Wednesday, April 15, 2009

CSIG di Amerika: TERIMA GAJI 2 MINGGUAN

Hari yang pantas ditunggu – tungu setelah kerja yang sangat – sangat melelahkan. Aku tidak suka Amerika, tapi juga tidak benci. Andai aku punya uang banyak, aku lebih senang tinggal di Indonesia saja.

Sunday, February 22, 2009

Cerpen: Calon Ibu

(oleh: Janu Jolang)
Terbit di Kompas Cyber Media, Sabtu, 21 Februari 2009 http://oase.kompas.com/read/xml/2009/02/21/15300820/calon.ibu
Dishare di Sastra-Indonesia.com, Maret 2009
Saat mendengar dokter kandungan itu berkata bahwa bayiku sungsang, aku berpikir ini pasti operasi sesar. Sembari tangan kiri menunjuk ke arah monitor USG, tangan kanan dokter lelaki muda itu menggeser - geser alat scanner pada perutku yang buncit. Aku sedikit malu ketika kain penutup yang melingkari perutku tergeser ke bawah dan menampakkan sedikit bulu kemaluanku yang menyembul dari cawatku. Beginilah wanita waktu hamil, serba repot. Posisi tulang belakang melengkung ke depan menahan rahim berisi bayi, perutpun melembung seperti balon, menyesaki rongga di bawah pusar. Daerah yang tadinya tertutup rapat akhirnya tersembul. Perutku membesar, cawatku jadi terlalu sempit.

Suamiku yang duduk di depan meja dokter tampak gelisah memperhatikan ucapan dokter. Sepertinya dokter itu penjelmaan dukun - dukun sakti di jaman mitologi, yang kata - katanya merupakan mantra ajaib sebagai penawar keresahan. Tersugesti saran dokter, ia kemudian menguatkan hatiku dan menyuruh aku untuk sering - sering senam nungging. " Iya, siapa tahu si jabang bayi mau muter ke posisi yang sebenarnya untuk lahir ", kata suamiku mengulangi nasehat si dokter. Aku tidak merasa ucapan suamiku itu sebagai penyemangat diriku." Kalau dalam dua minggu posisi bayi masih melintang, tak ada jalan lain kecuali operasi sesar", kata dokter lelaki itu.
Dan masa - masa penantianku membawa ujian mental yang cukup berat bagiku. Hampir setiap orang yang kujumpai, kurasakan selalu bercerita tentang perempuan yang gagal dalam operasi sesar. Mereka seolah - olah menakutiku, si calon ibu kemudian meninggal karena pendarahan hebat, karena tekanan darah ngedrop, karena keteledor dalam penanganan kelahiran, atau salah obat, dan sebab - sebab lainnya. Bahkan saking cemasnya, ibu mertuaku menyarankan agar perutku "diputar" saja oleh dukun bayi, perempuan tua yang tinggal di pinggir kota dan biasa menangani bayi - bayi sungsang dalam kandungan. Suamikupun mengiyakan saran itu.

Ide itu aku tolak mentah - mentah. Aku tidak mau membahayakan bayi dalam kandunganku. Saran dokter untuk senam "nungging" dan didukung suamikupun hanya beberapa kali kulakukan. Bagaimana tidak kuhentikan, naluriku mengatakan bahwa anakku tidak akan "berputar" pada posisi sebenarnya. Tubuhku kecil, panggulkupun kecil. Apalagi setelah aku nungging, bayiku tidak gerak - gerak dalam waktu yang cukup lama. Stop! Jadi aku putuskan no nungging, no pijit. Pokoknya operasi sesar. Apa yang akan terjadi, terjadilah.
****
Hari - hari kelahiran anak pertamaku makin dekat. Aku semakin cemas. Suamikupun kelihatan pontang - panting cari pinjaman uang untuk biaya operasi sesarku. Kemarin dia pinjam ke kantor tempatnya bekerja dan hanya mendapatkan setengah dari keseluruhan biaya operasi. Aku cemas, jangan - jangan sampai waktunya nanti lahir duit belum terkumpul. Coba kuhubungi perusahaan tempatku bekerja, ternyata jawabannya malah berbelit, " Bulan depan baru ada uang", jawaban bosku kurang masuk akal, lagi pelit. Alasannya yang bilang uang kasnya kosong, duitnya dipinjam rekanan, sampai tagihan macet membuat darahku mendidih. Suamiku kemudian menenangkanku. Ia mengambilkan air putih dan membelai - belai perutku.

Aku diam saja. Tak bereaksi.
Kemudian suamiku berbisik sambil tangan masih di perutku. Katanya kalau anak yang kukandung jadi dioperasi tanggal 17 Agustus, maka senanglah ia karena hari itu bertepatan dengan hari kemerdekaan Indonesia. Hari itu akan diperingati oleh berjuta - juta rakyat Indonesia. Hari pembebasan dari penindasan penjajah. Semangat kepahlawanan inilah yang diharapkan melekat pada si jabang bayi serta membawa berkah dan inspirasi bagi seisi rumah.

Aku tersulut dengan ucapan suamiku. Apa hubungannya kekurangan uang dengan hari kemerdekaan Indonesia? Kutepiskan tangan suamiku dari perutku. Dengan nada tinggi aku berpendapat, " disaat kita cemas kekurangan biaya untuk operasi, kau malahan berandai - andai anak kita lahir tanggal 17 Agustus."

Kepalaku tiba - tiba pening, darah seperti mengalir deras ke kepalaku. Muka rasanya kaku. Lantas suamiku buru - buru minta maaf atas kesalah pahaman itu. Suaraku sepertinya masih tinggi. "Yang hamil aku," tersenggal nafasku menyebut," pe-rem-pu-an!!! Aku yang telah susah payah ke sana kemari membawa 12 kilo beban diperutku. Aku yang merasa mual dan muntah - muntah mencium bau tubuhmu, minyak rambutmu, asap rokokmu. Dan aku yang akan mempertaruhkan nyawaku saat bayi yang ada di dalam perutku ini lahir. Laki - laki memang hanya enaknya saja."

" Stop, cukup, cukup. Kata - katamu selalu menyakitkan", suamiku selalu menyela begitu, barangkali dia memang nggak mau memperpanjang masalah.
" Kata - katamu selalu membuatku emosi."
Ia pergi meninggalkanku dengan membanting pintu. Akhir - akhir ini emosiku semakin memuncak. Barangkali bawaan si jabang bayi. Atau memang aku yang terlalu sensitif, mudah marah.
***
Tanggal 16 Agustus, sehari sebelum jadwal operasi sesar, aku ditemani ibu mertuaku check up di rumah sakit ibu dan anak yang terbaik di kotaku. Suamiku tidak bisa menemani, ia sedang ke rumah pamannya untuk cari pinjaman uang. Setelah itu ia akan ke kantor Palang Merah mencarikan darah untuk kebutuhan operasiku.
" Selamat malam nyonya", seperti biasa dokter kandungan itu menyapaku ramah. Disebelahnya, ada seorang wanita tengah baya berpakaian perawat, berwajah manis, sedang membereskan perkakas prakteknya. Kudengar gosip dari ibu - ibu di luaran, suster itu adalah istri sang dokter. Dahulu istrinya hanya mengurus soal administrasi dan keuangan rumah sakit miliknya itu. Kini setelah mengetahui si dokter main gila dengan beberapa pasiennya di ruang praktek, istrinya ikut mengurusi soal kebidanan.

Dokter kandungan itu mempersilahkanku berbaring. Sementara itu istrinya membantuku naik ke pembaringan, menyiapkan alat tensi darah, stetoskop dan memeriksa denyut nadiku.

Tak lama kemudian suster - istri dokter itu selalu berkata mesra kepada suaminya, " Honey, tensi nyonya ini amat tinggi. "
Dokter mendekat ke pembaringan dan bertanya kepadaku," Nyonya merasa agak stress menjelang kelahiran ini?" Ia lantas mengambil alat seperti corong memanjang dan menempelkan ke perutku, ia sibuk mencari - cari detak jantung jabang bayiku.

Ada suara degup jantung keras keluar dari sebuah kotak di atas pembaringanku. Suaranya berdegup kencang seperti laju kereta meniti rel. " Nyonya, bayinya sudah ingin keluar, " kata si dokter datar, " Saya siapkan kamar rawat sekarang juga. Nanti nyonya bisa istirahat dahulu, sembari saya akan turunkan tekanan darah nyonya."

Aku cemas, " Bagaimana bayinya, dok?"

" Detak jantungnya terlalu cepat," kata si dokter, " kondisi ini kalau terlalu lama bisa membahayakan bayi nyonya. Saya sarankan operasinya dipercepat. Tidak usah khawatir, saya akan persiapkan semuanya yang terbaik buat nyonya dan bayi nyonya."

***
Sebetulnya aku belum siap mental untuk menjalani operasi sesar. Diperberat lagi proses operasinya dipercepat, maka inilah saat - saat yang tidak menyenangkan dalam hidupku. Lambungku terpaksa dikuras karena kurangnya jam puasa sebelum operasi. Selang plastik dimasukkan lewat hidung, susah dan sakitnya minta ampun. Demikian pula bulu kemaluanku dicukur habis. Aku ngeri kalau membayangkan pisau - pisau bedah itu akan menyayat perutku. Sepertinya jarum jam di dinding menggelinding begitu cepat, aku gugup, cemas, dan takut. Akankah aku masih hidup setelah operasi? Atau aku akan mengalami pendarahan hebat? Atau tekanan darahku yang tinggi akan membahayakan jiwaku? Dan aku akan mati? Lantas bagaimana nasib bayiku yang lahir sebelum masanya? Akankah ia normal? Ataukah ia harus masuk inkubator dengan bantuan oksigen di hidungnya? Kemana suamiku? Ia tak kelihatan batang hidungnya. Disaat aku ketakutan, ia selalu tak ada. Aku akan menjadi calon ibu.
Beberapa jam kemudian aku di geledeg menuju ruang operasi. Roda - roda pembaringanku mencicit didorong perawat. Pandanganku kosong ke langit - langit atap lorong rumah sakit. Kubayangkan aku sedang menuju ke suatu tempat yang menakutkan, tempat dimana upacara pengorbanan akan dilakukan. Diujung pintu masuk ruang operasi, kulihat ibu mertuaku menanti sambil menangis, menciumiku serta memelukku. Ini adalah penantian cucu pertamanya.

Disebelah terlihat suamiku, dengan pandangan seperti kekhawatiran berlebihan akan diriku dan bayi di perutku. Ia terlihat rapuh. Wah, saat - saat seperti ini yang bikin aku nggak tahan mental. Betul mereka kasih support kepadaku, tetapi bagi kebanyakan orang, cara memberikan support yang demikian pasti tidak begitu membantuku. Mungkin paling baik dengan ucapan dan tindakan yang mencerminkan rasa optimis, jangan malah menangis. Aku akan menjadi calon ibu.
Dan tibalah suasana asing kamar operasi. Begitu mencekam. Bau bauan obat antiseptik, dinding hijau porselen, pisau bedah, jarum suntik, tang penjepit, dan lampu sorot melingkar mengarah padaku. Aku demikian takut melihat pisau - pisau tajam itu. Seolah ia adalah sesuatu yang hidup, bertenaga, berkuasa, untuk mencabik - cabik tubuh tak berdaya. Seolah ia adalah pisau ajimat dalam sebuah upacara pengorbanan, dan aku sebagai korbannya. Sekujur tubuhku gemetar hebat.

Ketiga dokter lelaki dan dua perawat perempuan mulai mengelilingiku. Yang kukenal hanyalah si dokter kandungan dan istrinya. Aku sangat malu ketika salah satu perawat itu mulai melepas baju atas dan kain yang menutup bagian bawah tubuhku. Aku ditelanjangi dalam keadaan masih sadar sesadar - sadarnya. Duh, aku pikir masih bisa mengenakan baju dan kain itu. Aku tak bisa membayangkan apa yang ada dalam benak dokter - dokter itu ketika di depan mereka ada sesosok wanita telanjang tak berdaya. Ketakutanku menguasai segenap tubuhku. Bayangan pisau - pisau tajam itu muncul lagi. Sekujur tubuhku gemetar hebat. Ketika melihat aku yang telanjang, apakah mereka merasa kikuk? Atau malu? Bak malunya anak sholeh melihat wanita yang bukan muhrimnya? Atau barangkali etika kedokteran yang membuat mereka bersikap wajar. Tapi laki - laki, terkadang punya keusilan dalam menilai tubuh perempuan. Biarpun tubuhku tengah hamil tua, barangkali mereka menikmati tubuh yang telanjang ini.

Dokter anestesi kemudian membekapkan selang bius ke hidungku. Sebentar kemudian dia mengajakku ngobrol, tanya macam - macam ini - itu. Mungkin dia ngecek, aku masih sadar atau sudah lelap, tapi semua itu tidak aku gubris. Aku sudah terlanjur malu, emangnya enak dalam keadaan telanjang diajak ngobrol.

Dan lecutan cahaya kemudian menyilaukan mataku. Tiba - tiba pula terang berubah jadi gelap. Aku tersedot dalam pusaran jurang begitu dalam. Itulah saat terakhir aku bisa mengingat sesuatu. Ketakutan dan kecemasan yang aku rasakan sebelumnya hilang begitu saja. Aku tidak ingat lagi wajah cemas mertuaku, kekurangan biaya operasiku, nasib bayiku, sosok suamiku, istri dokter itu, dan perut buncitku. Aku dalam mimpi indah, tenang dan nyaman.

***

Entah sudah berapa lama aku terlelap, tiba - tiba kudengan gemeritik suara pisau bedah. Aku takut, sekujur tubuhku gemetar hebat. Aku coba menggerakkan badan, menghindar dari pisau - pisau itu. Ternyata tidak bisa, terlalu berat. Kucoba membuka kelopak mata juga tak bisa. Aku sadar sesadar - sadarnya bahwa aku masih di meja operasi. Mungkin pengaruh bius itu kurang mempan di tubuhku. Tapi kenapa aku tidak merasa sakit? Aku dengar ada suara tangis bayi di sudut ruangan, itu pasti bayiku. Ya bayiku telah lahir, tapi apakah ini sudah masuk tanggal 17 Agustus? Kudengar suara - suara dokter sibuk menjahitkan benang di perutku. Ya aku sadar tapi tak bisa membuka mataku.

Tiba - tiba kepalaku berputar sangat cepat. Aku mual. Diantara pertengahan sadar aku berteriak sekuat tenaga. Seperti dilempar dari awan gemawan, jatuh menuju lorong gelap dalam kecepatan amat tinggi. Aku meneriakkan nama seseorang, dan (maaf) itu bukan nama suamiku. Dia mantan pacarku, Frans.

Sepersekian detik kemudian gambaran berubah. Aku melewati lorong seperti gua jaman purba, remang berdebu, seingatku berwarna marmer kecoklatan. Tiba - tiba aku melewati tempat yang tinggi jatuh ke tempat yang rendah. Sangat cepat, aku berteriak ketakutan. Ya, rasanya seperti naik roller coaster. Setelah itu seperti tertindih batu sangat besar. Aku tak bisa bernafas.
Kurasakan badanku tersedot susut menjadi kecil. Di ujung lorong gelap, samar - samar kulihat sosok besar berjubah hitam. Mukanya tertutup bayangan, memegang pisau di tangannya. Kakiku gemetar hebat. Suaranya menggema menimbulkan daya angin dahsyat. Aku tercekat, nafasku sesak. Ia mulai mengejarku dengan langkah cepat tak bersuara, sepertinya melayang. Aku berlari kencang melewati lorong - lorong yang bercabang. Kuikuti salah satunya, ternyata buntu. Dan bayangan itu makin mendekat. Aku berbalik arah dan lari. Nyaris bayangan itu mendapatkanku.

Aku terus berlari. Lorong bercabang itu tiada akhirnya. Sepertinya aku terjebak dalam rumah labirin, tak ada jalan keluar, berputar terus berputar. Akhirnya aku terjerembab, tergolek tanpa daya. Ketakutanku kian memuncak. Bayangan berjubah itu kian mendekat dengan pisau terhunus. Aku tak kuasa mengelak, pisau itu akan merenggutku. Dan tiba - tiba semuanya gelap. Aku tak ingat apa - apa.

Samar - samar kurasakan seluruh tubuhku perih. Bagian kemaluanku perih sekali. Terdengar ramai suara orang berdengung seperti di pasar. Tiba - tiba kilau cahaya memasuki mataku yang masih terpejam. Apakah bayangan hitam itu masih di dekatku? Kucoba membuka mata. Walau kabur kulihat ada bayangan di situ. Ia mendekat ke arahku sambil mengulurkan tangannya. Anginnya sampai ke tubuhku. Ternyata bayangan itu mendiang ibuku.

Aku menangis kencang. Aku marah, benci, baur rindu. Ingatanku kembali ke masa kecil. Gerimis sore waktu itu adalah hari terakhir aku melihat ibuku. Beliau meninggalkanku. Aku tidak tahu penyebabnya. Mungkin ia marah padaku? Kala itu ibu bersitegang dengan nenek, tapi aku tidak tahu masalahnya. Barangkali aku biang keladinya? Aku diam meringkuk di kamar seraya mendengar nenek meneriakkan kata - kata kotor. Selanjutnya kudengar isak tangis ibu diantara hardikan nenek. Aku takut sekali.

Berhari - hari aku meratapi kepergian ibuku. Apakah ia marah padaku? Aku sungguh sosok yang rapuh setelah itu. Hari demi hari aku lalui dengan kesedihan mendalam. Ayahku sudah tiada, kini ibu telah meninggalkanku. Tak ada lagi sosok yang memberiku sekedar perhatian, sekedar kasih sayang, dan tempat untuk bergantung. Sebaliknya, semua tiba-tiba memusuhiku. Lebih - lebih nenek, ia adalah figur pemarah. Sering dengan alasan yang tak kumengerti ia marah padaku. Ketika kutanyakan pada nenek kemana ibuku pergi. Ia tak mau menjawab. Sekali lagi aku merajuk ingin bertemu dengan ibu. Nenek malah marah dan menamparku. Hatiku sedih sekali.

Barangkali aku memang anak kecil yang bandel, atau anak yang suka berbantah, atau aku memang menuruni sifat pemarah nenek, aku tak tahu. Pernah suatu hari ia pukulkan gagang sapu berkali - kali ke punggungku hanya karena aku menggambar setangkai bunga mawar di tembok ruang depan. Cara memukulnya kuingat persis seperti memukuli kucing yang mencuri ikan. Setelah itu aku dikunci dalam gudang yang pengap lagi gelap. Entah berapa lama aku di sana, perutku terasa lapar, dan pakde kemudian mengeluarkan aku dari gudang. Hari telah petang.
Lain hari, aku menemukan segepok kertas di laci meja nenek. Kertas itu lalu kubuat main uang - uangan bersama temanku. Peristiwa selanjutnya terjadi, dan itulah awal yang menjadikan aku mengerti apa arti dendam dikemudian hari. Tiba - tiba nenek muncul dari pintu dan menendang perutku sekencang - kencangnya. Aku terjerembab kesakitan. Kulihat sorot mata merah berapi - api, mencengkeram leherku, dan menamparku membabi buta. Dalam ketakutan, aku melihat nenekku seperti orang gila yang mengamuk.
Apa salahku? Kenapa membenciku?
Belum puas juga rasanya nenek memukuliku, bahkan setelah temanku menjerit-jerit, ia tetap mengayunkan tangannya ke mukaku sambil menghardik dengan kata - kata yang menyakitkan. Ya, sorot mata berapi - api itu, pukulan bertubi-tubi itu, dan kata-kata yang menyakitkan itulah yang terus melekat di batinku. Selalu membayang hingga kini.

Kekerasan demi kekerasan yang diperagakan nenek lama kelamaan mematikan syaraf - syaraf perasaku. Batinku beku. Aku mulai membangun kerajaanku. Setiap dinding benteng kubangun dengan pahit getir pengalamanku. Lantas kusiapkan prajurit berpedang dan berbusur panah sebagai amarahku. Maka kuperangi mereka satu persatu yang membenciku. Satu kata kubalas dua kata, satu pukulan kubalas dua pukulan, dan andaikan aku tak mampu melawannya maka akan kukutuki musuh - musuhku biar mati mengenaskan. Kebenaran adalah pengalamanku, dan pengalamanku adalah panglimaku.

Aku kemudian terhempas ke jurang dengan kecepatan cahaya. Sempat kudekap batang licin untuk menahan hempasan. Kuikuti liukan putaran batang itu sambil menahan ketakutanku yang berdesir - desir. Sampai di pangkalnya ternyata ular yang besar sekali, barangkali Anaconda. Aku menjerit ketakutan.

Dan aku siuman, tapi masih dalam kesadaran yang lemah. Mataku tak bisa kubuka, badanku tak bisa kugerakkan. Rasanya seperti ditindih batu yang sangat besar. Napasku sengal, tercekik, aku merintih. Kudengar suara mertuaku menyebut asma Tuhan, ia menuntunku untuk bersama - sama mengucapkannya.

Aku mengikutinya pelan - pelan, sambil merintih ketakutan. Ada tangan hangat menggenggam jemariku, aku merasa nyaman. Tanpa sadar kusebut nama Frans, dan ia bukan suamiku. Berkali - kali nama itu terucap hingga berhenti ketika kudengar suara mertuaku menyebut asma Tuhan. Suara itu menyelinap lirih di telingaku.

Aku lelah, aku letih. Telah berapa lama aku terombang - ambing dalam alam sadar, tidak sadar dan setengah sadar, lewat peristiwa yang begitu cepat berganti. Kukuatkan menyibak kelopak mata, remang - remang kulihat orang - orang mengelilingiku. Aku sudah berada di pembaringan kamar rawat inap. Penglihatanku mulai nampak jelas. Ada suamiku, mama mertuaku, paman suamiku, adik suamiku, bibiku, dan sepupuku. Semua memperhatikanku. Pandangan mereka nampak kosong, tak ada ekspresi sedikitpun. Mungkin kalau ada, sekilat perasaan sedih terlihat di sudut mata mereka. Mama mertuaku menitikkan air mata.

" Anak kita lahir tanggal 17 Agustus kan?" suaraku lirih kepada suamiku.

" Tidak," dia menjawab kelu. " Tanggal 16 Agustus pukul sebelas limapuluh "

Dan wajah orang - orang yang mengelilingiku menundukkan kepalanya.

****

Ruang praktek dokter jiwa itu tampak sepi. Di ruang tunggu, seorang wanita muda berparas ayu sedang menggendong bayinya. Tergambar jelas wanita muda itu punya problem kejiwaan yang berat. Raut wajahnya kuyu, sinar matanya kosong, tarikan nafasnya berat. Ia tampak menanggung beban berton - ton dalam hidupnya. Barangkali pula ia mempunyai problem rumah tangga yang tak mungkin diselamatkan. Hubungan dengan suaminya makin memburuk. Ia tak tahu pasti apa penyebabnya. Dirasakan kejadian demi kejadian mengalir begitu cepat tanpa ia bisa memaknai, tanpa ia bisa meyakini. Rasanya seperti terhanyut arus sungai deras, tanpa ia bisa menggapai tepian. Dalam hati kecil ia ingin memperbaiki hubungan. Ia ingin mengakhiri pertengkaran. Ia tak ingin mereka saling membenci.

"Silahkan masuk nyonya", dokter jiwa itu berkata dengan sopan. Wanita muda itu kemudian meletakkan bayinya ke tempat tidur yang telah disediakan. Lantas ia berbalik menuju sofa pembaringan untuk menjalani terapi.

Dokter jiwa itu kemudian memulai percakapan dengan ringan, sopan, dan suara halus yang menyejukkan hati. Terdengar lirih musik instrumentalia mengalun lembut memenuhi ruangan. Wanita muda itu terlihat mulai nyaman dalam pembaringan. Dengan mata terpejam ia mulai menjawab pertanyaan ringan yang diajukan. Kadang ia tertawa lembut, kemudian suaranya berubah manja, dan menceritakan sesuatu dengan lancar tanpa beban. Sepertinya ia adalah pribadi yang periang, manja, dan terbuka. Dokter jiwa itu membiarkan pasien bebas dalam pengembaraan jiwa.

Tak lama entah punya kekuatan magis apa, dengan nada halus dokter jiwa itu mampu membuat tubuh wanita itu menggigil. Barangkali tekanan - tekanan yang ada di kedalaman hati wanita muda itu terkuak. Tubuhnya goncang, ia ingin menolak tapi tak kuasa. Keping - keping trauma wanita muda itu berada di dasar jurang jiwa, tak tersentuh, terkubur, dan tiba - tiba melonjak ingin keluar.

Suasana hening, tiba - tiba ia terisak bercampur takut. Ia bangkit dan memeluk lutut erat - erat. Tubuhnya menggigil, rahang mengencang, mulut terkatup, dan sorot matanya menerawang. Barangkali gambaran yang ia ucapkan telah membangkitkan ingatan lama. Sesuatu yang buruk pernah terjadi. Wanita berparas ayu itu punya trauma masa kecil yang pedih.

Si dokter jiwa itu dengan tekun mencatat. Dalam tumpukan file pasien tertulis bahwa si pasien pada masa kecilnya kerap mengalami penyiksaan jasmani oleh neneknya. Pasien gampang tersinggung, pemarah, bermusuhan, siap bertengkar, dan cenderung anti sosial. Dalam catatan yang ditandai kurung buka tutup, dokter itu menuliskan karakter perlawanan itu sebagai hal yang natural secara keturunan atau karena cara pasien bertahan terhadap perlakuan - perlakuan kasar. Karena setelah itu, si pasien juga mengalami penganiayaan seksual dan sadistis oleh Pakdenya. Tetapi perlawanan itu tak tampak pada diri pasien.

Perbuatan itu terjadi saat dia berusia 6 tahunan. Hal itu sering dilakukan Pakdenya saat rumah kosong atau malam hari ketika suasana sepi. Pasien diancam dengan sebilah pisau dan akan dibunuh jika ia menceritakan kepada nenek atau orang lain. Pasien telah kehilangan ayah dan ibunya, ia kehilangan kasih sayang serta keterlibatan seorang ayah dalam hidupnya. Hal ini dimanfaatkan oleh Pakdenya. Pasien lemah dalam menghadapi eksploitasi yang dilakukan Pakdenya. Pasien membutuhkan kedekatan dan perhatian untuk mengatasi perasaan cemas, rasa takut, rasa nyeri, dan frustasi yang dialami.

Akhir – akhir ini bayangan Pakdenya sering muncul dalam diri suaminya. Perubahan fisik suaminya yang bertambah gendut, keringat yang bau tengik, serta kini memelihara brewok telah mengingatkan wanita muda itu pada Pakdenya yang menjijikkan.

Hanya kepada si ahli jiwa itulah ia bisa melepaskan perasaan dihantu-hantui yang mencekam. Sepertinya si ahli jiwa itu adalah obat mujarab yang harus diminum ketika sakitnya datang. Ia menjadi kecanduan. Kini wanita muda itu terbaring lelah di atas sofa pembaringan, setengah tertidur. Seolah ia baru saja mengakhiri pengembaraan jiwa yang melelahkan. Seolah ia baru saja mengakhiri mimpi buruk yang menakutkan. Dan wanita berparas ayu itu kembali pada kesadaran dunianya.

Tiba - tiba terdengar tangisan bayi di pojok ruangan. Suara bayi itu membuyarkan kenyamanan istirahat wanita muda itu. Dengan reflek ia bangkit dan berkata kepada dokter jiwa itu, " Frans .., bayi kita menangis. Aku akan menyusuinya dulu."
Jakarta, Juli 2004
Washington, DC Desember 2005

Tuesday, February 3, 2009

Cerpen: Mengais Rezeki

(oleh: Janu Jolang)
Terbit di Kompas Cyber Media, Sabtu, 31 Januari 2009
http://oase.kompas.com/read/xml/2009/01/31/06174410/mengais.rezeki


Jakarta, November 2002
Sudah satu tahun lebih aku kehilangan kabar dari Ahmad Sanusi, suamiku. Aku tak tahu di mana ia berada. Sejak empat tahun lalu, ia merantau ke Amerika. Awalnya, ia dapat informasi bahwa ada lowongan kerja di Amerika dengan bayaran besar. Sejak itu dalam benaknya hanya ada satu tujuan, bagaimana cara ia bisa ke sana. Maklum, bekerja di Amerika – katanya – menjanjikan masa depan yang cerah.

Ia berangkat beberapa bulan setelah meletus peristiwa berdarah Mei 98. Waktu itu situasi politik Indonesia kacau balau. Perekonomian diambang kebangkrutan. Harga – harga semakin tinggi. Kami kesulitan mencukupi kebutuhan hidup sehari – hari. Maklum suamiku hanyalah guru kontrak di salah satu Sekolah Menengah di Jakarta, tugasnya mengajar ilmu – ilmu sosial.

Aku ingat saat ia bercerita kepadaku, ketika menerangkan tentang perpindahan penduduk, migrasi, transmigrasi, dan emigrasi, di depan murid – muridnya. Tak pernah terlintas dalam pikiran suamiku untuk melakukan hal itu. Profesi guru katanya pengabdian, turut mencerdaskan bangsa, mulia sifatnya. Ia cukup bangga dengan prinsip itu. Tapi akhirnya ia gadaikan juga prinsip itu demi alasan ekonomi.

Ya, alasan ekonomi. Aku ingat suamiku sering berkeluh kesah padaku, pada rekan sejawat, atau pada pak de-nya. Sesungguhnya suamiku tidak menuntut berlebih dalam hal materi. Maklum, jadi guru bukanlah jalan untuk meraih kekayaan. Cukuplah dari gaji yang dihasilkan bisa menutup kebutuhan sehari – hari atau sesekali bila ada lebih untuk ditabung. Tapi nyataannya gaji suamiku tak cukup. Pertengahan bulan kami selalu kehabisan uang, lantas kalang kabut cari pinjaman untuk menutupi kebutuhan sisa bulan berjalan. Barangkali hal itu disebabkan upah terlalu rendah. Ataukah harga – harga yang terlalu tinggi? Hidup melulu tekor, alias rugi, alias besar pasak daripada tiang. Kami sekeluarga tidak tahu kondisi seperti itu dinamakan apa: kemiskinan, kurang mampu, atau kurang makmur. Yang kami tahu, hidup terasa penuh tekanan, penderitaan, dikejar hutang, dan tanpa pengharapan.

Akhirnya ia merantau ke Amerika, katanya negeri kaya raya, tanah pengharapan, tanah segala macam ras dan kaum imigran berburu rezeki. Negeri yang dalam waktu kurang dari 250 tahun menyulap dirinya menjadi mercu suar dunia. Tapi bukannya sontak nasib keluarga kami berubah, bukan pula ia lantas mendapat pekerjaan yang layak, melainkan dengan kerja, dan bekerja keras.

Kini aku tak tahu di mana suamiku berada. Ia tak pernah lagi menulis surat, mengabari lewat telepon, bahkan mengirimi uang. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah di sana ia kecantol gadis lain dan melupakan anak istrinya? Atau ia mendapat musibah? Sepertinya ia hilang ditelan bumi. Hanya surat – surat ini yang tertinggal:

Surat pertama ditulis 15 Desember 1998,
Rahmi, kini aku tahu bagaimana rasanya bekerja sebagai tukang cuci piring, di restoran asia bernama Bamboo Buffet, di daerah pinggiran, Ashburn, Virginia. Restorannya ramai. Banyak kantor – kantor di sini, pelanggannya kebanyakan pegawai dari MCI, dan juga AOL. Jangan ditertawakan ya, jauh – jauh ke Amerika hanya jadi tukang cuci piring, pekerjaan yang tak pernah kubayangkan sama sekali dalam benakku.

Awalnya, kupikir pekerjaan itu enteng, apa susahnya mencuci piring. Bukankah aku sering membantumu waktu di rumah? Apalagi di sini pakai mesin, pasti lebih cepat. Ketika hari pertama kujalani, ternyata tak semudah yang kubayangkan. Sungguh aku nyaris putus asa, Mi. Berbagai kotoran: piring, gelas, panci, wajan, garpu, pisau berdatangan tak ada habisnya bak mesin pabrik mengeluarkan isinya untuk dirampungkan. Belum selesai satu kranjang, telah menunggu bertumpuk kranjang lain penuh piring kotor. Secepat tanganku menaruh piring di mesin, secepat itu pula pelayan membawa lagi piring – piring kotor. Aku kewalahan, capai, mau muntah, sekaligus jengkel. Ya, jengkel pada pelanggan yang tak ada habisnya, jengkel pada tumpukan piring kotor, jengkel pada orang – orang dapur, jengkel pada diriku sendiri, jengkel pada profesi tukang cuci piring.

Sampai akhirnya Mr. Kong pemilik restoran turut membantu. Sepertinya bos-ku baik, Mi, mau menolong biarpun sudah juragan. Kalau di Indonesia mana mau juragan seperti itu, pasti mereka gengsi. Ia sudah 60 an tahun, termasuk pendiam, atau karena bahasa Inggrisnya tak lancar, sering perintahnya hanya sepotong – sepotong. Bahkan ia lebih sering menggunakan bahasa Spanish karena kebanyakan pekerja restoran di Amerika orang – orang dari Amerika Tengah.

Hari kedua aku bekerja, otot – otot lengan dan telapak tanganku bengkak, kaku, dan susah digerakkan. Barangkali kemarin aku mencuci selama sepuluh jam. Atau karena aku tak pernah bekerja seberat itu sebelumnya. “Rapido - rapido”, cepat, cepat, seperti itu Mr. Kong berteriak menyuruhku bekerja lebih sigap.

“ Muchos platos, Ahmad! Hayyaa”, banyak piring, nadanya tampak marah.
Aku diam saja, kukerjakan lebih cepat (menurut perkiraanku), tapi ia kelihatan tak sabar dan akhirnya turut membantuku. Demikian keadaanku, Mi. Ternyata hidup di Amerika tak seindah yang digambarkan oleh film – film Hollywood.

Malamnya setelah restoran tutup aku dipanggil Juan Carlos, si Chef restoran, lantas diajak menemui Mr. Kong yang sudah menunggu di ruang kerjanya. Aku mengerti, ini pasti karena kerjaku yang kurang cepat. Mr. Kong tidak puas. Kukemukakan alasanku, memang aku tak pernah bekerja mencuci piring sebelumnya, apalagi baru sepuluh hari tiba di Amerika.

Tampaknya Mr. Kong kecewa, entah padaku – atau barangkali pada si Chan, agen penyalur tenaga kerja di China Town – New York. Ia yang menjamin dan mengirimku ke Ashburn sini. Sejenak suasana lengang, aku diam, wajahku tegang. Tak lama berselang si Chef bicara dalam Spanish pada Mr. Kong dengan mimik serius, dan kutahu kemudian bahwa Mr. Kong memutuskan untuk cari dish washer lain yang sudah berpengalaman. Aku dipecat
Betapa kerasnya hidup di Amerika, Mi. Bahkan untuk pekerjaan rendahan seperti tukang cuci piringpun harus bersaing ketat, terutama dari orang – orang Honduras, Salvador, atau Mexico, yang rata – rata memang kuat, gesit, cepat, walau mereka tak berbahasa Inggris. Biar tukang cuci piring, istilah kerennya kudu profesional. Kalau tidak, mudah saja mencari penggantinya. Alih alih masa training, ternyata mereka tak mau rugi. Barangkali demikian cara berpikir mereka, Mi, pragmatis. Toleransi diukur dengan uang. Apakah itu salah satu wajah dari dunia modern? Aku harus banyak belajar untuk beradaptasi.

Keesokan paginya aku diantar Mr. Kong menuju terminal bis untuk dipulangkan. Diberikannya gajiku selama dua hari, 120 US dollar. Tujuanku New York, kembali ke agen Chan, minta pekerjaan lain. Di dalam bis aku diam terpaku, salju turun perlahan. Angin sesekali berhembus kencang menggetarkan badan bis. Kulihat kijang terkapar di pinggir jalan, mungkin tertabrak kendaraan yang lalu lalang. Galau perasaan menyekap tubuh, uangku menipis. Aku harus cari pekerjaan. Aku harus bisa bertahan hidup di sini, harus gigih. Dan kini kumengerti, Mi, ternyata uang dan waktu adalah segalanya di sini, atau barangkali pondasi kehidupan mereka.
Time is money , ya aku ingat kata – kata itu di Indonesia hanya sekedar lips service, atau paling banter untuk istilah orang-orang mencari obyekan diluar jam kantor. Tapi di Amerika, waktu sangatlah berharga. Barangkali aku harus merubah cara berpikirku, waktu adalah uang. Rezeki tidak dibagikan secara gratis. Kata orang sini, bapak – bapak pendiri negeri ini, kemerdekaan individu berarti tiap orang harus mandiri secara finansial. Dengan begitu mereka bebas menentukan pilihan hidupnya. Mereka tidak diperbolehkan meminta belas kasihan negara. Harga yang harus ditebus untuk kebebasan itu, tiap orang harus bersaing dengan ketat dan bekerja keras.

Surat ke dua ditulis beberapa hari kemudian:
Rahmi, sudah seminggu semenjak dari restorannya Mr. Kong, aku menunggu di penampungan kumuh daerah China Town New York. Musim salju sangat dingin, sekujur tubuku gatal – gatal. Aku hanya diam di ruko bersama beberapa orang cina daratan yang juga sedang menunggu beroleh pekerjaan. Sehari dikutip 8 dollar untuk sewa tempat tidur model tingkat, suasananya seperti barak pengungsi. Aku tak tahu mereka bercakap dalam Mandarin atau Kanton, tapi kelihatannya seru, persis dalam film – film silat. Mereka statusnya sama dengan aku, kaum pendatang. Barangkali di Cina mereka tak kebagian rezeki, kaum miskin persis seperti kita.

Rahmi, duitku makin menipis, semoga tak lama lagi aku segera mendapat pekerjaan. Kemarin ada kabar dari agen Chan kalau ada lowongan pekerjaan di Maryland. Doakan aku cepat bekerja. Bagaimana kabar Indonesia? Kelihatannya makin memburuk ya? Kangenku untukmu dan anak – anak.

Surat ke tiga ditulis satu bulan kemudian, tertanggal 15 Januari 1999:
Rahmi, seperti yang dijanjikan agen Chan akhirnya aku bekerja di restoran lagi, namanya Asian Noodle di Bethesda, Maryland. Pemiliknya orang Korea, Mr. Chun, berusia 45an tahun. Kini pekerjaanku kitchen helper, tugasku memotong sayuran, memotong daging, meracik bumbu-bumbu, dan menanak nasi. Selain itu aku juga ditugasi mengatur stok di kamar pendingin.

Semestinya pekerjaan itu dibayar 7.5 dollar sejam, tapi berhubung aku dilihatnya belum berpengalaman, hanya dibayar 5.5 dollar. Aku tak protes, daripada tak ada penghasilan. Lagipula aku butuh uang untuk segera mencicil hutang, untuk kebutuhanmu dan anak-anak, juga kebutuhanku di sini. Biarpun pekerjaan ini berat, tapi aku bisa menjalaninya.

O ya, juru masak restoran ini orang Indonesia namanya Junianto dari Banyuwangi. Ia tinggal di Amerika sudah 10 tahun, masih membujang, sepertinya sudah makmur. Mobilnya Mustang sport dua pintu, punya rumah di German Town, punya kartu kredit Discover, Amex, punya anggota klub kebugaran, punya komputer beserta perangkat internet, punya cellphone keluaran terakhir, dan pergi ke klub di akhir pekan. Demikian gaya hidupnya, khas Amerika. Di sini, status manusia dalam lingkungan sosial sering dinilai dari berapa banyak dia punya (kaya). Sedangkan aku, tak bisa kubayangkan apakah itu jadi impianku juga? Atau hanya fatamorgana saja. Sepertinya jarak sosial untuk meraih itu terlalu panjang. Yang kubutuhkan sekarang hanyalah uang, dan uang. Apakah suaraku terdengar materialistis?

Surat ke empat ditulis satu bulan kemudian, pendek saja:
Rahmi, Apakah uang kirimanku telah sampai? Jika sudah, sisihkan 1500 US dollar untuk cicilan hutangku (untuk berangkat ke Amerika) ke pak De Harmin. Sisanya yang 1000 US dollar, belanjakanlah untuk kebutuhanmu dan anak-anak. Jika ada sisa uang sebaiknya ditabung.

Surat ke lima ditulis empat bulan kemudian, Juni 1999:
Rahmi, sudah enam bulan kita berpisah. Akhir – akhir ini yang memenuhi benakku hanyalah kamu dan anak – anakku. Tak jarang aku kehilangan konsentrasi dan gairah bekerja, dan tiba – tiba aku sudah dalam lamunan. Pernah tanganku tergores pisau saat merajang wortel, pernah pula aku lupa menaruh tamarind sauce ke dalam bumbu Pad Thai, lain waktu aku lupa mengangkat rebusan lomein noodle dari atas kompor. Apakah ini salah satu gejala home sick?

Dulu waktu kudengar cerita dik Narti tentang celana dalam, aku hampir tak percaya. Ya, waktu suami dik Narti tengah study di Kanada. Dan minta dikirimi cawat istrinya yang telah dipakai. Aku menganggap permintaan mas Imam mengada – ada. Setelah enam bulan aku di sini, baru aku bisa mengerti. Aku kangen baumu, Mi. Bau tubuhmu dari rambut sampai kaki.

Bagaimana kabar Faisal dan Nurul? Apakah mereka merindukan ayahnya? Aku ingat sikap Nurul dua minggu sebelum keberangkatanku ke Amerika. Ia jadi pendiam dan murung. Ia tidak bisa menerima penjelasanku. Ia sepertinya menjauh dariku, tak mau lagi dekat denganku. Aku sedih melihat perubahan itu. Tolong Nurul diberi pengertian, ayahnya pergi ke Amerika bukannya pesiar, bukan pula tak sayang lagi padanya. Tapi ayahnya pergi untuk cari uang, untuk beli bonekanya Nurul, untuk beli buku gambar dan krayonnya Nurul, untuk beli popok adik Faisal, dan susu bayi adik.

Belilah handphone Mi, agar kita bisa berbicara, aku kangen suaramu yang merdu, juga ceriwisnya anak – anak. Apakah Faisal sudah mulai berjalan? Atau masih di tetah?

Surat ke enam ditulis enam bulan kemudian, Desember 1999:
Rahmi, satu tahun di sini aku sudah mulai bisa beradaptasi. Mengenai makan, aku masih bisa mendapatkan nasi putih tiap hari. Di sini malah berasnya bagus, putih dan pulen. Mengenai lauk pauk dan sayurannya, aku biasa belanja di Asia market. Bahkan untuk trasi udang aku mudah mendapatkannya.

Mengenai keseharianku di sini, praktis waktuku habis hanya di tempat kerja. Jam 11 malam aku baru sampai di apartemen, mandi, trus langsung tidur. Paling kalau pas hari libur dan badan nggak lelah, aku pergi jalan – jalan entah itu ke lapangan Mall, musium Smithsonian, Lincoln Memorial, atau bangunan bersejarah lainnya.


Rahmi, setelah satu tahun di sini aku merasa lega karena hutangku ke pak De Harmin telah lunas. Bebanku juga makin ringan ketika membaca suratmu bahwa kalian tidak kekurangan uang lagi tiap bulannya. Aku sudah bosan dengan kemiskinan, bosan menganggap hidup layak adalah sebuah kemewahan. Kini ada semangat dalam diriku untuk menata masa depan. Masa depan keluarga kita. Belum pernah aku merasa hidup seindah ini, walau tentunya merasa sedih harus berpisah denganmu dan anak – anak.Tapi itu hanya sementara. Nanti kalau duit yang kukumpulkan sudah cukup, aku akan pulang ke Indonesia. Kita bikin usaha kecil – kecilan, atau kita coba membesarkan usaha pakaian muslim yang telah kamu rintis. Bukankah hidup layak sudah sewajarnya bagi setiap manusia? Dimanapun ia berpijak di atas bumi ini.

Surat ke tujuh ditulis enam bulan kemudian, Juni 2000:
Rahmi, kini posisiku naik jadi asisten juru masak. Pekerjaanku sekarang bikin order masakan grilled, saute dan fried. Aku banyak belajar dari Junianto cara memasak daging untuk chicken teriyaki, grilled salmon, shrimp tempura, bulgogi, lamb skewer, lime chicken, dan masih banyak lagi jenis masakan yang aku tidak tahu sebelumnya. Nanti kalau aku pulang, aku akan memasak untukmu dan anak – anak.

Mi, sudah satu setengah tahun aku bekerja di sini alhamdullilah keadaan ekonomi kita semakin membaik. Keberanianku untuk memandang masa depan keluarga kita kian timbul. Aku juga senang mendengar usaha baju muslim-mu kian maju. Bagaimana orderannya? Ramai? Bukankah tetangga kita sekarang banyak yang memakai baju muslim? Memang kini baju muslim sudah umum dipakai, barangkali sudah jadi trend mode atau memang karena panggilan jiwa. Coba itu barang duapuluh tahun yang lalu, usahamu tak bakalan seramai sekarang.


Surat ke delapan ditulis tujuh bulan kemudian, Januari 2001:
Rahmi, ada yang mau kuceritakan, tentang sesuatu yang akhir – akhir ini kurasakan. Bukan sesuatu yang mengganggu tapi cukup jadi beban pikiranku. Awalnya ini tentang pekerjaanku. Aku bekerja sehari 12 jam, seminggu 6 hari. Waktu libur hanya sehari dan itu kugunakan untuk tidur untuk memulihkan tenaga buat keesokan hari. Sedangkan dalam setahun hanya ada libur resmi dari restoran pada hari Natal dan Thanksgiving. Pekerjaan itu, rutinitas yang kujalani selama dua tahun ini, lama kelamaan kurasakan sebagai beban tersendiri. Aku seperti mesin, seperti robot dalam pabrik yang hidupnya hanya untuk bekerja dan bekerja. Barangkali kalau kamu dan anak – anak ada di sini, aku tak akan merasakan beban seberat itu.

Kadang aku mencoba menguranginya dengan mencari teman, nonton tv, atau jalan – jalan, tapi hal itu tak banyak membantu. Aku merasa asing dengan hidupku, dengan lingkunganku, bahkan dengan diriku sendiri. Rasanya aku seperti hidup dalam alam mimpi yang kesemuanya membisu, asing, kosong, dan senyap. Ada sesuatu yang hilang dalam batinku. Barangkali “Time is Money” telah merasuk dalam pikiran bawah sadarku, atau mungkin memang kehidupan orang – orang di sini selalu dikejar waktu, dibatasi waktu, dan terperangkap oleh waktu.


Itulah surat - surat yang dikirim suamiku kepadaku. Kabar terakhir ia bekerja di sebuah kafetaria milik orang Itali, di tempat wisata daerah Washington DC. Kami sempat berhubungan lewat telepon, terakhir tanggal 10 September 2001. Kini setahun telah lewat, tak ada tanda – tanda dimana suamiku berada. Telah kuhubungi hp-nya tapi tak aktif lagi. Aku bingung hendak mengadu kemana. Adakah yang bisa membantu?


The Mall, Washington, DC. 11 September 2001

Hari cerah, sinar matahari menebarkan kehangatan pagi hari, rerumputan masih basah oleh embun. Lapangan sepanjang satu setengah kilometer itu belum ramai. Di ujung sebelah kiri, kulihat Gedung Kapitol mengeliat angker seperti raksasa baru bangun tidur. Sedangkan di kejauhan sebelah kanan, kulihat rombongan turis sedang mengantri masuk ke Monumen Washington untuk menikmati panorama kota Washington DC di ketinggian.

Kafetaria tempatku bekerja strategis letaknya, di pinggir lapangan, dinaungi rerimbunan pohon tua, dengan beberapa patio yang diatur rapi, dan berseberangan dengan salah satu musium Smithsonian. Aku bergegas menyiapkan kopi Colombia pada coffe machine, sebentar lagi kafetaria akan buka. Roti bagel, bun, sub, white bread sudah kuletakkan ditempatnya. Burger, hotdog, pastrami, tuna sandwich, corned beef telah kusiapkan dalam etalase pendingin. Sudah enam bulan rutinitas ini kujalani semenjak aku dipecat dari restoran Asian Noodle karena aku berkelahi dengan majikanku.
Pemilik kafetaria ini, Mr. Lombardo, imigran asal Itali generasi kedua, mempekerjakanku dengan bayaran 8 dollar sejam. Untuk ukuran itu, aku merasa Mr. Lombardo lebih manusiawi daripada majikan - majikanku terdahulu. Selain itu, aku melihat Mr. Lombardo adalah pribadi penuh perhatian, kental sifat kebapakan, tidak pelit, dan sepertinya tulus. Aku merasa senang bekerja di tempat ini, juga kepada Mr. Lombardo.

