Terbit di Kompas Online 14 Desember 2011
Dusun Adem Ayem digegerkan oleh kedatangan Yuni Amperawati mantan kembang desa puluhan tahun silam. Tak seorangpun tahu kapan Yuni meninggalkan kampung. Ibunya menangis dan hanya bilang Yuni pergi merantau, entah ke Arab, Taiwan, Jepang, atau hanya ke Jakarta. Kala itu banyak pemuda dusun patah hati. Dan kini ketika Yuni pulang -- tak seorangpun mengendus kehadirannya kecuali sisa-sisa kecantikan yang masih terpancar di wajah dan tubuhnya.
Warga dusun Adem Ayem amatlah bersahaja, sopan, dan religius. Pak Kyai Joko sebagai panutan dan pengayom warga dusun punya peran penting dalam menjaga keharmonisan hidup sehari-hari. Hanya bu Sastro, istri Pak Kepala Dusun agak terganggu dengan kepulangan Yuni.
Tak butuh waktu lama Yuni dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang pernah jadi kesehariannya. Selain ramah, Yuni kini menjadi seorang wanita yang sublim dan mandiri. Ia tak segan mengulurkan tangan membantu yu Warti memasak untuk santri Pak Kyai.
Kebiasaan di dusun Adem Ayem, hari Minggu pagi, Ibu-ibu mencuci pakaian di sungai, bapak-bapak memandikan kerbaunya, sementara anak-anak cebur – cebur-an, mandi telanjang. Beratraksi salto, menukik, atau pantatnya menghantam air hingga mengeluarkan bunyi berdebam. Yuni tersenyum melihat tingkah polah anak-anak.
Maklum anak-anak, tak ada rasa risih walau mereka telanjang bulat dan alat kelaminnya lari kemana-mana. Tabu ketika mereka sudah akil baliq, dan alat tersebut sudah bisa berfungsi sebagai alat reproduksi. Dalam bahasa jawa, sebutan thithit -- berubah menjadi “anu”, ya karena “anu” tidak layak diucapkan secara terang-terangan, tertulis, atau di depan publik. Dan mengenai “anu” inilah biang keladi Yuni mendapat masalah yang membuat geger dusun Adem Ayem.
Kejadiannya bermula saat Pak Kyai Joko mengadakan pengajian di suraunya. Semua santri dan warga dusun Adem Ayem hadir bersimpuh di atas tikar, menyimak tausiyah Pak Kyai yang bersuara bariton empuk. Semilir angin malam itu sesekali membawa bau kotoran sapi dari kandang belakang milik pak Kyai. Tapi itu tak mengurangi suasana syahdu yang menenangkan hati. Yuni ikut hadir, khidmat memperhatikan ajaran Pak Kyai.
Tiba-tiba ada seekor lalat Ijo hinggap di jidat Yuni, barangkali kabur dari kandang sapi di belakang rumah Pak Kyai. Dan Atun yang berada di sebelah Yuni tiba-tiba secara reflek menepuk lalat itu. Warga yang hadir tak mengetahui kejadian itu sampai Yuni berteriak kaget, “ Eh.. Anu ... anu .....(menyebut alat vital laki-laki dewasa).. eeh anu ... Ya Tuhan .... maaf.”
Semua hadirin tersentak kaget. Pandangan mereka mengarah ke Yuni yang tertunduk malu. Bu Sastro istri pak Kadus memandang Yuni dengan jijik. Ditengah suasana khusuk menghadapkan diri kepada Tuhan, terselip kata-kata tak senonoh keluar dari mulut Yuni, tentang alat kelamin laki-laki dewasa..
Konon kebiasaan “Latah” adalah bentuk pertahanan diri ketika ia kaget atau sering dikageti. Insting itu tersambung cepat ke kosa kata di otaknya, entah itu punya arti menyenangkan, lucu, atau bahkan traumatis. Hal itu sangatlah alamiah dan dapat dimaklumi. Tapi jika itu terjadi pada acara suci keagamaan apakah itu bisa dimaklumi? Yuni kini menanggung semua akibatnya.
Keesokan paginya berita itu cepat menyebar. Ibu-ibu yang tadinya akrab kini menjaga jarak, saling berbisik, dan menghindar. Tak butuh waktu lama, beredarlah rumor kalau Yuni adalah perempuan nakal yang suka mangkal di warung remang-remang, menunggu supir-supir truck melepas lelah, sambil menawarkan tubuhnya dengan genit. Rumor tak berhenti di situ, sebaliknya malah tambah hebat, ada pihak ketiga yang sengaja menghembuskannya. Bu Kadus sendiri tampak vokal seolah dia sedang mensosialisasikan program kesejahteraan keluarga layaknya Pos Yandu.
Yang bikin Yuni jengkel, anak-anak kini sering mengageti dirinya, entah Ia sedang di pekarangan, di sungai, atau di jalan. Latah joroknya jadi kumat, anak-anak tertawa, sambil berlari-lari dan ikut menirukan latahnya. Ibu-ibu yang mendengar mengingatkan, “ Eeeh bocah-bocah jangan ngomong saru yaaa.”
Para orang tua kewalahan dan mengadu pada Pak Sastro. Yuni tepekur sedih. Ia tak mau lagi terusir dari dusun Adem Ayem seperti dulu. Ya.. Yuni ingat waktu remaja dulu, ketika Wati anak Pak Yudo Kadus jamannya, selalu merasa iri pada dirinya. Ketika ia menjadi juara kelas mengalahkan Wati, menjadi penari kebanggaan warga dusun, dan yang paling telak adalah Sastro -- ketua pemuda dusun -- yang lebih memilih dirinya daripada Wati anak Pak Kadus.
Hingga pada suatu hari kejadian luar biasa terjadi, waktu Ia diminta membantu pernikahan Tatik anak pak Kadus yang tertua, dan ketika perhiasan emas dan uang seserahan dari mempelai pria itu tiba-tiba hilang berpindah tangan dan secara ajaib berada di dalam saku jaketnya yg digantungkannya di kamar rias. Maka dia mengerti bahwa Wati telah menjebaknya. Dan akhirnya dengan penyelesaian “kekeluargaan” Yuni terpaksa meninggalkan dusunnya, meninggalkan Sastro dan segala impian indah masa depannya.
*****
Bu Sastro alias Wati istri pak Kaduslah yang kini paling vokal bersuara. Kepada suaminya ia berkata,“ Semenjak kedatangan Yuni, dusun kita jadi berubah tidak tentram, pakne,”
Pak Sastro yang melihat gelagat buruk Bu Sastro menghela nafas panjang. Ia tahu Yuni adalah pribadi yang baik hati. Ia lantas teringat kejadian puluhan tahun silam, ketika masa remaja, ketika Yuni telah mencuri hatinya, dan itu membuat Wati cemburu. Dan rasa cinta yang baru mekar itu tiba-tiba layu ketika Yuni meninggalkan dusun Adem Ayem dengan tiba-tiba, tanpa pamit, sepertinya ada sesuatu yang janggal dengan kepergiannya.
“ Ya nanti aku tak “rembugan” dengan dik Joko”
“ Pak ne tau apa? Diusir saja, demi ketentraman warga dusun.”
“ Ya ojo kesusu to bu.”
“ Pokoknya lebih cepat lebih baik, pakne.”
Pak Kadus segera menyuruh pembantunya memanggil Kyai Joko. Diantara pembicaraan bertiga, Pak Kyai menengahi, “ Janganlah kita berburuk sangka dulu, bu. Lebih baik kita “khusnudzon” saja. Semua orang tempatnya salah, tetapi sebaik-baik orang yang berbuat banyak kesalahan itu adalah orang-orang yang banyak bertaubat."
“ Dik Joko tahu, si Kelik tukang ojeg yang mangkal di terminal itu bilang kalo Yuni suka mangkal di warung-warung pangkalan truk. Nama dusun kita akan cemar. Ibu-ibu PKK mulai cemas lho dik Joko. Khawatir kalau nanti Yuni menggoda suami – suami mereka.”
“ Ya sabar bu Sastro.... Boleh jadi kita membenci sesuatu, padahal kita tidak tahu bahwa sesungguhnya itu amat baik bagi kita. Dan belum tentu apa yang menurut kita baik, padahal sebetulnya itu hal yang buruk bagi kita. Allah Maha Mengetahui. Saya akan berbicara dengan Yuni bu Sastro...”
*******
Dan mulailah Kyai Joko, atas permintaan Pak Kadus, menyelesaikan masalah ini dengan bijaksana. Dalam pembicaraan di surau Kyai Joko yang mengenyam pendidikan keguruan di IKIP menerapkan pendekatan psikologis pengajaran untuk menghilangkan “latah”nya Yuni.
“ Jeng Yuni, kebiasaan latah jorok yang keluar dari mulutmu sudah membuat warga Adem Ayem geger.”
“Iya Pak Kyai, mohon maaf. Saya harus bagaimana? Apapun akan saya kerjakan asalkan saya jangan diusir dari dusun Adem Ayem. Saya ingin menghabiskan masa tua dan mati di dusun ini.”
“ Baiklah saya akan bantu, coba jeng Yuni.... bagaimana kalau yang sudah-sudah itu, latahnya lebih baik diganti dengan menyebut asma Allah. Subhanallah boleh. Masya Allah boleh. Atau Allahu Akbar. Setuju?”
“ Ya ya ya Pak Kyai. Saya akan mencoba ...”
Dan ketika Pak Kyai Joko mencoba mengageti Yuni, dan kebiasaan latah joroknya masih tetap saja, Pak Kyai hanya geleng-geleng kepala sambil tersipu malu. Orang-orang yang lewat di depan surau dan mendengar tersenyum kecut.
Mungkin besok bisa berubah, atau minggu depan. Dan ketika sampai berhari-hari Yuni tak bisa melepas kebiasaanya, maka Pak Kyai tak kehilangan kesabarannya.
Ia kemudian membuat target antara, dengan membelokkan latah joroknya menjadi Eh copot .. copot. Ya... ia sering melihat orang-orang yang latah mengucapkan kalimat seperti itu. Hal yang pernah dipopulerkan oleh penyanyi Adi Bing Slamet lewat lagu Mak Inemnya waktu kecil.
Akhirnya, walau memakan waktu lama, ternyata usaha itu berhasil. Pak Kyai Joko merasa senang. Juga Yuni. Kini kalau ada sesuatu yang mengejutkan Yuni maka kata-kata yang keluar adalah:” Eh copot ..copot”, bukan latah jorok yang dulu "Eh ..anu ... anu".
Mendengar itu Pak Kadus ikut senang, anak-anakpun juga senang dan sekarang mereka mengikuti latah barunya Jeng Yuni, eh copot...copot, sambil tertawa-tawa gembira. Ibu-ibu dusun Adem Ayem menjadi tenang, hanya Bu Kadus seorang diri merasa sebaliknya.
Bersyukur dan berbahagialah seseorang yang dibimbing alim ulama, yang selalu mengajarkan suri tauladan, kebaikan, cinta kasih, tata krama, sopan berbahasa, budi pekerti dan berkaca diri. Yuni merasakan kehadiran Kyai Joko sangat dekat dalam dirinya.
**********
Disela-sela waktu longgar seputar surau siang itu, Pak Kyai Joko sedang terlibat pembicaraan dengan Yuni . Kali ini tidak lagi membahas “latahnya” melainkan hal lain.
“Jeng Yuni masih kayak dulu lho, awet muda... Resepnya apa? Mbok aku dikasih tau “
Yuni kaget dengan pertanyaan itu. Ia tak menyangka ucapan Pak Kyai akan seperti itu. Jangan-jangan kebiasaan joroknya selama ini mengakibatkan timbulnya kegelisahan terpendam pada diri Pak Kyai. Tapi ingatan Yuni langsung melayang ke masa mudanya ketika si Joko, adik kelasnya waktu di SMP dulu terlihat mencoba mendekati dirinya. Yuni ingat ketika Joko memboncengkan dirinya dalam karnaval sepeda 17 an. Juga beberapa kali pernah datang ke rumahnya.
“ Aah bisa aja Pak Kyai, hmmm resepnya apa ya?? Hehehe”
“ Wah ternyata sudah lama kita nggak ketemu yaa jeng ... ayo crita pengalaman merantaumu. Aku ingatnya dulu waktu jaman SMP, he he he. Jangan ngomong siapa-siapa ya jeng Yuni, aku dulu pengagum gelapmu lho”
Dan ketika Yuni memahami bahwa Pak Kyai berubah menjadi sedikit kekanak-kanakan, tersipu-sipu malu. Ia tak merasa kehormatan Pak Kyai menjadi luntur. Semua laki-laki dewasa pada dasarnya adalah kanak-kanak yang butuh perhatian, kasih sayang, dan pelayanan. Apalagi Pak Kyai statusnya masih single belum menikah. Yuni tetap menghormati Pak Kyai sebagai panutan moral warga dusun Adem Ayem.
“ Boong banget seeh .... puacarmu kan segudang...eh becanda Pak Kyai.. Aku sudah tua loh”, Yuni tersipu dan tiba-tiba ia berbicara dalam logat Betawi, barangkali dia pernah merantau di sana.
Suasana sangat akrab dan tidak formil,“ Kalo ingat jaman dulu lucu ya jeng Yuni. Waktu “mboncengin” kamu naik sepeda senangnya minta ampun. Tapi habis itu bingung mau gimana?? He he he cinta monyet ..., belum ngerti jurus-jurus merayu wanita. Jadinya diam saja, dipendam. Eeh ini jangan dimasukan hati ya, Jeng. Ini cuma pengakuan saja “
“ Ha ha ha lucu....lucu...., iya ... iya tenang saja Pak Kyai, kita kan bukan hanya sudah dewasa tapi “wis tuwo”, sudah tua, hehehe..Cerita seperti ini kan jaman dulu Pak Kyai “
Pak Kyai agak tersipu, kemudian ia mencoba bersikap bijak,“Iya bener jeng Yuni, kita sudah tua, sudah banyak makan asam garam kehidupan. Kadang kita hampir menyerah pada kenyataan pahit, tapi kemudian bangkit dengan semangat. Kadang juga kalau kita kembali ke jaman kanak-kanak, rasanya semuanya indah, penuh tawa dan canda. Dan cukuplah itu sebagai kenangan indah saja. Terlalu indah untuk menjadi nyata jeng Yuni ...”
“ Oh, jadi kalau sekarang Pak Kyai “udah canggih” ya cara merayunya.. hahaha. Ini becanda lho Pak Kyai.” , terlihat Yuni mulai nyaman dengan gerak gerik dan ucapannya. Terlihat dia bisa mengendalikan keadaan.
Dan kini Pak Kyai Joko tak bisa menahan perasaan hatinya, lalu mengungkapkan dengan jujur apa yang pernah dia alami sewaktu muda dulu,“ He he he sebenarnya dulu itu aku pingin deket denganmu cuma aku nggak tau “piye carane”, bagaimana caranya? Pernah aku beberapa kali main ke rumahmu cuma kok aku jadi tambah bingung he he he. Mungkin salah satunya karena kamu kakak kelasku, dan juga waktu itu Mas Sastro yang ketua pemuda desa itu tergila-gila padamu --- jadi aku minder. Kalo sekarang, mungkin kita sudah sama-sama dewasa, jadi ya yang ada sekarang adalah rasa hormat, rasa saling menghormati. “
“Pak Kyai, sebenernya aku juga inget banget kejadian waktu "kita" masih SMP. Seandainya waktu bisa diputar kembali.... “
Seolah Pak Kyai faham film tv Time Tunnel alias Lorong Waktu jaman kecil dulu, dan ketika dia mahasiswa belajar agama dan memahami bahwa Lorong Waktu hanyalah angan-angan belaka, tapi dengan maksud tak serius dia menjawab, “Ahh masak siy jeng Yuni ingat banget kejadian-kejadian waktu "kita" masih SMP? Andai waktu bisa diputar kembali .... Apakah kira-kira ada cerita yang berbeda?”
“Kalau waktu bisa diputar kembali???!!! Kalau kita memang gak jodoh atau gak dipertemukan sama Tuhan, yo tetep ora ketemu yo?? "Pekok” banget si aku, bodo banget siy aku!! Hahaha... “
“ Eh siapa tahu dipertemukan Tuhan dikemudian hari?”
“ Eh copot ... copot .... Pak Kyai .... pak Kyai”, Yuni latah karena gugup.
“ Jangan panggil aku Pak Kyai ... panggil aku Joko saja”
“ Aku tak berani ... apa nanti kata warga dusun Adem Ayem kalau dengar itu”
“Dulu waktu “mboncengin” kamu naik sepeda untuk pertama dan yang terakhir kalinya, he he ehem, rasanya seolah sudah jadi laki-laki gagah, gede kepala, dan bangga. Ah sayang aku dulu kurang berani, kurang nekat. Mestinya pemuda-pemuda yang naksir kamu itu tak aku gubris, atau kulawan. Jeng Yuni, maukah menikah denganku?”
“Eh copot ... copot ... Ah... Pak Kyai bercanda”
Tak pernah terbayangkan dalam benak Pak Kyai sebelumnya --- sampai pada keinginan ingin menikahi Yuni. Yaa ..usia Yuni mateng, lekuk pinggang dan busung dadanya menandakan hormon kewanitaannya melimpah. Demikianlah bahasa alam yang terungkap ketika seorang wanita menarik lawan jenisnya, sebagai bekal untuk bertahan di muka bumi, guna meneruskan keturunannya, beranak pinak dan pada saatnya berubah jadi gendut dan menua.
Dan akhirnya dusun Adem Ayem kembali tentram dan damai. Pak Kyai Joko bisa menyelesaikan permasalahan Yuni yang bikin dusun Adem Ayem heboh. Semua merasa bahagia, win win solution. Bu Sastro kini merasa tenang bisa menghabiskan masa tuanya bersama Pak Kadus, Kyai Joko bisa menikahi pujaan hatinya, dan Yuni tak terusir lagi dari dusunnya.
Di malam dingin, diantara suara angin yang mengguncang rimbunan bambu, sepertinya terdengar sayup-sayup Yuni mengucapkan kebiasaan latahnya, dan kini malah campur aduk tak karuan,
“ Ehh .. Anu-copot ...eeh anu-copot ..eh maaf Pak Kyai“
“ Hayoo ... Jeng Yuni nggak boleh latah jorok lagi yaaa”, Pak Kyai agak kecewa latah jorok Yuni muncul kembali.
“ Saestu Pak Kyai ... kulo mboten goroh” (Benar Pak Kyai ... Saya tidak bohong kok)
“ Ssssttt .....diam”, bisik pak Kyai Joko.
Washington DC 2011
Thursday, December 15, 2011
KEMBANG DESA PULANG KAMPUNG
Posted by Janu Jolang at 8:02 PM 0 comments
Thursday, November 17, 2011
HARI GINI MASIH ADA PERBUDAKAN DI AMERIKA
Sebut saja Supri, seorang warga negara Amerika naturalisasi asal Indonesia yang mengaku bersalah dalam persidangan di negara bagian Virginia pada akhir November 2008, dengan tuduhan Menampung Pendatang Gelap untuk Keuntungan Pribadinya.
Menurut dokumen di pengadilan, sejak tahun 2000 Supri dan istrinya Kamti menampung 11wanita TKW gelap di ruang basement rumahnya, dan mempekerjakan mereka untuk menjadi nanny atau housekeeper di keluarga kaya di daerah Potomac, Maryland. Sang majikan, diantaranya adalah dokter-dokter kenamaan di rumah sakit Maryland, Jaksa terpandang di Washington DC, dan Insinyur yang mengurusi sektor energi ataupun pengairan.
