Thursday, March 14, 2013

VISA PELAUT AMERIKA

Surat panggilan kerja dari sebuah perusahan kapal pesiar kondang di Amerika membuat hatiku berdebar-debar. Hal ini sebetulnya terjadi secara kebetulan. Pak Parmanlah yang memperkenalkan aku dengan Hendro, ia saudara jauh Pak Parman yang pernah merantau ke Amerika sebagai pelaut. Hendro telah malang melintang bekerja di beberapa kapal pesiar seperti Royal Caribbean, Holland America Line, dan Carnival Cruise.

Ketika Hendro menunjukkan kepadaku surat panggilan kerja dari sebuah perusahaan kapal pesiar kondang di Amerika, aku sedikit bingung memahaminya. Hendro meyakinkanku bahwa surat panggilan kerja ini asli, asli dari saudaranya di Amerika yang punya jabatan dalam perekrutan tenaga kerja di kapal pesiar. Memang kudengar banyak sekali pelaut-pelaut asal Indonesia yang bekerja di kapal pesiar baik rute Asia, Eropa maupun Amerika. Ya tapi surat undangan itu bukan atas namaku, di situ tertera nama Tirto Projo, bagaimana aku bisa memakai itu untuk diriku? Hendro menjelaskan bahwa masalah identitas adalah hal yang mudah dipalsukan di Indonesia. Mulai dari KTP sampai paspor, semua bisa dibikin asal ada uang. Dan posisi yang akan kuisi atas nama Tirto Projo, kata Hendro adalah tukang bersih-bersih kamar. Tirto Projo sendiri (kata Hendro) tak jadi berangkat ke Amerika. Hendro kemudian menjelaskan bahwa prosedur prescreening dan interview bersama perwakilan perusahaan sudah tak diperlukan lagi, ia lantas menunjukkan masa kontrak kerja yang berlaku dan surat garansi dari bagian perekrutan tenaga kerja yang telah ditandatangani.
" Hanya tinggal proses pengajuan visa ke Kedutaan Amerika." kata Hendro seolah meyakinkan aku.
Aku mulai tergiur dengan ajakannya. Keinginan pergi ke Amerika yang telah kukubur dalam-dalam kini menyeruak lagi. Disaat bersamaan timbul juga rasa khawatirku bagaimana menyampaikan semua itu kepada paman dan ibuku. Aku yakin paman akan kecewa dengan niatku untuk merantau ke Amerika. Paman sudah terlanjur mempercayai aku untuk menjalankan usaha percetakannya. Apalagi aku baru saja meminta seperangkat komputer dan scanner yang lebih canggih untuk keperluan disain grafis. Kalau kutinggalkan siapa yang akan mengerjakan order-order yang mulai menumpuk? 
Aku tak tahu pasti apakah Hendro berbohong tentang surat panggilan kerja itu, aku sungguh awam tentang seluk beluk mendaftar jadi pelaut di kapal pesiar. Tapi entah seperti aku tersihir kekuatan magis, aku menuruti kata-kata Hendro. Aku mulai membuat KTP baru dengan meminta tolong Pak Usup hansip desa. Setelah itu aku membuat paspor baru dan buku pelaut lewat calo di Tanjung Priok. Untuk identitas baru, namaku kini berubah menjadi Tirto Projo sesuai dengan nama yang tertera di surat panggilan.
Ketika menurutku saatnya sudah tepat, maka kusampaikan keinginanku merantau ke Amerika pada paman, ia langsung tak setuju. Ia membujuk aku dengan mengatakan bahwa Hendro mau menipuku. Ketika aku bersikeras ingin pergi kesana, sekaligus kusampaikan niatku untuk meminjam uang sejumlah 40 juta rupiah, paman berbalik marah. "Kamu ponakan celaka ...Apa yang membuat otakmu diracuni iming-iming Amerika? Selama ini kamu buang-buang uang ibumu hanya untuk ngurus visa yang nggak ketahuan juntrungannya. Sekarang kamu minta pinjam uang paman; bukankah kamu tahu semua uang paman sudah habis buat beli mesin cetak, komputer grafis, dan peralatan lain? Niatmu nggak berkah;.. mau jadi gelandangan di sana??"
Aku tak menjawab. Aku hanya diam dan pergi meninggalkan paman di ruang makan. Di dalam kamar aku merenungkan kembali niatku pergi ke Amerika. Ada rasa berdosa ketika tiba-tiba aku meninggalkan semua apa yang telah aku rintis bersama paman dalam memajukan usahanya. Disisi lain ada perasaan menggebu-gebu dalam diriku, keinginan untuk menjamah Amerika. Entah kekuatan gaib apa, ibarat Amerika adalah seorang gadis molek berkaki jenjang, sungguh membuat aku gelap mata ingin memburunya.  Kuhitung-hitung jumlah tabunganku, hanya ada 30 juta. Sementara Hendro mematok harga 60 juta, aku berpikir keras bagaimana cara mencari sisa kekurangannya.
Waktu terus berjalan dan aku dikenalkan Hendro kepada Pak Amin saudara sepupunya yang katanya "orang dalam" yang akan membantu dan mendampingi aku untuk mengetahui seluk beluk bekerja di kapal pesiar. Sementara aku berpikir keras mencari pinjaman uang, aku (karena awam dan tak tahu apa-apa tentang bekerja di kapal pesiar) ada baiknya menuruti anjuran Pak Amin untuk mengikuti kursus BST alias Basic Safety Training tentang dasar-dasar keselamatan kerja yang disyaratkan oleh calon-calon pelaut. Mulai dari menghadapi kebakaran dan cara mengatasinya, Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan, cara-cara pengamanan sampai menyelamatkan diri jika kapal mengalami musibah. Aku juga disuruh ikut tes Marlin, tes wajib bahasa Inggris untuk para kru kapal, secara nanti aku harus bisa berinteraksi dengan tamu-tamu kapal pesiar, juga dengan kru kapal yang berasal dari berbagai negara. Beberapa surat pengalaman kerja dari hotel amat mudah kupalsukan dengan bantuan komputer grafis dan mesin pencetak paman.
Untuk tes kesehatan dan biaya tiket pesawat aku memberikan uang 2000 dollar kepada Hendro. Dari beberapa cerita bahwa tiket pesawat ditanggung maskapai kapal pesiar, aku tak bertanya lebih lanjut kepada Hendro. Aku masih punya hutang 30 juta rupiah kekurangannya dan akan kulunasi setelah aku dapat "visa pelautku".
Lewat jasa Pak Amin, aku kini tinggal menunggu jadwal interview visa. Tes kesehatanku dinyatakan layak, dan kini tibalah aku mengantri untuk ketiga kalinya di depan Kedutaan Amerika. Kali ini bersama teman-teman pelaut yang akan wawancara visa. Ya jumlahnya banyak ... Orang Indonesia memang terkenal dalam dunia pelayaran. Puluhan ribu orang Indonesia tersebar ke berbagai penjuru dunia entah itu kapal pesiar, kapal tanker atau kargo. Ada yang sedang bersandar di Peru, Liverpool, Korea, atau Bahama, atau ada yang sedang cuti di kampung halamannya. Tak begitu salah (ternyata) dengan lagu Nenek Moyangku seorang pelaut, bahwa dari akar sejarahnya -- di dalam tubuh kita memang ada jiwa Bahari. Orang-orang kapal senang melihat cara kerja orang Indonesia yang rajin, penurut, dan bisa diandalkan.
Dan ketika rombongan calon pelaut satu persatu mulai diinterview, timbul rasa deg-degan di hatiku. Trauma menghantui diriku. Aku tak bisa membayangkan andai permohonan visaku ditolak lagi. Sudah puluhan juta kuhabiskan dan aku tak bisa berpikir lagi andai yang ketiga ini gagal.
Terdengar dari balik loket seorang lelaki bersuara ramah," Sugeng enjing..." selamat pagi."
Aku kaget orang bule itu kok ngomongnya bahasa Jawa," Saged basa Jawai to Pak? " -- Bapak bisa bahasa Jawa ternyata.
" Lha aku wis tau urip nang Jogja je .... Japhe methe dab !!! (slank bahasa jogja: kanca dewe .. mas)." Aku pernah tinggal di Jogja.
Aku tersenyum, rasa takutku cair sambil manggut-manggut keheranan. Rupanya dia tau aku dari Jogja, membaca pasporku, namaku yang Jawa (banget) - Tirto Projo, juga tempat dan tanggal lahirku yang asli Jogja.
Ketika dia membolak balik semua dokumen pelaut kepunyaanku, dia tak banyak mengajukan pertanyaan. " Mas Projo ... Slamet ...panjenengan siap - siap bidal Amerika njih." Mas Projo .. Selamat ... Anda siap-siap berangkat ke Amerika ya.  
" Oh matur nuwun Pak dhe." Oh terima kasih Pak dhe, jawabku kegirangan. Kali ini proses wawancara visa nampaknya sekedar formalitas belaka. Hatiku girang bukan kepalang. Keberuntungan sedang berpihak kepadaku, aku serasa terbang ke awan-awan, hatiku berdesir seakan mendapat perhatian dari gadis molek berkaki jenjang, ia tak bertepuk sebelah tangan. Aku seperti tersihir dengan kekuatannya, akan kukejar terus dirimu Amerika ...

Friday, March 1, 2013

MENEKUNI DUNIA PERCETAKAN


Selama di Jakarta aku tinggal di rumah paman, ia punya usaha percetakan kecil-kecilan di daerah Kali Baru. Karena tak ada pilihan lain maka aku membantu paman dengan bekerja di sana. Paman sering mendapat orderan cetak mulai dari kartu nama, kop surat, brosur, ataupun kartu undangan perkawinan. Semenjak kutinggalkan kuliahku di Jogja dan aku memutuskan tak ingin meneruskan lagi paman meminta aku untuk membantu mengurusi bisnis percetakannya. Aku diajari cara mengoperasikan komputer untuk mendisain berbagai macam orderan yang masuk, diajari mengerti ukuran dan jenis kertas, tinta cetak, sampai mengoperasikan mesin cetak. Disamping itu aku juga diajari cara menghitung biaya pokok produksi dan mengambil sedikit keuntungan dari order cetakan yang masuk. Aku menurut dan berusaha untuk bekerja dengan rajin, terus belajar, dan menikmati keseharian bekerja di percetakan. Paman rupanya menaruh harapan kepadaku suatu saat nanti aku bisa meneruskan usahanya.

Tak terasa bulan berganti dengan cepat. Usaha percetakan paman makin berkembang. Aku berusaha mengoptimalkan kerja mesin - mesin cetak satu warna milik paman dengan mencari order ke kantor - kantor pemerintah maupun swasta sepanjang Matraman - Mangga Dua. Pagi hari aku mulai berkeliling menawarkan jasa apa saja mulai dari alat tulis, sablon, bordir sampai cetakan keperluan kantor. Kalau aku dapat orderan sablon maka akan kulempar ke Bang Joni tetanggaku di Kali Baru, kalau aku dapat order bordir akan kulempar ke Mas Sari di Pramuka. 
Waktu berlalu aku mulai merasa bahwa dunia percetakan adalah tempat aku mendapatkan rejeki. Dari situ aku mulai bisa menghidupi diriku, membeli baju atau celana jeans kesukaanku, sepatu Kickers dan sedikit sisa untuk ditabung. Andai aku mendapatkan cetakan full color yang butuh separasi warna yang berarti mesin paman tak sanggup untuk mengerjakannya maka aku akan lari ke tempat Haji Uung. Dia punya mesin cetak Heidelberg yang mampu mencetak 4 warna dengan kecepatan tinggi.
Karena aku sering mendapatkan order buat Haji Uung maka atas kemurahan hatinya dia melempar sebagian ordernya ke tempat paman. Kamipun lantas sibuk mengerjakan pesanan Haji Uung hingga larut malam. Kami sering kekurangan karyawan terutama saat kami kebanjiran order. Aku lantas menyarankan paman untuk menambah karyawan lepas, dan rupanya paman menuruti saranku. Apalagi kini aku bisa mendapatkan order tetap dari temanku waktu kuliah di Jogja dulu - Hengki, ia kini bekerja pada distributor perlengkapan komputer di Mangga Dua. Mesin cetak kepunyaan paman jadi tak pernah menganggur. Brosur satu warna berisi daftar harga memori, vga card, hard disk, speaker, dan lain - lain dilempar ke aku. Juga kop surat, surat jalan, dan pernik alat tulis perkantoran.
Ibu yang mendengar kabar tentang perubahanku ikut senang. Rasa khawatir ketika aku memutuskan berhenti kuliah dan ngotot pergi ke Amerika sempat membuat ibu kalang kabut. Ibu marah karena aku sudah membuang uang dengan berhenti kuliah di tengah jalan. Juga ketika aku merengek minta uang yang tak sedikit untuk mengurus visa ke Amerika. Aku jadi merasa bersalah kepada ibu.
Ibu yang bekerja sebagai guru SMP tidaklah punya uang cukup, adik-adikku masih membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Semenjak ayah meninggal, ibulah satu-satunya tulang punggung keluarga. Dan kini aku telah bekerja, tak menjadi beban ibuku lagi. Aku sudah bisa mencukupi kebutuhan hidupku sendiri. Ibu kini konsentrasi membiayai adik-adikku, aku sesekali mengirimi uang untuk jajan adik-adikku. Sebagai anak tertua aku mulai merasakan sebuah tanggung jawab muncul dalam kesadaranku bahwa aku harus ikut memikirkan kelangsungan hidup mereka, demi masa depan adik-adikku. Semoga mereka punya semangat belajar tinggi tak gampang menyerah, bisa sekolah sampai tamat, dan mendapatkan pekerjaan yang mapan dikemudian hari. Jangan seperti kakak tertuamu.
Ya, aku sebagai anak tertua tak bisa menjadi contoh bagi adik-adikku. Aku merasa bersalah telah menyia-nyiakan kesempatan untuk bisa meraih gelar kesarjanaanku. Menjadi yang pertama di keluargaku dan tentu itu sebuah kebanggaan keluarga. Harapan ibu agar kelak aku bisa menyandang gelar insinyur seperti si Doel Tukang Insinyur -- film tv yang digemari ibu -- tak bisa kuwujudkan. Sebetulnya aku tak mau mencari alasan kenapa aku memutuskan untuk berhenti kuliah. Aku juga tak menyalahkan dosen Matematika yang killer, Pak Mastur. Tapi dari dulu aku memang tak pernah beruntung dalam ilmu Matematika. Nilai Matematika I dan II yang selalu dapat E menjadikan aku patah semangat. Dengan dua semester tertunda setidaknya aku telah membuang waktuku satu tahun untuk mengulang kembali di tahun  berikutnya.
Barangkali juga aku kecewa karena Arini pergi meninggalkanku tanpa alasan yang jelas, ya ..cinta pertamaku sejak SMA telah kandas. Rasa kehilangan Arini sanggup membuat hidupku guncang. Semua kejadian begitu beruntun tatkala dua bulan kemudian Ayah meninggal. Duniaku seakan runtuh.
Waktu berlalu dan keinginanku pergi ke Amerika pelan-pelan meredup seiring dengan kesibukanku berkecimpung dalam dunia cetak mencetak.

