(Terbit di Kompas.com, Jumat, 27 April 2012 )
Nyoman memutuskan pindah ke Hawwai, ia ingin mencari suasana baru setelah 13 tahun tinggal di New York. Ia sudah bosan dengan cuaca kota New York yang berangin dan beku di musim dingin. Ia juga kini jenuh dengan hiruk pikuk dan bunyi klakson mobil terjebak kemacetan yang memekakkan telinga, juga ketergesaan para Newyorker yang ditemui di sepanjang jalan. Raut muka mereka penuh kecemasan, terburu-buru seolah bursa saham Wall Street mau merampas uangnya, panggung Broadway tak punya lagi tempat duduk tersisa, dan rumah-rumah mode telah kebanjiran pengantri fanatik demi rancangan terbaru musim semi untuk segera dikenakan entah di Time Square, Central Park, Carnegie Hall, atau di klub-klub eksekutif Manhattan.
Kala malam ketika orang-orang pulang kerja menggunakan kereta bawah tanah -- wajah-wajah mereka tampak kuyu, seolah jiwa-jiwa sekarat yang kehilangan cahaya hidupnya. Sungguh Hutan Beton itu mampu menyandera jiwa-jiwa mereka untuk dijadikan zombie demi memperpanjang mata rantai makanannya.
Nyoman sudah tak tahan lagi berdiri di belakang sushi bar. Apa yang pernah diajarkan Akira tentang keindahan memotong ikan, membuat Nigiri dan Sashimi, dan kemudian menatanya dengan indah dalam piring-piring keramik, semua itu merupakan sebuah hasrat sekaligus kesabaran diri. Kini semuanya tak berarti lagi. Suara printer yang berderit mengeluarkan tiket order didengar Nyoman sangat memekakkan telinga dan memicu rasa muaknya. Sebaliknya, suara sirine polisi, ambulan, dan pemadam kebakaran yang dulu dibenci, yang meraung-raung sepanjang hari di penjuru kota New York, kini didengar Nyoman seperti suara: Hawaii... Hawaii... Hawaii, sebuah panggilan gaib yang membujuknya tinggal di sana.
+++++
Alo-ha Ha-waii, suara merdu seorang gadis Polinesia menyambut kedatangan Nyoman sambil mengalungkan Lei, bunga tropis warna warni ke lehernya. Selamat Datang di Hawaii. Dan udara pantai segera tercium bercampur butiran lembut pasir memenuhi paru-parunya. Suasana damai segera terasakan dalam kehangatan pagi sambil menikmati matahari terbit di pinggir pantai, seperti kebiasaannya dulu waktu masih di Bali.
Di Kailua Nyoman menemukan kembali masa kecilnya, berbaring di pantai sambil memandang air laut yang berwarna biru cerah hingga menggradasi sampai putih jernih. Atau memandang dengan takjub pelangi raksasa yang sering muncul diantara gunung dan pantai, ia ingin mengejar pelangi itu dengan skuter air dan menerobos di bawahnya.
Waktu berjalan pelan di Kailua, seperti pemalas yang memicingkan mata lantas tertidur kembali karena terbuai angin sepoi-sepoi diantara pohon kelapa dan segelas pina colada. Hidup serasa di taman surga -- tak lagi dikejar-kejar waktu. Tak ada lagi bunyi printer yang berderit mengeluarkan tiket order sampai menumpuk di lantai, tak ada lagi pelanggan yang marah karena pesanannya tak segera datang, tak ada lagi tagihan apartemen, credit card, tv kabel, atau telpon yang memusingkan kepala.
Waktunya kini dihabiskan untuk memancing, berenang, berselancar dan tidur-tiduran di pantai. Nyoman sekarang merasa seolah-olah menjadi Beach Boys, Anak Pantai yang enggan bersekolah karena semua keindahan hidup sudah tersaji di depan matanya, juga sensasi mendebarkan kala wanita Bule atau Jepang yang ditemuinya di pantai mengedipkan mata serta menawarkan permainan "budak dan tuannya", dan tak lama kemudian mereka sudah terlihat mesra berangkulan menyusuri tempat-tempat indah dan sakral di seantero Bali. Dan ketika malam menjelang, ia bisa menikmati kemolekan dan gairah tubuh tuannya. Sungguh itulah keindahan hidup yang diimpikan Anak Pantai.
Lantas keindahan hidup macam apa lagi yang akan dikejarnya?
Nyoman mulai bisa menandai Anak Pantai yang menyapa ramah dengan logat kental dan berat, "whas” up buddy", juga penduduk lokal yang sepertinya enggan bekerja dan hanya bermalas-malasan di tepi pantai. Sesekali mereka memulung kaleng-kaleng soda dari tempat sampah dan ditukar uang 5 sen sekaleng. Atau mencukupi hidup dengan merangkai bunga Kamboja dan daun Zaitun untuk kalung Lei. Andai mereka kelaparan karena tak punya uang, mereka tak perlu merasa khawatir karena banyak buah pepaya, pisang atau umbi-umbian di taman umum atau tepi jalan, dan semua boleh dipetik untuk bekal makan malamnya.
Nyoman juga mulai menandai wanita-wanita berbikini yang selalu menyelipkan bunga Sepatu ataupun Kamboja di telinganya. Dan hati Nyoman akan berdesir ketika bunga itu diselipkan di telinga kanan pertanda mereka masih single.
Seorang gadis Polinesia tinggi besar yang selalu menenteng papan selancar, berbikini biru dan hampir ditemui tiap hari di pantai itu melirik dan tersenyum padanya. Ia lantas menyapa gadis itu ketika istirahat setelah capai berselancar.
" Kamu pandai berselancar", puji Nyoman.
" Terima kasih. Kamu dari mana?"
" Aku pindah dari New York."
" Oooh... orang dari Mainland", kata gadis itu menyebut semua orang yang datang dari daratan Amerika berbeda ras dengan orang asli Hawaii. Dan ketika Nyoman melihat turis bule kanak-kanak menyelipkan bunga di telinga kirinya, ia jadi tertawa geli, “Kecil-kecil sudah nikah.”
+++
Untuk sekedar hidup Nyoman sering diminta membantu Ito San mengerjakan catering sushi, sushi party, atau memasok sushi To Go ke toko mini market. Bekerja dua hari atau tak terikat jadwal sangatlah nyaman bagi Nyoman karena sisa waktunya bisa digunakan untuk bermalas-malasan.
" Nyoman, malam ini ada kerjaan di hotel", kata Ito San dan Nyoman mengangguk.
Malam itu rombongan turis Jepang menyewa ruangan ballroom untuk berdansa dansi. Tak aneh Hawaii memang surga bagi orang Jepang untuk lepas dari beban pekerjaannya, tamasya bersama keluarga, berbulan madu bersama pasangannya, atau sekedar menghamburkan uangnya seperi terlihat di Downtown Honolulu, wanita- wanita Jepang yang bersliweran menenteng tas belanjaan mahal layaknya menenteng tas belanja pasar, menenteng Hermes, Chanel, dan Louis Vuitton, di kedua tangan dan lengannya seperti menenteng tas plastik berisi telur, sayur mayur, dan susu segar.
Malam itu di tengah kerjanya, Nyoman asyik memperhatikan seorang wanita sedang berdansa Salsa bersama pasangannya. Gerakan kaki wanita itu begitu lincah walau sepatunya berhak tinggi, juga pinggulnya yang bergoyang sexy seiring gerakan menangkap tangan pasangannya kemudian bertukar putaran, lalu mengalungkan tangan di leher lelaki gempal itu dan berputar kembali. Lantas mereka saling membelitkan tangan dengan rumit tanpa sekalipun menjadi kusut seolah ada trik khusus seperti gerakan pesulap Houdini melepas rantai yang membelit tubuhnya
Tanpa sadar Nyoman berdesis, " Akira San", Nyoman menggosok-gosok matanya seolah tak percaya dengan penglihatannya.