Jam menunjukkan pukul 9:00 pagi. Kulihat seorang pegawai musium Smithsonian datang dan memesan kopi. Smith nama pemuda kulit hitam itu, pelanggan setia kafetaria ini, menceritakan sesuatu kepadaku dengan berapi-api. Katanya ia baru saja melihat tayangan TV yang memberitakan bahwa sebuah pesawat jet baru saja menghantam gedung World Trade Center di New York. Aku setengah tak percaya, Smith seperti biasa, suka membual. Bahkan kini Smith berani bertaruh 50 dollar. Aku kemudian menuju mini compo memutar frekwensi radio untuk memastikan kebenaran cerita itu.
Kudapatkan channel berita, dan kudengarkan liputan dengan seksama. Kulihat sekilas Mr. Lombardo asik menghitung stok minuman kaleng. Ia tak memperhatikan apa yang sedang kami ributkan. Ia sudah paham kalau Smith datang suasana kafetaria pasti hingar bingar.

Tak beberapa lama perasaanku tercekam: bukan saja North Tower yang dihantam, sekarang gedung kembarnya South Tower juga dihantam pesawat jet. Mr. Lombardo yang kini berada di sebelahku mendadak sesak nafas, terkejut mendengar berita itu. Wajahnya pucat pasi. “Ini serangan teroris..”, suaranya tersekat di kerongkongan.
Diraihnya cepat – cepat telpon genggam dari meja kasir, Mr. Lombardo mondar – mandir gelisah, ia berusaha menelpon seseorang. Kulihat wajahnya berubah cemas, sorot matanya meratap. Tak ada jawaban dari orang yang diteleponnya. Dalam kegalauannya, Mr. Lombardo menggumam dalam bahasa Itali. Barangkali sebaris doa, atau ungkapan kecemasan. Ia mencoba menelpon lagi, tetapi tak ada nada jawab.

Kembali ke radio, reporter melaporkan dengan berapi-api seolah pendengar sedang melihat kejadian mencekam itu dengan mata kepala sendiri. Sungguh mengerikan, sesekali suara reporter itu menghela napas karena dahsyatnya kejadian itu. Aku miris mendengar beberapa orang telah meloncat dari gedung pencakar langit entah untuk menyelamatkan diri atau bunuh diri. Beberapa orang terlihat di jendela melambai – lambaikan tangan dengan putus asa berharap pertolongan. Aku tak tega membayangkan bagaimana rasanya jika berada di dalam gedung itu, ketika mengetahui kematian sudah di depan mata, dan merasakan detik – detik mencekam dimana malaikat pencabut nyawa akan datang menghampiri, dengan beribu cara yang mengerikan. Semenjak tragedi Pearl Harbour, baru kali ini Amerika diserang musuh.

Kulihat sekeliling lapangan Mall tampak normal, wajah – wajah pejalan kaki kalem seperti tak terjadi apa – apa. Barangkali mereka tak mendengar kejadian itu. Tiba-tiba kudengar suara menggelegar seperti ledakan bom di sekitar lapangan Mall. Getarannya terasa pada dinding kafetaria. Kami bertiga di kafetaria tersentak kaget. Kulihat asap hitam mengepul di angkasa di belakang Washington Monument. Orang – orang disekitar juga tampak kaget, beberapa mengira ada pesawat jatuh di bandara Ronald Reagen.
Jam 9: 58 gedung South Tower ambruk karena tak mampu menyangga beban disebabkan konstruksi meleleh. “Ya Tuhan, tidak mungkin”, seru Mr. Lombardo, ia terduduk lemas seakan darah menghilang dari kakinya. Kulihat tubuhnya limbung tak bertenaga. Aku segera meraih pundaknya dan membimbingnya duduk di kursi. Kudengar Mr. Lombardo berteriak parau menyebut nama John. Ya, John anak semata wayangnya. John yang bekerja sebagai manajer di salah satu restoran di gedung WTC itu ikut terkubur bersama reruntuhan South Tower. Aku ikut prihatin atas kejadian itu. Kudengar kemudian Mr. Lombardo meracau tak sanggup membayangkan anaknya jatuh dari gedung setinggi 1,362 feet dan hilang dalam timbunan puing – puing bangunan. Keseimbangan batinnya tergoncang hebat, kulihat air mata meleleh di atas pipinya, matanya sembab. Aku memberikan segelas air putih tapi ditolaknya.

Mr. Lombardo segera menyuruhku menutup kafetarianya. Aku lantas mematikan wajan penggorengan, mematikan toaster, memasukkan daging dan sayuran ke dalam kulkas, setelah itu membereskan coffe machine. Tak lama kudengar raungan sirine polisi, pemadam kebakaran dan ambulan bersahutan. Ini pasti karena ledakan keras tadi.
“ Hurry - hurry up, Ahmad “, seru Mr. Lombardo cemas. Aku panik, dalam benakku timbul bermacam bayangan menakutkan, barangkali itu bom nuklir, bom kuman, atau pesawat yang menghujam sekitar Washington, DC.

Tak berselang lama kudengar berita di radio, gedung North Tower ambruk. Bersamaan itu dikabarkan Pentagon juga kena hantam pesawat. Kemungkinan selanjutnya serangan ke Gedung Putih dan Gedung Kapitol. Ini dekat dengan tempatku bekerja. Tak lama kemudian kudengar pesawat tempur F-16 membelah angkasa dengan suara yang memekakkan telinga. Hal yang buruk sedang terjadi jika melihat pesawat itu melintas di atas area Kapitol. Di kejauhan dekat monumen Washington, kulihat petugas polisi memblok jalan dan menyerukan kepada setiap orang untuk meninggalkan lapangan Mall, rasa - rasanya seperti terjebak dalam medan pertempuran. Aku beralih melihat wajah Mr. Lombardo, tatapan matanya kosong. Tak bisa dipungkiri hatinya remuk redam karena kehilangan anak satu-satunya. Aku menawarkan diri untuk menemaninya, tapi ditolaknya. Setelah mengunci kafetaria, kami berdua akhirnya berpisah. Smith sudah kabur entah kemana.

Aku berjalan menyusuri jalan Pennsylvania Avenue. Nafasku memburu, kedua bahuku rasanya naik turun dengan cepat. Semakin lama jalan dipadati oleh orang – orang yang keluar dari gedung – gedung perkantoran. Jalan – jalan menjadi lautan manusia. Rupanya berita penyerangan Pentagon telah menyebar dengan cepat. Raungan sirine polisi, pemadam kebakaran, dan ambulan kudengar di semua penjuru kota. Suasana bertambah mencekam. Aku perhatikan wajah-wajah orang yang berpapasan dan melintas di depanku. Serabutan. Sebagian tampak takut dan sedih. Beberapa kulihat kalem dan rileks berjalan mengikuti arus besar manusia itu. Aku tak berani menilai apa yang ada dalam benak mereka masing – masing. Bahkan diantara lautan manusia itu ada yang tertawa cekikikan.

Aku teringat keadaan yang mirip, yang pernah kualami waktu peristiwa Mei 98 lalu. Setelah kota Jakarta dilumpuhkan oleh amok massa ribuan orang, setelah mereka puas menjarahi toko – toko, merampoki apartemen, membakari mobil, memperkosa wanita, dan beberapa membantai korbanya secara kejam. Aku mengikuti arus besar manusia menjauhi kerusuhan. Aku berjalan kaki di terik matahari sejauh puluhan kilometer. Dibenakku terbersit sebuah gambaran akan masa depan yang suram. Masa depan bangsaku, juga kekhawatiranku akan masa depan keluargaku. Perasaan serupa itu kini muncul kembali dalam waktu dan tempat berbeda. Aku khawatir sesuatu akan menghadangku dikemudian hari, sesuatu yang suram bagi masa depanku di Amerika.

Tiga tahun sudah aku mengais rezeki. Disaat setitik harapan telah tumbuh mengatasi kemiskinanku, disaat aku berharap akan menuai hasil dari keringat di tanah baru ini. Semuanya tiba – tiba musnah bak ditelan gelombang lautan. Aku khawatir kalau orang – orang Amerika marah setelah kejadian mencekam ini. Bagaimana jika Mr. Lombardo, orang yang telah bersikap baik padaku, tiba tiba berubah membenciku, mendendamku, hanya karena ejaan namaku, barangkali pula agamaku, yang menyebabkan anaknya tewas dalam tragedi itu. Atau tangan – tangan kekuasaan berusaha menggiringku menuju jeruji besi, tanpa pandang bulu, tanpa belas kasihan. Aku tidak tahu.

Alexandria, Virginia Desember 2002
Pagi itu pelataran penjara tertutup salju tebal akibat badai semalam. Angin masih berhembus kencang menebarkan hawa dingin bercampur butiran salju. Sederetan pohon maple di pinggir jalan meringkuk kedinginan tanpa daun. Ahmad tergeletak tak berdaya merenungi hari – harinya di balik terali besi. Tatapan matanya meredup tanda tiada lagi pengharapan dalam dirinya. Hatinya kini kosong, tak nampak gelegak magma yang menggelora memompakan semangat hidupnya.

Ahmad tidak tahu sudah berapa kali dipindahkan, sepertinya penjara terakhir yang ditempatinya ini berada di Joseandria, Virginia. Ahmad juga tidak tahu kenapa ditanyakan tentang sejumlah daftar nama – nama yang khas untuk dikenalinya. Ia tidak tahu pasti apa kesalahannya, barangkali akibat dari tragedi penyerangan gedung WTC dan Pentagon.

Memang perburuan dan pengejaran kemudian dilakukan terhadap kaum pendatang. Kaum pendatang yang diduga sebagai pelaku – pelakunya, juga kaum pendatang yang datang ke Amerika karena alasan ekonomi. Tanpa pandang bulu. Kesalahan Ahmad tiga hal: ijin tinggalnya habis, tidak punya ijin bekerja, dan pemakaian identitas atau nomer social security palsu. Hal yang biasa dilakukan para pendatang gelap di Amerika. Pupus sudah harapan Ahmad mengais rezeki di Amerika.
Ia lantas teringat anak istrinya di Indonesia, “Sedang apa mereka malam – malam di sana?” Tidak pernah Ahmad merasa serindu ini sebelumnya. “Jangan kau tahu keadaanku di sini Rahmi, Nurul, dan Faisal. Penopang hidupmu kini mendekam di penjara.”

Entah sampai kapan ia berada di penjara, Ahmad hanya bisa pasrah akan nasibnya. Disebelah kamarnya, terdengar seseorang menyenandungkan lirih lagu Illegal Aliennya Phill Collins, “It's no fun being an illegal alien, …It's no fun being an illegal alien, …...”, dan ia seorang pendatang gelap di Amerika.


(Washington, DC 2005)

Tuesday, January 13, 2009

Akankah Tuhan Membantu Obama?

(Janu Jolang - Washington DC)

Artikel ini ditulis untuk Kompas online, Kokiworld - Senin 12 Januari 2009

Dear Zev dan semua KoKiers di penjuru dunia ....
Tinggal selangkah lagi Obama akan menduduki Gedung Putih. Tanggal 20 Januari 2009 adalah upacara pengambilan sumpah yang diperkirakan berlangsung meriah dan paling spektakuler dalam sejarah kepresidenan Amerika.

Berbagai persiapan, mulai pengamanan yang super ketat, penutupan jalan dan jembatan ke arah Washington DC, kesiagaan pasukan keamanan nasional, ribuan polisi, rumah sakit, penjara, dan hotel – hotel telah siap menyambut kedatangan 2 juta orang yang akan memenuhi Ibukota Amerika yang luasnya tak seberapa. Kalau tidak ada aral melintang, Obama akan menjadi Presiden Amerika yang ke 44.


Di sisi lain, ada pihak – pihak yang ingin menggangu atau barangkali mempunyai agenda dalam acara pengangkatan sumpah Obama. Salah satunya, pada tanggal 30 Desember 2008, 11 organisasi atheis dan 29 orang atheis di Amerika, dipimpin oleh Michael Newdow, lawyer dari California, dokter, sekaligus atheist tulen mendaftarkan tuntutan hukum pada US District Court di Washington, DC.

Tuntutan itu berkaitan dengan rencana upacara pengangkatan presiden terpilih Barrack Obama. Sedangkan pihak yang dituntut, defendants, diantaranya Chief Justice of Supreme Court John Roberts, executive director Presidential Inaugural committee Emmett Beliveau, Senator Dianne Feinstein, Major General Richard J. Rowe Jr., the Reverend Rick Warren dan the Reverend Joe Lowery.

Tuntutan dari Newdow dkk ada dua hal:
- Pertama, tuntutan menghilangkan kata – kata “ So help me God” dari teks sumpah presiden yang akan diucapkan Obama
- Kedua, tuntutan menghilangkan ritual doa pembuka dan penutup dalam acara tersebut.

Seperti diketahui, ketua Mahkamah Agung John Roberts akan mengambil sumpah pada acara itu, dan Obama juga telah menunjuk pendeta pilihannya untuk mendampinginya. Rencananya Obama akan menggunakan Bible yang dulu dipakai oleh Presiden Abraham Lincoln saat diambil sumpahnya.

Bagi Newdow dkk, karena mereka – adalah orang – orang yang menganut faham tidak mempercayai Tuhan, maka ketika mendengar kalimat “ So help me God” diucapkan, dirasakan bagi mereka sangat mencederai hati, nalar dan perasaan kaum Atheis. Dasar hukum tuntutan Newdow dkk adalah Amandemen Pertama Konstitusi US yang menyatakan “Congress shall make no law respecting an establishment of religion, or prohibiting the free exercise thereof …” Kemudian US Supreme Court menjabarkan tafsir kalimat dalam Undang – undang tersebut menjadi: prinsip Amandemen Pertama memberi mandat pemerintahan untuk bersikap netral diantara agama satu dengan yang lain, dan antara agama dan nonagama.

Menurut Newdow dkk, sangat jelas pemerintah tidak bersikap netral ketika menempatkan kata-kata “So help me God” dalam sumpah jabatan presiden atau mensponsori orang – orang untuk menyembah Tuhan, sedangkan mengetahui diantara individu lain percaya bahwa Tuhan tidak ada. Pemerintah dengan kekuasaannya berpihak pada satu sisi dalam kontroversi terbesar dalam kepercaan: Tuhan ada atau tidak ada. Mereka menginginkan kehidupan yang sekuler, melepaskan keberadaan Tuhan dalam urusan – urusan kenegaraan dan pemerintahan.

Seperti diketahui, pada tahun 2001 dan 2005 Newdow mengajukan tuntutan hukum yang sama tapi tak mendapatkan tanggapan alias tidak pernah sampai ke persidangan. Kali ini ia mencoba lagi dan ternyata mendapat tanggapan hukum dari U.S. District Judge Reggie Walton yang mengatakan Ia melihat “good cause” yang mengijinkan kasus Newdow untuk dilanjutkan. Akhirnya nanti pada tanggal 15 Januari 2009, U.S. District Court for the District of Columbia mengabulkan hearing kasus Newdow v. Roberts. Kabar ini mendapat tanggapan positif dari pihak Newdow dengan mengatakan sangat terkejut sekaligus gembira atas jawaban hakim yang mau mendengar kasus mereka. Akankah tuntutan mereka dikabulkan?


Menurut pandangan pakar hukum konstitusi pada Georgetown University Law Center, Professor Susan Low Bloch, kasus ini akan berakhir seperti yang sudah – sudah, “standing... whether there is an injury and there is a way in which the court, the law can remedy the injury.” Kemudian ia melanjutkan “ adalah sebuah pertanyaan yang susah karena dalam sejarahnya, masyarakat Amerika mempunyai kaitan erat dengan Tuhan sejak lama, baik dalam aktifitas sosial maupun ruang publik.



Kemudian dia merujuk pada sebuah acara persidangan, ketika sidang dibuka selalu menyebut,”God save this honorable court”. Dan juga dibalik tulisan Federal Reserve Note mata uang dollar tertulis “ In God We Trust”. Kita mempunyai Tuhan dalam hal-hal lainnya sejak dulu kala dan tidak pernah memisahkan secara tegas dalam kehidupan bernegara seperti yang diinginkan para plaintiffs tersebut..

Akankah tuntutan para plaintiffs memisahkan Tuhan dalam urusan – urusan kenegaraan atau pemerintahan berhasil dikabulkan hakim?

Mari kita lihat bersama pada tanggal 20 Januari nanti, ketika Obama mengucapkan sumpah jabatan presiden. Akankah diakhir kalimat Obama masih akan memohon pertolongan Tuhan atau tidak.

________________________________
CATATAN : FOTO-FOTO AP, REUTERS
MODERATOR - Penggagas KoKi : ZEVERINA

Friday, January 2, 2009

OBAMA MENJADI PRESIDEN KULIT HITAM PERTAMA DI AMERIKA SERIKAT

Detik-detik mendebarkan penghitungan suara di TV mencapai puncaknya ketika batas minimal electoral vote mencapai 270. Obama menang!!! Obama menang!!! Maka segera kuhampiri si Chef Chong san yang sedang berbincang dengan pelanggan di sushi bar. Dengan lesu ia merogoh sakunya dan menyerahkan uang 50 dollar kepadaku. Ia kalah taruhan.

Malam itu seluruh Amerika bergembira, hingar bingar kemenangan Obama dirayakan dimana-mana. Ya, untuk menang pemilu di Amerika seorang calon harus mengumpulkan 270 electoral vote. Sistem tak langsung dan "rumit" ini mendasarkan pada besaran populasi di masing-masing negara bagian. Jumlah 538 electoral votes yang ada saat ini adalah mewakili jumlah 100 senator dan 435 anggota perwakilan rakyat dari ke 50 negara bagian di Amerika. Sedangkan 3 electoral vote yang tersisa adalah hak istimewa Washington DC lewat amandemen ke 23 yaitu jumlah electoral vote yang sama dengan negara bagian lain yang berpopulasi rendah.
Sebagai gambaran tentang Electoral Vote, karena tiap Negara Bagian besaran populasinya tak sama maka jumlah pemilih yang mewakili satu electoral vote berbeda dari satu negara bagian dengan yang lainnya. Andai kita hidup di Wyoming yang berpenduduk sedikit, di sana 174,277 orang mendapatkan satu electoral vote, di California dibutuhkan 664,604 orang untuk satu electoral vote. Jadi orang Wyoming suaranya 3,8 kali lebih kuat daripada orang yang hidup di California.
Dan dari hasil penghitungan akhir Pemilu Presiden Amerika, Obama dari Partai Demokrat mendapatkan 297 electoral vote, menang telak atas Mc Cain calon Partai Republik yang  mendapatkan 139 electoral vote.
***
Kemenangan Obama ini sangat dramatis, karena dia bukan siapa-siapa saat itu, seorang pendatang baru di panggung politik nasional, Senator Partai Demokrat dari Chicago yang baru dua tahun berkarir di Gedung Capitol. Dengan nama yang kedengaran aneh di telinga orang Amerika: Barack Hussein Obama; Ya, Obama yang berayah Obama, Sr., mahasiswa muslim kulit hitam dari Kenya, yang bertemu dengan Stanley Ann Dunham tahun 1960 di University of Hawaii, tiba-tiba mencalonkan diri sebagai kandidat Presiden Amerika dalam pemilu 2008.
Kala itu banyak orang yang menganggap remeh; karena satu alasan, Obama adalah seorang kulit hitam. Ya walau di Amerika adalah negara yang menjunjung tinggi hak azasi manusia, kebebasan dan persamaan hak, tetapi pada kenyataannya masalah rasial masih menjadi tema yang sensitif dalam kehidupan sehari-hari.
Kembali pada masa Abraham Lincoln di tahun 1863, Presiden ke 16 yang ingin mengakhiri perbudakan, ingin membebaskan jutaan orang kulit hitam dari perbudakan di Amerika. Jaman itu orang kulit hitam masih diperjual belikan layaknya binatang ternak di pasar. Harga seorang budak laki-laki setara dengan harga seekor kuda. Perjuangan Lincoln banyak ditentang oleh orang-orang negara bagian Selatan, perbudakan adalah hal yang legal di sana. Lincoln dalam keyakinannya berpendapat, "Para penulis Deklarasi Kemerdekaan tidak pernah bermaksud untuk mengatakan semua manusia adalah sama dalam warna, ukuran, kecerdasan, perkembangan moral, atau kapasitas sosial, tapi mereka memandang bahwa semua manusia diciptakan sederajat dalam hak tertentu, di antaranya adalah kehidupan, kebebasan, dan mengejar kebahagiaan."
Dua tahun setelah membebaskan perbudakan, tahun 1865 Lincoln ditembak mati. Dan era perlakuan diskriminasi masih terus berlanjut. Orang kulit hitam yang mulai bebas memiliki tanah sendiri, menggarapnya, dan menjual hasil panennya, mendirikan gereja, membangun sekolah, kini mulai mendapat perlawanan dari orang-orang kulit putih yang masih berfaham rasialis. Supremasi kulit putih,"White Power" dengan organisasinya Ku Klux Klan melakukan teror dengan menculik dan memukuli orang kulit hitam, juga menggantungnya.
100 tahun kemudian di era Martin Luther King, supremasi kulit putih dan nasionalis kulit putih masih mendominasi kehidupan sosial maupun politik di Amerika. Jaman Great Depresion yang menghantam Amerika di tahun 1930an kala itu menambah tensi ketegangan rasial dan perbedaan perlakuan terhadap ras berwarna. Peristiwa Amok Massa di Athens, Alabama 10 Agustus 1946 menggambarkan kenyataan bahwa kaum kulit putih masih memperlakukan ras kulit hitam dengan semena-mena. Peristiwa itu dipicu ketika dua orang kulit putih ditahan karena menyerang seorang laki-laki kulit hitam. Dan keesokan harinya sekitar 2000 orang kulit putih dan remaja yang tidak terima dengan penahanan kedua temannya kemudian melakukan aksi balasan dengan merazia orang-orang kulit hitam yang dijumpai di sepanjang jalan dan memukulinya. Pasukan keamanan diturunkan untuk mengamankan kerusuhan itu. Tak ada yang tewas dalam peristiwa itu, tapi 50 orang kulit hitam cedera. Sebanyak 16 perusuh kulit putih didakwa melakukan tindakan kekerasan oleh pengadilan.
Ya, kala itu nasib orang kulit hitam sangat memprihatinkan. Mereka mendapat perlakuan diskriminatif dengan diciptakannya aturan-aturan pemisahan tempat antara kulit putih dan kulit berwarna pada fasilitas-fasilitas umum. Rosa Park seorang wanita tua kulit hitam di Alabama ditangkap gara-gara tak memberikan tempat duduk kepada penumpang lelaki kulit putih di sebuah bis. Ya, perlakuan diskriminasi diciptakan mulai dari sekolah, tempat duduk di bis, kereta, hingga kamar mandi. Segregasi dalam hal ekonomi dan peluang kerja makin memperburuk nasib orang kulit hitam. Mereka tak bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, diskriminasi gaji dan kecilnya kesempatan kerja membuat tingkat pengangguran pada ras kulit hitam meningkat tajam.
I Have A Dream begitulah pidato Martin Luther King tahun 1963 yang fenomenal, di depan 250.000 orang pendukung perjuangan hak-hak sipil di Lincoln Memorial. Pidato itu menuntut semua pihak untuk mengakhiri faham rasialis di Amerika, baik fihak pemerintah, legislatif, yudikatif, maupun masyarakat Amerika.
" Setelah 100 tahun Lincoln membebaskan sistem perbudakan, Negro masih belum bebas. Kehidupan orang Negro masih sangat menyedihkan akibat belenggu segregasi dan rantai diskriminasi. Seratus tahun kemudian orang Negro masih hidup terasing dalam pulau kemiskinan ditengah-tengah lautan kemakmuran. Seratus tahun kemudian Negro masih mendekam di sudut - sudut kumuh Amerika dan menemukan dirinya terasing dari tanahnya sendiri...."
Dan pidato yang melegenda itu akhirnya menjadi tonggak dari pergerakan hak-hak sipil di Amerika. Tahun 1968 Martin Luther ditembak dan mati.
***
40 tahun setelahnya, seorang Obama yang berkulit hitam dengan ayah warga negara Kenya telah merubah sejarah Amerika dengan menjadi Presiden Pertama Kulit Hitam di negara Super Power itu. Impian Martin Luther King terwujud, suatu hari akan ada bukti di Amerika bahwa semua manusia diciptakan sederajat. Suatu hari anak bekas budak dan anak bekas majikan bisa duduk bersama dalam meja persaudaraan.
Ya, Obama membuat sejarah yang mencengangkan bagi Amerika Serikat. Ia mampu mengalahkan kandidat kuat Demokrat Hillary Clinton di pemilihan umum awal yang ketat, Ia juga bisa melewati masa-masa sulit walau diterpa isu tak punya akte kelahiran, juga isu telah pindah kewarganegaraan Indonesia karena diadopsi oleh Lolo Soetoro, seorang mahasiswa muslim Indonesia yang menikahi ibunya, kemudian pindah ke Indonesia. Semua rintangan dan isu seolah tak berarti ibarat bola salju sudah menggelinding, maka ia makin membesar dan tak tertahankan. Puncaknya adalah ketika Obama mengalahkan kandidat dari Partai Republik Mc Cain dengan telak.
Dalam pidato kemenangannya di kota tempat tinggalnya Grand Park Chicago, Obama mengatakan sesuatu yang monumental:
" Jika ada ... siapapun di luar sana yang masih menyangsikan; bahwa Amerika adalah tempat dimana segala sesuatu hal itu mungkin, ... siapapun yang masih meragukan; bahwa impian para pendiri bangsa ini masih tetap hidup pada masa kita,.... siapapun yang masih bertanya-tanya; tentang kekuatan dari demokrasi kita; ... malam ini adalah jawabannya."
Ya, selama 232 tahun setelah kemerdekaan, kini anak kecil kulit hitam bisa bermimpi tentang cita-citanya; tidak hanya sekedar jadi dokter, insinyur, ahli komputer, melainkan bisa jadi presiden. Barrack Hussein Obama, Presiden ke 44 Amerika Serikat, Presiden Pertama yang berkulit hitam. Sebuah era baru dimana 140an tahun lalu, seorang kulit hitam, seorang budak yang tak memiliki hak-hak sipilnya, yang hanya bisa diperas keringatnya, kini bisa mendiami Gedung Putih dan menjadi salah satu orang yang paling berkuasa di dunia.
Kemenangan Obama adalah sebuah katarsis nasional dikarenakan keterpurukan Amerika di era Presiden Bush dalam bidang ekonomi, juga beban berat karena menanggung perang berkepanjangan di Timur Tengah dan Asia Selatan. Maka slogan slogan Perubahan menggema di setiap sudut Amerika. Yes We Can ... Si Se Puede ... Ya Kita Bisa.

Thursday, January 1, 2009

Kuliner Rantau: Makan Bakso

Bakso adalah makanan populer bagi masyarakat Indonesia. Kuahnya yang sedap serta daging sapi yang kenyal sanggup menggelitik lidah kita untuk bergoyang. Apalagi ditambah dengan sambel pedas serta kecap manis, lengkap sudah kenikmatan dalam memanjakan lidah kita.

Bagi perantau asal Indonesia, khususnya yang tinggal di Amerika bagian Timur, kerinduan akan cita rasa bakso sedikit terobati dengan adanya restoran Vietnam yang berlabel Pho yang berarti "sup".
Menurut sejarahnya, Pho berasal dari Vietnam Utara pada tahun 1880an. Mereka meyakini Pho dipengaruhi oleh cara memasak dari China dan Prancis. Pho memakai mie berbahan beras dan menggunakan rempah - rempahan yang kala itu diimpor dari China. Sedangkan kebiasaan memakan daging sapi setengah matang dan juga memanggang bawang bombay untuk mendapatkan cita rasa kuah yang lezat adalah pengaruh dari Prancis.


Salah satu tempat yang ramai dikunjungi orang - orang Indonesia adalah Pho 75 yang terletak di daerah Rosslyn, Arlington Virginia. Jangan heran di restoran ini sering terdengar orang bercakap dalam bahasa Indonesia. Entah itu bercakap masalah negara karena memang banyak orang yang bekerja di kedutaan Indonesia yang makan di sana, atau beberapa berceloteh tentang suka dukanya bekerja di Amerika. Mereka - mereka itu adalah para perantau yang mencari nafkah di sini. Dan yang terakhir, restoran ini juga sering dikunjungi para pelajar Indonesia yang sedang menimba ilmu di sini.

Restoran Pho75 sendiri tidaklah mementingkan tempat yang mewah. Hanya dengan menempatkan meja panjang berderet beserta kursi - kursinya, Anda siap melahap pho seperti layaknya makan di warung bakso di Indonesia.
Khusus hari Minggu, antrian pengunjung tampak mengular terjadi pada jam makan siang. Sampai - sampai si Empunya menyediakan kurang lebih 80 galon kuah sup mendidih yang siap disantap. Dalam hal pelayanan, restoran ini terbilang seadanya. Setelah Anda diberi tempat duduk, Pelayan datang dengan wajah tanpa ekspresi sambil menyerahkan menu, beberapa menit kemudian dengan secarik kertas di tangan, tanpa banyak omong, pelayan siap menulis pesanan Anda. Ada kurang lebih 20 jenis variasi pho yang disediakan restoran ini.
Sekedar info tambahan, walau tempat dan pelayanannya sederhana, restoran ini selalu memenangkan penghargaan dari Washingtonian sebagai salah satu restoran yang menjual makanan enak dan murah. Ada 21 piagam menempel di dinding yang berarti sudah 21 tahun restoran ini memenangkannya.

Pertamakali mencoba Pho, kita langsung jatuh cinta dibuatnya. Kuahnya yang harum dan lezat ternyata berasal dari perpaduan kuah daging sapi dan bermacam bumbu seperti cinnamon, jahe, star anis, cengkeh, serta dipadu dengan bawang bombay yang dibakar.
Kebanyakan orang Indonesia suka memilih menu Bo vien yang berarti meat ball atau bakso saja. Tetapi kalau Anda tertarik merasakan berbagai rasa daging sapi dalam semangkuk pho, maka menu no.1 adalah pilihan yang paling komplit. Di dalamnya terdapat irisan tipis flank beef atau daging dari bagian perut, irisan brisket beef yang diambil dari daging diantara dada dan iga, babat, tendon, dan irisan tipis daging setengah mateng. Untuk yang terakhir, sebetulnya dagingnya masih mentah - tapi berhubung disiram kuah panas maka berubah jadi pink kecoklatan alias setengah mateng. Tapi jangan tanya rasa dagingnya, juicy banget!!

Selain daging, kita juga dimanja oleh isi garnisnya yang bermacam - macam, diantaranya kecambah, thai basil yang rasanya persis daun kemangi, cilantro, daun bawang, irisan bawang bombay, dan jalapeno. Terakhir sebagai penyedap rasa, disediakan jeruk nipis, sambel pedas sriracha, dan hoisin sauce dari buah plum.

Seperti makan bakso, cara makan Pho-pun bermacam-macam tergantung bagaimana cara kita menikmatinya. Kebanyakan orang Indonesia, karena terbawa cara makan bakso ala Indonesia, mereka senang mencampurkan sambel pedas sriracha dan hoisin sauce ke dalam kuah. Bahkan ada seorang teman, setiap dia pergi makan Pho tak pernah lupa membawa sambel pedas ABC dari rumah. Selain itu ia suka mencampurkan kecambah, kemangi, dan jeruk nipis ke dalam mangkuknya.
Dari beberapa teman Vietnam, mereka punya cara makan yang berbeda, yaitu dengan mencampurkan sambal pedas, jeruk nipis, dan hoisin sauce ke dalam cawan kecil, sedangkan kuahnya dibiarkan apa adanya. Kondimen yang dicampur dalam cawan itu digunakan buat mencocol dagingnya. Kata mereka, rasa daging sapi akan lebih keluar, dan setelah saya mencoba cara ini ternyata memang rasa dagingnya lebih nonjok di lidah. Sayapun bisa menikmati kuahnya yang memang sudah lezat, dengan bunyi sruputan yang terdengar sampai meja sebelah.


Untuk menyantap semangkuk pho ukuran besar, Anda harus rela merogoh kocek sebesar $ 6.80, sedangkan mangkuk kecil $5.95. Untuk extra topping, entah itu bakso, babat, tendon atau brisket dikenai harga 1 dollar. Dan restoran ini hanya menerima pembayaran tunai saja alias tidak menerima credit card. Selamat mencoba....
(Janu Jolang - ditulis untuk Kompas online, Kokifood)



Wednesday, October 22, 2008

Curhat Anak Rantau

Menjadi perantau ternyata banyak suka dukanya, hal ini dialami seorang mahasiswi asal Indonesia yang sedang sekolah di sini, sebut saja Putri Melati. Ingin mendengar curhatnya? Kawan kita Moi Emir menuliskannya. (dari redaksi suara rantau)

Cintakah Kau Padaku by Moi Emir

Gw punya seorang temen. Dia di USA ini udah 3 tahunan. Tujuannya dateng ke USA adalah untuk kuliah karena kebetulan dia dapat beasiswa untuk bersekolah disini. Sementara sebelum dia berangkat kesini, dia memiliki seorang cowok yang sangat mensupport dia untuk kuliah di USA. Si cowok karena takut kehilangan si cewek akhirnya mengikat cewek ini dengan pertunangan. Akhirnya bertunanganlah mereka dan mereka berencana untuk menikah setelah si cewek kelar studinya. Berangkatlah si cewek ini ke USA dengan membawa banyak harapan2.

Di bulan2 pertama si cewek disini hubungan mereka masih tetep sama gak berobah, akhirnya satu tahun berlalu dan cinta mereka semakin kuat. Si cowok menjanjikan si cewek untuk datang berkunjung.Berkali2 si cowok bilang kalo dia lagi urus passport dan visanya. Si cewek sangat bahagia mendengar kabar gembira tersebut karena di USA sendiri hidup si cewek pas2an karena dia kuliah bergantung sama beasiswa dan hanya bekerja part time karena dia belom mampu untuk bekerja full time dikarenakan kelas yang dia ambil dalam satu semester mengharuskan dia untuk masuk kelar 4 kali seminggu.

Tapi entah mengapa, kabar ttg cowoknya yang mau datang ke USA hilang begitu aja bagai ditelan bumi. Si cowok tidak pernah bahas lagi masalah passport dan visanya tersebut. Si cewek pun tidak mau bertanya2 karena dia kuatir itu malah akan memperburuk suasana krn dia tau bagaimana moodynya cowoknya ini.Si cewek karena situasinya di rantau, dia belom bisa pulang ke Indonesia sejak dia datang ke USA krn dia memperhitungkan biaya pesawat yang sangat mahal. Komunikasi dia dan si cowok so far baik2 ajah dan lancar. Secara honestly ceweknya lah yang sering menelpon si cowok daripada si cowok yang menelpon si cewek.Si cowok kadang terkesan gak punya hasrat untuk menelpon. Kalau mau dibilang, si cowok termasuk orang sukses krn dia seorang manager disalah satu perusahaan asing yang mana penghasilannya lumayan bagus. Jika dia memang berniat menjaga keutuhan hubungannya dengan si cewek maka dia gak akan pernah merendahkan harga dirinya dengan membiarkan ceweknya tsb satu2nya orang yang berusaha menjaga komunikasi dengan si cowok.Harusnya si cowok juga mau berkorban untuk pulsa telpon untuk ceweknya tersebut. Si cewek karena merasa sayang sama cowoknya makanya dia berkorban habis2an untuk pulsa telpon demi menjaga hubungan baik mereka. Sejauh ini dari cerita si cewek, yang gw liat si cowok ini terkesan cuek, egois dan pelit. Kenapa gw bilang pelit ? Krn dia gak mau korban duit utk si ceweknya.Gw juga baru tau dari cerita si cewek kalo si cowoknya ini pas di Jakarta, juga lumayan pelit. Kalo mereka jalan keluar saweran, si cowok maunya bayar yang murah2 dan si cewek bayar makanan yang porsinya mahal. Jaman gini ternyata kodrat wanita dan pria itu udah kebalik yah. Norma-norma dalam berhubungan yang dulunya cowok menjunjung tinggi harga dirinya sebagai lelaki tapi yang kita semua lihat skrg dari contoh kecil aja bener2 gak bisa dipercaya.