Wednesday, February 6, 2013

KEDUTAAN AMERIKA DI JAKARTA


Tirto Projo, begitulah nama yang tertera dalam pasporku, juga visa pelaut yang dikeluarkan oleh Kedutaan Amerika di Jakarta, tapi sungguh itu bukan identitas diriku sebenarnya. Awalnya aku mendaftarkan diri untuk permohonan visa turis dengan memakai nama asliku, Joko Lelono, sama persis seperti yang tertera di akte kelahiranku.

Kata beberapa orang yang pernah berurusan dengan Kedutaan Amerika -- untuk mendapatkan visa kunjungan ke Amerika sulitnya setengah mati. Walaupun si pemohon sudah  menyertakan bukti penguat seperti mengikuti tour wisata ke Amerika, diundang untuk hadir dalam sebuah seminar, diundang berkunjung oleh warga Amerika, atau undangan untuk menghadiri wisuda anaknya, semuanya itu bukanlah jaminan. Petugas pewawancara tak pandang bulu apakah pemohonnya seorang Artis, Pengusaha, Jendral atau sekedar Kepala Desa, semua sama di mata mereka. Hak untuk menentukan siapa yang diloloskan siapa yang ditolak ada di tangan mereka. Celakanya mereka diberi kebebasan untuk tidak menjelaskan alasan penolakan tersebut. Siapa sangka artis papan atas Indonesia yang terkenal dan kaya raya berkali-kali ditolak permohonan visanya -- sampai ia merasa trauma, juga seorang jendral yang mencak-mencak di Kedutaan karena visa pesiarnya ditolak. Sepertinya para pewawancara lebih mengandalkan intuisinya untuk memberikan keputusan menerima atau menolak.
Maka tak ada salahnya kalau aku mencoba peruntunganku, siapa tahu permohonan visaku lancar - seperti yang pernah dialami Pak Parman, lelaki paruh abad tetanggaku di Kali Baru yang cenunak - cenunuk alias lugu, tak bisa berbahasa Inggris, tapi dengan keluguannya itu ia bisa meluluhkan hati mereka.
Ketika kutanyakan hal itu kepada Pak Parman, apa yang dilakukan ia di depan petugas pewawancara kok sepertinya amat mudah? Pak Parman menjawab dengan simpel, aku berdoa terus di depan petugasnya, dik Joko. Berdoa kepada Tuhan semoga si petugas tergerak hatinya meluluskan permohonan visa-ku. Dan semuanya terjadi begitu saja, teramat sederhana dan tak berbelit-belit. Pak Parman yang tak punya pangkat apa-apa, tak punya harta melimpah, pensiunan pegawai negeri rendahan, ternyata dengan mudah mendapatkan visa ke Amerika.
Foto-foto Pak Parman yang bergaya di Patung Liberty, New York adalah bukti dia pernah ke sana, juga kulihat di album fotonya ketika ia mengunjungi Hollywood Boulevard -- trotoar yang berisi jejak nama pesohor terkenal di Amerika. Dalam fotonya ia jongkok sambil mengacungkan jempolnya di depan nama John Travolta.
Pak Parman lantas menceritakan ketika ia kabur dari rombongan di hari terakhir pesiarnya dan dijemput oleh Jerry, teman si agen Indonesia yang berjanji untuk menampung dan mencarikan pekerjaan. Tapi sayang bagi pak Parman (berusia 55 tahun waktu itu) mendapatkan pekerjaan di Amerika bagi seusia dia sama susahnya untuk mendapatkan visa Amerika bagi orang-orang yang pernah ditolak. Bagi usia yang mulai menua dengan tenaga yang tak sekuat dulu, tulang belulang yang mulai keropos, ditambah tak cakap berbahasa Inggris, Pak Parman harus bersaing keras dengan imigran gelap asal Amerika Tengah yang masih muda, berbadan kekar, dan mau dibayar murah. Sungguh ibarat seseorang diterjunkan dan tersesat dalam hutan belantara yang masih perawan, tak ada peta, tak ada kompas, dan pisau komando, hanya naluri bertahan hiduplah yang akan menuntun Pak Parman untuk bisa survive.
" Sawang sinawang, dik Joko ", kata pak Parman, " waktu itu aku mudah mendapatkan visa, tapi mati-matian waktu cari pekerjaan. Banyak restoran yang menolak pegawai tua seperti saya. Tapi alhamdulillah semuanya Gusti Allah yang ngatur."
Dan cerita Pak Parman yang lugu dan sederhana itu menambah semangatku untuk merantau ke Amerika.
++++
Ketika pertamakali memasuki gerbang Kedutaan Amerika perasaanku seolah sudah berada di Amerika walau sebetulnya aku tahu itu adalah tetangganya stasiun Gambir. Beberapa bangunan utamanya yang angker, juga petamanan yang ditata rapi menyatu dengan beberapa pohon tua membuat atmosfir yang kurasakan memang terasa beda. Ketika aku memasuki ruangan pemeriksaan yang dijaga tentara Amerika yang tegap serta berwajah angker hatiku deg-degan, mereka tak banyak ngomong, hanya nadanya yang keras berisi instruksi ala militer agar semua pengunjung meletakkan barang- barang logam dan tas ke mesin scan.
Rupanya beginilah aura yang disebut Negara Super Power, negara Adi Daya. Negara yang sering diprotes oleh para demonstran. Entah itu rombongan bersorban dari berbagai ormas Islam yang meneriakkan yel yel Amerika antek Yahudi, atau rombongan nasionalis yang meneriakkan yel yel Amerika Neokolonialis, si penjajah gaya baru. Mereka mulai membakar karikatur presiden Amerika, merangsek ingin masuk halaman Kedutaan Amerika. Pasukan Anti Huru - hara datang untuk membuat barikade, juga panser serta mobil water canon yang siap menyemprotkan air untuk membubarkan para demonstran. Dan keangkuhan itu tak sedikitpun bergeming.
Maka keangkuhan yang sama ditunjukkan oleh seorang lelaki tua kulit putih petugas kedutaan yang menginterview aku, ia dengan ketus bertanya," untuk apa Anda ingin ke Amerika?"
Kujawab," Aku ingin pesiar. Ke Las Vegas, Grand Canyon, Disneyland, dan Hollywood."
" Hmmm " , gumam dia lantas kembali bertanya," Anda bekerja di mana?"
"Aku masih kuliah", kataku sambil kutunjukkan kartu mahasiswaku yang masih berlaku.
"Maaf permohonan visa Anda kami tolak", kata Si orangtua kulit putih itu tanpa basa-basi.
Ternyata peruntunganku jeblok, walau aku sudah menyertakan bukti penguat dengan mengikuti tour wisata ke Amerika dari biro travel ngetop di Jakarta tapi tetap saja permohonan visaku ditolak.
Aku harus mendaftar ulang lagi, dan itu berarti aku harus mengeluarkan uang yang tak sedikit. Saat itu Amerika belum menerapkan sistim keamanan secara ketat. Andai kita pernah ditolak permohonan visanya maka data diri kita akan ada bersama catatan penolakannya dalam database komputer selama 4 bulan. Entah kebenarannya sampai dimana aku percaya ucapan orang-orang itu dan kemudian mengganti identitas diriku merubah namaku, membuat KTP baru, dan paspor baru. Namaku berubah menjadi Wicak Jodhi. Dan kini aku hanya bisa menunggu barangkali beberapa minggu lagi akan dipanggil untuk wawancara.
 +++
Dini hari sebelum besok jadwal wawancara aku sudah datang ke daerah Gambir Monas. Aku ingin datang awal supaya bisa dapat antrian yang terdepan. Sebelum ini  aku datang mendekati jam buka kantor dan dalam proses menunggu hingga sore hari aku tak kebagian giliran. Ternyata daya tarik Amerika mampu menyedot orang-orang rela berpanas-panasan dan mandi matahari untuk mengantri.
Malam itu udara terasa panas, di depan gerbang Kedutaan Amerika sudah ada lin antrian. Beberapa kutahu mereka tenaga sewaan dan ketika pagi tiba -- si Tuan datang dan langsung merogoh koceknya memberikan beberapa lembar 50.000 dan segera menggantikan tempatnya.
Dari beberapa cerita yang kudengar, kini aku makin mengenal beberapa trik ketika wawancara. Selain aku mengikuti paket wisata ke Amerika, aku juga menyertakan Surat Pengantar dari salah satu Perusahaan terpandang di Indonesia yang menyatakan aku sebagai karyawan dengan jabatan Manager yang ingin berpesiar ke Amerika. Dan tak lupa aku juga menyertakan copy saldo rekening bankku yang jumlahnya cukup banyak. Tentunya semua surat keterangan itu palsu.
Mungkin dengan cara seperti itu si pewawancara akan punya pikiran bahwa aku tak bakalan menjadi imigran gelap di Amerika karena aku punya pekerjaan bagus dan cukup uang untuk sebuah kehidupan mapan di Indonesia.
Kulihat si pewawancara masih muda, sopan, dan dapat berbahasa Indonesia dengan lancar. Dia menyapaku apa kabar dan kujawab dengan ramah. Lantas dia sibuk membaca dokumenku, membolak - balik beberapa formulir, dan menanyaiku dengan singkat, " Sudah berapa lama kerja di PT. A ."
" Satu tahun.", jawabku.
Si bule itu manggut-manggut. Tak lama terdengar suara sopan diseberang loket tetapi kudengar bagai kilat menyambar telingaku," Maaf kami menolak permohonan visa Anda."
Dan ini kali kedua aku gagal mendapatkan visa Amerika. Aku kecewa, peruntunganku tak sebesar Pak Parman. Barangkali benar juga cibiran orang tentang susahnya masuk Amerika, "Lebih gampang masuk surga daripada masuk Amerika." Tapi ya sudahlah, karena setelah kunalar akhirnya aku mendapatkan jawaban kenapa si petugas itu menolak visaku, ya karena menurut logika, tak masuk akal kalau baru bekerja satu tahun sudah dapat bonus pesiar ke Amerika.

