Wednesday, January 25, 2012

BIAR KULI RANTAU YANG PENTING “BE-GAYA”

Daromes adalah sosok perantau yang unik. Lelaki usia 30an tahun asal Simalungun itu selalu punya semangat lebih, ramah, dan mudah akrab dengan siapa saja. Bekerja di Amerika adalah impiannya sejak dulu ketika ia masih di kampung walau hanya sebagai tukang cuci piring di sebuah restoran Jepang di daerah downtown Washington DC.

Yang unik darinya, setiap pagi berangkat kerja, Daromes yang berwajah bocah itu keluar dari apartemen Kampoeng Melajoe berpakaian necis ala pegawai kantoran, berjas mahal, dasi melilit lehernya, bersepatu “cetok” alias sepatu kantoran yang mengkilat, berjalan dengan lagak eksekutif muda membaur dikerumunan pekerja “white collar” Washingtonian. Di dalam kereta bawah tanah ke Union Station, Daromes sesekali membuat nyaman lehernya dengan menggeser-geser letak dasinya, bukan apa-apa melainkan untuk menarik perhatian wanita di depannya, tersenyum manis, dan wanita itu segera bisa mencium bau harum semerbak wangi dari parfum yang melekat di tubuh Daromes.

Sungguh awal mula aku tak mengira kalau Daromes adalah tukang cuci piring. Kupikir dia adalah pekerja kerah putih di kantor pengacara terpandang di Washington DC. Tapi si Oki teman sekamarku memberitahu kalau Daromes adalah “dish washer” alias Tukang Cuci Piring di restoran Itoyanagi.

Pertunjukan sandiwara setengah babak akhirnya berakhir ketika Daromes sampai di restoran, melepas jas, dasi dan sepatu, menggantungkannya di locker room, dan berganti dengan baju kerja tukang cuci piring. Lain hari, ketika dia menelpon emaknya di kampung, Daromes yang selalu rajin mengirimkan foto-foto “keren”nya itu selalu bilang bahwa dia bekerja di perusahaan Jepang, “ Aku bekerja di company Jepang , mak.” Dan emaknya yang melihat penampilan foto anaknya yang perlentepun percaya kalau anaknya bekerja pada sebuah perusahaan Jepang yang bonafid di Ibukota Amerika.

Selain itu, untuk meyakinkan emaknya, Daromes juga rajin datang ke acara Kedutaan, biasanya ketika Pejabat Negara Indonesia berkunjung ke Amerika, mulai dari Presiden Gus Dur, Megawati, sampai SBY, Daromes selalu menyempatkan foto bersama presidennya, dengan gaya yang seolah-olah “akrab” dan foto itu langsung dikirim ke ibunya di kampung. Semua tetangga yang melihat foto-foto Daromes terpajang di ruang tamu menjadi segan dan hormat. Hal seperti ini, kok kurasakan, kurang lebih sama ketika seseorang memajang pelat mobil Lemhanas, Sticker Hankam, atau memasang simbol Polisi Militer di tempat usahanya. Yaaa nilai-nilai feodal yang selalu bersandar pada Pusat Kekuasaan, suatu kondisi yang tak ingin dipandang remeh oleh lingkungan sosialnya, atau untuk menaikkan pamor dan derajat, atau bahkan untuk menghindari orang-orang yang ingin memerasnya.

Lain lagi dengan Thomas, pemuda gagah perlente asal Bandung yang selalu berpenampilan “army look” selalu bilang kepada saudara atau teman-temannya di Indonesia bahwa dia bekerja di Pentagon, pusatnya keamanan dunia. Potongan rambut Thomas yang cepak, kalau di Indonesia dikenal dengan gaya ABCD, ABRI Bukan Cepak Doang, dengan kalung Dog Tag ala militer melingkari lehernya, dan memajang foto-fotonya dengan senjata M 16 dengan pose mirip Rambo, entah senjata itu dipinjam dari mana, sungguh kalau di Indonesia penampilan ala militer ini amat mudah kujumpai di terminal-terminal, stasiun, pasar-pasar, atau tempat hiburan malam. Di sini, di Amerika, orang jarang berpenampilan “army look” kecuali memang mereka benar-benar tentara.

Nah Thomas ternyata masih terbawa “kesenangannya” berpenampilan tentara, atau barangkali menjadi tentara adalah obsesinya sejak kecil, tapi memang benar adanya bahwa Thomas bekerja di Pentagon, tapi dia “hanya” bekerja sebagai Tukang Parkir untuk mobil-mobilnya para jendral di Pentagon. Maka jangan heran ketika melihat foto Thomas yang berlatarbelakang gedung Pentagon, ya memang disanalah dia bekerja.

Lain Thomas, lain lagi Amran, ia selalu mengaku kepada teman-temannya di Indonesia bahwa ia bekerja di FBI, Federal Bureau of Investigation, Penyelidik Federal yang sangat terkenal karena kecanggihannya, juga ketangguhannya, seperti dalam film film Holywood yang sering kita saksikan di tv atau layar lebar. Amran selalu memakai kaus dan topi FBI dalam foto-fotonya. Tapi sungguh perlu diketahui, bahwa institusi FBI bagi warga Washington DC ternyata sudah menjadi simbol “tourist attractions”. Kantor pusat FBI yang berseberangan dengan Hard Rock Cafe bukanlah sesuatu yang angker, gedung itu dikelilingi oleh toko-toko suvenir yang menjual atribut FBI mulai dari kaus 3 dollar, topi, sticker, banner ataupun simbol-simbol FBI lainnya.

Dan ternyata Amran memang punya singkatan tersendiri apa itu FBI: Food and Beverage Industry, alias dia bekerja jadi tukang masak di restoran Ravi Kabob. Alih-alih memburu “serial killer” penjahat psikopat ala film Silence of the Lamb, Amran malah bikin Lamb Chop yang rasanya mak nyuuus, Lamb Kabob dengan roti naan dan salad yang kecut segar, atau Lamb Karahi alias kari kambing yang tersaji dalam wajan besi.

Apapun tingkah polah mereka, entah lucu atau “wagu”, setidaknya mereka sudah memberikan kesan “wah” pada keluarga dan teman – temannya di kampung halaman. Kulihat juga foto-foto para nanny yang bergaya di depan White House, Lincoln Memorial, atau Washington Monument, dengan jaket imitasi Fur musim dingin, sepatu boat selutut, memakai tas Louis Vuitton palsu yang dibeli di emperan toko kota tua Georgetown, dengan wajah ceria, itulah sebagian dari jati diri mereka yang ingin diakui keberadaannya. Sedikit Bergaya apa salahnya?

Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap di Indonesia

1 comment:

Dewul AnnahL said...

Lucu,....
tapi itulah manusia. lebih mengharap pandangan orang lain dari pada diri sendiri.

 
Site Meter