“Biarkata sudah 8 tahun di Amerika aku tetap saja punya kebiasaan menghitung uang (dalam hati) memakai bahasa ibuku, ji ro lu pat mo nem. Satu dua tiga empat lima enam. Rasanya mantep, nggak takut salah jumlahnya.”
Juga ketika marah karena ulah si Spanish gila teman kerjaku, sinyal gambar yang ada diotakku adalah binatang menggonggong dan keluar lewat makian dalam bahasa ibuku, Asu!!! Bukannya lantas dalam bahasa inggris, ... Dog!!! Malah lucu ...karena di sini anjing adalah binatang yang lucu dan punya derajat “kebinatangan” tinggi.
Masalah bahasa sangat komplek, menyangkut kerja otak yang rumit, juga kultur dimana kita dibesarkan. Aku jadi teringat sebuah kaos yang dikenakan orang hitam di stasiun kereta bawah tanah tentang definisi berpikir, “Think: Remembering, Sensing, Computing, Reasoning, Make decision, etc...etc.”
Ketika kita berpikir, apakah semuanya murni menggunakan bahasa ibu? Tidak juga.Kemampuan berbahasa seseorang berkembang lewat pengalaman dan pemahaman yang dari hari ke hari makin bertambah linier dengan pengalaman hidupnya. Aku pernah punya teman kerja bule yang bicara dan logatnya sama sama sempurna dalam dua bahasa, Spanish dan Inggris. Dan ternyata orang tuanya asli Argentina, dan dia lahir di Amerika.
Kata Wang Chuan si delivery man, pada kondisi yang spontan, atau seseorang mengalami sensasi psikis tertentu entah itu merasa terkejut, marah, sakit, atau gembira, orang cenderung kembali kepada bahasa ibunya. Bahasa pertama yang tertanam dalam otaknya dan telah terkoneksi dengan memori dasar yang pertamakali dialami. Aku jadi teringat lagu lawas Adie Bing Slamet yang populer di usia-usiaku, Mak Inem Tukang Latah (Eh... copot ..copot)
Ketika hal itu kutanyakan secara iseng kepada mBak Marmi, dan sebetulnya aku kurang kerjaan juga sehingga membuat mBak Marmi tersipu-sipu. Aku menjadi agak nggak enak hati.
Bukannya apa-apa, aku hanya penasaran tentang mBak Marni yang bahasa Inggrisnya terbata-bata (bukan maksud menghina) dan mempunyai suami orang hitam Amerika.
Sungguh aku merasa berdosa setelah menanyakan: Apakah dia masih menggunakan bahasa ibunya ketika bercinta dengan suaminya? Bukankah kata si Wang Chuan kalau kita mengalami sensasi psikis yang “nikmat” tentu akan berpulang pada bahasa ibunya? Tapi dalam hal ini mBak Marmi sudah mengalami akulturasi budaya? Juga bahasa?
Jawaban mBak Marmi begini,” Halaaah ana-ana wae pitakonane, dik.” (Halaaah ada-ada saja pertanyaannya, dik)
Jujur dalam hati tidak bermaksud “porno” atau pelecehan sexual, aku cuma ingin membandingkan antara kata-kata: Harder dengan Sing Cepet, I'm coming dengan Enak gilaaa. Mana yang spontan keluar dulu dari mulutnya.
Aaaah ..... karena aku tetap menghitung uang dalam bahasa ibuku, juga kandidat Doctor Mr. Wang Chuan berkata seperti itu. Maafkan aku mBak Marmi ....
Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap di Amerika
Wednesday, February 15, 2012
TENTANG BAHASA
Posted by Janu Jolang at 12:48 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment