Oleh Janu Jolang
(Terbit di Kompas.com,Oase,Kamis, 17 September 2009)
Aku berada di stasiun Yogyakarta sore itu, menunggu dengan gelisah kereta Purbaya dari arah Surabaya. Ayahku sakit keras, demikian kabar yang kuterima dan aku harus segera pulang. Barangkali ini saatnya, saat ajal menjemput Ayah. Bukannya aku tak hormat pada beliau, atau tak sayang – tapi beberapakali terlintas dalam pikiranku kapan Ayah meninggal dunia. Dan mungkin ini saatnya.
Hampir satu jam kumenunggu, akhirnya kereta kelas rakyat itu nampak juga di kejauhan, bergoyang lelah di atas bantalan rel. Kereta berhenti menurunkan sebagian penumpang yang keletihan karena seharian terkurung dalam gerbong. Aku bergegas naik, berebut dengan penjaja asongan yang menawarkan bakpia Pathuk. Gerbong terasa pengap, kucium bau khas kereta kumuh. Barangkali dari asap diesel yang menempel dinding dan tertutup debu, bercampur dengan kulit jeruk dan cangkang telur asin yang berserakan di lantai. Aroma itu tiba-tiba memicu kepiluan diriku. Setiap orang akan mati, dan mungkin kini giliran ayahku. Kematian adalah satu paket dengan kehidupan. Dan ketika aku mulai mengenal arti sebuah kematian, aku makin takut memikirkannya. Perasaanku, hidup hanyalah sekedar menanti proses kematian yang menakutkan.
Tiba-tiba lamunanku buyar oleh hentakan gerbong. Kereta mulai jalan. Kusapu pandangan keluar jendela. Rumah – rumah di pinggir rel seolah berkelebat melewatiku satu demi satu. Sempat kuhitung tak lama konsentrasiku buyar. Ayahku mengenalkan permainan itu ketika aku masih kecil. Apa manfaatnya aku tidak tahu. Barangkali sekedar belajar menghitung, atau sekedar menghabiskan waktu di kereta. Tapi mungkin juga untuk melatih konsentrasi anak kecil -- karena begitu kereta lewat persawahan, tak ada satu rumahpun yang kutemui sampai ketika aku menemui rumah lagi aku sudah lupa berapa jumlah yang kuhitung. Dan Ayah kini tergolek sakit menanti ajal.
Apakah beliau juga menghitung hari - harinya sekedar menghabiskan waktu? Seperti terpidana mati yang menandai hari dengan mencoret dinding begitu matahari tenggelam di ufuk Barat? Adakah sesuatu yang bisa dimaknai Ayah dari penderitaan itu?
Sakitnya sendiri datang perlahan-lahan, hanya seperti kesemutan di telapak tangan kanan. Seiring berjalannya waktu, tangan menjadi kehilangan tenaga, menjalar ke tangan kiri, dan terus ke kaki. Dokter rumah sakit di kotaku tak tahu pasti penyakitnya. Ayahku lumpuh perlahan-lahan, Ia berjuang keras melawan penyakit misteriusnya. Adik ipar ayah yang tahu tentang hal-hal gaib menganjurkan pengobatan spiritual. Sepertinya dalam terawangan Paman, Ayah terkena guna-guna. Paman kemudian membawa dukun sakti ke rumah.
“Buat apa kamu bawa dukun segala, Dik?”
“Ini orang pinter langganan pejabat penting di Pusat, Mas. Menteri Anu disantet berkali-kali dan semuanya balik ke pengirimnya. Apa salahnya dicoba Mas, siapa tahu cocok.”
Dan hari berlalu - makin banyak dukun – dukun berdatangan. Ayahku tak pernah percaya dukun sebelumnya tapi entah kenapa sekarang berubah. Barangkali bujukan paman atau putus asa karena penyakitnya. Ayahku tampak pasrah.
Setiap dukun yang datang punya penglihatan dan pengobatannya sendiri. Ada yang bilang ayahku diguna-guna dan si dukun beraksi menghilangkan guna-guna itu. Kenyataannya sakit ayahku makin parah. Kedua tangannya lumpuh dan kaki sudah mulai kehilangan tenaga. Ayah hanya bisa duduk di kursi roda.
Lain hari ada dukun yang bilang rumah kami sesungguhnya adalah Pasar Setan, tempat makhluk halus berjual-beli barang dagangan. Si dukun lantas membuat ritual sedekah dedemit. Waktu berlalu, ternyata tak ada perubahan juga pada diri Ayah. Dan yang lebih keterlaluan lagi, terawangan si dukun muda yang bilang bahwa Ayah terkena karma sehingga untuk menebusnya harus menyembelih kambing delapan ekor dan 'nanggap' wayang semalam suntuk. Belum lagi seorang dukun yang mengatakan Ayah terkena penyakit tulang dan memberikan jejamuan yang pahitnya nggak ketulungan hingga mampu merontokkan tahi lalat di sekujur tubuh ayah.
Dari semua dukun yang mengobati Ayah, kupahami ilmu kedigdayaan mereka saling bertolak belakang. Aku kasihan Ayah hanya dijadikan obyek belaka, sepertinya Ayah tempat berbagai macam penyakit, karma, dan guna-guna. Tak ada seorang dukunpun yang berhasil menyembuhkannya. Hari-hari ayahpun selanjutnya hanya tergolek di tempat tidur.
Kereta berjalan lambat, di depanku duduk anak kecil bersama ayahnya. Anak kecil itu mulai mengantuk, barangkali kelelahan. Walau demikian kulihat garis mata dan mulutnya menampakkan rona bahagia. Kualihkan pandangan ke luar jendela. Sore itu di ufuk Barat matahari hampir tenggelam menyisakan rona merah kekuningan. Di antara Kutoarjo - Kebumen kulihat ribuan burung yang terbang rendah saling berpapasan, berhimpitan, dan tak satupun yang bertabrakan. Mereka mencari sarangnya dalam rumah-rumah kosong. Aku tak tau pasti itu gerombolan burung Walet atau Sriti, tapi yang pasti pemandangan itu selalu menghadirkan ketakjuban bagiku. Sejenak kurasakan udara masih menyisakan panas yang menyengat. Aku teringat ketika Ayah menangis dalam pembaringan meneteskan air mata. Barangkali Ayah sedang kebingungan memikirkan bagaimana nasib anak-anaknya kelak.
Kepulanganku waktu itu karena aku butuh uang untuk membayar uang sekolah di tingkat pertamaku kuliah. Hal itu menyadarkan Ayah bahwa anak - anaknya masih membutuhkan biaya untuk sekolah. Tanpa pikir panjang, dengan pengorbanannya Ayah menghentikan membeli obat-obatan pemacu syaraf otot yang berharga mahal. Untung Ibu adalah seorang yang sabar dalam merawat Ayah. Ibu selalu membesarkan hati Ayah. Kalau tidak, barangkali Ayah tak sanggup lagi menanggung derita sakitnya. Juga ajakan pasrah kepada Tuhan membuat Ayah semakin bisa menerima keadaan dirinya.
Lampu gerbong tak menyala - kereta gelap gulita. Lewat cahaya lampu dari luar yang sesekali masuk kulihat anak kecil itu ketakutan. Ia bolak – balik menengok ayahnya, sorot mata itu seolah menyatakan Ia takut kehilangan ayahnya. Dan betul, ketika kereta memasuki terowongan Ijo – anak kecil itu menangis keras-keras. Bunyi bising udara dalam terowongan barangkali menambah ketakutan anak kecil itu. Sepertinya Ia benar-benar kehilangan Ayah dari penglihatan dan pendengarannya.
Entah di stasiun mana, kereta berhenti agak lama. Rasanya waktu berjalan lambat. Aku tak sabar ingin cepat sampai rumah melihat kondisi Ayah. Kereta bisnis menyusul dari belakang dan berhenti di rel samping, tanpa pikir panjang Aku memutuskan pindah kereta. Sisa perjalanan itu sendiri tak menarik lagi bagiku.
Sampai di rumah orang-orang telah berkumpul . Beberapa membacakan surat Yasin. Aku masuk ke dalam kamar. Kulihat Ibu sangat sedih, tapi ketabahan merawat Ayah selama ini memunculkan ketegaran diri. Kakak, adik, paman, dan kerabat keluarga semuanya juga sedih. Bagi beberapa orang yang mempunyai ide mencintai kehidupan, tentu Ia juga mencintai kematian itu sendiri. Barangkali sugesti mencintai kematian akan mempermudah saat maut menjemput. Makin dilawan makin sakit kita dibuatnya. Tapi insting alamiah makhluk hidup adalah mempertahankan hidupnya.
Setiap hari tubuh kita merasakan kesakitan, ketidaknyamanan, tak lain karena tubuh ingin tetap hidup. Dalam kadarnya yang paling ringan, rasa gatal di kulit adalah cara tubuh bereaksi terhadap ancaman dari luar. Juga bersin, atau batuk. Tapi dalam kadar akut, kulit yang tadinya gatal akan timbul nanah, melepuh, juga hidung yang bengkak atau tenggorokan yang meradang. Panas tubuh berubah tinggi, dan badan menggigil. Itu sebuah perlawanan tubuh secara alamiah terhadap serangan penyakit.
Dan disaat terakhirnya kulihat Ayah berjuang keras melawan maut. Aku tak hirau apakah itu reaksi tubuh secara alamiah atau memang Ayah ingin bertahan hidup. Nafasnya sengal seolah paru-paru sudah tak mampu lagi menarik udara. Matanya memancarkan sebuah pertahanan hidup. Apa yang bisa kauharapkan lebih dari seseorang yang berjuang melawan ajal. Tak seorangpun berhak menilai, biar dukun, alim ulama atau seorang sucipun, kematian tidaklah sekedar diomongkan sebagai kematian yang mudah, susah, menyakitkan, atau memalukan.
Bagiku ayah terlihat jantan dan tegar. Disetiap senggal tarikan nafasnya ada keberanian menatap maut, dengan kesadaran diri masih terpancar di matanya. Barangkali itulah satu-satunya yang ditunggu Ayah selama sakitnya.
Bagiku sangat manusiawi,“ .... sesuatu yang pasti dalam kehidupan ini adalah kematian, Ayah. Selamat jalan”
********
Kenangan
Stasiun Yogyakarta
Tuesday, September 29, 2009
CerpenRantau: Kereta Terakhir Ayah
Posted by Janu Jolang at 12:01 AM 1 comments
Wednesday, September 9, 2009
STUPID CRIMES 3
Laki-laki dari Sarasota ditangkap pada hari Minggu karena mengijinkan anaknya yang baru berumur 8 tahun mengendarai mobil. Akibatnya parking lot rusak.
MB, 34 tahun mengatakan kepada polisi bahwa ia menyuruh anaknya menggantikannya dibalik kemudi karena ia merasa 'woozy' alias pusing. Anaknya hampir menabrak dua pejalan kaki sebelum akhirnya menabrak pohon. Ketika polisi menanyakan kepada anak kecil itu, ia menjawab bahwa bapaknya baru saja meminum obat cair supaya reda sakitnya, sambil si anak menunjuk pada sebuah botol whiskey. (Dari Tabloid Examiner)
Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap Di Amerika
Posted by Janu Jolang at 12:09 AM 0 comments
Wednesday, August 5, 2009
KERJA DI RESTORAN TAK HARUS PANDAI BERCAKAP INGGRIS
Ya begitulah kenyataannya. Biarkata di Amerika bahasa resmi yang dipakai bahasa Inggris, tapi untuk bekerja di restoran tak harus pandai bercakap Inggris. Yang penting cukup ngerti Inggris pasif, dan lebih penting lagi harus bertenaga kuat alias 'manol', cepat, sekaligus tanggap. Untuk pekerjaan 'dish washer' alias tukang cuci piring, hanya dibutuhkan 1 Kata Kerja atau Verb yang harus diingat yaitu: Wash. Ditambah 2 Kata Benda/Noun yang juga harus diingat, Plate dan Glass. Itu sudah cukup. Kalau restoran ramai maka si tukang cuci piring ketambahan 1 Kata lagi: Faster! Faster!
Untuk pekerjaan Dapur seperti Kitchen Helper, perbendaraan Kata Kerja bertambah dengan beberapa kata antara lain: Cut, Cook, Make, dan Get, sedangkan perbendaharaan Kata Benda yang harus diingat cukup banyak, seperti sayuran, daging dan bumbu-bumbu antara lain: carrot, scallion, onion, garlic, cilantro, pork, salmon, white meat, ribeye, flank beef, salt, pepper, soy sauce, dan lainnya. Kalau orderan banyak, tiket menumpuk, maka teriakan para 'waiter' kepada juru masak membuat mereka jengkel. Satu kalimat yang (harus) dipelajari untuk menunjukkan ekspresi kejengkelan mereka adalah,” Don't push me, okay!!!”
Begitulah kondisi sehari-hari dunia restoran, bahasa yang dipakai adalah Inggris simple dan kebanyakan bernada perintah. Untuk memahaminya pun semudah memahami tanda-tanda lalu lintas atau instruksi – instruksi di tempat umum. No Park, Keep Right, Stop, Exit Train/Bus – Watch Your Step, Don't Lean on Doors, atau No Trespassing - Private Property.
Memang untuk pekerjaan kasar dan rendahan (salah satunya di restoran) tak banyak dibutuhkan kecakapan berbicara. Lowongan pekerjaan itulah yang kebanyakan diisi para pendatang dari berbagai penjuru dunia. Mulai dari tukang bersih gedung, tukang potong rumput, kuli panggul, sampai pekerja bangunan. Maka tak heran kalau kita menemui banyak imigran yang sudah puluhan tahun tinggal di Amerika tapi tak bisa bahasa Inggris.
Hal itu bisa ditemui salahsatunya di kawasan China Town New York. Kebanyakan para penghuninya yang imigran dari China tak bisa bahasa Inggris. Selain pekerjaannya memang tak perlu banyak bicara, juga setiap harinya hanya berinteraksi dengan komunitasnya sendiri. Mau belanja yang jualan orang China, badan sakit perginya ke tabib China, cari kerja restoran yang punya orang China. Bahkan untuk hal transportasi, mereka punya trayek bis (supirnya orang China) yang menghubungkan China Town lainnya di penjuru Amerika. Pokoknya mereka serasa hidup di kampung halaman sendiri.
Hampir mirip ceritanya, demikian pula imigran dari Africa, Jamaica, Vietnam, Mexico, Puertorico, Cuba, Honduras, atau El Salvador. Mereka secara kultur dan etnis membentuk kantong – kantong komunitasnya sendiri. Walau tak bisa dipungkiri, komunitas 'ghetto' tersebut lebih terbentuk karena faktor kemiskinan dan pembatasan terhadap minoritas rasial kaum pendatang.
Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap Di Amerika
Posted by Janu Jolang at 12:57 AM 0 comments
Wednesday, July 29, 2009
INDIVIDU FATALIS
DARI KOLOM TENTANG HUKUM DI TABLOID EXAMINER KUTEMUKAN BERITA INI:
COURT
WAUSAU,WIS.
Seorang wanita yang melihat gadis cilik usia 11 tahun sekarat, bersaksi di depan pengadilan bahwa ia shock melihat kondisi gadis cilik itu, tapi tak pernah menyarankan keluarganya untuk membawa ke dokter. Jennifer Peaslee bersaksi hari Rabu dalam persidangan ibu si gadis cilik, Leilani Neumann.
Neumann di dakwa melakukan 'second-degree reckless homicide' karena lebih mempercayai permohonan doa daripada membawa anaknya ke dokter. Medeline akhirnya meninggal pada 23 Maret 2008 karena diabetes akut.
Peaslee mengatakan Ia melihat Medeline pagi itu dalam kondisi parah tergeletak di kamar mandi. Gadis cilik itu mengatakan bahwa dia tahu orangtuanya tak akan membawanya ke dokter karena mereka percaya bahwa Tuhan akan menyembuhkannya.--AP (Dari Examiner 21 Mei 2009)
(Catatan: Aku tak habis mengerti motif apa yang membuat si ibu menerlantarkan anaknya hingga meninggal. Apakah Ia tidak mempercayai ilmu medis yang (barangkali) bisa menyembuhkan penyakit anaknya? Atau sebaliknya si ibu lebih percaya bahwa kuasa Tuhan di atas segala-galanya, dan akan menyembuhkan anaknya? Sungguh ironis mendengar keyakinan si ibu akan kemanjuran doa terhadap penyakit anaknya.
Kadang dalam diri seseorang, antara kehidupan spiritual dan kehidupan nyata bercampur aduk, jumbuh, dan susah menarik benang merah pertalian. Antara hubungan dirinya dengan Tuhan, hubungan dirinya dengan manusia lain, antara akhirat dan duniawi, antara yang gaib dan nyata, antara mukjizat dan kodrat alam.
Di Amerika hukum tidak bisa mengadili keyakinan seseorang. Entah Ia penganut faham Fatalis, sebuah doktrin filosofis yang mempercayai bahwa semua kejadian telah ditentukan sebelumnya, dan manusia tidak berdaya untuk merubahnya.
Atau dia penganut faham Atheis yang tidak mempercayai keberadaan Tuhan, sebaliknya dia lebih mempercayai Ilmu Pengetahuan - Teknologi.
Atau seseorang yang berkeyakinan bahwa Ilmu Pengetahuan - Teknologi merupakan salah satu hukum Tuhan (Walau kadang timbul kontroversi antara Tuhan dan Ilmu Pengetahuan - Teknologi, Mereka berusaha menarik benang merah antara keduanya). Tuhan mengajarkan manusia untuk belajar dari Alam Semesta. Dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari jahiliyah menuju berperadaban, dari sosok bocah kecil menjadi dewasa. Ada proses pencerahan di dalamnya. Tuhan tidak akan merubah nasib seseorang kalau dia tidak berusaha merubahnya.
Karena Amerika negara sekuler, semua produk hukumnya tidak mendasarkan pada hukum agama melainkan berdasar hukum positif, berdasarkan etika – etika kemanusiaan, hak azasi manusia, dan hak untuk hidup tanpa paksaan dan tekanan. Entah Ia beragama Kristen, Islam, Budha, atau Atheis, Agnostic, Ras Asia, Kaukasia, Afrika, Kaya, Miskin, Laki-laki, atau Perempuan. Semua orang dengan berbagai keyakinan, agama, ras, dan strata sosial sama di mata hukum.Yang bisa diadili adalah akibat dari keyakinan yang dianutnya itu akankah menimbulkan: kebencian, kerugian, cedera, atau kematian terhadap individu lain maupun tata sosial masyarakat.)
Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap Di Amerika
Posted by Janu Jolang at 11:00 PM 0 comments
Friday, July 10, 2009
STUPID CRIMES 3
Otoritas di South Carolina sedang menyelidiki kasus seorang laki-laki jangkung yang telah meninggal dunia, dan dipercaya kakinya telah dipotong untuk bisa pas dengan ukuran peti matinya.
Sejak James Hines yang berukuran 6foot 7inch meninggal di tahun 2004, rumor menyebar di Allendale County bahwa pihak pengurusan jenazah telah memotong kakinya dari lutut dan menempatkannya disamping tubuh di peti matinya. Janda Hines tidak menanyakan ukuran peti mati waktu itu tapi kemudian dilaporkan ia mengontak rumah pemakaman untuk menanyakan tentang ukuran luas makamnya. Penyelidikan berlanjut.. (dari Tabloid Examiner)
Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap Di Amerika
Posted by Janu Jolang at 12:54 AM 0 comments
Monday, June 29, 2009
CSIG di Amerika: PARADE GAY DAN LESBIAN LEWAT DEPAN RESTORAN
Seperti yang pernah aku singgung di catatan sebelumnya, restoran tempatku bekerja terletak di daerah 'ngumpulnya' Gay dan Lesbian. P Street diartikan mereka sebagai Jalan alat vital laki-laki dan istilah 'slank' untuk alat kelamin perempuan. Bulan Juni ini menjadi bulan spesial bagi kaum Gay dan Lesbian di DC, karena di bulan itu mereka punya hajatan pawai keliling kota. Temanya adalah CAPITAL PRIDE PARADE. Kebanggaan dan Kejujuran menjadi Gay dan Lesbian.
Kulihat dari jendela kaca restoran, pawai mereka sangat atraktif dan mencengangkan, walau nuansa politis-nya sangat kental. Rombongan terdepan dipimpin sekumpulan polisi yang berjalan disamping mobil patroli mereka dari Baltimore-MD, DC, dan Virginia. Kupikir mereka hanya mengawal jalannya parade, ternyata mereka ikut berpartisipasi. Ya, mereka para polisi Gay dan Lesbian. Salahsatunya adalah polisi perempuan pelanggan restoran sushi.
Masyarakat Amerika sudah bisa menerima orientasi sexual mereka, juga institusi tempat bekerjanya. Tetapi sedikit fakta, kalau merunut 40 tahun silam, justru polisilah yang sering merazia dan menangkapi para Gay.
Seorang Gay pelanggan restoran bercerita, dahulu pada tahun 1969 di akhir bulan Juni ada sebuah Gay Bar di New York bernama Stonewall yang sering dirazia oleh polisi. Karena jengkel atas seringnya mereka digrebeg, diperlakukan kasar dan diskriminasi – maka kemarahan para gay tak bisa dibendung lagi. Ratusan Gay dan Lesbian mengepung barikade polisi di depan Bar dan memprotes tindakan mereka. Teriakan “Gay Power” berkumandang di jalan-jalan. Selanjutnya botol beer, kaleng soda, dan lainnya berhamburan melayang ke arah polisi. Kekacauan dan kerusuhan akhirnya tak bisa dihindari. Beberapa polisi terluka, kemudian Polisi anti huru – hara datang untuk menghalau para Gay yang berubah beringas, beberapa terkena pentungan dan terluka, dan puluhan lainnya ditangkapi. Justru dari tindakan represif polisi itulah yang menginspirasikan kebangkitan kaum Gay di Amerika. Keesokan paginya seribu orang baik gay atau para simpatisan melanjutkan protes dengan arak-arakan sambil meneriakkan yel – yel “Gay Power” di jalan-jalan. Pergerakan dimulai, bangkit menuntut dihapuskannya perlakuan diskriminasi atas mereka.
Dan 40 tahun berlalu gerakan mereka makin politis, menjangkau ke ranah hukum. Banyak dari peserta pawai membentangkan spanduk dengan slogan berbunyi:
MARRIAGE EQUALITY IN DC NOW!!
Ya, mereka menuntut persamaan hak dalam masalah perkawinan. Perkawinan Sejenis alias Same Sex Marriage. Kulihat salahsatu rombongan pawai 'membawa nama' sebuah gereja L yang membentangkan spanduk bertuliskan: GOD MADE RAINBOW (simbol Gay & Lesbian). Juga jemaat dari gereja E yang membawa spanduk berisi perjuangan Persamaan hak kaum Gay dan Lesbian dalam Perkawinan Sipil.
Timbul berbagai pertanyaan dalam benakku, apakah institusi gereja dan para pemimpinnya menyetujui dan mendukung perjuangan mereka? Atau sekedar simpati? Atau barangkali mereka tidak tahu sama sekali kalau jemaatnya ikut parade? Sepertinya semua agama memandang dosa dan tak bermoral terhadap perilaku homoseksual.
Perkawinan adalah institusi antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Perkawinan adalah “procreation”, wadah berlanjutnya keturunan spesies manusia. Lantas kalau Perkawinan Sejenis dibolehkan, tentu definisi Perkawinan sendiri secara hukum akan berubah.
Dan selanjutnya ini akan memicu keinginan minoritas orang untuk menuntut dilegalkannya Kawin Incest, Polygamy, Kawin Di Bawah Umur, atau Kawin Kontrak. Masalah lainnya yang menjadi pro-kontra adalah ketika timbul keinginan mereka mengadopsi anak, bagaimana ketika si anak mulai bertanya-tanya siapa ayah dan ibunya? Ketika Bu Guru menerangkan tentang arti sebuah keluarga, kenapa kedua orang tuanya punya peran sama sebagai ayah atau kebalikannya sebagai ibu? Bagaimana ketika tiba Hari Ayah atau Hari Ibu yang selalu diperingati, akankah mereka menggabungkannya menjadi Hari Orangtua?
Dan apakah kedua orangtuanya akan mengajarkan 'orientasi seksual' mereka terhadap anaknya? Atau membiarkan anaknya tumbuh dengan alami dan menemukan identitas seksual mereka? Semuanya bagiku merupakan tanda tanya, tapi ketika kulihat rombongan Rainbow Families DC yang terdiri dari anak2 kecil, remaja, dan orangtua melintas di depan restoran, terlihat mereka seperti layaknya sebuah keluarga yang normal-normal saja. Mereka bergembira ria, anak - anak mengayuh sepedanya, dan yang remaja beserta orangtua meneriakkan yel – yel seolah minta dukungan dan sesekali melemparkan kalung pelangi ke arah penonton. Bahkan kulihat mereka sepertinya mendapat dukungan pribadi dari Walikota DC, Adrian Fenty yang turut berparade jalan kaki sambil membagi-bagikan kalung pelangi.
Pawai tambah meriah, kini giliran wanita – wanita berpostur kekar dan berwajah keras mengendarai Harley Davidson sambil mem'bleyer' gas yang terdengar meraung-raung memekakkan telinga. Kalau melihat tingkah mereka aku lantas teringat rombongan motor gede di Jakarta. Barangkali karakter suara knalpot motor gede-lah yang membikin mereka merasa perkasa di atas sadel, meraung-raung seolah jalanan milik mereka. Dan diantara peserta parade, terdapat beberapa perusahaan swasta yang menjadi sponsor antara lain Suntrust Bank, SouthWest Airlines, Honest Tea dengan slogannya: Proud to be Honest, dan Jasa Cleaning service MAID TO CLEAN dengan slogan: LOVE GAYS – HATE DIRT.
Pawai tambah meriah. Kulihat melintas Truk panggung dengan para penari wanita yang hanya mengenakan bikini thong. Kata Wang Chuan si delivery man, menonton parade Gay dan Lesbian lebih mengasikkan ketimbang nonton parade hari Kemerdekaan Amerika. Kulihat para penari meliuk-liukkan badannya yang sexy tanpa rasa canggung sedikitpun. Sungguh mereka mempunyai daya magnet yang sangat kuat.
Berbeda di belakangnya, melintas Truk panggung, tapi kini berisi para penari pria yang memakai topi koboi lengkap dengan syal melingkar leher dan bersepatu boot. Karena khas gay, semua penarinya hanya memakai cawat ketat dan bertelanjang dada seolah sengaja ingin mempamerkan tubuhnya yang berotot. Mereka menarikan lagu populer tahun 80an berjudul YMCA oleh grup penyanyi Village People. Dengan gaya tari yang 'melambai' mulut mereka bernyanyi genit, “...It's fun to stay at the YMCA (2X) ... They have everything for young men to enjoy – You can hangout with all the boys ...”
Posted by Janu Jolang at 2:42 AM 0 comments
Wednesday, June 3, 2009
CSIG di Amerika: STUPID CRIMES 2
Seorang mantan mafia, tukang jagal yang masuk dalam program perlindungan saksi, terbuka identitasnya gara – gara ia tertangkap kamera video sedang bertindak brutal terhadap dua pelanggan restoran Pizzanya dikarenakan mereka 'cerewet' mengenai makanan yang disajikan.
Dahulu kala, si Joe ini adalah 'the hit man' alias tukang bunuh pada sebuah keluarga mafia kondang yang beralih menjadi informan, seharusnya ia bersikap kalem dan tidak menarik perhatian di daerah tempat barunya, di Palm Coast, Florida. Dengan identitas baru dan sebagai pemilik restoran Pizza, alih-alih bersikap ramah – ini malah mengintimidasi pelanggannya dengan pistol yang siap ditembakkan hanya gara-gara mereka protes masakan Calzone-nya.
Posted by Janu Jolang at 2:40 AM 0 comments