Selama
di Jakarta aku tinggal di rumah paman, ia punya usaha percetakan kecil-kecilan
di daerah Kali Baru. Karena tak ada pilihan lain maka aku membantu paman dengan
bekerja di sana. Paman sering mendapat orderan cetak mulai dari kartu nama, kop
surat, brosur, ataupun kartu undangan perkawinan. Semenjak kutinggalkan
kuliahku di Jogja dan aku memutuskan tak ingin meneruskan lagi paman meminta
aku untuk membantu mengurusi bisnis percetakannya. Aku diajari cara
mengoperasikan komputer untuk mendisain berbagai macam orderan yang masuk,
diajari mengerti ukuran dan jenis kertas, tinta cetak, sampai mengoperasikan
mesin cetak. Disamping itu aku juga diajari cara menghitung biaya pokok produksi
dan mengambil sedikit keuntungan dari order cetakan yang masuk. Aku menurut dan
berusaha untuk bekerja dengan rajin, terus belajar, dan menikmati keseharian
bekerja di percetakan. Paman rupanya menaruh harapan kepadaku suatu saat nanti
aku bisa meneruskan usahanya.
Friday, March 1, 2013
MENEKUNI DUNIA PERCETAKAN
Posted by Janu Jolang at 12:29 AM 0 comments
Wednesday, February 6, 2013
KEDUTAAN AMERIKA DI JAKARTA
Tirto
Projo, begitulah nama yang tertera dalam pasporku, juga visa pelaut yang
dikeluarkan oleh Kedutaan Amerika di Jakarta, tapi sungguh itu bukan identitas
diriku sebenarnya. Awalnya aku mendaftarkan diri untuk permohonan visa turis
dengan memakai nama asliku, Joko Lelono, sama persis seperti yang tertera di
akte kelahiranku.
++++
Posted by Janu Jolang at 2:30 PM 0 comments
Saturday, January 19, 2013
STAND UP COMEDY
Seorang polisi pelanggan sushi bernama John sering duduk di sushi bar. Orangnya gempal, suka bercerita yang lucu-lucu, mimiknyapun kocak, bisa menirukan ratusan ekspresi wajah. Barangkali kalau tak jadi polisi ia pantas menjadi seorang komedian. Di Amerika, panggung stand up comedy selalu dipenuhi pengunjung.
Posted by Janu Jolang at 12:34 AM 0 comments
Thursday, November 29, 2012
ASISTEN MBAH DUKUN
(Terbit di Kompas.com, Kamis, 29 November 2012)
Janu Jolang
Posted by Janu Jolang at 1:58 PM 0 comments
Monday, October 15, 2012
NIKAH SURAT BUKAN AURAT
Foto perkawinan Hussein dan Aaliyah tampak bahagia dalam adat Pakistan. Diantara kerumunan teman-teman dan saudaranya, Aaliyah terlihat anggun dengan baju Lehenga warna maroon berselendang kuning, berkerudung ala Benazir Bhutto dan kalung batu yang menghiasi keningnya. Sang suami, Hussein memakai baju yang sama berlengan panjang terlihat memeluk Aaliyah dengan mesra. Mereka berdua tampak bahagia walau usia tak muda lagi.
Posted by Janu Jolang at 2:54 AM 0 comments
Saturday, August 25, 2012
SENOR COYOTE
Coyote
adalah sejenis anjing liar yang ganas, mirip srigala, punya daya
endus yang hebat dan efisien dalam membunuh mangsanya. Binatang ini
banyak ditemui di Dataran Amerika hingga Kanada.
Dalam dunia penyelundupan manusia, human trafficking, terutama di daerah perbatasan Mexico dengan Amerika Serikat dikenal istilah Senor Coyote, dia bukan anjing melainkan orang yang pekerjaannya memandu rombongan orang orang gelap masuk ke Amerika. Pekerjaan ini dibayar mahal karena memang tugasnya cukup berat. Membawa rombongan imigran gelap menempuh perjalanan berat selama berhari-hari melewati gunung-gunung, menyebrangi sungai, padang bebatuan, atau padang pasir. Garis batas sepanjang 8000 miles dari Tijuana dekat California turun ke Juares dekat New Mexico sampai Matamoros dekat Texas adalah lahan pekerjaan Senor Coyote.
Tukang cuci piring di restoran tempatku bekerja bernama Jose cerita bahwa untuk bisa masuk ke Amerika dia harus bayar 7000 dollar pada mafia penyelundup di Tegucigalpa ibukota Honduras. Jose dulunya adalah kuli pemetik jeruk dengan bayaran 5 dollar sehari di kampung halamannya di sebuah kota kecil di Honduras. Lelaki muda dan ganteng serta bermata biru itu barangkali kalau di Indonesia sudah jadi bintang iklan dan jadi pujaan banyak wanita.
Ketika kutanya butuh paspor untuk melintasi tiga negara, Salvador, Guatemala, dan terakhir Mexico, Jose yang hanya bisa bahasa Spanyol dan buta huruf itu menjawab, " No necesidad de pasaporte, solo dinero." Nggak butuh paspor, hanya uang saja. Seolah jawaban Jose ingin menggambarkan bahwa untuk melintasi ketiga negara tersebut si Coyote Honduras akan mengurus mereka dengan aman dan nyaman layaknya seorang travel guide alias pemandu wisata yang akan memandu mereka melintasi 3 negara.