Dan ketika suatu kesempatan tiba, wanita itu datang ke meja buffet untuk mengambil sushi -- Nyoman menyapanya," Akira San?"
" Oh My God .... Nyomaaan", Akira berteriak sambil menangkupkan kedua tangan ke mulutnya. Ia masih tampak cantik dengan baju terusan putih transparan dan tak lupa syal ungu pendek melingkari lehernya.
"Kamu pandai menari Salsa Akira San", Nyoman sempat membaui wangi bunga melati di tubuh Akira dan angannya tiba-tiba diingatkan pada kenangan masa lalu yang kini malah bikin hatinya pilu. Akira selalu mengoleskan minyak wangi itu ke leher Nyoman dan setelah itu mengecupnya.
"Sedang apa kamu di Hawaii?", tanya Akira.
"Aku pindah dari New York", kata Nyoman.
"Tak sangka Tuhan mempertemukan kita lagi ", raut muka Akira setengah tak percaya.
"Sedang berlibur di sini Akira San?"
" Aku ikut rombongan klub Salsa."
" Akira san ... hmm...sudah menikah?", tanya Nyoman ketika melihat ada bunga Kamboja terselip di telinga kiri Akira.
Akira menggelengkan kepalanya, " Aku datang bersama Morimoto", sambil ia menunjuk seorang lelaki yang menurut Nyoman berbadan gempal dalam baju Hermes ketatnya, bersepatu Gucci, berambut ikal dan berkacamata mahal. Ia sedang asyik ngobrol dengan teman-temannya.
Dalam ingatannya, lelaki itu tak seelegan Al Pacino kala berdansa tanggo dalam film Scent of Woman. " Diakah pacarmu yang pernah kau katakan padaku?", dan Akira mengangguk.
Nyoman lantas teringat apa yang pernah diceritakan Akira dalam telponnya di masa lalu. " Dia seorang fotografer ", kata Akira.
Dan mata seorang fotografer ternyata sangat tajam untuk membidik Akira sebagai hal yang terindah tampak di matanya, seindah model-model bikini di pantai Lanikai, seindah bunga sakura yang bermekaran dimusim semi, atau selembut dan semanis kue moci yang berwarna warni.
" He is kind of male chauvinist for me" keluh Akira saat itu dalam percakapan telponnya.
Nyoman lantas membayangkan seorang lelaki Jepang yang menempatkan dirinya lebih superior dibandingkan perempuan. Yang ingin mengatur hidup Akira, yang mengharuskan tunduk pada aturan-aturan maskulinitasnya. Atau barangkali Akiralah yang seorang Harajuku.
Lamunannya buyar ketika Akira menegurnya, " Kalung itu masih kamu pakai Nyoman?", Akira terheran-heran. Kalung yang ia berikan dulu berbentuk matahari dan bulan yang melambangkan cahaya terang benderang, cemerlang -- sesuai arti namanya itu -- masih melekat di leher Nyoman.
" Iya"
" Nyoman tinggal di mana?"
" Tak terlalu jauh dari sini. Aku hampir tiap hari ada di pantai. Aku jadi Anak Pantai sekarang .. hehehe "
" Ooh ..Really....??? Baiklah Nyoman, emmmm... senang bisa bertemu dirimu", Akira segera kembali ke rombongan Klub Salsanya.
Dari jauh Nyoman memperhatikan mereka berdua asyik ngobrol diantara teman-teman Salsanya. Morimoto sesekali memperagakan rumitnya bermain tangan dalam Salsa, kemudian beralih memperagakan tarian Hula dengan gerakan pinggang yang lemah gemulai. Akira tertawa sambil memeluk Morimoto dengan mesra. Ada rasa perih yang lama kelamaan dirasa Nyoman persis seperti saat tangannya tersayat pisau sushi.
