Hari yang pantas ditunggu – tungu setelah kerja yang sangat – sangat melelahkan. Aku tidak suka Amerika, tapi juga tidak benci. Andai aku punya uang banyak, aku lebih senang tinggal di Indonesia saja.
Wednesday, April 15, 2009
Sunday, February 22, 2009
Cerpen: Calon Ibu
Suamiku yang duduk di depan meja dokter tampak gelisah memperhatikan ucapan dokter. Sepertinya dokter itu penjelmaan dukun - dukun sakti di jaman mitologi, yang kata - katanya merupakan mantra ajaib sebagai penawar keresahan. Tersugesti saran dokter, ia kemudian menguatkan hatiku dan menyuruh aku untuk sering - sering senam nungging. " Iya, siapa tahu si jabang bayi mau muter ke posisi yang sebenarnya untuk lahir ", kata suamiku mengulangi nasehat si dokter. Aku tidak merasa ucapan suamiku itu sebagai penyemangat diriku." Kalau dalam dua minggu posisi bayi masih melintang, tak ada jalan lain kecuali operasi sesar", kata dokter lelaki itu.
Dokter mendekat ke pembaringan dan bertanya kepadaku," Nyonya merasa agak stress menjelang kelahiran ini?" Ia lantas mengambil alat seperti corong memanjang dan menempelkan ke perutku, ia sibuk mencari - cari detak jantung jabang bayiku.
Apa salahku? Kenapa membenciku?
Jakarta, Juli 2004
Washington, DC Desember 2005
Posted by Janu Jolang at 12:45 AM 0 comments
Tuesday, February 3, 2009
Cerpen: Mengais Rezeki
http://oase.kompas.com/read/xml/2009/01/31/06174410/mengais.rezeki
Jakarta, November 2002
Sudah satu tahun lebih aku kehilangan kabar dari Ahmad Sanusi, suamiku. Aku tak tahu di mana ia berada. Sejak empat tahun lalu, ia merantau ke Amerika. Awalnya, ia dapat informasi bahwa ada lowongan kerja di Amerika dengan bayaran besar. Sejak itu dalam benaknya hanya ada satu tujuan, bagaimana cara ia bisa ke sana. Maklum, bekerja di Amerika – katanya – menjanjikan masa depan yang cerah.
Ia berangkat beberapa bulan setelah meletus peristiwa berdarah Mei 98. Waktu itu situasi politik Indonesia kacau balau. Perekonomian diambang kebangkrutan. Harga – harga semakin tinggi. Kami kesulitan mencukupi kebutuhan hidup sehari – hari. Maklum suamiku hanyalah guru kontrak di salah satu Sekolah Menengah di Jakarta, tugasnya mengajar ilmu – ilmu sosial.
Aku ingat saat ia bercerita kepadaku, ketika menerangkan tentang perpindahan penduduk, migrasi, transmigrasi, dan emigrasi, di depan murid – muridnya. Tak pernah terlintas dalam pikiran suamiku untuk melakukan hal itu. Profesi guru katanya pengabdian, turut mencerdaskan bangsa, mulia sifatnya. Ia cukup bangga dengan prinsip itu. Tapi akhirnya ia gadaikan juga prinsip itu demi alasan ekonomi.
Ya, alasan ekonomi. Aku ingat suamiku sering berkeluh kesah padaku, pada rekan sejawat, atau pada pak de-nya. Sesungguhnya suamiku tidak menuntut berlebih dalam hal materi. Maklum, jadi guru bukanlah jalan untuk meraih kekayaan. Cukuplah dari gaji yang dihasilkan bisa menutup kebutuhan sehari – hari atau sesekali bila ada lebih untuk ditabung. Tapi nyataannya gaji suamiku tak cukup. Pertengahan bulan kami selalu kehabisan uang, lantas kalang kabut cari pinjaman untuk menutupi kebutuhan sisa bulan berjalan. Barangkali hal itu disebabkan upah terlalu rendah. Ataukah harga – harga yang terlalu tinggi? Hidup melulu tekor, alias rugi, alias besar pasak daripada tiang. Kami sekeluarga tidak tahu kondisi seperti itu dinamakan apa: kemiskinan, kurang mampu, atau kurang makmur. Yang kami tahu, hidup terasa penuh tekanan, penderitaan, dikejar hutang, dan tanpa pengharapan.
Akhirnya ia merantau ke Amerika, katanya negeri kaya raya, tanah pengharapan, tanah segala macam ras dan kaum imigran berburu rezeki. Negeri yang dalam waktu kurang dari 250 tahun menyulap dirinya menjadi mercu suar dunia. Tapi bukannya sontak nasib keluarga kami berubah, bukan pula ia lantas mendapat pekerjaan yang layak, melainkan dengan kerja, dan bekerja keras.
Kini aku tak tahu di mana suamiku berada. Ia tak pernah lagi menulis surat, mengabari lewat telepon, bahkan mengirimi uang. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah di sana ia kecantol gadis lain dan melupakan anak istrinya? Atau ia mendapat musibah? Sepertinya ia hilang ditelan bumi. Hanya surat – surat ini yang tertinggal:
Surat pertama ditulis 15 Desember 1998,
Rahmi, kini aku tahu bagaimana rasanya bekerja sebagai tukang cuci piring, di restoran asia bernama Bamboo Buffet, di daerah pinggiran, Ashburn, Virginia. Restorannya ramai. Banyak kantor – kantor di sini, pelanggannya kebanyakan pegawai dari MCI, dan juga AOL. Jangan ditertawakan ya, jauh – jauh ke Amerika hanya jadi tukang cuci piring, pekerjaan yang tak pernah kubayangkan sama sekali dalam benakku.
Awalnya, kupikir pekerjaan itu enteng, apa susahnya mencuci piring. Bukankah aku sering membantumu waktu di rumah? Apalagi di sini pakai mesin, pasti lebih cepat. Ketika hari pertama kujalani, ternyata tak semudah yang kubayangkan. Sungguh aku nyaris putus asa, Mi. Berbagai kotoran: piring, gelas, panci, wajan, garpu, pisau berdatangan tak ada habisnya bak mesin pabrik mengeluarkan isinya untuk dirampungkan. Belum selesai satu kranjang, telah menunggu bertumpuk kranjang lain penuh piring kotor. Secepat tanganku menaruh piring di mesin, secepat itu pula pelayan membawa lagi piring – piring kotor. Aku kewalahan, capai, mau muntah, sekaligus jengkel. Ya, jengkel pada pelanggan yang tak ada habisnya, jengkel pada tumpukan piring kotor, jengkel pada orang – orang dapur, jengkel pada diriku sendiri, jengkel pada profesi tukang cuci piring.
Sampai akhirnya Mr. Kong pemilik restoran turut membantu. Sepertinya bos-ku baik, Mi, mau menolong biarpun sudah juragan. Kalau di Indonesia mana mau juragan seperti itu, pasti mereka gengsi. Ia sudah 60 an tahun, termasuk pendiam, atau karena bahasa Inggrisnya tak lancar, sering perintahnya hanya sepotong – sepotong. Bahkan ia lebih sering menggunakan bahasa Spanish karena kebanyakan pekerja restoran di Amerika orang – orang dari Amerika Tengah.