Tapi janganlah dibayangkan para pelintas batas itu mau pesiar seperti turis-turis berkantong tebal, melainkan mereka lebih mirip pengungsi. Jose si tukang cuci piring ketika kutanya hanya berbekal 1000 lempira mata uang Honduras yang kira-kira setara 50 US dollar. Sepanjang perjalanan Honduras – Mexico yang memakan waktu kurang lebih 8 hari dengan mengendarai mobil van, mereka hanya dijatah makan sehari sekali oleh Senor Coyote. Kalau ada dari mereka yang protes, rewel atau menyusahkan selama perjalanan, si Coyote tak segan-segan bersikap kasar dan menurunkannya di jalan.
Ketika mereka kelelahan dan kelaparan saat menginap di Guatemala, mereka tak boleh keluar rumah untuk membeli makanan atau minuman. Bisa bisa nanti mereka ditangkap petugas karena tak punya paspor. Selama perjalanan Honduras - Mexico mereka selalu kucing kucingan dengan aparat imigrasi atau menyuap kepada oknum petugas polisi yang mencegat di jalan.
Setelah sampai di Mexico, Jose bercerita bahwa mereka masih harus menunggu selama berhari-hari dan ditampung di sebuah rumah, berganti Coyote Mexico lain yang akan mengurus mereka hingga masuk Amerika. Di sini banyak polisi yang berpatroli, mencari-cari orang gelap yang akan menyeberang ke Amerika, aparat tahu bahwa daerah-daerah tertentu adalah “surga”nya mafia pemberangkatan para pelintas-batas. Jose dan kawan-kawan lebih banyak mengeram di rumah.10 hari mereka tersekap dalam ruangan sempit menunggu saat yang tepat untuk melewati perbatasan Mexico - Amerika.
Ketika kutanyakan darimana mereka berangkat. Jose hanya menjawab, “No saber” alias nggak tahu. Layaknya seseorang yang bermimpi di suatu tempat yang awam baginya, yang tak tau mana Utara mana Selatan, yang bisa dia ceritakan hanyalah dia berjalan bersama rombongan melewati pinggir sungai selama berjam – jam, dan ketika sungai itu mulai menyempit dan dangkal -- mereka menyeberang. Setelah itu mereka menemui rintangan alam -- padang tandus berbatu. Mereka berjalan di bawah sengatan matahari yang panas. Seseorang amat mudah tertinggal dari rombongan dan tersesat karena mengalami dehidrasi, kelelahan, dan tak jarang mereka tidur sambil jalan. Saat mereka berasa lapar, si Coyote hanya bilang, “momento”, nanti di pemberhentian selanjutnya akan mendapatkan makanan. Tapi apa yang dijanjikan Tuan Coyote hanyalah bualan belaka. Ketika mereka istirahat dan tak mendapatkan makanan, si Coyote mengulangi lagi kata-katanya dengan bilang, .. nanti, ....nanti, sampe Jose dan teman-teman lainnya merasakan kelaparan yang amat sangat.
Malam menjelang, rombongan mereka yang berjumlah 20 an orang itu istirahat di daerah perbukitan, udara sangat dingin dan tak boleh menyalakan api unggun. Ketika kutanya Jose, jika ada salah satu orang yang sakit, “una persona enfermo”, sambil aku memperagakan orang yang sakit, “todo personas ayuda”? Apakah semua teman-teman membantu? Sambil aku memperagakan gerakan memapah kemudian menggendong.
Perjalanan ke tujuan akhir Maryland masih memakan waktu sehari. Baru saja truk keluar dari jalan tanah berbatu tiba-tiba mereka dikepung oleh gabungan petugas perbatasan. Semua imigran gelap yang berjumlah 20 orang itu disuruh keluar, dijejerkan secara berderet dengan tangan ke atas. Tampak wajah mereka kecewa bercampur sedih. Impian untuk bekerja dan hidup layak di Amerika pupus sudah. Mereka digiring ke penjara imigrasi. di data asal negaranya, direkam identitas tubuhnya, di check pernah berbuat kriminal di Amerika sebelumnya. Dan nasib Jose selanjutnya berakhir di penjara, ia mendekam selama 20 hari sebelum ia dipulangkan ke Honduras bersama-sama imigran gelap dari negaranya.
40 hari perjalanan menempuh bahaya yang “gagal” tak menyurutkan niat Jose untuk tetap kembali mencoba masuk Amerika. Tiga bulan berikutnya dia mengulangi lagi dan berhasil. Perjuangan yang luar biasa dahsyat itu diceritakan Jose dengan nada enteng, tanpa beban, sungguh ekspresi wajahnya seolah-olah dia hanyalah seorang pecinta alam yang sedang napak tilas, naik gunung dan menyeberangi sungai saja. Atau memang dia sudah terbiasa ditempa dengan kerasnya hidup sehingga menjadikannya lebih “rileks” mensikapi hidup ...
Posted by Janu Jolang at 4:32 AM 1 comments
Wednesday, July 4, 2012
FOSTER CHILD ALIAS ANAK NEGARA
Selama tinggal di Amerika aku belum pernah melihat anak-anak yang hidupnya menggelandang di jalan-jalan, menjadi pengemis, atau tidur di emperan toko. Sebaliknya hal itu amat mudah kutemui di Jakarta atau kota-kota besar di Indonesia. Mereka hidup di jalanan, jadi pengemis, kurir narkoba, pedagang asongan, atau tidur di kolong jembatan. Aku jadi teringat filmnya Garin Nugroho, Daun Di atas Bantal, yang menggambarkan betapa sosok anak yang masih ingusan sudah dihadapkan pada ganasnya kehidupan, diekpoitasi fisik dan mentalnya, menjadi korban kekerasan sexual, dan bahkan dibunuh untuk diambil organ tubuhnya.
Posted by Janu Jolang at 2:33 AM 0 comments