan dengan bodoh kutegaskan sekali lagi:
Cinta tak harus memiliki!
Sebagai nisan pembebasan cinta kita dari belenggu kefanaan ini.
Mengubur segala rasa gundah, amarah, dan kalah.
Dari tanah kembali ke tanah, dari hati kembali ke hati. Rest In Peace: Cinta
No comments:
Post a Comment