Saturday, January 19, 2013

STAND UP COMEDY

Seorang polisi pelanggan sushi bernama John sering duduk di sushi bar. Orangnya gempal, suka bercerita yang lucu-lucu, mimiknyapun kocak, bisa menirukan ratusan ekspresi wajah. Barangkali kalau tak jadi polisi ia pantas menjadi seorang komedian. Di Amerika, panggung stand up comedy selalu dipenuhi pengunjung.


Suatu malam John si polisi kocak itu menceritakan tentang Dua Pria Kulit Hitam sedang berada di dalam sebuah mobil. Si kulit hitam pertama berusia 24 tahun, dan kedua berusia 13 tahun. Si John lantas memberikan pertanyaan,"Siapa yang nyetir?"

Pertanyaan konyol, si John memang suka begitu. Tentu semua orang tahu jawabannya, Mr Chong si kepala sushi chef -- sambil membuat nigiri Salmon, menjawab pertanyaan itu," The old one." 

Akupun setuju dengan jawabannya, tentu yang berumur 24 tahunlah yang nyupir kemudi, karena dia sudah berhak mendapatkan SIM. 

Tapi sungguh diluar dugaan, jawaban kita disalahkan oleh si John. Si polisi kocak itu malah memasang mimik mencemooh seolah kita orang bego. Tapi masak iya si pengemudinya usia 13 tahun itu pikirku dalam hati.

Si John lantas berakting memasang mimik wajah menyuruh kita untuk menyerah. Kamipun menyerah. Dia kemudian menjawab dengan singkat," Me."

"Whaaat?"

" Yes, I am behind the wheels.", kata si John sambil tertawa penuh kemenangan. Ternyata kedua pria kulit hitam itu baru ditangkap John. Mereka habis merampok sebuah toko mini market, diborgol dan dimasukkan ke dalam mobil polisi.

Joke yang agak-agak nyrempet "ras" dan mencemooh itu lantas tak membuat orang kulit hitam naik pitam. Di atas panggung stand up comedy, seorang komedian dengan gayanya masing-masing bebas mencela dan melucu tentang apa saja, siapa saja; entah itu gembel, aktris atau presiden, mulai dari ras hispanik, kulit hitam sampai kaukasia. Ada istilah White Trash yang ditujukan kepada kaum kulit putih yang suka bikin onar, mabuk-mabukan dan tak punya pekerjaan.

Fenomena penyakit sosial dengan tingginya tingkat kriminalitas di Amerika adalah salah satu bahan utama para komedian untuk melawak. Mulai dari kampung-kampung Ghetto yang berisi orang - orang miskin, pengangguran, prostitusi terselubung, sampai peredaran senjata gelap dan narkotika; itu semua adalah realita dan ditangan para komedian diubah menjadi sebuah cerita lucu dan segar, atau seringkali konyol dan getir. Bisa dibayangkan dari populasi orang dewasa Amerika yang berjumlah 230 jutaan, ternyata dari 100 orang dewasa ada satu orang yang hidup di balik jeruji besi. Adalah hal yang biasa terdengar di televisi tentang tindak kejahatan di sana sini, dan kenyataannya ras kulit hitam mempunyai rasio tertinggi yaitu 1 diantara 9 orang kulit hitam usia 20 - 34 tahun hidup di penjara. 

Tindakan mencemooh yang dibungkus lawakan tidak bisa dikategorikan sebagai sebuah tindakan "Crime Hate" alias Kejahatan karena rasa benci terhadap ras, warna kulit, agama, atau asal bangsa seseorang. Siapapun yang berniat atau mencoba melukai, mengintimidasi atau menghalangi orang lain, karena ras, warna kulit, agama, atau suku bangsa, karena si korban akan menghadiri satu diantara enam aktifitas yang dilindungi negara; seperti mengunjungi sekolah, fasilitas umum, mendaftar pekerjaan, menjadi juri dalam persidangan atau voting. 