Pertemuan singkatnya dengan Akira mampu mengaduk-aduk perasaannya. Berhari-hari ia merasakan kegelisahan seolah tersedot ke mesin waktu yang menghadirkan dirinya di masa lampau. Di tempat indah dan sedamai surga di Kailua ini tiba-tiba dirasakan Nyoman bagai hidup di dalam neraka. Nyoman menyetel tape kencang-kencang sambil berteriak mengikuti suara tinggi Joe Lynn Turner, “ and I ...can't let you go, even thought it's o....ver...... I know your love is growing col...der”. Aku tak bisa melepaskanmu pergi walau semua sudah berakhir........ Aku tau cintamu mulai membeku. Dan Ito San kaget -- terbangun dari tidurnya lantas berteriak kencang," Bagero!!!"
++++
Pada suatu pagi tak disangka Akira menemui Nyoman yang sedang tiduran di pantai.
"Morimoto sedang ke Big Island motret lahar gunung berapi di laut. Mau temani aku jalan-jalan Nyoman? Aku suntuk sendirian"
"Aku siang ini mau berselancar ke pantai North Shore, Akira San. Musim dingin ombaknya sedang tinggi."
"Bolehkah aku ikut?", tanya Akira.
Nyoman mengangguk. Tak lama kemudian ia mempersiapkan segala perbekalan, menaruh papan selancar di atap jeepnya, dan sepanjang perjalanan ke pantai utara Oahu itu mereka tak banyak bicara, terasa ada sekat diantara mereka. Pemandangan indah melewati pegunungan dengan tebing-tebing terjal dan hamparan pantai membiru di kejauhan seolah dirasakan mereka seperti menonton film bisu. Telinga mereka tuli, lidah mereka kelu.
+++
Suasana mulai mencair ketika tubuh mereka sudah terendam air laut. Mereka seperti dua anak kecil yang barusaja kenalan, masih malu-malu, kemudian mulai akrab dengan saling membanggakan cerita pengalaman tamasya bersama orang tuanya. Lantas salah satu mulai menawarkan es krim, kemudian mereka mulai membangun benteng-bentengan pasir di pantai, dan tak lama mereka terlihat saling berkejaran, salah satu menghindar dari timpukan pasir karena ia telah merusak benteng temannya.
Akira terheran-heran ketika mengetahui Nyoman pandai berselancar, " You never told me "
" Aku dulu kerja di persewaan papan selancar di pantai Kuta", kata Nyoman.
Akira memperhatikan, untuk seorang peselancar amatir, Nyoman cukup nekat. Berkali-kali ia mencoba gerakan memutar (kadang salto) di atas ombak yang hampir pecah dan berkali-kali ia gagal hingga hilang ditelan ombak, terseret bersama papan selancarnya, dan muncul dengan luka berdarah di kakinya, juga lebam di dadanya. Akira tak menyangka Nyoman suka menantang bahaya. Menguji nyalinya seolah Bodhi yang sepanjang hidupnya menanti gelombang laut Bells bercampur angin Tornado mencapai titik tertingginya, dan kemudian secara sukarela menyerahkan nyawanya untuk dilumat ganasnya ombak “Sungguh bukanlah hal yang tragis mati karena sesuatu yang kamu cintai”
Matahari hampir tenggelam, pemandangan sungguh menakjubkan, mereka berdua berjalan sepanjang pantai. Akira menggamit lengan Nyoman dengan mesra. Tiba di tempat sunyi Akira merangsek dan mencumbui Nyoman.
" Love or Lust?", tanya Nyoman seolah seorang lugu mempertanyakan sebuah batas jelas antara cinta atau nafsu.