Di setiap akhir pekan atau Jum at sore, Supri dan Kamti menjemput mereka dari rumah majikan, dan menampung mereka di rumahnya di daerah Virginia. Senin pagi, mereka mengantar kembali kesebelas wanita itu ke rumah majikan masing-masing. Suami istri itu menarik bayaran $375 perbulan untuk biaya sewa tempat tinggal dan transportasi. Urusan lainnya seperti kirim uang ke Indonesia, mereka menarik ongkos lagi yang besarnya bervariasi.
Supri – Supri di sini banyak, TKW gelap juga banyak. Hubungan antar mereka sebetulnya tidak sepenuhnya hitam putih, tapi berada dalam area abu-abu. TKW butuh tempat tinggal dan pekerjaan. Supri menampung mereka dan mencarikan pekerjaan.
Sebetulnya para TKW itu datang ke Amerika dengan dokumen lengkap alias pakai visa kerja. Kebanyakan mereka dipekerjakan sebagai housekeeping atau nanny di rumah diplomat – diplomat dari berbagai negara, kebanyakan dari Timur Tengah. Setelah kontrak kerjanya habis, atau biasanya mereka kabur karena dibayar terlalu murah, atau diperlakukan dengan kasar, nah lewat jasa si Supri inilah kelangsungan hidup para TKW bergantung. Simbiosis mutualisme. Saling membutuhkan dan saling menolong. Supri butuh tambahan income, para TKW butuh tempat tinggal dan pekerjaan.
Masalahnya bisa berbeda ketika fakta hukum berbicara lain. Menurut dokumen pengadilan, Supri memperlakukan kesebelas wanita itu dengan semena-mena. Menumpuknya dalam sebuah basement seperti layaknya ikan pindang berjejer-jejer. Mereka juga dilarang keluar rumah, Paspor ditahan, serta diancam kalau kabur dari rumah maka keluarganya di Indonesia akan dibunuh. Karena status mereka yang tak punya dokumen resmi lagi, maka Supri selalu mengancam akan melaporkan mereka kepada petugas Imigrasi.
Bermula dari salah seorang wanita yang tak tahan lagi dengan ancaman dan keadaan yang menyengsarakan itu, ia kemudian mengabarkan pada saudaranya di Indonesia bahwa hidupnya terancam, atau menurut wanita itu, bahwa Supri mau membunuh keluarganya di Indonesia kalau dia tak patuh dengan Supri. Keluarganya di Indonesia kemudian melaporkan ancaman ini ke Kedutaan Amerika di Indonesia. Tak berapa lama kawat berita sampai ke FBI dan U.S. Immigration and Customs Enforcement (ICE). Investigasipun dilakukan dan setelah memakan waktu lama dan cukup bukti, pada sekitar bulan Oktober 2008, petugas hukum menangkap Supri dan istrinya.
Yaa .. rekruitmen, menampung, dan mentransportkan pendatang gelap adalah kejahatan serius dan tak bisa ditolerir. Apalagi mengexploitasi dan mengambil untung dari status mereka yang rentan. Modern slavery and human trafficking, Perbudakan Modern dan Penyelundupan Manusia. Untuk kejahatan itu Supri menghadapi ancaman hukuman 10 tahun penjara dan membayar restitusi kepada TKW yang pernah dirugikannya. Sedangkan istrinya yang masih warga negara Indonesia menghadapi ancaman 5 tahun penjara karena telah memberikan statemen palsu kepada agen federal pada saat penyelidikan.
Selama lima tahun usahanya, Supri dan istrinya mampu meraup $ 90.000 dari para TKW tersebut.
Sekedar data tambahan, Human Trafficking di Amerika cukup tinggi yaitu 14.500 sampai 17.500 orang dalam setahunnya. Kebanyakan dari mereka datang dari berbagai bangsa yang tingkat kesejahteraan sosialnya rendah, tak banyak lapangan pekerjaan, dan upah kerja sangat rendah. Data internasional sendiri lebih besar yaitu 600.000 sampai 800.000 orang tiap tahunnya menjadi korban Perbudakan Modern dan Penyelundupan Manusia.
Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap di Amerika
Posted by Janu Jolang at 11:59 PM 0 comments
Saturday, October 1, 2011
TEORI POLITIK ALA WANG CHUAN
WANG CHUAN SI DELIVERY MAN
MENJELASKAN TENTANG TEORI POLITIK
Entah bermaksud guyon atau sekedar sindiran, joke politik ini diceritakan Wang Chuan di suatu sore sebelum restoran ramai. Cerita ini tentang seorang pemuda di negara komunis yang tidak lulus pelajaran politik di sekolahan padahal si ayah adalah seorang tokoh politik terpandang dan disegani. Malam harinya si ayah (karena malu dengan guru-guru di sekolahan), akhirnya turun tangan mengajarkan tentang ideologi politik itu kepada anaknya.
Si ayah menerangkan bahwa 'POLITIK' itu identik dengan 'KELUARGA'. Sedangkan figur 'AYAH' adalah identik dengan 'PARTAI'. 'IBU' identik dengan IBU PERTIWI', 'KAKEK' identik dengan "SERIKAT PEKERJA', dan yang terakhir 'ANAK' identik dengan 'RAKYAT'. “ Nah... kini kamu sudah tau fungsi dan peran masing-masing orang dalam sebuah keluarga. Kini kamu keluar rumah, berdiri di depan pintu, dan fahami ajaran saya tadi !!!”, kata ayahnya marah melihat kegoblokan anaknya. “ Dan jangan masuk rumah kalau belum faham!!!”, tambah si ayah.
Satu jam di luar rumah si anak belum juga bisa memahami apa yang diajarkan ayahnya. Dua jam berlalu, dan udara malam makin dingin, si anak belum juga faham.
Mendekati jam ke tiga si anak menggigil kedinginan dan merasa tersiksa. Tiba-tiba dari lantai dua kamar ayahnya terdengan suara dan ternyata itu rintihan ibunya. Si anak kurang memahami itu suara tangisan atau erangan kenikmatan, sedangkan si kakek tertidur pulas sambil ngorok. Dia sendiri merasa tersiksa kedinginan di luar rumah.
Akhirnya si anak memahami apa yang diajarkan ayahnya tentang arti “POLITIK”. Ia kemudian merangkai kejadian itu dengan kalimat yang begini bunyinya: Politik adalah Partai yang memperkosa Ibu Pertiwi, sedangkan Serikat Pekerja tertidur pulas, dan Rakyat tertindas”
Posted by Janu Jolang at 11:28 PM 2 comments
Sunday, September 18, 2011
RESTORAN ITU BUTUH “SUSU-SAPI”
Dalam komunitas perantau asal Indonesia, istilah 'SUSU-SAPI' bukannya segelas susu murni, melainkan punya arti tersendiri dan sangat populer dalam hal mencari pekerjaan.
”Wah susah masuk restoran A, Si Bossnya butuh 'Susu-Sapi' “
“ Si Taufik kemaren ditangkap FBI gara gara pakai Susu-Sapi Abal-abal.”
Ya .. istilah SUSU-SAPI sebetulnya adalah “kode rahasia” imigran gelap dalam menyebut SOCIAL SECURITY NUMBER (SSN), atau biasa disebut SS, secarik kertas ukuran KTP berwarna biru yang berisi nama pemiliknya dan 9 digit nomer yang dikeluarkan kantor Social Security.
Di Amerika, atau kebanyakan negara maju, Nomer SS digunakan sebagai identitas tunggal pemiliknya. Jadi ketika Albert lahir, sekolah, bekerja, pensiun dan meninggal dunia, ia hanya punya satu nomer SS saja, nggak bisa diganti atau diterbitkan nomer baru lagi. Dengan sistem ini, Albert tak bakalan bisa memiliki identitas ganda atau punya banyak KTP, atau berusaha memalsukan identitasnya seperti banyak terjadi di negara dunia ketiga.
Karena SSN merupakan identitas tunggal maka untuk keperluan yang menyangkut pengadministrasian seperti cari kerja, daftar sekolah, cari SIM/ID, buka akun bank, beli asuransi kesehatan, beli mobil, rumah dan lain-lain, mereka selalu mensyaratkan nomer SS.
Menurut sejarahnya, dahulu kala, waktu Amerika mengalami resesi ekonomi, banyak orang kehilangan pekerjaan dan tak bisa lagi mencukupi kebutuhan dasar hidupnya. Banyak diantara mereka terserang kelaparan dan juga kehilangan tempat tinggalnya. Sebetulnya ide dasar dari Social Security sangat sederhana, masyarakat tradisional Indonesia dahulu juga pernah menerapkan sistem yang sama dan dikenal dengan istilah Lumbung Padi. Ketika panen tiba, masing-masing warga menyetor beras untuk disimpan di lumbung. Ketika musim paceklik tiba, beras yang ada di lumbung dimanfaatkan untuk menyambung hidup sampai kondisi normal kembali.
Kantor Social Security diibaratkan lumbung padi, setiap gajian kita harus menyetor sejumlah uang untuk disimpan dan nantinya ketika pensiun dan membutuhkan perawatan kesehatan kita bisa memanfaatkannya. Mereka mensyaratkan kita harus bekerja setara dengan 40 satuan kredit atau minimal 10 tahun untuk bisa mendapatkan benefit pensiun dan medicare yang bisa diambil ketika kita berumur 65 tahun, atau kalau kita mengalami cacat permanen.
Lantas bagaimana nasib para pendatang gelap di Amerika yang tak mempunyai SSN? Bagaimana mereka bisa “survive” tanpa identitas yang sah?
Boro-boro mendapatkan uang pensiun, mau cari kerja aja susahnya minta ampun.Tiap orang yang akan melamar pekerjaan selalu ditanyakan nomer SS. Perusahaan yang bonafid bahkan punya perangkat komputer yang bisa mengakses keabsahan nomer SS beserta pemiliknya. Para pendatang gelap akhirnya hanya bisa bekerja di sektor informal yang dibayar cash alias tunai seperti Tukang Kebun, Nanny, Handyman, atau tukang bersih-bersih. Mengenai kerja di restoran, beberapa diantara pemiliknya “tutup” mata dengan “status” karyawan. Mereka tidak mengecek keaslian SSN, atau menerima mereka dengan sembunyi-sembunyi alias tidak melaporkan ke instansi terkait. Tentu tindakan ini jika ketahuan beresiko restoran itu akan kena denda bahkan ditutup.
Selalu ada yang bermain .... ya itulah yang terjadi. Mafia-mafia “Latino” bak dewa penolong bagi imigran-imigran gelap di sini. Mereka bisa menyediakan identitas palsu mulai dari Kartu SS, Kartu Working Permit, sampai Greend Card secara sembunyi-sembunyi kepada Imigran gelap. SS palsu itu wujudnya sama, nomernya juga resmi dikeluarkan oleh kantor SS, tapi namanya dibikin sesuai si pemesan. Mafia-mafia ini memakai nomer SS-nya orang-orang yang sudah meninggal, atau mencuri dari seseorang dan kemudian menggandakan nomer SS tersebut. Nah berbekal SS palsu itu banyak para imigran gelap melamar kerja di restoran-restoran, usaha konstruksi, pertamanan, atau di kantor-kantor kecil.
Teman-teman perantau asal Indonesia banyak juga yang “tergiur” dengan membeli identitas palsu itu. Asal siap menanggung resiko ditangkap petugas dan ditahan, semuanya berpulang pada masing-masing pribadi. Seperti Mas Taufik yang bekerja di sebuah restoran Pan Asia di daerah Rosslyn, dia ditangkap lewat operasi gabungan dari FBI, Imigrasi, dan Kepolisian. Mereka mengepung restoran dan menangkap Mas Taufik yang sedang memasak order di dapur, memborgolnya, dan membawa keluar melewati ramainya pelanggan restoran siang itu.
Ya... memakai nomer SS orang lain untuk bekerja amatlah beresiko. Menurut cerita Mas Toto yang menengok di penjara, Mas Taufik ternyata memakai identitas orang lain untuk bekerja. Kejanggalan akan terlihat di kantor SS atau IRS (kantor Pajak), ketika seseorang bekerja di beberapa tempat sekaligus dalam waktu bersamaan. Aliran slip gajinya bisa dirunut darimana dan kapan mendapatkannya. Amat sangat janggal kalau seseorang bisa bekerja “fulltime” di dua tempat sekaligus, apalagi berbeda lokasi atau negara bagian.
Menurut perkiraan, kejahatan Identity Theft di Amerika dialami oleh 10 juta orang tiap tahunnya. Mulai dari kategori yang ringan sampai yang terberat. Identitas kita dipakai untuk mendaftar kerja, membuka line telpun, menyewa apartemen, apply credit card, transaksi online, atau lain-lainnya. Kita tak menyadari Identitas kita dipakai sampai seseorang dari debt collector menagih “utang-utang kita”.
Kejahatan Pencurian Identitas ini sangat serius akibatnya, terutama bagi si korban. Mereka bisa kehilangan ribuan dollar tanpa pernah sekalipun membelanjakannya, dan juga kehilangan nama baik serta skor “credit record”nya anjlok, yang bisa berakibat jangka panjang dalam kemudahan mendapatkan kredit perumahan, peluang kerja, ataupun pendidikan.
Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap di Amerika
Posted by Janu Jolang at 12:04 AM 0 comments
Tuesday, August 30, 2011
SEORANG PELANGGAN RESTORAN BERNAMA PETER BARANGKALI SEORANG AGNOSTIC
Peter selalu duduk di sushi bar. Perawakannya gendut – mengingatkanku pada si Hengki temanku di Indonesia. Ia pelanggan tetap restoran tempatku bekerja. Pekerjaan Peter termasuk bagus, seorang programmer komputer di Fanny Mae, sebuah perusahaan mortgage raksasa di Amerika yang akhir-akhir ini sedang mengalami 'collapse'.
Kemarin malam di restoran, sambil menyantap Seared Salmon Belly kesukaannya - ia menceritakan pengalamannya waktu mengunjungi Turki, sebuah negara yang dalam sejarahnya pernah mengalami jaman keemasan dan juga merupakan salahsatu tonggak kemajuan peradaban Islam di dataran Eropa.
Dengan jujur, Ia menceritakan bahwa Ia sangat terkesan ketika mendengar suara azan yang mengalun indah dan magis di sore hari di kota Ankara, diantara bayangan sinar matahari yang hampir tenggelam.
Mendengar ceritanya, anganku tiba-tiba melayang ke masa kecilku, mengingat suasana ramadan di kampung halaman. Ketika aku berada di bawah rindangnya pohon beringin di tengah Alun-alun sore hari, sungguh suasananya sangat “khusyuk” dan magis. Perut lapar, badan lemes, sesekali aku menggigil diterpa angin sore, dan tak berapa lama adzan berkumandang.
Sungguh rasanya aku sangat dekat, dekat sekali dengan Tuhanku.
Iseng kutanyakan kepadanya, “ Do you believe in God?”
Ternyata jawaban dari Peter malah mencengangkan diriku,” Hey man, that (question) is not important to me. The importan thing is God believe in me.” Pertanyaan itu nggak penting, bro. Yang penting, Tuhan percaya padaku.
Wheladalah .. barangkali faham inilah yang sering disebut dengan Agnostic. Mereka percaya Tuhan tapi tidak peduli. Memang kalau dipikir memakai sudut pandang Tuhan Yang Maha Segalanya, tentu Tuhan selalu yakin dan percaya terhadap semua ciptaanNya. Kita mau dibikin kaya, miskin, pandai, bodoh, beriman, kafir, mati hari ini, atau 100tahun lagi. Semua mutlak KuasaNya.
Maka ketika hal itu kuceritakan pada temanku yang kini jadi Kyai di sebuah pesantren di Jogjakarta, dia bilang pernyataan si Peter ini sungguh profokatif, terlalu berani, dan berkesan arogan seolah ia tidak butuh Tuhan dalam hidupnya.
Memang di Amerika yang sekuler ini, agama kurang menginspirasi dalam kehidupan sehari-hari. Istilah kerennya kurang “Greget”. Mau ngurus KTP kolom agama tidak ada, cari kerja juga. Kalau kita mau nikah hal itu juga tak ditanya. Untuk perayaan hari Natal, yang notabene banyak pemeluk agama Nasrani di sini, orang-orang lebih nyaman menggunakan kata-kata “Happy Hollyday” atau “Season's Greetings” dalam kaitannya dengan ucapan selamat, seringnya dipakai dalam sambutan resmi pejabat publik, sekolahan-sekolahan, department stores, atau greeting cards.
Apalagi suasana puasa ramadan di sini, sungguh aku kehilangan suasana religi yang dahulu kurasakan waktu masih di Indonesia. Ketambahan lagi puasa pas musim panas yang panjangnya bisa 16 jam, sungguh setengahnya merupakan siksaan, dan setengahnya merupakan cobaan.
Ahmad, temanku yang kerja di restoran Pan Asia di daerah downtown yang selalu ramai pengunjung mengeluh padaku,” Gila man ..., chefku orang Vietnam ngomel-ngomel terus. Dia nggak mau tau ini bulan ramadan man ... gue di pushed terus!”
Kasihan juga si Ahmad yang bekerja 12 jam sehari. Puasa membuat tubuhnya kehilangan kelincahan dan konsentrasi kerja. Jam 1 siang adalah saat-saat restoran ramai, dan Ahmad sudah kehilangan banyak energi. Suasana dapur di depan wajan yang panas membuat dirinya mengalami dehidrasi alias kehilangan cairan tubuh. Metabolismenya terganggu, badan lemas, suhu tubuh naik, konsentrasi terganggu, dan mengalami pusing-pusing. Untung nggak sampe kena stroke atau jantung mandeg, dan akhirnya Ahmad mengalah.
Chefnya bilang,”Ngapain kamu menyiksa diri?” Dan dijawab Ahmad ini bagian dari tradisi.
“Ya tapi kamu jadi sering salah bikin order dan lambat. Pelanggan komplain tuh ....”
Akhirnya setelah beberapa hari Ahmad memilih keluar dari pekerjaannya. “Gila man ... gue baru tau rasanya kerja Rodi yang dialami nenek moyang kita dulu.”
“... Mending ente bisa keluar kerjaan, Mad. Palingan nganggur nggak dapet duit. Lha nenek moyang kite dulu? Dipaksa kerja Rodi sampe ko'it ..man.”
Dalam hati aku salut dengan Ahmad. Dia lebih mementingkan puasanya dan tak takut kehilangan pekerjaannya. Jujur, sebagai pendatang gelap yang “lahan pekerjaannya” terbatas, dia termasuk berani mengambil resiko jadi pengangguran di Amerika.
“ Rejeki nggak akan lari kemana ... man!”, katanya mantap, semantap keyakinannya pada Agama dan Tuhannya.
Kembali pada Peter, aku tiba-tiba tergelitik pingin tanya tentang agamanya, “What is your religious view?”
Dan jawabannya malah mencengangkan sekaligus bikin aku geleng-geleng kepala, “ I will find out after i'm gone”, “Aku akan mengetahuinya setelah aku mati”
Sejenak pikiranku berkecamuk ... hmmmm..., pada akhirnya semua kukembalikan pada masing-masing pribadi. Masalah Tuhan dan Agama adalah masalah keyakinan, masalah kepercayaan. Pada titik ini kita tidak bisa memaksakan sebuah keyakinan kepada seseorang yang tidak yakin akan hal itu. Kita sering mendengar istilah Lakum dinukum waliyadin, Bagimu Agamamu Bagiku Agamaku, dan itulah sebetulnya esensi dari kebersamaan hidup damai di dunia.
Kulirik jam dinding menunjukkan setengah sembilan malam. Tak ada adzan mengumandang di sini. Aku pamit pada Peter mau berbuka puasa. Di dalam kuteguk teh manis hangat dan kukunyah sepotong roti.
Ada suasana hilang yang kurasakan saat itu. Aku kehilangan suasana religi dan kedekatan kepada Tuhanku. Aku kembali bekerja. Semuanya terasa mekanistik seperti robot. Tak ada lagi kegembiraan berbondong-bondong ke Masjid Agung untuk shalat taraweh, bermain kembang api dan petasan setelahnya, atau tak sabar menunggu Idul Fitri tiba, sambil mengumandangkan takbir di malam hari. Dan menantikan opor ayam bikinan ibu serta mengenakan baju baru ......
Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap di Amerika
Posted by Janu Jolang at 12:47 AM 0 comments
Friday, July 22, 2011
JALAN-JALAN KE KOTA TUA GEORGETOWN
Georgetown “Tempo Doeloe”. Dalam sebuah papan iklan tertulis seperti ini:
Two negro men $300
One ditto woman $150
Four ditto girls $150
Two horses $200
Two cows $30
Awalnya Georgetown adalah tempatnya budak kulit hitam. Kota kecil bersuasana asri dan teduh di pinggiran sungai Potomac dan tak jauh dari Washington DC itu dahulu adalah salahsatu port keluar masuknya tembakau dari dan ke Amerika. Mereka mendatangkan orang-orang dari Afrika untuk bekerja di ladang tembakau yang kebanyakan berada di daerah Virginia dan Maryland.
Kalau membaca iklan “Tempo Doeloe” yang usianya lebih dari ratusan tahun di atas sungguh hati rasa terenyuh. Tak habis pikir kalau harga 2 ekor kuda lebih mahal dari 4 gadis kulit hitam. Ya itulah kenyataannya.
Itulah kisah yang kubaca di Washington Post yang ditulis Andrew Stephen, yang punya rumah di Georgetown, dan ketika anaknya yang berumur 16 tahun ada tugas sekolah, dan ternyata menemukan di perpustakaan lokal tentang sejarah yang (sengaja) terlupakan dari kota tua Georgetown, yaitu tentang Perbudakan dan terusirnya kaum kulit hitam dari Georgetown.
Budak-budak kulit hitam menjadi alat perekonomian dalam perkembangan kota Georgetown kala itu. Mereka tinggal di basement-basement sempit di rumah tuannya, atau di penampungan – penampungan kumuh. Tenaga mereka di peras, diperjual belikan untuk membangun rumah, jalan, jembatan, pertamanan, atau bekerja di sektor industri dan perkebunan. Tapi ironisnya mereka secara sosial ditolak keberadaan dan hak-haknya sebagai manusia pada umumnya. Banyak peraturan-hukum yang membuat mereka selalu dalam ketakutan dan tertekan. Dilarang berkumpul lebih dari 7 orang, Hukum cambuk bagi yang kedapatan mandi di sungai Potomac, Melihat Adu Jago, atau Bermain Layang-layang. Bahkan untuk ke gereja mereka hanya diperbolehkan datang di hari Sabtu, dan itupun tempatnya terpisah dari kaum kulit putih.
Di jaman sekarang, Georgetown telah menjadi daerah elit yang sebagian besar dihuni orang kulit putih. Banyak politisi, selebrities, sosialista, membeli rumah di sana. Rumah – rumah di sana kini berharga jutaan dollar, melonjak pesat dari harga 3000an dollar tahun 1800an. Rumah – rumah tua dengan suasana asri dan tenang itu ternyata menyimpan banyak kisah memilukan. Kisah terusirnya komunitas kulit hitam dari kota Georgetown.
Kembali ke belakang, setelah Presiden Abraham Lincoln membebaskan Perbudakan di tahun 1862, banyak kaum kulit hitam yang mendiami Georgetown mulai berdikari.Mereka menjadi buruh kasar diberbagai sektor bisnis kala itu. Sebagai budak yang sudah dibebaskan, walau hak-haknya masih dibatasi, mereka bisa beraktifitas secara sosial maupun ekonomi. Mereka bisa berkumpul, mempunyai gereja sendiri, tidak dibatasi khusus hari Sabtu saja, juga bisa bekerja dengan mendapatkan upah.
Lalu datanglah bencana ekonomi yang membuat nasib kaum hitam jadi kelam. Sungai Potomac tertimbun lumpur akibat banjir dari hulu Cheaspeake dan Ohio Canal sehingga industri pelabuhan Georgetown lumpuh. Banyak bisnis seperti pengolahan tepung, pabrik kertas, gudang tembakau dan lain lainnya bangkrut. Orang kulit hitam banyak kehilangan pekerjaan dan jadi homeless. Sebagian dari mereka pindah ke daerah lain. Dan ketika terjadi Depresi Besar Ekonomi yang melanda Amerika kaum kulit hitam makin terdesak karena profesi “buruh kasarnya” direbut oleh kaum kulit putih.
Waktu berjalan, kaum kulit hitam di kota Georgetown makin terdesak, ribuan pekerja pemerintah kulit putih di era Presiden FDR datang memenuhi Washington DC. Hal ini menciptakan pasar properti dan perumahan yang mendorong harga rumah di Georgetown menjadi tinggi. Banyak warga kulit hitam kehilangan rumahnya entah itu dijual atau tak mampu lagi memilikinya.
Pukulan telak kembali terjadi. Bagi kalangan miskin kulit hitam yang menempati rumah-rumah kumuh, dengan adanya undang-undang yang dikeluarkan pemerintah tentang “Membuat Suasana Asri Kota Georgetown” dan “Melindungi Cagar Budaya dan Tempat Bersejarah” maka secara otomatis mereka tersingkir. Populasi orang kulit hitam di Georgetown menyusut drastis. Tercatat pada tahun 1970an komunitas kulit hitam tinggal 250an orang, merosot dari 3200 orang pada tahun 1870an.
Aku berjalan sepanjang jalan M street yang membelah kota Georgetown. Masih terlihat jejak bangunan kota tua seperti dalam film-film koboi jaman dulu. Bedanya sekarang bangunan itu telah disulap menjadi toko-toko yang mencirikan simbol kemodern-an. Sebut saja Lacoste, Banana Republic, Benneton dan lainnya. Demikian pula beberapa bangunan tua dijadikan restoran – restoran mewah langganan orang-orang penting di Ibukota, mulai dari Presiden US, Senator, eksekutif dan para pelobi tingkat tinggi.
Di musim panas, banyak turis lokal maupun mancanegara mengunjungi kota tua tersebut. Mereka ingin menikmati suasana kota tua yang asri dan teduh dengan pepohonan di sepanjang jalan, juga dengan dermaga pelabuhannya yang mempunyai pemandangan indah ditepian sungai Potomac. Dalam hati “nggak nyangka” kalau jaman dulu orang-orang kulit hitam dilarang mandi di sungai itu dan bermain layang-layang.
Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap di Amerika
Posted by Janu Jolang at 12:01 AM 0 comments
Friday, June 17, 2011
KREATIFNYA PENGEMIS – PENGEMIS INDONESIA
Seperti pernah kubandingkan, pengemis di Amerika tak ada seujung kukunya dengan pengemis di Indonesia. Pengemis di Jakarta tak pernah 'mati-gaya' selalu ada cara-cara baru dalam mengemis.
Salah satunya yang membuat jantungku berdebar – debar adalah seorang yang bertampang “brengos”, masuk ke dalam bis, dan “berlagak” seolah-olah kriminal yang baru saja keluar dari penjara.
Dia bilang begini kepada penumpang bis:” Para penumpang bis yang budiman, saya sebetulnya malu mengatakan ini kepada Anda sekalian. Hari ini saya barusaja keluar dari penjara Cipinang dan saya ingin pulang ke kampung saya di Serang. Terus terang saya tak punya bekal dan (sambil mengehunus gagang pisau yang diselipkan diantara celananya) saya meminta dengan hormat saudara bisa sedikit menolong saya sekedar beramal untuk ongkos saya pulang ke Serang. Mohon perhatian saudara saudara sekalian, saya pernah merasakan betapa keras dan susahnya hidup di penjara, jadi jangan bikin saya terpaksa menggunakan kekerasan dan kembali lagi ke penjara.”
Wooow dalam hati aku “keder” juga mendengar ancaman si pengemis yang tampangnya “preman” itu. Terpaksa kurogoh saku dan kurelakan jatah rokokku hilang. Menurutku, cara dia mengemis sungguh kreatif. Kreatif bro ... cuma ini udah “ngeganggu” ketentraman sosial. Kita-kita merasa terintimidasi dengan tingkah polahnya.
Dilain waktu ketika aku naik KRL jurusan Beos, ada seorang pengemis tua yang kehilangan anggota tubuhnya dari lutut ke kaki. Dengan dibalut perban yang seolah-olah masih berdarah, pak Tua itu merangkak di lantai kereta sambil menghiba-hiba kepada penumpang. Peran dia sebagai “mantan” Penderita Kusta -- sangat mengena dihati penumpang. Herannya, pengemis serupa kutemukan juga di perempatan lalu lintas, dan tempat keramaian lainnya. Peran yang mereka tampilkan “seragam”, membuat para dermawan merasa iba sekaligus jijik melihat luka yang masih berdarah (dan jangan-jangan menular).
Memang kata temanku Rohman, Indonesia adalah surganya para pengemis. Aku sampai kaget mendengar bayi yang disewakan 75. 000 rupiah perhari buat mengemis, juga orang buta yang bertarif 150.000 rupiah perhari. Dalam hatiku bertanya, “Modal awalnya aja sudah 75.000 atau 150.000 rupiah. Lantas si pengemisnya dapat berapa?”
Dan makin kaget aku dibuatnya ketika Rohman mengatakan bahwa pengemis orang buta bisa bikin antara 500.000 sampai 800.000 rupiah seharinya. “ Wah kalo dirata-rata 600.000 ribu dan “ngemis” 25 hari, berarti pendapatannya 15 an juta rupiah sebulan. Ngalah-ngalahin pegawai negeri dong?”