Akhirnya sejalan waktu, si cewek dan si cowok punya pembicaraan dan hubungan mereka makin serius. Mereka udah merencanakan hari H untuk pernikahan mereka walo mereka masih tetap berjauhan. Si cowok terus menerus bilang ke si cewek kalo dia gak mau kehilangan si cewek. Si cowok mau apa yang dia udah mulai, dia akan selesaikan hingga akhir. Si cowok juga bilang apa yang dia udah tanam, dia ingin dapat hasilnya. Si cowok juga bilang kalo dia sangat berharap besar ke si cewek tersebut dan berharap si cewek di USA sini tidak punya orang lain.Setau gw, si cewek ini sangat setia sama cowoknya. Gw selama bergaul sama si cewek, gw gak melihat sekalipun si cewek ini flirting ato jalans ama orang lain krn dia akan tell them straight kalo dia udah bertunangan dan sedang merencanakan pernikahannya dengan tunangannya. Temen2 di USA juga sudah tau ttg hal itu dan kita semua respect sama dia. Malah salut banget, karena hari gini di USA lagi masih ada cewek yang setia banget sama pasangannya.

Si cewek disibukkan dengan kuliah dan kerja. Praktek2 dilapangan dari kuliahnya yang mengharuskan dia untuk membuat paperworks hampir setiap hari. Hal ini sangat menyita waktunya untuk hang out sama teman2 di USA tapi hal yang dia alami bisa kita mengerti kerena banyak juga student2 disini yang punya kasus yang sama seperti dia. Awal tahun 2007 si cewek jatuh sakit dan found out kalo dia terkena komplikasi tipus dan sakit kuning yang mengharuskan dia harus dirawat dirumah sakit dan dia diasingkan diruangan yang sangat steril. Kita semua tahu bahwa di rumah sakit tidak diperbolehkan menggunakan cellphone krn akan mengganggu interfere peralatan2 medis. Karena si cewek disini tidak punya keluarga, dan teman2nya lah orang2 yang paling bisa dia andalkan. Salah satu teman udah berusaha untuk menghubungi si cowok untuk memberitahukan bahwa ceweknya sedang dirawat dirumah sakit tapi si cowok tidak pernah mengangkat telponnya. So akhirnya begitulah si cewek dirawat lumayan lama, ada sebulan lebih krn dokter pengen dia benar2 pulih baru bisa keluar dari rumah sakit. Hampir 2 bulan dirumah sakit dan begitu dia keluar rumah sakit dokter maish mengharuskan dia untuk check up sekali seminggu. Nah begitu keluar dari rumah sakit, si cewek berusaha kontak si cowok dan si cewek bilang kemana aja. Kok gak ada kabarnya ? Krn si cewek begitu mendapatkan cellphone nya lagi dengan harapan dia akan menemukan setidak2nya sms dari cowoknya. Tapi dia gak menemukan satupun sms dari cowoknya selama hampir 2 bulan di cellphone.Si cewek sangat sedih dan dia nanya apakah si cowok tau kalo dia dirawat dirumah sakit ? Si cowok bilang enggak. Si cewek bilang apakah si cowok gak ada inisiatif untuk mencaritahu kenapa si cewek gak kontak dia dalam 2 bulan ? Si cowok bialng enggak. Si cewek kaget, ada apa ini ? Si cewek bener2 gak ada ide apa yang terjadi.

Akhirnya setelah pulang kerumah, si cewek mulai lagi memperbaiki komunikasi sama cowoknya dan hubungan mereka baik kembali. Yang gw gak habis pikir kenapa selalu si cewek yang mengalah. Kenapa selalu si cewek yang berusaha untuk memperbaiki keadaan dan si cowoknya gak melakukan apa2. Betapa egoisnya. Gw kadang merasa kasian sekali sama si cewek karena dia udah berkorban sampai segitunya tapi tidak dihargai sama cowoknya. Si cewek mati2an mempertahankan hubungan mereka. Si cewek pernah cerita ke gw kalo dia merasa kalo si cowok kayaknya pura2 aja mensupport dia untuk bersekolah di USA.Krn kalo si cowok emang bener2 tulus dan mensupport dia, maka si cowok gak akan bersikap aneh seperti itu. Dan apa yang dia bilang ada benarnya. Yang gw liat kesannya cowoknya gak mensupport dia. Kalo memang dia gak mensupport, kenapa dia mengikat si cewek dg pertunangan dan ingin menikahinya begtiu si cewek kelar kuliah. Dan menjanjikan janji2 buta ke cewek tersebut bahwa dia akan datang berkunjung dg memberikan harapan2 ke cewek tersebut bahwa dia sedang mengurus passport dan visanya.

Dua tahun pun berlalu. Hubungan mereka mulai membaik. Si cowok mulai agak rajin me sms dan tetep tidak pernah punya hasrat untuk menelpon dan selalu mengharapkan si ceweknya yang menelpon dia. Belakangan si cowok ikut tenis dan belakangan dia suka jalan sama temen2 tenisnya yang mana si cewek sendiri tidak kenal siapa mereka. Pernah beberapa kali pas si cewek pengen tau kabar cowoknya dan dia menelpon, si cowok angkat telpon dan bilang aduh jangan telpon skrg lagi asik niy sama temen2 tenis. Gw pas diceritain kaget banget. Gw bilang what ? He's not supposed to say that. Dia harusnya respect dan menghargai usaha si cewek utk selalu keep in touch sama dia. Bukannya membuat perasaan si cewek ciut dan sedih. Malah si cewek sempet bilang ke gw kalo skrg dia malah merasa dia udah gak spesial lagi buat cowoknya.Gw bilang sabar aja dulu, mungkin dianya aja lagi sibuk. Si cewek nurut apa yang gw bilang. Lama kelamaan kok si cowok jadi susah dihubungi dan sering kali tiap si cewek nyoba telp dia, dia pasti bilang aduh nanti aja telp nya. Lagi sibuk niy sama temen2. Lah ? Gw terheran2. Ini cowok jadi aneh dan ajaib gitu. Diperhatikan eh malah skrg malah mengenyampingkan si cewek. Bener2 aneh.

Mereka alhasil jadinya sering chat, cerita2 mengancang2 masa depan. Membahas masalah pernikahan. Ttg berapa undangan, dimana pernikahan akan diadakan dll. Si cowok sampe malam takbiran masih suka bilang cinta dan sayang ke ceweknya dan bilang kalo dia tidak mau kehilangan dan si cewek pun bilang hal yang sama.Sebelum lebaran, si cowok masih sempet bahas masalah pernikahan dengan si cewek. Si cowok bilang kalo dia mau si cewek ini pulang ke Indo sebelum akhir tahun ini. Si cewek bilang apa gak bisa awal tahun karena akhir tahun ini si cewek ada final exam di kuliahan. Si cowok bilang gak bisa. Harus akhir tahun ini biar mereka menikah.Gw mikir kok maksa siy. Dah jelas2 dia dan keluarganya tau si cewek ini di USA juga ngapain. Dan si cewek di USA sini gak main2. Tapi si cowok kayak no excuse gitu. Kalo dia butuh ini cewek, kenapa dia gak nyusul ke USA instead of maksa2 si cewek ini disaat posisi si cewek ini lagi terjepit dg masalah exams dan tiket akhir tahun kan double banget harganya krn holiday season dan belom lagi airport tax yang naeknya more than two times. Krn si cewek takut kehilangan si cowok, dia pun booking tiket pulang. Si cowok sampe minta booking code segala ke cewek. Kesannya buat siy paranoid gitu deh. Ya si cewek kasih dan bilang kalo dia punya 2 bookingan. Minta tolong temen temennya untuk bookingkan. Tapi bookingan yang dia bulan oktober masih cadangan dan yang desember ok. Temen temennya tsb bilang kalo dia bisa hold reservasinya. Si cewek ya percaya aja krn itu temen temennya. Si cowok bilang dia cek cek tapi kok gak ada reservasinya. Si cewek kaget, gak mungkin gak ada karena dia udah minta tolong temen temennya ituh. Si cewek bilang she'll let him know krn dia akan double check lagi. Si cowok bialng ok.

Ternyata satu huruf di booking code salah dan temen temennya itu bookingkan di tanggal yang salah. Tapi tetep masih tahun ini. Namanya juga minta tolong nyariin harga tiket yang agak murah, jadi mungkin di tnaggal yang di request sama si cewek ini harganya mahal. Who knows.
2 hari setelah lebaran, si cowok mulai bertingkah aneh. Dia gak mau angkat telpon dari si cewek. Dia gak mau bales sms si cewek. Diajakin chat juga gak mau. Si cewek kan kaget ada apa niy. Akhirnya sekalinya mereka ketemu chat, si cowok malah melibatkan temennya cowok juga didalam pembicaraan mereka. Si cowok membiarkan temennya tersebut ngata2in si cewek. Bilang kalo si cewek bohong masalah reservasi lah. Bilang kalo si cewek bohong masalah gak boleh pake cellphone dirumahsakit. Dan lain-lain.Si cewek cerita ke gw kalo dia sampe gemetaran pas dia dibilangin begitu. Sangat sangat tidak menyangka kalau cowoknya yang berumur 36 tahun ini sangatlah ajaib, dan tidak dewasa. Untuk apa dia melibatkan temennya dalam hubungan mereka ? Kenapa si cowok tidak percaya sama si cewek ? Si cowok malah tidak kasih si cewek pilihan2 atau kesempatan2 untuk ngomong. Malah temennya si cowok bilang kalo si cowok gak mau lagi sama si cewek dan mereka temen2nya lagi jodoh2in si cowok dengan cewek lain di Indo.Si cewek kaget dan remuk hatinya. Gak nyangka cowoknya akan perlakukan dia begitu setelah semua yang dia telah korbanin. Si cewek sedih dan hatinya hancur kenapa cowoknya lebih percaya sama temen tenisnya yang dia baru kenal, daripada ke dia ?Padahal hari sebelumnya si cewek dan si cowok masih bahas masalah pernikahan. Mereka baik2 aja. Ketawa2 aja dan happy. Tapi hari berikutnya semuanya berubah 360 derajat dan bikin hati si cewek ini hancur. Si cowok juga sempet ngomong kasar ke dia dan si cewek bener2 ga tau apa yang dia harus lakukan selain menangis dan istighfar berkali2. Gw ada disana pada saat mereka clash. Gw ada disana pas si cewek istighfar dan gemetaran. Cerita ini nyata.

Dan sampai sekarang si cewek gak pernah denger apa2 lagi dari si cowok itu. Dia menghilang begitu aja. Walo si cewek nyoba untuk telp ato sms minta penjelasan tapi kayaknya si cowok nyuekin aja. Gw bilang ke si cewek untuk selalu sabar dan untuk memaafkan. Banyak2in doa dan harus percaya kalo Allah itu adil. What goes around will comes around. Dan itu faktanya.
Kesimpulannya, dari masalah ini gw melihat bahwa sekuat tenaga dan gimanapun si cewek berusaha untuk mempertahankan hubungan jarak jauh ternyata long distance itu tidaklah gampang apalagi jika salah satu pihak melanggar komitmen tersebut. Harusnya hika mau long distance relationship berjalan seperti yang diinginkan maka kedua belah pihak haruslah bekerja sama untuk sama2 mewujudkan impian bersama.

Sangat disayangkan karena si cowok berdalih ke sesuatu yang sampai sekarang masih menjadi pertanyaan untuk si cewek. Si cewek bilang dia masih penasaran dan akan mencari tahu jawabannya begitu dia di Indo. Gw bilang lupakan. Tapi gw mengerti, seenggak2nya si cewek butuh dapat penjelasan. Kecuali kalo cowoknya ini emang punya orang lain di Indo dan termakan hasutan temen barunya tersebut.

Sedih memang jika kejadian seperti ini terjadi pada diri kita krn pengorbanan yang dilakukan selama itu akhirnya sia2. Dan rasa sakit yang dirasakan belum tentu bisa sembuh secepat itu. Dan untuk membuka hati lagi, mungkin akan sulit krn pernah disakiti. But that's life. Time will heal the pain, semua emang butuh waktu and Allah itu maha tahu, maha penyayang dan maha adil. Percayalah.

 
Site Meter