Akira membekap mulut Nyoman mengisyaratkan tak usah banyak bertanya. Nyoman tak sadar telah menjatuhkan papan selancar dari pegangannya, lalu Akira rebah di atasnya sambil menarik Nyoman dalam rengkuhannya. Akira tak sabar mengulangi kisah cintanya dahulu, dan kini mereka seakan - akan berselancar tandem di ganasnya ombak laut Pipeline, menunggu gulungan ombak datang sambil mengayuh tangan kuat-kuat, dan secepat kilat kedua kaki mereka berdiri di atas papan selancar, kemudian meliuk-liuk di antara ombak yang menggulung setinggi 7 meter. Nyoman mendekap erat Akira dari belakang sedangkan tangan Akira bergerak gerak mencari keseimbangan melewati lorong-lorong ombak yang sewaktu-waktu menghempaskan tubuh mereka berdua.
Mereka bersorak- sorai gembira telah berhasil keluar dari gulungan ombak yang ganas itu. Mereka lalu beristirahat dengan damai.
" Masihkah kau ingat doa kita dulu saat melempar koin di kolam belakang pura?", tanya Akira.
" Aku selalu ingat, Akira San. Kenapa kamu mengingatkan hal itu?"
" Entahlah Nyoman ..... Aku merasa sangat lelah bersama Morimoto. .... Ah sudahlah Nyoman ... Lupakan pembicaraanku tadi"
" Kalau Tuhan berkenan, suatu saat kita akan menikah Akira san."
Akira menganggukkan kepala, raut mukanya tampak galau.Dikejauhan terlihat tenda-tenda mulai didirikan memenuhi pantai. Beberapa anak-anak muda asyik bergoyang reggae dari tape boom box yang dibawa dari rumah, anak-anak beserta ayahnya asyik melemparkan pancing ke laut, dan si ibu menyiapkan tungku api sambil menunggu mereka di tenda. Malam kian larut, bulan tampak bulat. Anak-anak sudah masuk tenda, muda - mudi sudah tertidur pulas di pasir pantai, sayup - sayup terdengar petikan ukulele mendendangkan melodi Blue Moon.
Mereka kemudian bercinta lagi. Seolah gelombang ombak pantai Pipeline yang sedang meninggi di bulan Februari tak akan pernah ada habisnya -- bahkan tak pernah lelah menghempaskan ombaknya ke tepian pantai.
++++
Ketika terbangun dari tidurnya Nyoman menyadari tak ada Akira di sebelahnya, ia hanya menemukan tulisan merah di papan selancarnya memakai lipstick berbunyi:
"Thank you for loving me", tertanda Akira. Aku yang selalu mencintaimu.
Nyoman tersenyum. Apa yang dialaminya bersama Akira seolah bagai mimpi di siang bolong. Baginya kini tak ada gunanya melihat masa lalunya bersama Akira kecuali masa lalu itu akan menjadi sebuah pijakan ke masa depan. Seperti berselancar, ia akan berbalik arah untuk menyambut ombak yang belum pecah, dan dengan demikian ia akan mendapatkan momen gerak ke depan. Dan kini ombak yang datang bahkan tak kuat mengangkat papan selancarnya untuk melaju.
Cinta itu masih ada – tapi berupa air laut yang tenang, tak ada ombak. Hanya diam ditempat, terapung-apung.
Sejenak Nyoman termenung. Ia tiba-tiba berdiri dan kemudian meneriakkan kata-kata dengan nada panjang," Alo----ha---- Akira San."
Mengenang masa lalu bagi Nyoman kini terasa sangat sulit, sesulit sejarawan merekonstruksi sejarah penjajahan Jepang di Indonesia. Banyak kejadian, tempat, dan orang-orang yang terlupakan, bahkan terbunuh.
Dan dalam bahasa Hawaii Aloha bisa juga berarti "Good Bye". Selamat Jalan Akira San ....
Dan Nyoman segera menceburkan diri ke pantai bersama papan selancarnya ...
Janu Jolang,
pengelola Blog Suara Rantau: http://suararantau.blogspot.com/
Washington DC, April 2012
Wednesday, May 2, 2012
AKIRA SAN 2
Posted by Janu Jolang at 3:25 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment