Thursday, March 10, 2011

KUDA LARI

Hari ini aku mendengar kabar dari Salwa, kalau kamar 127 ditinggal kabur penghuninya. Kebetulan yang menempati Melly anak Indonesia. Salwa ditanya oleh Mrs. Linda, manager gedung yang galak tentang keberadaan si Melly. Salwa yang kenal baik dengan si Melly menjawab tidak tahu. Untuk urusan minggat, Melly tak pernah menyinggung-nyinggung sedikitpun. Gosipnya, si Melly pulang ke Indonesia.

Ketika aku berangkat kerja, memang benar kulihat dua orang pegawai apartemen sedang mengangkuti barang – barang dari kamar si Melly dan meletakkannya di trotoar pinggir jalan. Ada selimut, rak buku, tape compo, beberapa buku (kulihat salah satunya kumpulan resep masakan Indonesia), dan cd – cd dangdut koplo bajakan.

Terus terang hatiku rada was – was ketika ada anak Indonesia yang tinggal di apartemen berulah atau melakukan hal – hal yang 'nyerempet – nyerempet' bahaya. Bukannya apa – apa, statusku yang sesama orang Indonesia dan sekaligus pendatang gelap membuatku ketakutan kalau – kalau ada aparat yang menyelidik lebih jauh.

Istilah “kuda lari” untuk sebutan minggat tanpa bayar sudah berulangkali dilakukan oleh anak – anak Indonesia. Kadang aku tak habis mengerti, apakah mereka – mereka itu tidak memikirkan dampaknya bagi kita – kita yang masih tinggal di apartemen. Masuk akal jika pihak manajemen gedung akhirnya mencap kita sebagai orang -orang yang bercitra buruk, curang, atau kriminal. Ujung - ujungnya, setiap langkah dan gerak – gerik kita selalu diawasi dengan tatapan mata curiga.

Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap di Amerika

Saturday, February 5, 2011

NO .... NO AMBULANCE

Jam 2 siang di depan apartemen kulihat bu Joko jalan terpincang-pincang dituntun mbak Supiyati sambil meringis kesakitan. Ketika kutanyakan, bu Joko menjawab,” Oalaah kaki saya barusan kejepit pintu bis dan jatuh kesleo mas...”

Kulihat pergelangan kaki bu Joko memang bengkak. “ Nggak dibawa ke Rumah Sakit bu Joko?”, tanyaku. “ Ah diparem saja nanti juga sembuh kok, mas.”, kata bu Joko.

“ Ini gara-gara supir bisnya teledor, wong kaki saya belum turun semua pintunya sudah ditutup. “, tambah bu Joko.

Mbak Supiyati pun menimpali, “ Supir bisnya memang brangasan, jelalatan.”

Mbak Supiyati lantas melanjutkan ceritanya tentang si supir bis yang mau menelpon ambulance," Should I call ambulance?" kata si supir bis dengan cengengesan.

Bu Joko langsung teriak sambil menahan sakit, " No ... no.. No ambulance."

Sungguh jawaban itu bagi orang Amerika (kebanyakan) dirasa agak aneh, kaki bengkak dan kesakitan kenapa bu Joko malah menolak dipanggilkan ambulance. Bagi mereka, urusan memanggil ambulance dalam keadaan emergency adalah hal yang umum, asuransi mengcover semua biaya ambulance, paramedis dan perlengkapannya.Tapi untuk para imigran yang tidak berasuransi (apalagi pendatang gelap), urusan memanggil ambulance bisa menjadi urusan yang panjang.

Seperti diketahui, di Amerika yang kapitalis ini tidak ada istilah gratis, nothing is free in America. Untuk memanggil ambulance setidaknya kita harus membayar 800 - 1000an dollar, belum termasuk perawatan rumah sakitnya. Jadi bisa dibayangkan kalau bu Joko menolak untuk dipanggilkan ambulance -- hal itu bisa dimaklumi. Ia pasti membayangkan tagihan 1000an dollar untuk biaya kakinya yang kesleo."Mending duite tak kirimke anakku neng Jowo", kata bu Joko dalam bahasa Jawa.

Benar, kalau ngomong soal kegesitan petugas ambulance maupun fire fighter di Amerika,tak usah diragukan lagi mereka mempunyai standar tinggi dalam hal pertolongan pertama dan penyelamatan. Dua menit pertama (setelah panggilan) adalah waktu yang sangat - sangat krusial. 5 menit adalah target utama yang harus dicapai para petugas ke TKP. Batas waktu maksimal untuk panggilan 'emergency' entah itu ambulance atau firefighter adalah dibawah 10 menit.

Mengacu dari standar itu, pernah kubaca di surat kabar, sebuah developer perumahan yang merencanakan akan membangun komplek perumahan baru ditolak oleh dewan kota karena setelah diteliti ternyata petugas ambulance dan pemadam kebakaran tidak bisa menjangkau daerah tersebut dalam waktu 10 menit.

Berbeda dengan di Indonesia, Jakarta khususnya, sering aku melihat berita di tv, banyak nyawa melayang gara-gara tidak ada petugas ambulance datang. Boro-boro datang, ini sudah dianter becak ke Rumah Sakit, tapi malah ditolak karena si korban nggak punya duit. Temanku Zuhri yang keserempet Metro Mini dibiarkan tergeletak di pinggir jalan, dengan darah mengucur dari tubuhnya selama 40an menit -- sampai pak polisi datang. Dan ketika tubuhnya digeletakkan di bak terbuka nyawanya sudah tak tertolong lagi.

Lain hari ketika terjadi kebakaran di komplek permukiman umum, Petugas Pemadam Kebakaran malah sibuk berantem sama warga gara-gara rebutan selang, telat datang, atau air pompanya 'asat'. Ya ujung-ujungnya duit. Untuk membiayai Petugas Paramedis dan Pemadam Kebakaran yang profesional dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Khusus armada ambulance beserta paramedisnya, untuk sebuah kota atau county di sini membutuhkan dana 500an ribu dollar. Duit itu digunakan antara lain untuk: Regular payroll, Overtime, Life insurance, Professional services – dispatch, Equipment rentals, Travel, meetings & training, dll.

Nah sekarang giliran penutupnya yang nggak enak didengar: Kapan kita mempunyai fasilitas layanan ambulance beserta paramedisnya, at least dalam standar yang minimal. Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan.


Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap Di Amerika

Monday, January 17, 2011

CerpenRantau: Cacat Cacat Cinta

Malam telah larut suasana sunyi, hanya bunyi jengkerik dan sesekali lolongan anjing memecah keheningan. Rumah joglo dengan aksen ukiran jawa itu tampak asri menyatu dengan aneka bunga di taman yang tertata indah. Rias Pengantin dan Salon Kecantikan “ Jeng Yuli”, demikian papan nama terpampang di depan rumah. Konon nama dagang itu sedang naik daun karena ketelatenan dan kepiawian pemiliknya.

Keheningan menyimpan suasana mencekam malam itu. Sayup-sayup dari dalam rumah terdengar isak tangis Yuli. Ia sedang meratapi tubuh kekasihnya yang tengah meregang nyawa. Sudah pukul 3 pagi, tiba-tiba petugas ronda dikejutkan oleh raungan kesetanan dari rumah itu. Mereka bergegas mencari tahu.

“Jangan tinggalkan aku sayang... Cintaku hanya untukmu,” tangis Yuli.

Romi barangkali tak mendengar, Ia menggelepar di atas tempat tidur luks di kamar utama. Kamar itu khusus dirias Yuli layaknya kamar pengantin. Bau wangi kembang setaman, asap dupa ratus, minyak cendana, dan alunan lirih gending “Kebo Giro” jadi ritual terakhir yang mengantarkan mereka ke pelaminan abadi. Darah mengucur dari leher Romi laksana semburan minyak keluar dari perut bumi. Matanya membelalak tak bisa bernafas.

“ Kenapa kamu tega melakukan itu semua, Romi? Hidupku tak lagi berarti tanpa kehadiranmu,” tangis Yuli.

Jujur, andai setiap pasangan kekasih -- paling tidak sekali tempo pernah terlintas dalam pikiran -- menginginkan kekasihnya cepat mati, tidak demikian dengan Yuli. Ia seorang yang penuh kasih dan telaten. Rasa memilikinya sangat kuat. Boneka lusuh sejak masa kanak-kanak, bulu – bulu ayam dalam lembaran buku, surat – surat kumal, juga puisi dan catatan harian dimasa kecil, semua masih dirawat dan tersimpan rapi di lemari. Yang agak menjijikkan dan bikin heran adalah koleksi bekas aneka luka (mungkin kejadiannya sudah bertahun-tahun lampau) yang disimpan dalam sebuah kotak terkunci. Ada darah yang sudah mengering pada perban, tensoplas, sarung bantal, dan bercak – bercak darah di saputangan. Barangkali semua luka-luka itu menyimpan cerita tersendiri.

Yuli jauh dari tipe seorang narsis yang sibuk mencintai diri sendiri atau selalu membela diri, atau pribadi dengan 1001 alasan. Ia pribadi yang selalu menebar kasih sayang di sekelilingnya, membawa aroma keibuan, dan tahu apa yang diinginkan orang lain.

Petugas ronda memanggil dengan suara keras di depan pintu. Mieke, sahabat Yuli sejak masa kanak-kanak sekaligus asisten dalam merias pengantin terbangun geragapan. Instingnya segera menuntun ke kamar utama. Hati Mieke tercekat ketika dilihatnya kedua kekasih itu bersimbah darah.

Romi dan Yuli adalah pasangan serasi. Kekasih sekaligus partner bisnis dalam menjalankan usaha salon kecantikan, rias pengantin, persewaan baju, dan dekorasi pengantin. Mieke tak percaya mereka melakukan tindakan nekat seolah terinspirasi tragedi Romeo and Juliet. Apakah cinta mereka seheboh dengan kematian itu sendiri? Apakah cinta sejati harus berakhir dengan kematian? Dan hanya disebut cinta jika itu berakhir dengan kematian?

Kenapa mereka bunuh diri?

Petugas ronda akhirnya masuk rumah, “ Ada kejadian apa mBak Mieke?”

Mieke tak kuasa menjawab, tangannya menunjuk ke arah tempat tidur berselambu ungu dimana kedua kekasih itu meregang nyawa..

“ Masya Allah ...nDan. Ada pembunuhan. Tapi ...sepertinya mereka masih hidup, nDan,” seru petugas ronda pada atasannya.

****

Dua tahun lalu, Mieke mengenalkan Romi pada Yuli. Romi salesman seragam sekolah, ketika itu mau potong rambut.

Disela-sela perbincangan yang hangat, Mieke memberitahu Yuli kalau Romi bisa mencarikan perlengkapan pernikahan yang berkwalitas dengan harga murah. Romi tahu dimana mencari beskap, jarik, dodhot, selop, keris, dan aneka keperluan pengantin lainnya. Ramah, tampan dan suka menolong itulah yang membuat Yuli jatuh hati.

Dan cinta Yuli tidak bertepuk sebelah tangan, Romi menerimanya dengan sukacita. Persemaian cinta mereka tumbuh dengan pesat seiring usaha yang mereka jalankan bersama. Jadilah mereka berpacaran sekaligus berpartner bisnis. Yuli yang telaten sekaligus ahli potong rambut dan rias pengantin, didukung Romi yang ramah, supel dan ulet. Keduanya mampu mendatangkan pelanggan baru dan berhasil mengembangkan usaha hingga dikenal luas.

Tubuh Yuli lemas, darah mengucur dari nadi tangannya. Ia merebahkan kepala di dada Romi sambil tangannya menutup luka di leher kekasihnya dengan kain kafan. Barangkali itu akan menjadi koleksi aneka luka terakhir kalinya.

Yuli meracau tak karuan, “Aku ... tak pernah memanggilmu cahaya bintangku, .... matahariku, atau ... pelangiku. Itu hanya .... tipuan mata, .... keindahan penglihatan saja“

“ Lagipula..... itu hanya cocok untuk wanita yang mendayu-dayu, .... sok romantis bagiku. .... Oalaaah ... Romiiiiiiiii...., Kowe luwih gagah seka Janoko!!!”

Tubuh Yuli menggigil kedinginan. Denyut nadinya melemah. Mieke segera mengambil jarik dari lemari dan menyelimutkannya.

“Kenapa kau lakukan ini, Yul.” tangis Mieke.

Mieke merasa bersalah. Kalau ia tidak menceritakan kepada Yuli bahwa Romi memadu kasih dengan mbak Endang perias manten saingan bisnisnya, maka tragedi ini tak bakalan terjadi. Sungguh niatnya baik, ingin mengakurkan mereka kembali. Tapi Mieke tak menyangka Yuli yang telaten, perhatian, keibuan, dan rasa memilikinya sangat kuat itu malah bunuh diri. Semua yang ada dihadapan Mieke kini masih teka-teki.

Kenapa Yuli berpikiran sempit? Bukankah cinta hanya sekedar penyakit? Ibarat influenza yang bisa menyerang siapa saja, kapan saja, membuat lemah tak berdaya. Dengan berlalunya waktu tubuh akan menyembuhkannya sendiri. Persangkaan kesepian dan matinya impian membuat hati dan jiwa Yuli menolak cinta – cinta lain yang akan datang dikemudian hari. Bahkan ia menolak kehidupan itu sendiri. Seolah hidup sudah tak berarti lagi. Bukankah kalau mau, Yuli bisa mendapatkan laki-laki lain dengan mudah? Anak-anak muda pelanggan salon banyak yang tergiur dengan kemolekan, kekayaan, dan ketelatenannya, tapi Yuli malah menyodorkan anak-anak muda itu kepada dirinya.

Dan Miekelah yang riang gembira -- walau kewalahan melayani mereka.

Selintas timbul pikiran di benak Mieke, mungkinkah Yuli membunuh Romi? Suatu hari, waktu berangkat remaja, Yuli pernah berkeluh kesah bahwa dunia percintaannya tak seberuntung mbak Yuni kakaknya. Ia selalu dipermainkan lelaki. Mereka tak pernah serius mencintainya. Dugaan itu menguat ketika Romi -- akhirnya mengakui kepada Mieke, bahwa sebenarnya Ia tak mencintai Yuli. Romi juga mengakui sebagian uang Yuli digunakan untuk usaha barunya bersama mBak Endang.

Dasar laki-laki buaya, penipu!!

“Apakah ini takdir Tuhan? Cinta tak pernah datang padaku,” tangis Yuli.

“ Ah ndak usah mikir kedawan ta Yul, nikmati saja apa yang sudah diberikan Tuhan kepada kita,” saran Mieke.

Alkisah sepanjang hidupnya tak seorang lelakipun mencintai Yuli secara tulus hingga datanglah Romi seolah mengubah nasib percintaannya. Dunia menjadi penuh warna, mejikuhibiniu hingga jutaan warna, tidak hitam putih lagi. Dalam puisinya Yuli menuliskan dengan hati-hati perasaannya agar tak terkesan cengeng dan mendayu-dayu:

Kau mengisi jiwaku bagai malam,
yang selalu menyelimutiku
Malam yang dinginnya bisa kurasakan,
sampai ke tulang belulangku

Andai pagi berselimut hujan,
engkau tetap mengisi batinku
Bagai rintiknya,
dalam setiap gerak langkahku

Andai mentari kan tenggelam,
aku tak khawatir kehilangan terikmu, karena
Aku masih bisa merasakan,
kehangatan yang terpantul dari tanah yang kupijak



Serombongan polisi datang menggunakan mobil kijang. Mereka langsung menyebar di seputar TKP. Ada yang membawa kantong mayat, kamera digital, peralatan Olah TKP, dan pistol yang siap menyalak. Polisi menemukan sepucuk surat di samping tubuh mereka yang sudah tak bernyawa.

Surat kepada ibunya berbunyi:
Maafkan aku ibu karena telah membuang harapan disaat hidup kita mulai berkecukupan.
Ingatkah ibu ketika ayah si Agus mendamprat kita gara-gara disangkanya aku mengajak Agus pacaran? Masih ingatkan ibu ketika Pak Japar menghardik kita dengan sebutan: Dasar gembel! Dasar miskin! Semenjak itu aku bersumpah bahwa suatu saat kita akan lebih kaya dari mereka.

Sepeninggalanku, usaha Salon Kecantikan & Rias Pengantin kupasrahkan pada ibu. Biarlah Mieke meneruskan urusan sehari-hari. Dia tahu apa yang mesti dilakukan. Aku berharap rias pengantin dan salon kecantikan ini bisa lebih maju dan terkenal.

Jangan tanyakan kenapa aku bunuh diri bu. Ini sudah pilihanku. Kalau tahu hidup ini sebuah permainan yang tak mungkin bisa kumenangkan, ingin rasanya aku tak usah dilahirkan saja. Aku tak takut mati, melainkan lebih takut dikecewakan cinta. Kepedihan yang kurasakan tak bisa kutanggung lagi. Kenapa Tuhan tak pernah menghadirkan seseorang laki-laki yang mencintaiku di dunia ini? Mencintaiku dengan tulus. Mencintaiku apa adanya. Kini, biarlah aku mengikuti Mas Romi ke alam baka. Barangkali kita bisa bertemu lagi sebagai sepasang kekasih yang abadi dan seutuhnya.”


*****

Polisi menemukan keris karatan berluk 9 berlumur darah tergeletak di permadani dan mengamankan sebagai barang bukti. Kemudian mereka menanyai saksi-saksi yang ada di TKP.

“Nama?” tanya petugas kepolisian.

“ Mieke pak polisi .... eh Moko”

“ Yang tegas; ini saya catat,” kata pak Polisi.

“ Halaaah gitu aja kok senewen too, nama saya Moko alias Harmoko pak polisi,”

“ Apa hubungan Anda dengan mereka?”

“ Saya asistennya Jeng Yuli. Saya bersahabat sejak masih kanak-kanak.”

Tak lama petugas kepolisian bisa menyelesaikan kasusnya. Semua barang bukti dan saksi begitu gamblang, sepertinya amat mudah untuk menyimpulkan.

“Pelakunya diduga Wandu Ndan,” lapor petugas forensik dengan dialek Jawa kental kepada komandannya.

“ Apa?” tanya sang komandan tak mengerti.

Petugas lain menjelaskan,”Pelakunya Banci, Ndan,”

Petugas forensik disebelahnya menambahkan, “ Nama pelakunya Jeng Yuli alias Yulianto, Ndan! Dia lantas bunuh diri ...”

“Ooh ... Waria..... Wanita-Pria,” si komandan mengerti. Ia ngeloyor pergi sambil bergumam, “Waria dilawan ....”

Washington DC, 2010

Janu Jolang

Thursday, January 6, 2011

BAHKAN BAYIPUN TAK KEBAL HUKUM

Kejadian menarik ini kudapatkan dari tabloid Express pagi ini 6 Januari 2011, ketika aku menempuh perjalanan kereta bawah tanah menuju Washington DC.

Dalam rubrik Eye Openers kutemukan cerita ini:
Calon bayi yang ada dalam perut istri John Coughlin tak bisa menunggu lagi pingin cepat lahir. Buru-buru sang ayah mengeluarkan mobil dan membawa ibu dan calon anak lelakinya ke rumah sakit. Dengan kecepatan tinggi -- di perjalanan -- Mr. John dikejar polisi.

Alih-alih meminggirkan mobilnya, Mr. John malah tancap gas pol sambil menelpon 911. Kejar – kejaranpun berlangsung seru.

Setelah operator 911 memberitahu polisi pengejarnya bahwa Mr. John dalam keadaan emergensi, akhirnya mereka berbalik menjadi pengawal dan mengamankan jalan menuju rumah sakit.

Bayi Kyle lahir dengan selamat enam menit setelah tiba di rumah sakit di kota Manchester, N.H.

Setelah urusannya beres, polisi yang tadi mengejar Mr. John memberikan selamat atas kelahiran putranya sambil tak lupa memberikan tiket “speeding” karena Mr. John telah menginjak gas dengan kecepatan mencapai 102 mph. Pengadilan dijadwalkan untuk hari Senin.


Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap Di Amerika

Sunday, December 19, 2010

SEMUA SERBA WIRELESS, SERBA BLUETOOTH

Dalam sebuah perjalanan 'rush-hour' kereta bawah tanah Metro Subway, seorang pemuda kulit hitam berpenampilan rapi duduk disebelahku tiba-tiba berteriak serta mengumpat dengan gaya khas orang kulit hitam. Aku yang tadinya terkantuk-kantuk jadi kaget. Terus terang aku susah menangkap arti yang dia omongkan. Kulirik dia, kuperhatikan -- sesekali ia membetulkan sesuatu di telinga kirinya. Barangkali ia sedang telpon istrinya. Yah, Bluetooth memang bikin komunikasi makin praktis. Jaman makin modern, tangan kita tak perlu lagi bekerja mengangkat-angkat telpon atau memasang headset yang kabelnya bikin ribet. Kita tinggal ngomong langsung, seolah-olah sebuah monolog dalam pertunjukan teater.

Diantara kerumunan penumpang yang makin padat, si pemuda kulit hitam itu makin tak terkontrol nada bicaranya. Ia marah berat. Semua penumpang memandang dia dengan mimik terganggu, kemudian mengalihkan pandangan kepadaku. Terus terang aku punya pengalaman tak menyenangkan dengan seorang kulit hitam yang marah – marah hanya karena aku sedang melamun tapi dikiranya sedang memelototi dia. Umpatan kasar sampai caci maki khas “black-ghetto” mengalir deras sepertinya dia sedang nge'rap”. Akhirnya aku bangkit dari duduk dan menyelamatkan diri ke dekat pintu, berdiri bersama penumpang lain.

Ketika kereta berhenti di Metro Station kuperhatikan si pemuda kulit hitam itu turun sambil masih saja 'ngedumel'. Kuperhatikan di telinga kirinya ternyata tidak tergantung sebuah Bluetooth-pun. Aku salah sangka, ternyata ia seorang yang suka ngomong sendiri. Atau barangkali gila, atau stress, atau jangan – jangan dia pemain sandiwara yang sedang latihan? Ah 'ada ada saja'....


Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap Di Amerika

Wednesday, November 24, 2010

LELUCON IMIGRAN CHINA DI AMERIKA

Shelly si pelayan restoran dari Beijing menceritakan lelucon tentang imigran dari China, pasangan keluarga Sammy Wong yang kini tinggal di Amerika.

Ketika istrinya hamil anak pertama, Sammy Wong si suami merasa gembira. Ini adalah penantian yang cukup lama setelah mereka menikah. Dan ketika saat melahirkan tiba, hati Sammy Wong berdebar-debar campur gembira. Ia dengan setia menunggui istrinya di rumah sakit, bahkan menemaninya hingga detik-detik melahirkan tiba. Dan ketika dokter berhasil mengeluarkan bayinya, Sammy dibuatnya terkejut. Ternyata bayinya berkulit hitam, bermata 'belok' dan berambut keriting.

Akhirnya si ayah menamai bayinya dengan nama: Samting Wong ..... (Something Wrong) hi hi hi hi.


Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap Di Amerika

Saturday, October 9, 2010

MUSIM DINGIN HAMPIR TIBA

Ketika daun-daun mulai berguguran, hembusan angin kencang menggigilkan badan, dan udara beku terasa perih di hidung, aku selalu kembali teringat homeless-homeless yang terjebak diantara taman-taman kota, atau di gedung-gedung pencakar langit. Mereka itu gelandangan yang putus asa karena tak kebagian shelter yang jumlahnya sedikit. Sungguh menjadi gelandangan di Amerika amat berat. Selain faktor cuaca, hidup di jalanan juga penuh resiko. Mereka sering mengalami penganiayaan, pelecehan seksual, uangnya dicuri, dan kekurangan makanan. Sukur-sukur bisa bertahan hidup, kadang malah nyawa menjadi taruhannya.

Aku teringat cerpennya O Henry tentang Soapy, seorang gelandangan yang secara psikologis berpengalaman mensiasati penjara sebagai tempat berteduhnya selama musim dingin. Layaknya sebuah hotel, makan minum dan tidur gratis, Soapy selalu merancang beberapa taktik kejahatan ringan agar polisi memasukkannya ke dalam penjara.

Hari terakhir musim gugur. Sembari menyusuri daerah Madison Square Soapy memikirkan ide tentang makan di sebuah restoran mewah. Dalam bayangannya ia memesan roasted duck, sebotol anggur Chablis, dan begitu selesai tinggal bilang “nggak punya uang”. Mereka pasti memanggil polisi. Si Soapy optimis perjalanan tamasyanya ke hotel Prodeopun tinggal menunggu waktu saja.

Tapi nasib belum berpihak padanya. Ketika menginjakkan kakinya di restoran mewah itu, kepala pelayan curiga dengan penampilan dan sepatu butut si Soapy. Ia kemudian memanggil security dan menyeretnya keluar restoran.

Sampai di sudut Sixth Avenue Soapy mendapat ide baru ketika melihat toko yang gemerlapan dengan lampu neon. Diambilnya batu lantas Ia memecahkan kaca jendela toko itu.

“Siapa yang melakukan ini”, kata polisi.

Dengan ramah sembari membayangkan tempat pesiarnya di musim dingin si Soapy mengaku. Tapi si polisi tak menggubrisnya dan malah mencurigai dan mengejar seseorang yang lari kearah blok seberang. Si Soapy kecewa. Barangkali kalo pak polisinya orang Jawa akan berguman,“Endi ana maling ngaku” demikian kira-kira kalimat populer dalam bahasa Jawa, “Mana ada pencuri ngaku”.

Dengan gundah hati Soapy berjalan gontai di keramaian suasana Broadway. Ia melihat sebuah restoran di seberang jalan yang barangkali tak semewah tadi. Ia kemudian masuk, duduk dan memesan beefsteak, flapjacks, donat, dan pie. Disantapnya makanan di meja dengan lahap. Setengah langkah telah terlewati, pikirnya.

Dan giliran ditagih bayarannya, dengan lagak sombong Ia berkata, “Cepat telpon polisi. Jangan biarkan seorang gentelman menunggu terlalu lama.”

Lagi-lagi nasib tidak berpihak padanya. Alih-alih dipanggilkan polisi, si pelayan malah memanggil dua pelayan berbadan kekar menyeret si Soapy keluar dan melemparkannya ke trotoar. Seorang polisi yang berdiri tak jauh dari toko obat tertawa melihat adegan itu dan berjalan melenggang. Impian pesiar ke pulau impian pun sepertinya makin menjauh.

Lima blok Soapy berjalan hingga timbul semangatnya lagi untuk “ditangkap” polisi.

Didekatinya seorang wanita muda yang sedang melihat – lihat etalase toko. Tak jauh dari situ segerombolan polisi berjaga di keramaian suasana. Soapy mulai beraksi: berdehem, mengedipkan mata, tersenyum, dan merangsek wanita muda itu sambil matanya melirik ke arah gerombolan polisi yang sedang mengawasinya.

Si wanita muda itu bergeser selangkah. Soapy tak gentar dan ikut bergeser sembari mengangkat topinya dan berkata,” Maukah kamu datang dan bermain di pekarangan rumahku?”

Polisi masih mengawasi. Dalam bayangan Soapy ia sudah bisa merasakan hangatnya tidur di penjara. Tiba-tiba wanita muda itu menatapnya, mencengkeram lengan jaketnya dan berkata,” Tentu Mike. Kita bicarakan nanti, Polisi sedang mengawasi kita.”

“Gagal maning ...gagal maning ....”, demikianlah keluh Soapy ketika tahu si wanita muda itu jauh dari merasa dilecehkan. “Oalaaah arep mlebu penjara be angele pooor!!!”

Demikian singkat cerita, hingga si Soapy mencoba berlagak mabuk, membuat gaduh, dan seorang polisi menganggapnya wajar karena waktu itu bertepatan dengan selesainya pertandingan football dimana Yale mengalahkan Hartford College. Sampai usaha terakhir mencuri payung di sebuah toko rokok dan pemilik payung itu akhirnya mengiklaskan.

Soapy mati gaya, putus asa, impiannya berlibur di pulau impian gagal sudah. Di akhir cerita O Henry menggambarkan Soapy duduk terpekur di sebuah gereja tua. Saat itu malam telah larut, bulan di atas awan, udara dingin menusuk kulit, dan orang lalu lalang tinggal beberapa. Di sana ia mendengar dentingan organ gereja yang membawa suasana religi ke dalam hatinya. Ingatannya kembali ke masa kecil yang penuh dengan keindahan bersama keluarga dan teman-temannya. Masa dimana segala cita-cita, harga diri, dan optimisme jadi panglimanya.

Ia merasakan sebuah semangat hidup baru mengaliri nadinya. Suasana ini benar-benar membawa perubahan dalam jiwa Soapy. Mulai besok dia tak mau lagi menjadi gelandangan. Ia akan memerangi takdir kesengsaraan ini. Memerangi setan yang selalu membujuknya. Ia ingin meraih harga dirinya kembali sebagai laki-laki. Ia masih cukup muda. Besok Ia akan menghubungi seseorang yang pernah menawarkan pekerjaan untuk menjadi supir di perusahaan impor di daerah downtown. Dia akan menjadi seseorang (yang berguna) lagi di dunia ini....

Tiba-tiba Soapy merasakan seseorang menepuk pundaknya, ternyata seorang polisi. (O Henry sering membuat “twist” dalam ceritanya)

“ Sedang apa di sini? ” tanya Polisi.

“ Nggak ngapa-apa,” jawab Soapy

“ Ayo ikut,” kata Polisi.

“ Tiga bulan di pulau impian ,” kata hakim di pengadilan kepolisian keesokan harinya. (Untuk memecahkan kaca etalase toko)

Takdir sudah dibungkus, Soapy masuk penjara.

Oalaaah ... arep tobat we kok angele poooool (Waaaaah mau tobat aja kok susahnya minta ampun)

Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap di Amerika

 
Site Meter