Hari kedua aku bekerja, otot – otot lengan dan telapak tanganku bengkak, kaku, dan susah digerakkan. Barangkali kemarin aku mencuci selama sepuluh jam. Atau karena aku tak pernah bekerja seberat itu sebelumnya. “Rapido - rapido”, cepat, cepat, seperti itu Mr. Kong berteriak menyuruhku bekerja lebih sigap.
“ Muchos platos, Ahmad! Hayyaa”, banyak piring, nadanya tampak marah.
Aku diam saja, kukerjakan lebih cepat (menurut perkiraanku), tapi ia kelihatan tak sabar dan akhirnya turut membantuku. Demikian keadaanku, Mi. Ternyata hidup di Amerika tak seindah yang digambarkan oleh film – film Hollywood.
Malamnya setelah restoran tutup aku dipanggil Juan Carlos, si Chef restoran, lantas diajak menemui Mr. Kong yang sudah menunggu di ruang kerjanya. Aku mengerti, ini pasti karena kerjaku yang kurang cepat. Mr. Kong tidak puas. Kukemukakan alasanku, memang aku tak pernah bekerja mencuci piring sebelumnya, apalagi baru sepuluh hari tiba di Amerika.
Tampaknya Mr. Kong kecewa, entah padaku – atau barangkali pada si Chan, agen penyalur tenaga kerja di China Town – New York. Ia yang menjamin dan mengirimku ke Ashburn sini. Sejenak suasana lengang, aku diam, wajahku tegang. Tak lama berselang si Chef bicara dalam Spanish pada Mr. Kong dengan mimik serius, dan kutahu kemudian bahwa Mr. Kong memutuskan untuk cari dish washer lain yang sudah berpengalaman. Aku dipecat
Betapa kerasnya hidup di Amerika, Mi. Bahkan untuk pekerjaan rendahan seperti tukang cuci piringpun harus bersaing ketat, terutama dari orang – orang Honduras, Salvador, atau Mexico, yang rata – rata memang kuat, gesit, cepat, walau mereka tak berbahasa Inggris. Biar tukang cuci piring, istilah kerennya kudu profesional. Kalau tidak, mudah saja mencari penggantinya. Alih alih masa training, ternyata mereka tak mau rugi. Barangkali demikian cara berpikir mereka, Mi, pragmatis. Toleransi diukur dengan uang. Apakah itu salah satu wajah dari dunia modern? Aku harus banyak belajar untuk beradaptasi.
Keesokan paginya aku diantar Mr. Kong menuju terminal bis untuk dipulangkan. Diberikannya gajiku selama dua hari, 120 US dollar. Tujuanku New York, kembali ke agen Chan, minta pekerjaan lain. Di dalam bis aku diam terpaku, salju turun perlahan. Angin sesekali berhembus kencang menggetarkan badan bis. Kulihat kijang terkapar di pinggir jalan, mungkin tertabrak kendaraan yang lalu lalang. Galau perasaan menyekap tubuh, uangku menipis. Aku harus cari pekerjaan. Aku harus bisa bertahan hidup di sini, harus gigih. Dan kini kumengerti, Mi, ternyata uang dan waktu adalah segalanya di sini, atau barangkali pondasi kehidupan mereka.
Time is money , ya aku ingat kata – kata itu di Indonesia hanya sekedar lips service, atau paling banter untuk istilah orang-orang mencari obyekan diluar jam kantor. Tapi di Amerika, waktu sangatlah berharga. Barangkali aku harus merubah cara berpikirku, waktu adalah uang. Rezeki tidak dibagikan secara gratis. Kata orang sini, bapak – bapak pendiri negeri ini, kemerdekaan individu berarti tiap orang harus mandiri secara finansial. Dengan begitu mereka bebas menentukan pilihan hidupnya. Mereka tidak diperbolehkan meminta belas kasihan negara. Harga yang harus ditebus untuk kebebasan itu, tiap orang harus bersaing dengan ketat dan bekerja keras.
Surat ke dua ditulis beberapa hari kemudian:
Rahmi, sudah seminggu semenjak dari restorannya Mr. Kong, aku menunggu di penampungan kumuh daerah China Town New York. Musim salju sangat dingin, sekujur tubuku gatal – gatal. Aku hanya diam di ruko bersama beberapa orang cina daratan yang juga sedang menunggu beroleh pekerjaan. Sehari dikutip 8 dollar untuk sewa tempat tidur model tingkat, suasananya seperti barak pengungsi. Aku tak tahu mereka bercakap dalam Mandarin atau Kanton, tapi kelihatannya seru, persis dalam film – film silat. Mereka statusnya sama dengan aku, kaum pendatang. Barangkali di Cina mereka tak kebagian rezeki, kaum miskin persis seperti kita.
Rahmi, duitku makin menipis, semoga tak lama lagi aku segera mendapat pekerjaan. Kemarin ada kabar dari agen Chan kalau ada lowongan pekerjaan di Maryland. Doakan aku cepat bekerja. Bagaimana kabar Indonesia? Kelihatannya makin memburuk ya? Kangenku untukmu dan anak – anak.
Surat ke tiga ditulis satu bulan kemudian, tertanggal 15 Januari 1999:
Rahmi, seperti yang dijanjikan agen Chan akhirnya aku bekerja di restoran lagi, namanya Asian Noodle di Bethesda, Maryland. Pemiliknya orang Korea, Mr. Chun, berusia 45an tahun. Kini pekerjaanku kitchen helper, tugasku memotong sayuran, memotong daging, meracik bumbu-bumbu, dan menanak nasi. Selain itu aku juga ditugasi mengatur stok di kamar pendingin.
Semestinya pekerjaan itu dibayar 7.5 dollar sejam, tapi berhubung aku dilihatnya belum berpengalaman, hanya dibayar 5.5 dollar. Aku tak protes, daripada tak ada penghasilan. Lagipula aku butuh uang untuk segera mencicil hutang, untuk kebutuhanmu dan anak-anak, juga kebutuhanku di sini. Biarpun pekerjaan ini berat, tapi aku bisa menjalaninya.
O ya, juru masak restoran ini orang Indonesia namanya Junianto dari Banyuwangi. Ia tinggal di Amerika sudah 10 tahun, masih membujang, sepertinya sudah makmur. Mobilnya Mustang sport dua pintu, punya rumah di German Town, punya kartu kredit Discover, Amex, punya anggota klub kebugaran, punya komputer beserta perangkat internet, punya cellphone keluaran terakhir, dan pergi ke klub di akhir pekan. Demikian gaya hidupnya, khas Amerika. Di sini, status manusia dalam lingkungan sosial sering dinilai dari berapa banyak dia punya (kaya). Sedangkan aku, tak bisa kubayangkan apakah itu jadi impianku juga? Atau hanya fatamorgana saja. Sepertinya jarak sosial untuk meraih itu terlalu panjang. Yang kubutuhkan sekarang hanyalah uang, dan uang. Apakah suaraku terdengar materialistis?
Surat ke empat ditulis satu bulan kemudian, pendek saja:
Rahmi, Apakah uang kirimanku telah sampai? Jika sudah, sisihkan 1500 US dollar untuk cicilan hutangku (untuk berangkat ke Amerika) ke pak De Harmin. Sisanya yang 1000 US dollar, belanjakanlah untuk kebutuhanmu dan anak-anak. Jika ada sisa uang sebaiknya ditabung.
Surat ke lima ditulis empat bulan kemudian, Juni 1999:
Rahmi, sudah enam bulan kita berpisah. Akhir – akhir ini yang memenuhi benakku hanyalah kamu dan anak – anakku. Tak jarang aku kehilangan konsentrasi dan gairah bekerja, dan tiba – tiba aku sudah dalam lamunan. Pernah tanganku tergores pisau saat merajang wortel, pernah pula aku lupa menaruh tamarind sauce ke dalam bumbu Pad Thai, lain waktu aku lupa mengangkat rebusan lomein noodle dari atas kompor. Apakah ini salah satu gejala home sick?
Dulu waktu kudengar cerita dik Narti tentang celana dalam, aku hampir tak percaya. Ya, waktu suami dik Narti tengah study di Kanada. Dan minta dikirimi cawat istrinya yang telah dipakai. Aku menganggap permintaan mas Imam mengada – ada. Setelah enam bulan aku di sini, baru aku bisa mengerti. Aku kangen baumu, Mi. Bau tubuhmu dari rambut sampai kaki.
Bagaimana kabar Faisal dan Nurul? Apakah mereka merindukan ayahnya? Aku ingat sikap Nurul dua minggu sebelum keberangkatanku ke Amerika. Ia jadi pendiam dan murung. Ia tidak bisa menerima penjelasanku. Ia sepertinya menjauh dariku, tak mau lagi dekat denganku. Aku sedih melihat perubahan itu. Tolong Nurul diberi pengertian, ayahnya pergi ke Amerika bukannya pesiar, bukan pula tak sayang lagi padanya. Tapi ayahnya pergi untuk cari uang, untuk beli bonekanya Nurul, untuk beli buku gambar dan krayonnya Nurul, untuk beli popok adik Faisal, dan susu bayi adik.
Belilah handphone Mi, agar kita bisa berbicara, aku kangen suaramu yang merdu, juga ceriwisnya anak – anak. Apakah Faisal sudah mulai berjalan? Atau masih di tetah?
Surat ke enam ditulis enam bulan kemudian, Desember 1999:
Rahmi, satu tahun di sini aku sudah mulai bisa beradaptasi. Mengenai makan, aku masih bisa mendapatkan nasi putih tiap hari. Di sini malah berasnya bagus, putih dan pulen. Mengenai lauk pauk dan sayurannya, aku biasa belanja di Asia market. Bahkan untuk trasi udang aku mudah mendapatkannya.
Mengenai keseharianku di sini, praktis waktuku habis hanya di tempat kerja. Jam 11 malam aku baru sampai di apartemen, mandi, trus langsung tidur. Paling kalau pas hari libur dan badan nggak lelah, aku pergi jalan – jalan entah itu ke lapangan Mall, musium Smithsonian, Lincoln Memorial, atau bangunan bersejarah lainnya.
Rahmi, setelah satu tahun di sini aku merasa lega karena hutangku ke pak De Harmin telah lunas. Bebanku juga makin ringan ketika membaca suratmu bahwa kalian tidak kekurangan uang lagi tiap bulannya. Aku sudah bosan dengan kemiskinan, bosan menganggap hidup layak adalah sebuah kemewahan. Kini ada semangat dalam diriku untuk menata masa depan. Masa depan keluarga kita. Belum pernah aku merasa hidup seindah ini, walau tentunya merasa sedih harus berpisah denganmu dan anak – anak.Tapi itu hanya sementara. Nanti kalau duit yang kukumpulkan sudah cukup, aku akan pulang ke Indonesia. Kita bikin usaha kecil – kecilan, atau kita coba membesarkan usaha pakaian muslim yang telah kamu rintis. Bukankah hidup layak sudah sewajarnya bagi setiap manusia? Dimanapun ia berpijak di atas bumi ini.
Surat ke tujuh ditulis enam bulan kemudian, Juni 2000:
Rahmi, kini posisiku naik jadi asisten juru masak. Pekerjaanku sekarang bikin order masakan grilled, saute dan fried. Aku banyak belajar dari Junianto cara memasak daging untuk chicken teriyaki, grilled salmon, shrimp tempura, bulgogi, lamb skewer, lime chicken, dan masih banyak lagi jenis masakan yang aku tidak tahu sebelumnya. Nanti kalau aku pulang, aku akan memasak untukmu dan anak – anak.
Mi, sudah satu setengah tahun aku bekerja di sini alhamdullilah keadaan ekonomi kita semakin membaik. Keberanianku untuk memandang masa depan keluarga kita kian timbul. Aku juga senang mendengar usaha baju muslim-mu kian maju. Bagaimana orderannya? Ramai? Bukankah tetangga kita sekarang banyak yang memakai baju muslim? Memang kini baju muslim sudah umum dipakai, barangkali sudah jadi trend mode atau memang karena panggilan jiwa. Coba itu barang duapuluh tahun yang lalu, usahamu tak bakalan seramai sekarang.
Surat ke delapan ditulis tujuh bulan kemudian, Januari 2001:
Rahmi, ada yang mau kuceritakan, tentang sesuatu yang akhir – akhir ini kurasakan. Bukan sesuatu yang mengganggu tapi cukup jadi beban pikiranku. Awalnya ini tentang pekerjaanku. Aku bekerja sehari 12 jam, seminggu 6 hari. Waktu libur hanya sehari dan itu kugunakan untuk tidur untuk memulihkan tenaga buat keesokan hari. Sedangkan dalam setahun hanya ada libur resmi dari restoran pada hari Natal dan Thanksgiving. Pekerjaan itu, rutinitas yang kujalani selama dua tahun ini, lama kelamaan kurasakan sebagai beban tersendiri. Aku seperti mesin, seperti robot dalam pabrik yang hidupnya hanya untuk bekerja dan bekerja. Barangkali kalau kamu dan anak – anak ada di sini, aku tak akan merasakan beban seberat itu.
Kadang aku mencoba menguranginya dengan mencari teman, nonton tv, atau jalan – jalan, tapi hal itu tak banyak membantu. Aku merasa asing dengan hidupku, dengan lingkunganku, bahkan dengan diriku sendiri. Rasanya aku seperti hidup dalam alam mimpi yang kesemuanya membisu, asing, kosong, dan senyap. Ada sesuatu yang hilang dalam batinku. Barangkali “Time is Money” telah merasuk dalam pikiran bawah sadarku, atau mungkin memang kehidupan orang – orang di sini selalu dikejar waktu, dibatasi waktu, dan terperangkap oleh waktu.
Itulah surat - surat yang dikirim suamiku kepadaku. Kabar terakhir ia bekerja di sebuah kafetaria milik orang Itali, di tempat wisata daerah Washington DC. Kami sempat berhubungan lewat telepon, terakhir tanggal 10 September 2001. Kini setahun telah lewat, tak ada tanda – tanda dimana suamiku berada. Telah kuhubungi hp-nya tapi tak aktif lagi. Aku bingung hendak mengadu kemana. Adakah yang bisa membantu?