Cela mencela dalam panggung lawak adalah hal yang biasa di Amerika, bahkan ketika seorang Mike Tyson hadir sebagai salah satu tamu dalam acara tivi komedi, Roaster, dan kemudian ia dicela habis-habisan oleh para komedian atau bintang tamu lainnya dengan menirukan gaya ngomong Mike yang bindeng dan kasar, mengomentari tatto di wajahnya sebagai tindakan "bodoh", gigitan kupingnya yang konyol, si Mike Tyson hanya tertawa-tawa sambil sesekali bilang "shit".Sungguh dikulik tentang masalah pribadi atau dicemooh mengenai tingkah lakunya di depan umum dan disiarkan tv amatlah menyakitkan hati -- walaupun itu dibungkus dengan kalima-kalimat humor. Apalagi ini mencela seorang Mike Tyson yang temperamen dan punya pukulan mematikan, sungguh dibutuhkan nyali tinggi untuk berani "mengejek" Mike Tyson.

Hebatnya si Leher Beton ternyata bisa mengendalikan amarahnya menerima ejekan-ejekan yang memerahkan telinga. Ia tak terpancing emosinya untuk memukul Steve O si pemeran Jack Ass. Ia juga tak terpancing ketika Steve O memohon-mohon untuk merasakan kerasnya pukulan si petinju legendaris itu, hingga akhirnya Steve O lah yang berlari ke arah petinju leher beton dan menerjangkan mukanya ke kepalan tangan Mike Tyson.Dibutuhkan sebuah kebesaran hati alias "big heart" untuk menerima semua celaan. Aku lantas teringat dengan Tukul Arwana di Indonesia, barangkali dialah satu-satunya komedian di Indonesia yang punya hati besar untuk dicela.

Thursday, November 29, 2012

ASISTEN MBAH DUKUN

(Terbit di Kompas.com, Kamis, 29 November 2012) 

Bagus, seorang sarjana lulusan ilmu Fisika nganggur hampir setahun. Keadaan ekonomi akhir-akhir ini sedang memburuk, lowongan pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya susah didapat. Jangankan profesi sebagai peneliti di bidang Ilmu Pasti, atau teknisi pabrik yang berkaitan dengan mekanika dan kelistrikan, bahkan untuk posisi guru Fisika di SMP-pun tak ada lagi. Mbah Parjo pamannya yang berprofesi sebagai dukun akhirnya menawari Bagus untuk bekerja. Jadilah ia kini sering terlihat mondar-mandir ke pasar Wage beli kemenyan, kembang setaman, minyak Fanbo, dan juga sebagai asisten yang mendampingi mbah dukun ketika pasien sedang digarap.

Mbah Dukun Parjo belumlah tua, berusia 50 tahun, berperawakan pendek diluar ukuran rata-rata. Ia seorang yang berwibawa sekaligus pandai meyakinkan orang. Kata-katanya bagai sugesti alam bawah sadar yang tertanam kuat mencengkeram kesadaran pasiennya. Mau dikata apa, Asti si janda genit usia 40 tahun dari kampung Kranji sampai rela tubuhnya dimandikan telanjang demi mengembalikan kemolekannya saat usia 27 tahun. Bagus tak kuasa menyembunyikan gairah syahwatnya ketika melihat lekuk tubuh sang janda yang terbalut lembut sinar bulan purnama. Ia sedikit malu menyadari tubuhnya gemetar ketika menciduk air tujuh rupa dan kembang setaman lantas buru-buru menyiramkan pada tubuh Asti. Kini tubuh sintal itu sedang diraba-raba paman sebagai syarat memasukkan japa mantra agar awet muda. Tinggal selangkah lagi janda molek itu pasti akan disetubuhi paman di atas altar batu tanpa berontak sedikitpun.

Disela-sela waktu senggang, ketika mbah Parjo sedang ngorok disiang hari, Bagus membersihkan kamar praktek mbah dukun sembari mendengarkan lagu-lagu Guns and Roses dari MP3 playernya. Lagu Welcome to The Jungle disetel keras-keras untuk mengusir rasa seram ketika ia melihat hiasan tengkorak yang remuk di ubun-ubun, keris-keris yang berserakan di meja, bau kemenyan bakar yang bekasnya menggunung, serta semerbak bunga melati yang memenuhi ruangan.

Di sore hari ketika sedang tak ada pasien Bagus membersihkan pekarangan rumah yang kebanyakan ditanami pohon Bambu Kuning, Tebu Ireng, Cocor Bebek dan Jambu Dersono. Tanaman kepercayaan Mbah Parjo ini dikatakannya untuk menjadikan tanah adem, sebagai penangkal santet, dan media penyembuhan orang yang terkena guna-guna. Bagus manggut-manggut, tapi dalam hati kecilnya susah untuk percaya. Dukun jaman sekarang ternyata tak mau disebut kuno dan menyesuaikan diri dengan pemikiran yang makin modern. Tradisi keilmuanpun diikutkan untuk menjelaskan ilmu santet secara ilmiah. Klaim ilmuwan bahwa tanaman Tebu Ireng, Bambu Kuning, Jambu Dersono, dan Cocor Bebek bermuatan listrik negatif akan menolak kekuatan setan dan santet yang juga bermuatan listrik negatif. Hukum Coulomb dipakai untuk membuat orang yakin, tapi ilmuwan mana yang mengadakan penelitian itu? Setan bermuatan listrik negatif? Bagus menggeleng-gelengkan kepala. Daun-daun kering yang berserakan itu akhirnya disapu dan kemudian dikumpulkan untuk dibakar.

Bagus tak begitu tertarik dengan kekuatan-kekuatan ghaib. Bertahun-tahun ia belajar Ilmu Pasti, ilmu Fisika, ilmu yang masuk di akal alias nalar, tapi kini ia dipaksa berurusan dengan hal yang berbau klenik, hal yang tak pasti dan tak masuk di akal. Pernah ia tertegun dan bengong ketika pamannya mengeluarkan seonggok paku dan jarum karatan dari perut pasiennya. “Ini santet datang dari arah Barat..... dari Banten nak Wiwin.”

“ Wah ini pasti kerjaan si Jarwo mbah ..., dia iri tender ngaspal jalannya kalah lagi.”, kata Wiwin. “ Ini santet mau dikembalikan po nak Wiwin.”, kata mBah Parjo dingin.

“ Iya mbah...”, kata Wiwin setuju. Tubuhnya kini terasa enteng, rasa sakit yang melilit perut akhir-akhir ini hilang seketika.

Dan seperti kilat cahaya yang tiba-tiba membuat terang benderang kamar praktek mbah dukun, paku dan jarum berkarat itu menghilang seperti ditelan bumi. Bagus tercengang bagaimana semua bisa hilang bersamaan dengan meredupnya cahaya. Bagus mencoba menerka-nerka dengan logika tapi malah membuat dia pusing kepala. Ia ingin bertanya pada Einstein tentang benda yang diikutkan kecepatan cahaya akan musnah karena gesekan yang sangat cepat, tapi kemudian tiba-tiba membentuk kembali wujudnya dan bersemayam di perut si penyantetnya?

" Santet sudah saya kembalikan ke Jarwo, nak Wiwin."

Mbah dukun Parjo sendiri tak perlu repot-repot menjelaskan, semua sudah ada yang menangani. Ya, kekuatan ghaib yang dimilikinya konon turunan dari kakek Bagus, ditambah lelakon tapa brata yang sering dilakukan kala masih muda. Bagus kembali membayangkan seolah paku dan jarum itu dicacah - cacah menjadi ukuran kecil hingga bisa memasuki pori-pori tubuh langsung menembus perut. Paku dan jarum itu seolah masuk mesin teletransporter seperti dalam film Star Track yang sering ditontonnya, membentuk wujudnya kembali dan bersemayam di dalam perut. Hilang di sini dan muncul di sana.

++++

Sore hari - Rabu Wage, Wiwin si pengusaha muda yang sedang menanjak bisnisnya di kota kecil Purwokerto itu sowan kembali ke mbah Parjo. Wiwin menganggap mBah Parjo adalah panutan sekaligus penolong dalam masalah yang dihadapinya. Sambil mengeluarkan foto perempuan cantik, Wiwin berkata tanpa sungkan,“Mbah Parjo, Desi kembang kampus ini bikin aku tergila-gila. Tolong dijampi-jampi ya mbah biar dia cinta sama saya.”

Mbah Parjo manggut-manggut. Rasa percaya dirinya seolah menyentuh langit, ilmu peletnya dikenal luas sangat ampuh. Banyak lelaki tua muda yang mengalami krisis identitas datang menemui mbah dukun untuk meminta pertolongan, semua karena alasan yang sama: cintanya ditolak. Juga ibu-ibu setengah baya yang mulai resah akan wajah dan tubuh mereka yang tak seindah dulu lagi. Pilihan susuk awet muda ibarat sebuah menu siap saji diantara daftar menu yang paling digemari mereka.   Mbah Parjo mengamati wajah dalam foto itu. Dahinya mengkerut, matanya seolah menerawang, “ Wah ... ini banyak yang nguber-uber, mas Wiwin. Perempuan ini sepertinya tahu kalau dia cantik. Dia orangnya pilih – pilih. Siapa namanya? Oh jeng Desi ya.., sepertinya dia belum serius mikir pacaran.”

“ Tapi mbah, bisa kan kalau Desi dibikin kinthil sama saya?”

“ Wah tenang saja mas Wiwin, embah kasih pelet yang cespleng biar jeng Desi tergila-gila sama sampeyan. Sampeyan ndak usah repot-repot nglakoni pake puasa mutih segala. Serahkan semuanya pada mbah.” 

Foto Desi ditaruh dalam gundukan kemenyan, dalam komat kamit si mbah dukun menyebut nama lengkap Desi sembari bergumam dalam japa mantra. Tiba-tiba dari mulutnya keluar jarum emas yang jatuh tepat di atas foto Desi. Diambil jarum itu dan dari ujungnya timbul lilitan hitam lengket seperti kemenyan. Kotoran seperti upil itu lantas dilengketkan pada sepotong rajah bertuliskan Arab gundul dan diikat rapi dengan benang kasur."

" Jeng Desi pasti akan lengket sama nak Wiwin.", suara mbah dukun mantab sambil meyerahkan rajah itu kepada Wiwin. 

Keesokan harinya datanglah seorang pemuda ganteng, juga membawa foto Desi. Bagus penasaran betapa seorang Desi mampu membuat -- setidaknya dua lelaki tergila-gila padanya. Bukankah Desi sebetulnya yang punya pelet cinta?

“Mbah, saya tresno-mati sama perempuan yang di foto ini. Saya mohon mbah, tolong dijodohkan saya dengan dia. Apapun lelakon yang harus saya jalani pokoknya saya manut.”

“Edaaaaan ... ternyata benar si Desi banyak yang naksir”, batin Bagus si sarjana Fisika, “ si pemuda bernama Ipung ini tampak merana karena cinta."

“ Wah tenang saja nak Ipung, embah kasih pelet yang cespleng biar jeng Desi tergila-gila sama sampeyan. Sampeyan ndak usah repot-repot nglakoni pake puasa mutih segala. Serahkan semuanya pada mbah.”

Dan ritual yang sama dilakukan oleh mbah dukun, " Jeng Desi pasti akan lengket sama nak Ipung."

Bagus tak habis pikir dengan permintaan dua lelaki yang ingin mendapatkan Desi. Ia lebih tercengang lagi ketika pamannya memberikan japa mantra yang sama, berkata - kata yang sama, dan memberikan garansi yang sama. Dijamin keduanya akan mendapatkan cinta Desi. 

Sebetulnya mbah Parjo-lah yang selalu menerangkan kepada Bagus sang keponakan bahwa ilmu ghaib itu masuk di akal. Seperti cara kerja pelet yang disebut paman sebagai energi yang ditransfer untuk mempengaruhi alam bawah sadar dan memicu otak merasakan cinta, rindu, kangen, dan ingin selalu bertemu dengan pemeletnya. Bagus manggut-manggut mendengarkan penjelasan paman. Ingin ia mempercayai tapi dalam hati kecilnya ada sesuatu yang menolak. 

Energi apakah yang ditransfer? Apakah energi listrik yang bisa membuat terang benderang seantero kota Purwokerto? Atau energi atom yang sanggup meluluh lantakkan Hiroshima? Andai dua japa mantra ibarat dua rudal Patriot yang siap diluncurkan dari Mobil Peluncur Roket, seorang komandan perang artileri tak akan pernah membidikkannya pada satu titik sasaran yang sama. Betapa bodoh jika ia membidik satu target dengan dua peluru.

+++

Jum'at Kliwon mbah Parjo kedatangan enam orang tamu. mereka para pemburu harta karun Soekarno. Salahsatunya adalah pensiunan jenderal polisi, yang lain adalah pensiunan pejabat PU dan pensiunan pegawai tinggi Departemen Agama. Masing-masing membawa ajudan. Mitos harta peninggalan Soekarno yang berjumlah ratusan trilyun dan tersimpan secara ghaib membuat orang-orang berlomba-lomba untuk menguasainya. Tak peduli seorang menteri di Jakarta atau tukang becak di stasiun Gubeng semua terpikat dengan mimpi indah menjadi kaya raya. Beberapa orang bahkan terobsesi dengan pemanfaatan harta karun untuk menyelamatkan bangsa, sungguh jumlah harta yang sanggup membayar semua utang luar negeri, menyantuni semua fakir miskin, dan membuat rakyat makmur jibar jibur. Satrio Piningit sang Juru Selamat Indonesia telah hadir.   

Mbah Parjo sendiri tak ambil pusing dengan jumlah trilyunan yang diimpikan banyak orang. Dia cukup ambil keuntungan sekedarnya dari prosesi ritual yang menjadi syarat ubo rampe seperti minyak pemanggil jin, candu dan jenis minyak lain yang dibutuhkan. Dari suplier kios pasar Pasar Wage yang berjualan aneka minyak ritual mulai minyak Jafaron sampai Misik dan Gaharu -- mbah Parjo bisa mengambil keuntungan dengan menaikkan harga sesuka dia kepada pasien-pasiennya. Dan jumlah tersebut adalah lebih dari cukup sebagai ladang bisnis yang sangat menguntungkan.

Piranti untuk ritual pengambilan harta Soekarno telah disiapkan Bagus ke dalam sebuah tas kulit, isinya adalah: tongkat komando milik Soekarno, uang kertas Soekarno yang bisa melipat secara gaib (dan ini harganya bisa jutaan rupiah), menyan, candu, minyak pemanggil Jin yang konon asli dari Yaman, samurai kecil untuk keperluan harakiri peninggalan Jepang, serta lantakan emas 24 karat yang konon diambil secara ghaib dari tanah Pasundan. 

Ketika rombongan sudah siap akan berangkat Wiwin si pengusaha sukses itu tiba-tiba datang -- menyela minta waktu sebentar kepada mbah Parjo. Dari raut wajahnya ia seperti membawa masalah. 

" Mbah saya ada masalah penting nih."

" Jangan sekarang nak Wiwin. Hari ini mbah ada ritual mau mengangkat harta karun Soekarno."

" Tapi mbah ...", Wiwin protes. 

“ Urusan nyantet si Purwadi bisa ditunda. Apalagi ini bukan hari baik buat nyantet. Sudah nak Wiwin ikut saja sama kita.”

Bagus yang mendengarkan percakapan kedua orang itu merinding. Mau menyantet orang kok masih bisa ketawa-ketawa, sambil tawar menawar.

" Malem Sabtu ya mbah?", kata Wiwin.

" Beres nak Wiwin.", mbah Parjo menyanggupi.

Jadilah mereka bersembilan berangkat dengan dua mobil menuju bukit Kemuning. Sore itu awan cerah udara sejuk. Perjalanan menuju kaki gunung Slamet itu penuh kegembiraan. Wiwin menyetel keras-keras musik kesukaan Bagus Welcome to The Jungle sambil memukul - mukul setir mobil seolah penggebuk drum Guns and Roses. Bagus yang duduk di jok tengah walau tampak malu-malu mengikuti beat lagu dengan menggerak-gerakkan jari jemarinya seolah Slash sedang memainkan gitarnya. Hutan belantara di kiri kanan seolah menyambut kehadiran mereka dengan keramahan yang ceria. Wiwin dan Bagus terhanyut dalam ekstasi lagu itu. 

Tiba-tiba mbah dukun Parjo memotong keasyikan mereka berdua, “ Nak Wiwin, kita jangan lewat jalan utama, lewat Kemutug saja lebih aman.”

“ Mbah lewat Kemutug jalannya sempit, terjal, dan berliku.....”, protes Wiwin.

“ Sudah -- Nak Wiwin percaya sama saya. Walau agak repot, ini sudah tak terawang -- hitungan Nagadina-nya sudah tepat. Kalau lewat sini kita pasti dihadang pasukan jin. Bisa-bisa kita cilaka ...   nggak slamet.” 

Wiwin mematuhi omongan mbah dukun, ia memutar balik mobil Pajeronya dan mengambil jalan yang dianjurkan. Mobil di belakangnya yang berisi rombongan pensiunan jenderal polisi itu mengikuti. Dikejauhan terlihat tebing curam sangat indah. Jalan sempit dan terjal menyusuri hutan belantara mengingatkan kembali Bagus pada masa-masa SMA saat berkendara motor bersama teman-temannya menuruni jalanan terjal dengan mematikan mesin motor sambil berdiri lepas tangan. Angin gunung yang menerpa tubuh mereka dengan kencang dirasakan seolah sedang melayang di awang-awang. Mereka bersorak gembira.

Satu jam perjalanan ditempuh, Bukit Kemuning sudah kelihatan di depan mata. Setelah rombongan melewati tikungan, jalan tanjakan panjang akan mengantarkan mereka pada tempat pemberhentian yang dituju. Tampak di kejauhan sebuah truk Fuso membawa gelondongan kayu menuruni jalan dari arah depan. Wiwin mengurangi kecepatan sambil meminggirkan mobil ke tepi jalan. Dalam jarak yang sudah diperkirakan truk itu akan berpapasan secara aman, tak disangka laju truk tiba-tiba oleng seperti gajah mabuk. Wiwin yang berada dibalik kemudi tak sempat menghindar lagi. Moncong sebelah kanan truk itu langsung menghajar bagian depan mobil Pajero Wiwin. Suara berdebum dan bunyi kayu gelondongan yang tiba-tiba lepas dari ikatannya terdengar keras sekali. Mobil Pajero Wiwin ringsek dihantam truk, kayu gelondongan berjatuhan menimpa atap mobil. Semua penumpang di dalam mobil Pajero panik.

“Mbah Pajero .. Eh mbah Parjo piye tho!!! Milih waktu dan jalan kok salah. Wah... apes tenan .. aku ......”, ratap Wiwin.

Ratap tangis Wiwin tak dihiraukan mbah Parjo. Ia sendiri sedang meraung-raung kesakitan. Tolong ... tolong, seolah si sakti mandraguna kehilangan kewibawaan dan daya magisnya, kini ia merengek seperti anak kecil yang lemah, ketakutan, seraya menangis karena sakit yang luar biasa.

Rombongan mobil di belakang segera menghentikan kendaraannya. Pensiunan jendral polisi dengan sisa-sisa kegesitannya menghampiri mobil Pajero yang ringsek. Mereka berusaha menolong tapi kesulitan. Atap mobil ringsek tertimpa gelondongan kayu, mesinnya melesak ke dalam dashboard. Mbah dukun Parjo dan Wiwin terjepit di dalamnya, darah mengucur dari sekujur tubuh mereka.

" Ini pasti ulah jin penunggu harta pusaka Soekarno.", ujar pensiunan jenderal polisi sambil berusaha membuka pintu mobil yang ringsek. Pensiunan pegawai tinggi Departemen Agama itu mengamini sang jenderal sambil komat-kamit membaca rapalan doa pengusir jin. Pensiunan pegawai PU terlihat sibuk menganalisa sudut kemiringan jalan, kondisi truk Fuso yang masih baru, sopir truk yang sadar, sambil bergumam mustahil untuk terjadi kecelakaan. Bagus dalam kesakitan masih bisa merasa heran dengan cara pikir orang-orang terpelajar yang pernah menduduki jabatan tinggi dalam birokrasi itu. Rasa-rasanya akal sehat mereka sudah hilang.

Ya, selama menjadi asisten pamannya ia selalu dihadapkan pada keseharian hidup yang berada dalam bayang-bayang dunia okultis, sebuah kehidupan yang dirasakan nyata tapi dipaksa ada kenyataan lain dibaliknya. Kejadian yang mestinya sebuah kesederhanaan dimaknai mbah dukun dan pasien-pasiennya sebagai hal yang rumit dan tak masuk akal. Kalah pilihan Lurah identik dengan kurang sesaji, istri selingkuh identik dengan kena guna-guna, sakit demam identik dengan kesambet setan, tidak naik jabatan identik dengan kalah aji pengasihan. Dan kini si pensiunan jenderal polisi itu masih sempat bergumam bahwa kecelakaan ini akibat marahnya jin penunggu harta pusaka Soekarno. Bagus selama ini mencoba menerima semua kenyataan itu -- tapi lama kelamaan penolakan itu mencapai puncaknya. Perhatiannya kini terarah pada mbak dukun dan Wiwin yang sekarat dijemput maut. Ia tak tahu harus menyalahkan siapa. 

Ia kini hanya bisa merasakan kedua lututya terjepit. Ia yakin, dari rasa kebas dan sakit yang luar biasa -- tulang-tulang kakinya sudah remuk terhimpit badan mobil. Dan itulah sebuah kenyataan. Kenyataan berada pada tempat yang salah dan waktu yang salah. 

Janu Jolang
Padepokan Melati Mas
Banten, November 2012

Monday, October 15, 2012

NIKAH SURAT BUKAN AURAT

Foto perkawinan Hussein dan Aaliyah tampak bahagia dalam adat Pakistan. Diantara kerumunan teman-teman dan saudaranya, Aaliyah terlihat anggun dengan baju Lehenga warna maroon berselendang kuning, berkerudung ala Benazir Bhutto dan kalung batu yang menghiasi keningnya. Sang suami, Hussein memakai baju yang sama berlengan panjang terlihat memeluk Aaliyah dengan mesra. Mereka berdua tampak bahagia walau usia tak muda lagi.


Usai acara pernikahan adat, mereka mencatatkan perkawinannya ke Court House guna mendapatkan sertifikat perkawinan. Giliran pulang ke rumah, alih-alih segera "honeymoon" tapi mereka malah berpisah dan pulang ke tempat tinggalnya masing-masing. Keesokan harinya mereka menjalani hidup sehari-hari seperti biasa, Aaliyah menjadi nanny - perawat bayi di keluarga kaya di Bethesda, sedangkan Hussein adalah kasir di toko mini market. Tak ada yang istimewa tentang pernikahan mereka.

Sungguh dunia imigran gelap di Amerika sangatlah berwarna. Apa yang dilakukan oleh Hussein dan Aaliyah disebut Nikah Surat. Hal ini "sering" dilakukan para imigran sebangsanya. Aaliyah yang warga negara Amerika naturalisasi menikahi Hussein seorang pendatang gelap asal kampung halamannya di Pakistan. Lewat proses sponsorship, Hussein sang suami yang tadinya berstatus imigran gelap bisa memperoleh status sebagai permanen residen.

Berbeda dengan di Indonesia yang (secara sembunyi-sembunyi) populer dengan istilah Nikah Aurat alias nikah tak butuh surat. Konon praktek seperti ini banyak dilakukan para pejabat atau pengusaha kaya raya yang mengambil istri simpanan sebagai gula - gula dalam hidupnya. Nikah aurat semata-mata untuk "memenuhi" hasrat aurat, sebaliknya nikah surat yang dikenal di Amerika tak melibatkan kontak aurat tapi yang dibutuhkan adalah surat. Kedua jenis perkawinan itu punya maksud sama, sama-sama mengakali norma norma lembaga perkawinan.

Nothing is free in America. Ya, ujung-ujungnya duit alias UUD. Untuk pernikahannya Hussein harus mengeluarkan uang sebesar 15.000 dolar sebagai imbalan karena Aaliyah bersedia menikahi dirinya. Lewat proses sponshorship Hussein kini telah mendapatkan green card ditangannya, dan Hussein secara hukum punya hak legal untuk tinggal dan bekerja di Amerika. Ia juga bisa mengklaim benefit seperti bantuan kesehatan, asuransi, dan tunjangan sosial. Hanya butuh waktu menunggu dua tahun pada masa kondisional Greend Cardnya, Hussein kemudian bisa mengajukan cerai tanpa takut kehilangan status permanen residennya. Tiga tahun berikutnya ia bisa mengajukan naturalisasi untuk menjadi Warga Negara Amerika.

Aku lantas teringat film komedi romantis Green Card tahun 90 an yang pernah populer di Indonesia, diperankan aktor Prancis Gerard Depardieu yang dalam film ini ia menjadi pelayan restoran dan si cantik Andie Mac Dowell, berperan sebagai aktifis lingkungan hidup. Dalam kisahnya, mereka melakukan Fake Married, alias pernikahan palsu agar si lelaki tidak dideportasi ke Prancis, dan si perempuan dapat keuntungan finansial dari pernikahannya.

Masalah muncul kala si petugas imigrasi mencium kejanggalan dalam pernikahan mereka. Ketika si petugas minta ditunjukkan ke kamar mandi tapi sama si Gerard (karena tak pernah tinggal di apartemen istrinya) malah ditunjukkan ke Closet. Kecurigaan timbul dan kedua petugas imigrasi kemudian memutuskan untuk menginterview (investigasi) mereka secara formal di kantor imigrasi dua minggu lagi.

Takut akan ketahuan pernikahan palsunya si perempuan lantas mengajak si lelaki untuk tinggal bersama di apartemennya, berusaha untuk saling mengenal cara bicara dan kebiasaan masing-masing, masa lalunya, profesi pekerjaan, hingga kesukaannya. Dalam prosesnya ternyata tak semudah itu. Mereka baru menyadari bahwa mereka tak dapat mentolerir kebiasaan masing-masing pasangannya. Si cowok yang ternyata keras kepala, pemalas, egois, perokok yang lebih suka daging setengah mateng ketimbang masakan vegetarian. Dan si cewek yang saklek dan progresif liberal, terobsesi dengan kebun aneka tanaman di rumahnya.

Dalam hukumnya, setiap pasangan nikah beda bangsa di Amerika harus direview status perkawinannya selama dua tahun berturut-turut oleh petugas imigrasi. Hal ini ditengarai karena hampir 30 persen pernikahan itu berstatus "Nikah Palsu". Dan Ketika petugas imigrasi menginterview pasangan secara terpisah, layaknya seorang penyelidik, seorang profiler yang dibekali dengan kepandaian menganalisa watak dan perilaku seseorang. Mereka memberikan pertanyaan yang paling ringan tentang kebiasaan masing-masing pasangan tiap harinya, makanan kesukaan, baju yang disukai, sampai film atau musik kesukaannya. Dari pemeriksaan silang keduanya akan terlihat apakah mereka benar-benar tinggal serumah dan seberapa dekat mereka mengenal pasangan hidupnya. 

Dan ketika petugas menemukan kejanggalan dalam perkawinan Aaliyah - Hussein, ketika masing-masing jawaban nggak sinkron satu sama lainnya, petugas akhirnya mencecar dengan pertanyaan-pertanyaan yang menjebak dan mengintimidasi. Aaliyah diprofokasi bahwa Hussein ternyata adalah seorang yang disinyalir anggota teroris Al Qaeda yang sedang membangun jaringan di Amerika. Mendengar pernyataan dari si petugas Aaliyah menjadi ciut nyalinya. Takut dituduh ikut terkait jaringan teroris yang bisa mengakibatkan hukuman berat akhirnya Aaliyah menyerah dan mengakui bahwa perkawinan yang dilakukannya adalah perkawinan palsu.

Demikian nasib keduanya berakhir tragedi. Hussein akhirnya ditahan dan kemudian deportasii ke Pakistan. Sedangkan Aaliyah dijerat dengan pasal yang bisa mengakibatkan hukuman kurungan selama 5 tahun dan denda sebesar 250.000 dollar. Kejadian ini tak membuat orang jera dan mereka tetap melakukan praktek Kawin Surat. Selama hukum ekonomi masih berlaku, ada permintaan - ada penawaran, maka akan selalu bermunculan kisah-kisah seperti dalam film Green Card. Ada diantara mereka bernasib tragis, tapi adapula yang berakhir manis.

Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap di Amerika

 
Site Meter