“ Iya. Ada mafianya, ada yang mengkoordinir. Mereka punya daerah masing-masing. Tiap pagi mereka di drop dan malamnya di jemput. Jangan harap bisa ngemis di perempatan Coca – Cola kalau nggak ada lampu hijau dari preman si empunya daerah situ.”
Aku masih terheran-heran dalam hati mendengar penjelasan si Rohman. Jujur penghasilan pengemis di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan upah minimum rata-rata di negara Amerika. Di negara bagian Virginia, seorang bekerja full time 8 jam dibayar $ 7.25 perjam, dan hanya mendapatkan USD 58 sehari. Seminggu mendapat $ 290, dan sebulan $ 1160. Dengan pajak pendapatan yang bervariasi antara 10 sampai 20 an persen. Kita bisa mengantongi pendapatan bersih sekitar $ 1000 an alias 9 juta rupiah (kurs 1 dollar setara 9000 rupiah).
Pantesan pengemis Indonesia kreatif karena selain pendapatannya besar, saingannya banyak. Mereka juga berfikir tentang inovasi ketika satu cara sudah nggak mendatangkan duit lagi. Dahulu kala ketika aku masih kecil, pengemis datang ke rumah – rumah meminta sedekah dengan tulus. Jika tak ada uang didapat, mereka mau menerima makanan sisa, atau baju-baju bekas. Pengemis sekarang “boro-boro” mau dikasih baju bekas, maunya hanya uang.
Dahulu pengamen hanya memakai kecipring, ketipung dari kaleng, atau kotak kayu dengan tiga senar dari karet. Dan ketika kita bilang “sanese mawon” atau menolak secara halus, mereka segera pergi. Tetapi sekarang, pengamen lebih “garang”. Ketika dikasih 100 rupiah, duit itu dilemparkan kembali kepada kita disertai umpatan dan caci maki.
Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap di Amerika
Posted by Janu Jolang at 1:22 AM 1 comments
Thursday, May 19, 2011
PERILAKU BINATANG
Hari ini aku ngobrol dengan Wang Chuan si delivery man tentang perilaku binatang.
Dalam sebuah penelitian ilmiah ternyata binatang ( dalam percobaan ini seekor anjing) punya pemahaman kalau diberi latihan yang berulang.
Ketika sebuah lonceng dibunyikan, berarti itu tanda makan tiba. Si anjing akan bereaksi dengan ekspresi girang, air liur menetes, dan perut keroncongan. Bahkan ketika bel itu dibunyikan dan makanan tidak datang si anjing tetap berekspresi kegirangan, air liur menetes dan perut keroncongan. Dalam hal perilaku anjing dengan lonceng yang dibunyikan, konon hasil penelitian itu diaplikasikan oleh agen-agen rahasia atau militer sebagai alat teknik mencuci otak, propaganda atau mendoktrin seseorang.
Demikian pula ketika sebuah peternakan babi yang berisi betina-betina unggul, dan kemudian didatangkan seekor pejantan babi tangguh. Dalam radius puluhan meter si babi betina itu bisa mencium kedatangan si babi jantan dan bereaksi secara hewani dengan mondar mandir nggak karuan, gelisah, dan berahi mulai meningkat. Dalam hal merangsang berahi, hasil pengamatan itu konon dipakai oleh salah satu perusahaan parfum untuk menciptakan parfum yang bisa merangsang dan menarik lawan jenisnya.
Aku lantas teringat sebuah buku, Sofie World yang dalam satu bagiannya menceritakan tentang seekor ayam dan seorang perempuan.
Setiap pagi si perempuan itu membawa ember yang berisi pakan untuk si ayam. Ketika mendengar langkah kaki dan bunyi ember, si ayam berkotek kegirangan tak sabar. Hal itu berulang dan menjadi kebiasaan hingga suatu hari si perempuan itu membawa ember tetapi tidak berisi makanan melainkan sebilah pisau. Tak lama kemudian si ayam itu menemui ajal karena disembelih untuk hidangan makan malam.
Sungguh cerita itu memberi kesan dalam bagiku. Apa yang selama ini kita pahami sebagai sebuah kenyataan, sebuah kebenaran, ternyata ada batasnya. Kadang kita mendasarkan keyakinan-keyakinan kita hanya pada pengalaman empiris yang kita alami saja, tetapi kadang kita lupa bahwa sebuah kebenaran bisa datang dari mana saja. Bisa dari buku, pengalaman orang lain, atau peristiwa yang tidak kita alami sekalipun. Kalau kita percaya Tuhan, kadang sebuah kebenaran akan ditunjukkan lewat kuasaNya.
Dalam hal cerita ayam dan perempuan, bagiku pribadi : sebuah pikiran yang selalu terbuka dan selalu kontemplasi adalah cara kita bisa mencapai sebuah pencerahan hidup....
Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap Di Amerika
Posted by Janu Jolang at 2:24 AM 0 comments
Saturday, April 23, 2011
OJEK SETAN
AMAT SUSAH MENCERITAKAN LELUCON YANG BAGI AKU (ORANG INDONESIA) LUCU – TAPI TIDAK LUCU BAGI ORANG AMERIKA
Tadi malam aku online di Yahoo Messenger dengan teman-teman lama yang berada di Indonesia. Dalam chatting 'keroyokan' itu kita 'ngobrolin' cerita hantu yang mengerikan. Si Engki teman SMA-ku dulu itu memang orang yang suka bercerita, entah itu cerita jorok, lucu, atau yang sedih, si Engki senang mendramatisir cerita-ceritanya.
Tentang cerita hantu, si Engki cerita kalau akhir-akhir ini di Jakarta terutama di sekitar pasar Minggu sedang heboh berita OJEK SETAN yang bergentayangan. Ojek Setan itu sukanya memangsa ibu-ibu pada pagi hari menjelang subuh, selesai mereka belanja dari Pasar Minggu. Ciri Ojek Setan itu mengendarai Honda bebek buntung, 'ngetem' di tempat gelap, dan bunyi knalpotnya seperti peluit atau mirip suara penjual kue putu. Ojek Setan ditengarai keluar hanya kalau cuaca gerimis atau hujan.
Alkisah seorang ibu baru pulang belanja dari Pasar Minggu dan 'nyetop' si Ojek Setan. Subuh itu memang gerimis, berkabut, dan udara dingin. Setelah si ibu naik motor, si Ojek Setan langsung membawa motornya dengan kencang, tancap gas, terus tancap gas - sampai pol. Si ibu was-was ketakutan, “Bang, bawa motornya jangan kenceng-kenceng, dong”.
Si Ojek Setan tak peduli, biar jalan licin dia tetap tancap gas. Si ibu makin panik, konsentrasinya terpecah antara barang belanjaan dan keslamatannya. Dalam ketakutan si ibu bilang, “ Masya Allah!!, Bang pelan – pelan napa”
Si Ojek Setan itu tidak menggubris teriakan si ibu, Ia tetap melajukan motornya dengan kencang. Akhirnya si ibu saking jengkel bercampur takut mencubit pinggang si tukang ojek. Tak disangka-sangka si tukang ojek itu memperlambat laju motornya. Si ibu sedikit lega. Ia kemudia menepuk punggung si tukang ojek sambil menunjuk ke depan jalan untuk mengisyaratkan gang di depan belok kiri. Dalam hati si ibu membatin jangan-jangan si tukang ojek ini memang 'budeg' alias tuli.
Tak lama kemudian akhirnya motor sampai juga di tujuan. Barangkali si ibu tidak mengetahui kalau Si Ojek Setan memang suka beraksi ketika si korban sudah di depan rumahnya. Dan ketika si ibu sudah turun dari motor dan menanyakan kepada si Ojek Setan,”Berapa ongkosnya bang?”.
Si tukang ojek hanya diam saja, ia hanya mengisyaratkan pakai bahasa jari dengan menunjukkan 3 jarinya berulang – ulang kepada si ibu. Si ibu membatin jangan-jangan dia bisu juga. “3000 perak ongkosnya, bang?”, tanya si ibu lagi.
Si Ojek Setan mengulang isyarat 3 jarinya berulang – ulang tanpa ekspresi wajah samasekali. Si ibu kemudian mengeluarkan uang 10.000an dan menyerahkan kepada si tukang ojek. Setelah menerima uang dari si ibu, tanpa ba-bi-bu si tukang ojek langsung ngacir tancap gas.
Tinggal si ibu bengong, dan mengumpat, “DASAR... OJEK SETAAAAN!!!!”
Ha..ha...ha...ha. Cerita si Ojek Setan (bagiku) lucu. Ada sebuah pemahaman yang dibelokkan. Kalo orang Jogja bilang 'Plesetan”. Berawal dari persepsiku tentang kengerian sosok setan dan tiba-tiba berubah menjadi kekonyolan perilaku si tukang ojek yang 'ngemplang' duit kembalian dan dikata-katai 'setan' oleh si ibu.
Sungguh menceritakan lelucon di atas kepada orang Amerika amatlah susah. Barangkali mereka tak bisa memahami dimana letak kelucuannya. Mereka tidak takut setan karena kebanyakan orang Amerika tidak percaya setan. Juga tentang kelucuan umpatan si ibu menggunakan kata 'setan' juga tidaklah umum di sini. Biasanya mereka mengumpat pakai kata-kata: Mother f***ker, f*ck, shit, bitch, damn, bastard, dll. Lebih baik lelucon ini keceritakan saja kepada sesama orang Indonesia.
Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap Di Amerika
Posted by Janu Jolang at 3:12 PM 0 comments
Thursday, March 10, 2011
KUDA LARI
Hari ini aku mendengar kabar dari Salwa, kalau kamar 127 ditinggal kabur penghuninya. Kebetulan yang menempati Melly anak Indonesia. Salwa ditanya oleh Mrs. Linda, manager gedung yang galak tentang keberadaan si Melly. Salwa yang kenal baik dengan si Melly menjawab tidak tahu. Untuk urusan minggat, Melly tak pernah menyinggung-nyinggung sedikitpun. Gosipnya, si Melly pulang ke Indonesia.
Ketika aku berangkat kerja, memang benar kulihat dua orang pegawai apartemen sedang mengangkuti barang – barang dari kamar si Melly dan meletakkannya di trotoar pinggir jalan. Ada selimut, rak buku, tape compo, beberapa buku (kulihat salah satunya kumpulan resep masakan Indonesia), dan cd – cd dangdut koplo bajakan.
Terus terang hatiku rada was – was ketika ada anak Indonesia yang tinggal di apartemen berulah atau melakukan hal – hal yang 'nyerempet – nyerempet' bahaya. Bukannya apa – apa, statusku yang sesama orang Indonesia dan sekaligus pendatang gelap membuatku ketakutan kalau – kalau ada aparat yang menyelidik lebih jauh.
Istilah “kuda lari” untuk sebutan minggat tanpa bayar sudah berulangkali dilakukan oleh anak – anak Indonesia. Kadang aku tak habis mengerti, apakah mereka – mereka itu tidak memikirkan dampaknya bagi kita – kita yang masih tinggal di apartemen. Masuk akal jika pihak manajemen gedung akhirnya mencap kita sebagai orang -orang yang bercitra buruk, curang, atau kriminal. Ujung - ujungnya, setiap langkah dan gerak – gerik kita selalu diawasi dengan tatapan mata curiga.
Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap di Amerika
Posted by Janu Jolang at 6:31 AM 0 comments
Saturday, February 5, 2011
NO .... NO AMBULANCE
Jam 2 siang di depan apartemen kulihat bu Joko jalan terpincang-pincang dituntun mbak Supiyati sambil meringis kesakitan. Ketika kutanyakan, bu Joko menjawab,” Oalaah kaki saya barusan kejepit pintu bis dan jatuh kesleo mas...”
Kulihat pergelangan kaki bu Joko memang bengkak. “ Nggak dibawa ke Rumah Sakit bu Joko?”, tanyaku. “ Ah diparem saja nanti juga sembuh kok, mas.”, kata bu Joko.
“ Ini gara-gara supir bisnya teledor, wong kaki saya belum turun semua pintunya sudah ditutup. “, tambah bu Joko.
Mbak Supiyati pun menimpali, “ Supir bisnya memang brangasan, jelalatan.”
Mbak Supiyati lantas melanjutkan ceritanya tentang si supir bis yang mau menelpon ambulance," Should I call ambulance?" kata si supir bis dengan cengengesan.
Bu Joko langsung teriak sambil menahan sakit, " No ... no.. No ambulance."
Sungguh jawaban itu bagi orang Amerika (kebanyakan) dirasa agak aneh, kaki bengkak dan kesakitan kenapa bu Joko malah menolak dipanggilkan ambulance. Bagi mereka, urusan memanggil ambulance dalam keadaan emergency adalah hal yang umum, asuransi mengcover semua biaya ambulance, paramedis dan perlengkapannya.Tapi untuk para imigran yang tidak berasuransi (apalagi pendatang gelap), urusan memanggil ambulance bisa menjadi urusan yang panjang.
Seperti diketahui, di Amerika yang kapitalis ini tidak ada istilah gratis, nothing is free in America. Untuk memanggil ambulance setidaknya kita harus membayar 800 - 1000an dollar, belum termasuk perawatan rumah sakitnya. Jadi bisa dibayangkan kalau bu Joko menolak untuk dipanggilkan ambulance -- hal itu bisa dimaklumi. Ia pasti membayangkan tagihan 1000an dollar untuk biaya kakinya yang kesleo."Mending duite tak kirimke anakku neng Jowo", kata bu Joko dalam bahasa Jawa.
Benar, kalau ngomong soal kegesitan petugas ambulance maupun fire fighter di Amerika,tak usah diragukan lagi mereka mempunyai standar tinggi dalam hal pertolongan pertama dan penyelamatan. Dua menit pertama (setelah panggilan) adalah waktu yang sangat - sangat krusial. 5 menit adalah target utama yang harus dicapai para petugas ke TKP. Batas waktu maksimal untuk panggilan 'emergency' entah itu ambulance atau firefighter adalah dibawah 10 menit.
Mengacu dari standar itu, pernah kubaca di surat kabar, sebuah developer perumahan yang merencanakan akan membangun komplek perumahan baru ditolak oleh dewan kota karena setelah diteliti ternyata petugas ambulance dan pemadam kebakaran tidak bisa menjangkau daerah tersebut dalam waktu 10 menit.
Berbeda dengan di Indonesia, Jakarta khususnya, sering aku melihat berita di tv, banyak nyawa melayang gara-gara tidak ada petugas ambulance datang. Boro-boro datang, ini sudah dianter becak ke Rumah Sakit, tapi malah ditolak karena si korban nggak punya duit. Temanku Zuhri yang keserempet Metro Mini dibiarkan tergeletak di pinggir jalan, dengan darah mengucur dari tubuhnya selama 40an menit -- sampai pak polisi datang. Dan ketika tubuhnya digeletakkan di bak terbuka nyawanya sudah tak tertolong lagi.
Lain hari ketika terjadi kebakaran di komplek permukiman umum, Petugas Pemadam Kebakaran malah sibuk berantem sama warga gara-gara rebutan selang, telat datang, atau air pompanya 'asat'. Ya ujung-ujungnya duit. Untuk membiayai Petugas Paramedis dan Pemadam Kebakaran yang profesional dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Khusus armada ambulance beserta paramedisnya, untuk sebuah kota atau county di sini membutuhkan dana 500an ribu dollar. Duit itu digunakan antara lain untuk: Regular payroll, Overtime, Life insurance, Professional services – dispatch, Equipment rentals, Travel, meetings & training, dll.
Nah sekarang giliran penutupnya yang nggak enak didengar: Kapan kita mempunyai fasilitas layanan ambulance beserta paramedisnya, at least dalam standar yang minimal. Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan.
Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap Di Amerika
Posted by Janu Jolang at 3:05 PM 0 comments
Monday, January 17, 2011
CerpenRantau: Cacat Cacat Cinta
Keheningan menyimpan suasana mencekam malam itu. Sayup-sayup dari dalam rumah terdengar isak tangis Yuli. Ia sedang meratapi tubuh kekasihnya yang tengah meregang nyawa. Sudah pukul 3 pagi, tiba-tiba petugas ronda dikejutkan oleh raungan kesetanan dari rumah itu. Mereka bergegas mencari tahu.
“Jangan tinggalkan aku sayang... Cintaku hanya untukmu,” tangis Yuli.
Romi barangkali tak mendengar, Ia menggelepar di atas tempat tidur luks di kamar utama. Kamar itu khusus dirias Yuli layaknya kamar pengantin. Bau wangi kembang setaman, asap dupa ratus, minyak cendana, dan alunan lirih gending “Kebo Giro” jadi ritual terakhir yang mengantarkan mereka ke pelaminan abadi. Darah mengucur dari leher Romi laksana semburan minyak keluar dari perut bumi. Matanya membelalak tak bisa bernafas.
“ Kenapa kamu tega melakukan itu semua, Romi? Hidupku tak lagi berarti tanpa kehadiranmu,” tangis Yuli.
Jujur, andai setiap pasangan kekasih -- paling tidak sekali tempo pernah terlintas dalam pikiran -- menginginkan kekasihnya cepat mati, tidak demikian dengan Yuli. Ia seorang yang penuh kasih dan telaten. Rasa memilikinya sangat kuat. Boneka lusuh sejak masa kanak-kanak, bulu – bulu ayam dalam lembaran buku, surat – surat kumal, juga puisi dan catatan harian dimasa kecil, semua masih dirawat dan tersimpan rapi di lemari. Yang agak menjijikkan dan bikin heran adalah koleksi bekas aneka luka (mungkin kejadiannya sudah bertahun-tahun lampau) yang disimpan dalam sebuah kotak terkunci. Ada darah yang sudah mengering pada perban, tensoplas, sarung bantal, dan bercak – bercak darah di saputangan. Barangkali semua luka-luka itu menyimpan cerita tersendiri.
Yuli jauh dari tipe seorang narsis yang sibuk mencintai diri sendiri atau selalu membela diri, atau pribadi dengan 1001 alasan. Ia pribadi yang selalu menebar kasih sayang di sekelilingnya, membawa aroma keibuan, dan tahu apa yang diinginkan orang lain.
Petugas ronda memanggil dengan suara keras di depan pintu. Mieke, sahabat Yuli sejak masa kanak-kanak sekaligus asisten dalam merias pengantin terbangun geragapan. Instingnya segera menuntun ke kamar utama. Hati Mieke tercekat ketika dilihatnya kedua kekasih itu bersimbah darah.
Romi dan Yuli adalah pasangan serasi. Kekasih sekaligus partner bisnis dalam menjalankan usaha salon kecantikan, rias pengantin, persewaan baju, dan dekorasi pengantin. Mieke tak percaya mereka melakukan tindakan nekat seolah terinspirasi tragedi Romeo and Juliet. Apakah cinta mereka seheboh dengan kematian itu sendiri? Apakah cinta sejati harus berakhir dengan kematian? Dan hanya disebut cinta jika itu berakhir dengan kematian?
Kenapa mereka bunuh diri?
Petugas ronda akhirnya masuk rumah, “ Ada kejadian apa mBak Mieke?”
Mieke tak kuasa menjawab, tangannya menunjuk ke arah tempat tidur berselambu ungu dimana kedua kekasih itu meregang nyawa..
“ Masya Allah ...nDan. Ada pembunuhan. Tapi ...sepertinya mereka masih hidup, nDan,” seru petugas ronda pada atasannya.
****
Dua tahun lalu, Mieke mengenalkan Romi pada Yuli. Romi salesman seragam sekolah, ketika itu mau potong rambut.
Disela-sela perbincangan yang hangat, Mieke memberitahu Yuli kalau Romi bisa mencarikan perlengkapan pernikahan yang berkwalitas dengan harga murah. Romi tahu dimana mencari beskap, jarik, dodhot, selop, keris, dan aneka keperluan pengantin lainnya. Ramah, tampan dan suka menolong itulah yang membuat Yuli jatuh hati.
Dan cinta Yuli tidak bertepuk sebelah tangan, Romi menerimanya dengan sukacita. Persemaian cinta mereka tumbuh dengan pesat seiring usaha yang mereka jalankan bersama. Jadilah mereka berpacaran sekaligus berpartner bisnis. Yuli yang telaten sekaligus ahli potong rambut dan rias pengantin, didukung Romi yang ramah, supel dan ulet. Keduanya mampu mendatangkan pelanggan baru dan berhasil mengembangkan usaha hingga dikenal luas.
Tubuh Yuli lemas, darah mengucur dari nadi tangannya. Ia merebahkan kepala di dada Romi sambil tangannya menutup luka di leher kekasihnya dengan kain kafan. Barangkali itu akan menjadi koleksi aneka luka terakhir kalinya.
Yuli meracau tak karuan, “Aku ... tak pernah memanggilmu cahaya bintangku, .... matahariku, atau ... pelangiku. Itu hanya .... tipuan mata, .... keindahan penglihatan saja“
“ Lagipula..... itu hanya cocok untuk wanita yang mendayu-dayu, .... sok romantis bagiku. .... Oalaaah ... Romiiiiiiiii...., Kowe luwih gagah seka Janoko!!!”
Tubuh Yuli menggigil kedinginan. Denyut nadinya melemah. Mieke segera mengambil jarik dari lemari dan menyelimutkannya.
“Kenapa kau lakukan ini, Yul.” tangis Mieke.
Mieke merasa bersalah. Kalau ia tidak menceritakan kepada Yuli bahwa Romi memadu kasih dengan mbak Endang perias manten saingan bisnisnya, maka tragedi ini tak bakalan terjadi. Sungguh niatnya baik, ingin mengakurkan mereka kembali. Tapi Mieke tak menyangka Yuli yang telaten, perhatian, keibuan, dan rasa memilikinya sangat kuat itu malah bunuh diri. Semua yang ada dihadapan Mieke kini masih teka-teki.
Kenapa Yuli berpikiran sempit? Bukankah cinta hanya sekedar penyakit? Ibarat influenza yang bisa menyerang siapa saja, kapan saja, membuat lemah tak berdaya. Dengan berlalunya waktu tubuh akan menyembuhkannya sendiri. Persangkaan kesepian dan matinya impian membuat hati dan jiwa Yuli menolak cinta – cinta lain yang akan datang dikemudian hari. Bahkan ia menolak kehidupan itu sendiri. Seolah hidup sudah tak berarti lagi. Bukankah kalau mau, Yuli bisa mendapatkan laki-laki lain dengan mudah? Anak-anak muda pelanggan salon banyak yang tergiur dengan kemolekan, kekayaan, dan ketelatenannya, tapi Yuli malah menyodorkan anak-anak muda itu kepada dirinya.
Dan Miekelah yang riang gembira -- walau kewalahan melayani mereka.
Selintas timbul pikiran di benak Mieke, mungkinkah Yuli membunuh Romi? Suatu hari, waktu berangkat remaja, Yuli pernah berkeluh kesah bahwa dunia percintaannya tak seberuntung mbak Yuni kakaknya. Ia selalu dipermainkan lelaki. Mereka tak pernah serius mencintainya. Dugaan itu menguat ketika Romi -- akhirnya mengakui kepada Mieke, bahwa sebenarnya Ia tak mencintai Yuli. Romi juga mengakui sebagian uang Yuli digunakan untuk usaha barunya bersama mBak Endang.
Dasar laki-laki buaya, penipu!!
“Apakah ini takdir Tuhan? Cinta tak pernah datang padaku,” tangis Yuli.
“ Ah ndak usah mikir kedawan ta Yul, nikmati saja apa yang sudah diberikan Tuhan kepada kita,” saran Mieke.
Alkisah sepanjang hidupnya tak seorang lelakipun mencintai Yuli secara tulus hingga datanglah Romi seolah mengubah nasib percintaannya. Dunia menjadi penuh warna, mejikuhibiniu hingga jutaan warna, tidak hitam putih lagi. Dalam puisinya Yuli menuliskan dengan hati-hati perasaannya agar tak terkesan cengeng dan mendayu-dayu:
Kau mengisi jiwaku bagai malam,
yang selalu menyelimutiku
Malam yang dinginnya bisa kurasakan,
sampai ke tulang belulangku
Andai pagi berselimut hujan,
engkau tetap mengisi batinku
Bagai rintiknya,
dalam setiap gerak langkahku
Andai mentari kan tenggelam,
aku tak khawatir kehilangan terikmu, karena
Aku masih bisa merasakan,
kehangatan yang terpantul dari tanah yang kupijak
Serombongan polisi datang menggunakan mobil kijang. Mereka langsung menyebar di seputar TKP. Ada yang membawa kantong mayat, kamera digital, peralatan Olah TKP, dan pistol yang siap menyalak. Polisi menemukan sepucuk surat di samping tubuh mereka yang sudah tak bernyawa.
Surat kepada ibunya berbunyi:
Maafkan aku ibu karena telah membuang harapan disaat hidup kita mulai berkecukupan.
Ingatkah ibu ketika ayah si Agus mendamprat kita gara-gara disangkanya aku mengajak Agus pacaran? Masih ingatkan ibu ketika Pak Japar menghardik kita dengan sebutan: Dasar gembel! Dasar miskin! Semenjak itu aku bersumpah bahwa suatu saat kita akan lebih kaya dari mereka.
Sepeninggalanku, usaha Salon Kecantikan & Rias Pengantin kupasrahkan pada ibu. Biarlah Mieke meneruskan urusan sehari-hari. Dia tahu apa yang mesti dilakukan. Aku berharap rias pengantin dan salon kecantikan ini bisa lebih maju dan terkenal.
Jangan tanyakan kenapa aku bunuh diri bu. Ini sudah pilihanku. Kalau tahu hidup ini sebuah permainan yang tak mungkin bisa kumenangkan, ingin rasanya aku tak usah dilahirkan saja. Aku tak takut mati, melainkan lebih takut dikecewakan cinta. Kepedihan yang kurasakan tak bisa kutanggung lagi. Kenapa Tuhan tak pernah menghadirkan seseorang laki-laki yang mencintaiku di dunia ini? Mencintaiku dengan tulus. Mencintaiku apa adanya. Kini, biarlah aku mengikuti Mas Romi ke alam baka. Barangkali kita bisa bertemu lagi sebagai sepasang kekasih yang abadi dan seutuhnya.”
*****
Polisi menemukan keris karatan berluk 9 berlumur darah tergeletak di permadani dan mengamankan sebagai barang bukti. Kemudian mereka menanyai saksi-saksi yang ada di TKP.
“Nama?” tanya petugas kepolisian.
“ Mieke pak polisi .... eh Moko”
“ Yang tegas; ini saya catat,” kata pak Polisi.
“ Halaaah gitu aja kok senewen too, nama saya Moko alias Harmoko pak polisi,”
“ Apa hubungan Anda dengan mereka?”
“ Saya asistennya Jeng Yuli. Saya bersahabat sejak masih kanak-kanak.”
Tak lama petugas kepolisian bisa menyelesaikan kasusnya. Semua barang bukti dan saksi begitu gamblang, sepertinya amat mudah untuk menyimpulkan.
“Pelakunya diduga Wandu Ndan,” lapor petugas forensik dengan dialek Jawa kental kepada komandannya.
“ Apa?” tanya sang komandan tak mengerti.
Petugas lain menjelaskan,”Pelakunya Banci, Ndan,”
Petugas forensik disebelahnya menambahkan, “ Nama pelakunya Jeng Yuli alias Yulianto, Ndan! Dia lantas bunuh diri ...”
“Ooh ... Waria..... Wanita-Pria,” si komandan mengerti. Ia ngeloyor pergi sambil bergumam, “Waria dilawan ....”
Washington DC, 2010
Posted by Janu Jolang at 12:43 AM 0 comments
Thursday, January 6, 2011
BAHKAN BAYIPUN TAK KEBAL HUKUM
Kejadian menarik ini kudapatkan dari tabloid Express pagi ini 6 Januari 2011, ketika aku menempuh perjalanan kereta bawah tanah menuju Washington DC.
Dalam rubrik Eye Openers kutemukan cerita ini:
Calon bayi yang ada dalam perut istri John Coughlin tak bisa menunggu lagi pingin cepat lahir. Buru-buru sang ayah mengeluarkan mobil dan membawa ibu dan calon anak lelakinya ke rumah sakit. Dengan kecepatan tinggi -- di perjalanan -- Mr. John dikejar polisi.
Alih-alih meminggirkan mobilnya, Mr. John malah tancap gas pol sambil menelpon 911. Kejar – kejaranpun berlangsung seru.
Setelah operator 911 memberitahu polisi pengejarnya bahwa Mr. John dalam keadaan emergensi, akhirnya mereka berbalik menjadi pengawal dan mengamankan jalan menuju rumah sakit.
Bayi Kyle lahir dengan selamat enam menit setelah tiba di rumah sakit di kota Manchester, N.H.
Setelah urusannya beres, polisi yang tadi mengejar Mr. John memberikan selamat atas kelahiran putranya sambil tak lupa memberikan tiket “speeding” karena Mr. John telah menginjak gas dengan kecepatan mencapai 102 mph. Pengadilan dijadwalkan untuk hari Senin.
Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap Di Amerika
Posted by Janu Jolang at 10:27 PM 1 comments