The Mall, Washington, DC. 11 September 2001
Hari cerah, sinar matahari menebarkan kehangatan pagi hari, rerumputan masih basah oleh embun. Lapangan sepanjang satu setengah kilometer itu belum ramai. Di ujung sebelah kiri, kulihat Gedung Kapitol mengeliat angker seperti raksasa baru bangun tidur. Sedangkan di kejauhan sebelah kanan, kulihat rombongan turis sedang mengantri masuk ke Monumen Washington untuk menikmati panorama kota Washington DC di ketinggian.
Kafetaria tempatku bekerja strategis letaknya, di pinggir lapangan, dinaungi rerimbunan pohon tua, dengan beberapa patio yang diatur rapi, dan berseberangan dengan salah satu musium Smithsonian. Aku bergegas menyiapkan kopi Colombia pada coffe machine, sebentar lagi kafetaria akan buka. Roti bagel, bun, sub, white bread sudah kuletakkan ditempatnya. Burger, hotdog, pastrami, tuna sandwich, corned beef telah kusiapkan dalam etalase pendingin. Sudah enam bulan rutinitas ini kujalani semenjak aku dipecat dari restoran Asian Noodle karena aku berkelahi dengan majikanku.
Pemilik kafetaria ini, Mr. Lombardo, imigran asal Itali generasi kedua, mempekerjakanku dengan bayaran 8 dollar sejam. Untuk ukuran itu, aku merasa Mr. Lombardo lebih manusiawi daripada majikan - majikanku terdahulu. Selain itu, aku melihat Mr. Lombardo adalah pribadi penuh perhatian, kental sifat kebapakan, tidak pelit, dan sepertinya tulus. Aku merasa senang bekerja di tempat ini, juga kepada Mr. Lombardo.
Jam menunjukkan pukul 9:00 pagi. Kulihat seorang pegawai musium Smithsonian datang dan memesan kopi. Smith nama pemuda kulit hitam itu, pelanggan setia kafetaria ini, menceritakan sesuatu kepadaku dengan berapi-api. Katanya ia baru saja melihat tayangan TV yang memberitakan bahwa sebuah pesawat jet baru saja menghantam gedung World Trade Center di New York. Aku setengah tak percaya, Smith seperti biasa, suka membual. Bahkan kini Smith berani bertaruh 50 dollar. Aku kemudian menuju mini compo memutar frekwensi radio untuk memastikan kebenaran cerita itu.
Kudapatkan channel berita, dan kudengarkan liputan dengan seksama. Kulihat sekilas Mr. Lombardo asik menghitung stok minuman kaleng. Ia tak memperhatikan apa yang sedang kami ributkan. Ia sudah paham kalau Smith datang suasana kafetaria pasti hingar bingar.
Tak beberapa lama perasaanku tercekam: bukan saja North Tower yang dihantam, sekarang gedung kembarnya South Tower juga dihantam pesawat jet. Mr. Lombardo yang kini berada di sebelahku mendadak sesak nafas, terkejut mendengar berita itu. Wajahnya pucat pasi. “Ini serangan teroris..”, suaranya tersekat di kerongkongan.
Diraihnya cepat – cepat telpon genggam dari meja kasir, Mr. Lombardo mondar – mandir gelisah, ia berusaha menelpon seseorang. Kulihat wajahnya berubah cemas, sorot matanya meratap. Tak ada jawaban dari orang yang diteleponnya. Dalam kegalauannya, Mr. Lombardo menggumam dalam bahasa Itali. Barangkali sebaris doa, atau ungkapan kecemasan. Ia mencoba menelpon lagi, tetapi tak ada nada jawab.
Kembali ke radio, reporter melaporkan dengan berapi-api seolah pendengar sedang melihat kejadian mencekam itu dengan mata kepala sendiri. Sungguh mengerikan, sesekali suara reporter itu menghela napas karena dahsyatnya kejadian itu. Aku miris mendengar beberapa orang telah meloncat dari gedung pencakar langit entah untuk menyelamatkan diri atau bunuh diri. Beberapa orang terlihat di jendela melambai – lambaikan tangan dengan putus asa berharap pertolongan. Aku tak tega membayangkan bagaimana rasanya jika berada di dalam gedung itu, ketika mengetahui kematian sudah di depan mata, dan merasakan detik – detik mencekam dimana malaikat pencabut nyawa akan datang menghampiri, dengan beribu cara yang mengerikan. Semenjak tragedi Pearl Harbour, baru kali ini Amerika diserang musuh.
Kulihat sekeliling lapangan Mall tampak normal, wajah – wajah pejalan kaki kalem seperti tak terjadi apa – apa. Barangkali mereka tak mendengar kejadian itu. Tiba-tiba kudengar suara menggelegar seperti ledakan bom di sekitar lapangan Mall. Getarannya terasa pada dinding kafetaria. Kami bertiga di kafetaria tersentak kaget. Kulihat asap hitam mengepul di angkasa di belakang Washington Monument. Orang – orang disekitar juga tampak kaget, beberapa mengira ada pesawat jatuh di bandara Ronald Reagen.
Jam 9: 58 gedung South Tower ambruk karena tak mampu menyangga beban disebabkan konstruksi meleleh. “Ya Tuhan, tidak mungkin”, seru Mr. Lombardo, ia terduduk lemas seakan darah menghilang dari kakinya. Kulihat tubuhnya limbung tak bertenaga. Aku segera meraih pundaknya dan membimbingnya duduk di kursi. Kudengar Mr. Lombardo berteriak parau menyebut nama John. Ya, John anak semata wayangnya. John yang bekerja sebagai manajer di salah satu restoran di gedung WTC itu ikut terkubur bersama reruntuhan South Tower. Aku ikut prihatin atas kejadian itu. Kudengar kemudian Mr. Lombardo meracau tak sanggup membayangkan anaknya jatuh dari gedung setinggi 1,362 feet dan hilang dalam timbunan puing – puing bangunan. Keseimbangan batinnya tergoncang hebat, kulihat air mata meleleh di atas pipinya, matanya sembab. Aku memberikan segelas air putih tapi ditolaknya.
Mr. Lombardo segera menyuruhku menutup kafetarianya. Aku lantas mematikan wajan penggorengan, mematikan toaster, memasukkan daging dan sayuran ke dalam kulkas, setelah itu membereskan coffe machine. Tak lama kudengar raungan sirine polisi, pemadam kebakaran dan ambulan bersahutan. Ini pasti karena ledakan keras tadi.
“ Hurry - hurry up, Ahmad “, seru Mr. Lombardo cemas. Aku panik, dalam benakku timbul bermacam bayangan menakutkan, barangkali itu bom nuklir, bom kuman, atau pesawat yang menghujam sekitar Washington, DC.
Tak berselang lama kudengar berita di radio, gedung North Tower ambruk. Bersamaan itu dikabarkan Pentagon juga kena hantam pesawat. Kemungkinan selanjutnya serangan ke Gedung Putih dan Gedung Kapitol. Ini dekat dengan tempatku bekerja. Tak lama kemudian kudengar pesawat tempur F-16 membelah angkasa dengan suara yang memekakkan telinga. Hal yang buruk sedang terjadi jika melihat pesawat itu melintas di atas area Kapitol. Di kejauhan dekat monumen Washington, kulihat petugas polisi memblok jalan dan menyerukan kepada setiap orang untuk meninggalkan lapangan Mall, rasa - rasanya seperti terjebak dalam medan pertempuran. Aku beralih melihat wajah Mr. Lombardo, tatapan matanya kosong. Tak bisa dipungkiri hatinya remuk redam karena kehilangan anak satu-satunya. Aku menawarkan diri untuk menemaninya, tapi ditolaknya. Setelah mengunci kafetaria, kami berdua akhirnya berpisah. Smith sudah kabur entah kemana.
Aku berjalan menyusuri jalan Pennsylvania Avenue. Nafasku memburu, kedua bahuku rasanya naik turun dengan cepat. Semakin lama jalan dipadati oleh orang – orang yang keluar dari gedung – gedung perkantoran. Jalan – jalan menjadi lautan manusia. Rupanya berita penyerangan Pentagon telah menyebar dengan cepat. Raungan sirine polisi, pemadam kebakaran, dan ambulan kudengar di semua penjuru kota. Suasana bertambah mencekam. Aku perhatikan wajah-wajah orang yang berpapasan dan melintas di depanku. Serabutan. Sebagian tampak takut dan sedih. Beberapa kulihat kalem dan rileks berjalan mengikuti arus besar manusia itu. Aku tak berani menilai apa yang ada dalam benak mereka masing – masing. Bahkan diantara lautan manusia itu ada yang tertawa cekikikan.
Aku teringat keadaan yang mirip, yang pernah kualami waktu peristiwa Mei 98 lalu. Setelah kota Jakarta dilumpuhkan oleh amok massa ribuan orang, setelah mereka puas menjarahi toko – toko, merampoki apartemen, membakari mobil, memperkosa wanita, dan beberapa membantai korbanya secara kejam. Aku mengikuti arus besar manusia menjauhi kerusuhan. Aku berjalan kaki di terik matahari sejauh puluhan kilometer. Dibenakku terbersit sebuah gambaran akan masa depan yang suram. Masa depan bangsaku, juga kekhawatiranku akan masa depan keluargaku. Perasaan serupa itu kini muncul kembali dalam waktu dan tempat berbeda. Aku khawatir sesuatu akan menghadangku dikemudian hari, sesuatu yang suram bagi masa depanku di Amerika.
Tiga tahun sudah aku mengais rezeki. Disaat setitik harapan telah tumbuh mengatasi kemiskinanku, disaat aku berharap akan menuai hasil dari keringat di tanah baru ini. Semuanya tiba – tiba musnah bak ditelan gelombang lautan. Aku khawatir kalau orang – orang Amerika marah setelah kejadian mencekam ini. Bagaimana jika Mr. Lombardo, orang yang telah bersikap baik padaku, tiba tiba berubah membenciku, mendendamku, hanya karena ejaan namaku, barangkali pula agamaku, yang menyebabkan anaknya tewas dalam tragedi itu. Atau tangan – tangan kekuasaan berusaha menggiringku menuju jeruji besi, tanpa pandang bulu, tanpa belas kasihan. Aku tidak tahu.
Alexandria, Virginia Desember 2002
Pagi itu pelataran penjara tertutup salju tebal akibat badai semalam. Angin masih berhembus kencang menebarkan hawa dingin bercampur butiran salju. Sederetan pohon maple di pinggir jalan meringkuk kedinginan tanpa daun. Ahmad tergeletak tak berdaya merenungi hari – harinya di balik terali besi. Tatapan matanya meredup tanda tiada lagi pengharapan dalam dirinya. Hatinya kini kosong, tak nampak gelegak magma yang menggelora memompakan semangat hidupnya.
Ahmad tidak tahu sudah berapa kali dipindahkan, sepertinya penjara terakhir yang ditempatinya ini berada di Joseandria, Virginia. Ahmad juga tidak tahu kenapa ditanyakan tentang sejumlah daftar nama – nama yang khas untuk dikenalinya. Ia tidak tahu pasti apa kesalahannya, barangkali akibat dari tragedi penyerangan gedung WTC dan Pentagon.
Memang perburuan dan pengejaran kemudian dilakukan terhadap kaum pendatang. Kaum pendatang yang diduga sebagai pelaku – pelakunya, juga kaum pendatang yang datang ke Amerika karena alasan ekonomi. Tanpa pandang bulu. Kesalahan Ahmad tiga hal: ijin tinggalnya habis, tidak punya ijin bekerja, dan pemakaian identitas atau nomer social security palsu. Hal yang biasa dilakukan para pendatang gelap di Amerika. Pupus sudah harapan Ahmad mengais rezeki di Amerika.
Ia lantas teringat anak istrinya di Indonesia, “Sedang apa mereka malam – malam di sana?” Tidak pernah Ahmad merasa serindu ini sebelumnya. “Jangan kau tahu keadaanku di sini Rahmi, Nurul, dan Faisal. Penopang hidupmu kini mendekam di penjara.”
Entah sampai kapan ia berada di penjara, Ahmad hanya bisa pasrah akan nasibnya. Disebelah kamarnya, terdengar seseorang menyenandungkan lirih lagu Illegal Aliennya Phill Collins, “It's no fun being an illegal alien, …It's no fun being an illegal alien, …...”, dan ia seorang pendatang gelap di Amerika.
Posted by Janu Jolang at 1:47 PM 1 comments
Tuesday, January 13, 2009
Akankah Tuhan Membantu Obama?
(Janu Jolang - Washington DC)
Tinggal selangkah lagi Obama akan menduduki Gedung Putih. Tanggal 20 Januari 2009 adalah upacara pengambilan sumpah yang diperkirakan berlangsung meriah dan paling spektakuler dalam sejarah kepresidenan Amerika.

Tuntutan itu berkaitan dengan rencana upacara pengangkatan presiden terpilih Barrack Obama. Sedangkan pihak yang dituntut, defendants, diantaranya Chief Justice of Supreme Court John Roberts, executive director Presidential Inaugural committee Emmett Beliveau, Senator Dianne Feinstein, Major General Richard J. Rowe Jr., the Reverend Rick Warren dan the Reverend Joe Lowery.
Tuntutan dari Newdow dkk ada dua hal:
- Pertama, tuntutan menghilangkan kata – kata “ So help me God” dari teks sumpah presiden yang akan diucapkan Obama
- Kedua, tuntutan menghilangkan ritual doa pembuka dan penutup dalam acara tersebut.
Seperti diketahui, ketua Mahkamah Agung John Roberts akan mengambil sumpah pada acara itu, dan Obama juga telah menunjuk pendeta pilihannya untuk mendampinginya. Rencananya Obama akan menggunakan Bible yang dulu dipakai oleh Presiden Abraham Lincoln saat diambil sumpahnya.
Bagi Newdow dkk, karena mereka – adalah orang – orang yang menganut faham tidak mempercayai Tuhan, maka ketika mendengar kalimat “ So help me God” diucapkan, dirasakan bagi mereka sangat mencederai hati, nalar dan perasaan kaum Atheis. Dasar hukum tuntutan Newdow dkk adalah Amandemen Pertama Konstitusi US yang menyatakan “Congress shall make no law respecting an establishment of religion, or prohibiting the free exercise thereof …” Kemudian US Supreme Court menjabarkan tafsir kalimat dalam Undang – undang tersebut menjadi: prinsip Amandemen Pertama memberi mandat pemerintahan untuk bersikap netral diantara agama satu dengan yang lain, dan antara agama dan nonagama.
Menurut Newdow dkk, sangat jelas pemerintah tidak bersikap netral ketika menempatkan kata-kata “So help me God” dalam sumpah jabatan presiden atau mensponsori orang – orang untuk menyembah Tuhan, sedangkan mengetahui diantara individu lain percaya bahwa Tuhan tidak ada. Pemerintah dengan kekuasaannya berpihak pada satu sisi dalam kontroversi terbesar dalam kepercaan: Tuhan ada atau tidak ada. Mereka menginginkan kehidupan yang sekuler, melepaskan keberadaan Tuhan dalam urusan – urusan kenegaraan dan pemerintahan.
Seperti diketahui, pada tahun 2001 dan 2005 Newdow mengajukan tuntutan hukum yang sama tapi tak mendapatkan tanggapan alias tidak pernah sampai ke persidangan. Kali ini ia mencoba lagi dan ternyata mendapat tanggapan hukum dari U.S. District Judge Reggie Walton yang mengatakan Ia melihat “good cause” yang mengijinkan kasus Newdow untuk dilanjutkan. Akhirnya nanti pada tanggal 15 Januari 2009, U.S. District Court for the District of Columbia mengabulkan hearing kasus Newdow v. Roberts. Kabar ini mendapat tanggapan positif dari pihak Newdow dengan mengatakan sangat terkejut sekaligus gembira atas jawaban hakim yang mau mendengar kasus mereka. Akankah tuntutan mereka dikabulkan?
Menurut pandangan pakar hukum konstitusi pada Georgetown University Law Center, Professor Susan Low Bloch, kasus ini akan berakhir seperti yang sudah – sudah, “standing... whether there is an injury and there is a way in which the court, the law can remedy the injury.” Kemudian ia melanjutkan “ adalah sebuah pertanyaan yang susah karena dalam sejarahnya, masyarakat Amerika mempunyai kaitan erat dengan Tuhan sejak lama, baik dalam aktifitas sosial maupun ruang publik.

Kemudian dia merujuk pada sebuah acara persidangan, ketika sidang dibuka selalu menyebut,”God save this honorable court”. Dan juga dibalik tulisan Federal Reserve Note mata uang dollar tertulis “ In God We Trust”. Kita mempunyai Tuhan dalam hal-hal lainnya sejak dulu kala dan tidak pernah memisahkan secara tegas dalam kehidupan bernegara seperti yang diinginkan para plaintiffs tersebut..
Akankah tuntutan para plaintiffs memisahkan Tuhan dalam urusan – urusan kenegaraan atau pemerintahan berhasil dikabulkan hakim?
Mari kita lihat bersama pada tanggal 20 Januari nanti, ketika Obama mengucapkan sumpah jabatan presiden. Akankah diakhir kalimat Obama masih akan memohon pertolongan Tuhan atau tidak.
________________________________
CATATAN : FOTO-FOTO AP, REUTERS
MODERATOR - Penggagas KoKi : ZEVERINA
Posted by Janu Jolang at 12:31 AM 0 comments
Friday, January 2, 2009
OBAMA MENJADI PRESIDEN KULIT HITAM PERTAMA DI AMERIKA SERIKAT
Detik-detik
mendebarkan penghitungan suara di TV mencapai puncaknya ketika batas minimal
electoral vote mencapai 270. Obama menang!!! Obama menang!!! Maka segera
kuhampiri si Chef Chong san yang sedang berbincang dengan pelanggan di sushi
bar. Dengan lesu ia merogoh sakunya dan menyerahkan uang 50 dollar kepadaku. Ia
kalah taruhan.
Posted by Janu Jolang at 2:00 AM 0 comments
Thursday, January 1, 2009
Kuliner Rantau: Makan Bakso
Bakso adalah makanan populer bagi masyarakat Indonesia. Kuahnya yang sedap serta daging sapi yang kenyal sanggup menggelitik lidah kita untuk bergoyang. Apalagi ditambah dengan sambel pedas serta kecap manis, lengkap sudah kenikmatan dalam memanjakan lidah kita.
Bagi perantau asal Indonesia, khususnya yang tinggal di Amerika bagian Timur, kerinduan akan cita rasa bakso sedikit terobati dengan adanya restoran Vietnam yang berlabel Pho yang berarti "sup".
Menurut sejarahnya, Pho berasal dari Vietnam Utara pada tahun 1880an. Mereka meyakini Pho dipengaruhi oleh cara memasak dari China dan Prancis. Pho memakai mie berbahan beras dan menggunakan rempah - rempahan yang kala itu diimpor dari China. Sedangkan kebiasaan memakan daging sapi setengah matang dan juga memanggang bawang bombay untuk mendapatkan cita rasa kuah yang lezat adalah pengaruh dari Prancis.

Selain daging, kita juga dimanja oleh isi garnisnya yang bermacam - macam, diantaranya kecambah, thai basil yang rasanya persis daun kemangi, cilantro, daun bawang, irisan bawang bombay, dan jalapeno. Terakhir sebagai penyedap rasa, disediakan jeruk nipis, sambel pedas sriracha, dan hoisin sauce dari buah plum.
Untuk menyantap semangkuk pho ukuran besar, Anda harus rela merogoh kocek sebesar $ 6.80, sedangkan mangkuk kecil $5.95. Untuk extra topping, entah itu bakso, babat, tendon atau brisket dikenai harga 1 dollar. Dan restoran ini hanya menerima pembayaran tunai saja alias tidak menerima credit card. Selamat mencoba....
Posted by Janu Jolang at 4:01 AM 0 comments
Wednesday, October 22, 2008
Curhat Anak Rantau
Menjadi perantau ternyata banyak suka dukanya, hal ini dialami seorang mahasiswi asal Indonesia yang sedang sekolah di sini, sebut saja Putri Melati. Ingin mendengar curhatnya? Kawan kita Moi Emir menuliskannya. (dari redaksi suara rantau)
Cintakah Kau Padaku by Moi Emir
Gw punya seorang temen. Dia di USA ini udah 3 tahunan. Tujuannya dateng ke USA adalah untuk kuliah karena kebetulan dia dapat beasiswa untuk bersekolah disini. Sementara sebelum dia berangkat kesini, dia memiliki seorang cowok yang sangat mensupport dia untuk kuliah di USA. Si cowok karena takut kehilangan si cewek akhirnya mengikat cewek ini dengan pertunangan. Akhirnya bertunanganlah mereka dan mereka berencana untuk menikah setelah si cewek kelar studinya. Berangkatlah si cewek ini ke USA dengan membawa banyak harapan2.
Di bulan2 pertama si cewek disini hubungan mereka masih tetep sama gak berobah, akhirnya satu tahun berlalu dan cinta mereka semakin kuat. Si cowok menjanjikan si cewek untuk datang berkunjung.Berkali2 si cowok bilang kalo dia lagi urus passport dan visanya. Si cewek sangat bahagia mendengar kabar gembira tersebut karena di USA sendiri hidup si cewek pas2an karena dia kuliah bergantung sama beasiswa dan hanya bekerja part time karena dia belom mampu untuk bekerja full time dikarenakan kelas yang dia ambil dalam satu semester mengharuskan dia untuk masuk kelar 4 kali seminggu.
Tapi entah mengapa, kabar ttg cowoknya yang mau datang ke USA hilang begitu aja bagai ditelan bumi. Si cowok tidak pernah bahas lagi masalah passport dan visanya tersebut. Si cewek pun tidak mau bertanya2 karena dia kuatir itu malah akan memperburuk suasana krn dia tau bagaimana moodynya cowoknya ini.Si cewek karena situasinya di rantau, dia belom bisa pulang ke Indonesia sejak dia datang ke USA krn dia memperhitungkan biaya pesawat yang sangat mahal. Komunikasi dia dan si cowok so far baik2 ajah dan lancar. Secara honestly ceweknya lah yang sering menelpon si cowok daripada si cowok yang menelpon si cewek.Si cowok kadang terkesan gak punya hasrat untuk menelpon. Kalau mau dibilang, si cowok termasuk orang sukses krn dia seorang manager disalah satu perusahaan asing yang mana penghasilannya lumayan bagus. Jika dia memang berniat menjaga keutuhan hubungannya dengan si cewek maka dia gak akan pernah merendahkan harga dirinya dengan membiarkan ceweknya tsb satu2nya orang yang berusaha menjaga komunikasi dengan si cowok.Harusnya si cowok juga mau berkorban untuk pulsa telpon untuk ceweknya tersebut. Si cewek karena merasa sayang sama cowoknya makanya dia berkorban habis2an untuk pulsa telpon demi menjaga hubungan baik mereka. Sejauh ini dari cerita si cewek, yang gw liat si cowok ini terkesan cuek, egois dan pelit. Kenapa gw bilang pelit ? Krn dia gak mau korban duit utk si ceweknya.Gw juga baru tau dari cerita si cewek kalo si cowoknya ini pas di Jakarta, juga lumayan pelit. Kalo mereka jalan keluar saweran, si cowok maunya bayar yang murah2 dan si cewek bayar makanan yang porsinya mahal. Jaman gini ternyata kodrat wanita dan pria itu udah kebalik yah. Norma-norma dalam berhubungan yang dulunya cowok menjunjung tinggi harga dirinya sebagai lelaki tapi yang kita semua lihat skrg dari contoh kecil aja bener2 gak bisa dipercaya.
Akhirnya sejalan waktu, si cewek dan si cowok punya pembicaraan dan hubungan mereka makin serius. Mereka udah merencanakan hari H untuk pernikahan mereka walo mereka masih tetap berjauhan. Si cowok terus menerus bilang ke si cewek kalo dia gak mau kehilangan si cewek. Si cowok mau apa yang dia udah mulai, dia akan selesaikan hingga akhir. Si cowok juga bilang apa yang dia udah tanam, dia ingin dapat hasilnya. Si cowok juga bilang kalo dia sangat berharap besar ke si cewek tersebut dan berharap si cewek di USA sini tidak punya orang lain.Setau gw, si cewek ini sangat setia sama cowoknya. Gw selama bergaul sama si cewek, gw gak melihat sekalipun si cewek ini flirting ato jalans ama orang lain krn dia akan tell them straight kalo dia udah bertunangan dan sedang merencanakan pernikahannya dengan tunangannya. Temen2 di USA juga sudah tau ttg hal itu dan kita semua respect sama dia. Malah salut banget, karena hari gini di USA lagi masih ada cewek yang setia banget sama pasangannya.
Si cewek disibukkan dengan kuliah dan kerja. Praktek2 dilapangan dari kuliahnya yang mengharuskan dia untuk membuat paperworks hampir setiap hari. Hal ini sangat menyita waktunya untuk hang out sama teman2 di USA tapi hal yang dia alami bisa kita mengerti kerena banyak juga student2 disini yang punya kasus yang sama seperti dia. Awal tahun 2007 si cewek jatuh sakit dan found out kalo dia terkena komplikasi tipus dan sakit kuning yang mengharuskan dia harus dirawat dirumah sakit dan dia diasingkan diruangan yang sangat steril. Kita semua tahu bahwa di rumah sakit tidak diperbolehkan menggunakan cellphone krn akan mengganggu interfere peralatan2 medis. Karena si cewek disini tidak punya keluarga, dan teman2nya lah orang2 yang paling bisa dia andalkan. Salah satu teman udah berusaha untuk menghubungi si cowok untuk memberitahukan bahwa ceweknya sedang dirawat dirumah sakit tapi si cowok tidak pernah mengangkat telponnya. So akhirnya begitulah si cewek dirawat lumayan lama, ada sebulan lebih krn dokter pengen dia benar2 pulih baru bisa keluar dari rumah sakit. Hampir 2 bulan dirumah sakit dan begitu dia keluar rumah sakit dokter maish mengharuskan dia untuk check up sekali seminggu. Nah begitu keluar dari rumah sakit, si cewek berusaha kontak si cowok dan si cewek bilang kemana aja. Kok gak ada kabarnya ? Krn si cewek begitu mendapatkan cellphone nya lagi dengan harapan dia akan menemukan setidak2nya sms dari cowoknya. Tapi dia gak menemukan satupun sms dari cowoknya selama hampir 2 bulan di cellphone.Si cewek sangat sedih dan dia nanya apakah si cowok tau kalo dia dirawat dirumah sakit ? Si cowok bilang enggak. Si cewek bilang apakah si cowok gak ada inisiatif untuk mencaritahu kenapa si cewek gak kontak dia dalam 2 bulan ? Si cowok bialng enggak. Si cewek kaget, ada apa ini ? Si cewek bener2 gak ada ide apa yang terjadi.
Akhirnya setelah pulang kerumah, si cewek mulai lagi memperbaiki komunikasi sama cowoknya dan hubungan mereka baik kembali. Yang gw gak habis pikir kenapa selalu si cewek yang mengalah. Kenapa selalu si cewek yang berusaha untuk memperbaiki keadaan dan si cowoknya gak melakukan apa2. Betapa egoisnya. Gw kadang merasa kasian sekali sama si cewek karena dia udah berkorban sampai segitunya tapi tidak dihargai sama cowoknya. Si cewek mati2an mempertahankan hubungan mereka. Si cewek pernah cerita ke gw kalo dia merasa kalo si cowok kayaknya pura2 aja mensupport dia untuk bersekolah di USA.Krn kalo si cowok emang bener2 tulus dan mensupport dia, maka si cowok gak akan bersikap aneh seperti itu. Dan apa yang dia bilang ada benarnya. Yang gw liat kesannya cowoknya gak mensupport dia. Kalo memang dia gak mensupport, kenapa dia mengikat si cewek dg pertunangan dan ingin menikahinya begtiu si cewek kelar kuliah. Dan menjanjikan janji2 buta ke cewek tersebut bahwa dia akan datang berkunjung dg memberikan harapan2 ke cewek tersebut bahwa dia sedang mengurus passport dan visanya.
Dua tahun pun berlalu. Hubungan mereka mulai membaik. Si cowok mulai agak rajin me sms dan tetep tidak pernah punya hasrat untuk menelpon dan selalu mengharapkan si ceweknya yang menelpon dia. Belakangan si cowok ikut tenis dan belakangan dia suka jalan sama temen2 tenisnya yang mana si cewek sendiri tidak kenal siapa mereka. Pernah beberapa kali pas si cewek pengen tau kabar cowoknya dan dia menelpon, si cowok angkat telpon dan bilang aduh jangan telpon skrg lagi asik niy sama temen2 tenis. Gw pas diceritain kaget banget. Gw bilang what ? He's not supposed to say that. Dia harusnya respect dan menghargai usaha si cewek utk selalu keep in touch sama dia. Bukannya membuat perasaan si cewek ciut dan sedih. Malah si cewek sempet bilang ke gw kalo skrg dia malah merasa dia udah gak spesial lagi buat cowoknya.Gw bilang sabar aja dulu, mungkin dianya aja lagi sibuk. Si cewek nurut apa yang gw bilang. Lama kelamaan kok si cowok jadi susah dihubungi dan sering kali tiap si cewek nyoba telp dia, dia pasti bilang aduh nanti aja telp nya. Lagi sibuk niy sama temen2. Lah ? Gw terheran2. Ini cowok jadi aneh dan ajaib gitu. Diperhatikan eh malah skrg malah mengenyampingkan si cewek. Bener2 aneh.
Mereka alhasil jadinya sering chat, cerita2 mengancang2 masa depan. Membahas masalah pernikahan. Ttg berapa undangan, dimana pernikahan akan diadakan dll. Si cowok sampe malam takbiran masih suka bilang cinta dan sayang ke ceweknya dan bilang kalo dia tidak mau kehilangan dan si cewek pun bilang hal yang sama.Sebelum lebaran, si cowok masih sempet bahas masalah pernikahan dengan si cewek. Si cowok bilang kalo dia mau si cewek ini pulang ke Indo sebelum akhir tahun ini. Si cewek bilang apa gak bisa awal tahun karena akhir tahun ini si cewek ada final exam di kuliahan. Si cowok bilang gak bisa. Harus akhir tahun ini biar mereka menikah.Gw mikir kok maksa siy. Dah jelas2 dia dan keluarganya tau si cewek ini di USA juga ngapain. Dan si cewek di USA sini gak main2. Tapi si cowok kayak no excuse gitu. Kalo dia butuh ini cewek, kenapa dia gak nyusul ke USA instead of maksa2 si cewek ini disaat posisi si cewek ini lagi terjepit dg masalah exams dan tiket akhir tahun kan double banget harganya krn holiday season dan belom lagi airport tax yang naeknya more than two times. Krn si cewek takut kehilangan si cowok, dia pun booking tiket pulang. Si cowok sampe minta booking code segala ke cewek. Kesannya buat siy paranoid gitu deh. Ya si cewek kasih dan bilang kalo dia punya 2 bookingan. Minta tolong temen temennya untuk bookingkan. Tapi bookingan yang dia bulan oktober masih cadangan dan yang desember ok. Temen temennya tsb bilang kalo dia bisa hold reservasinya. Si cewek ya percaya aja krn itu temen temennya. Si cowok bilang dia cek cek tapi kok gak ada reservasinya. Si cewek kaget, gak mungkin gak ada karena dia udah minta tolong temen temennya ituh. Si cewek bilang she'll let him know krn dia akan double check lagi. Si cowok bialng ok.
Ternyata satu huruf di booking code salah dan temen temennya itu bookingkan di tanggal yang salah. Tapi tetep masih tahun ini. Namanya juga minta tolong nyariin harga tiket yang agak murah, jadi mungkin di tnaggal yang di request sama si cewek ini harganya mahal. Who knows.
2 hari setelah lebaran, si cowok mulai bertingkah aneh. Dia gak mau angkat telpon dari si cewek. Dia gak mau bales sms si cewek. Diajakin chat juga gak mau. Si cewek kan kaget ada apa niy. Akhirnya sekalinya mereka ketemu chat, si cowok malah melibatkan temennya cowok juga didalam pembicaraan mereka. Si cowok membiarkan temennya tersebut ngata2in si cewek. Bilang kalo si cewek bohong masalah reservasi lah. Bilang kalo si cewek bohong masalah gak boleh pake cellphone dirumahsakit. Dan lain-lain.Si cewek cerita ke gw kalo dia sampe gemetaran pas dia dibilangin begitu. Sangat sangat tidak menyangka kalau cowoknya yang berumur 36 tahun ini sangatlah ajaib, dan tidak dewasa. Untuk apa dia melibatkan temennya dalam hubungan mereka ? Kenapa si cowok tidak percaya sama si cewek ? Si cowok malah tidak kasih si cewek pilihan2 atau kesempatan2 untuk ngomong. Malah temennya si cowok bilang kalo si cowok gak mau lagi sama si cewek dan mereka temen2nya lagi jodoh2in si cowok dengan cewek lain di Indo.Si cewek kaget dan remuk hatinya. Gak nyangka cowoknya akan perlakukan dia begitu setelah semua yang dia telah korbanin. Si cewek sedih dan hatinya hancur kenapa cowoknya lebih percaya sama temen tenisnya yang dia baru kenal, daripada ke dia ?Padahal hari sebelumnya si cewek dan si cowok masih bahas masalah pernikahan. Mereka baik2 aja. Ketawa2 aja dan happy. Tapi hari berikutnya semuanya berubah 360 derajat dan bikin hati si cewek ini hancur. Si cowok juga sempet ngomong kasar ke dia dan si cewek bener2 ga tau apa yang dia harus lakukan selain menangis dan istighfar berkali2. Gw ada disana pada saat mereka clash. Gw ada disana pas si cewek istighfar dan gemetaran. Cerita ini nyata.
Dan sampai sekarang si cewek gak pernah denger apa2 lagi dari si cowok itu. Dia menghilang begitu aja. Walo si cewek nyoba untuk telp ato sms minta penjelasan tapi kayaknya si cowok nyuekin aja. Gw bilang ke si cewek untuk selalu sabar dan untuk memaafkan. Banyak2in doa dan harus percaya kalo Allah itu adil. What goes around will comes around. Dan itu faktanya.
Kesimpulannya, dari masalah ini gw melihat bahwa sekuat tenaga dan gimanapun si cewek berusaha untuk mempertahankan hubungan jarak jauh ternyata long distance itu tidaklah gampang apalagi jika salah satu pihak melanggar komitmen tersebut. Harusnya hika mau long distance relationship berjalan seperti yang diinginkan maka kedua belah pihak haruslah bekerja sama untuk sama2 mewujudkan impian bersama.
Sangat disayangkan karena si cowok berdalih ke sesuatu yang sampai sekarang masih menjadi pertanyaan untuk si cewek. Si cewek bilang dia masih penasaran dan akan mencari tahu jawabannya begitu dia di Indo. Gw bilang lupakan. Tapi gw mengerti, seenggak2nya si cewek butuh dapat penjelasan. Kecuali kalo cowoknya ini emang punya orang lain di Indo dan termakan hasutan temen barunya tersebut.
Sedih memang jika kejadian seperti ini terjadi pada diri kita krn pengorbanan yang dilakukan selama itu akhirnya sia2. Dan rasa sakit yang dirasakan belum tentu bisa sembuh secepat itu. Dan untuk membuka hati lagi, mungkin akan sulit krn pernah disakiti. But that's life. Time will heal the pain, semua emang butuh waktu and Allah itu maha tahu, maha penyayang dan maha adil. Percayalah.
Posted by Janu Jolang at 12:00 PM 1 comments