Bulan
Maret udara masih terasa dingin. Sisa-sisa salju masih tampak di atas
pepohonan, juga melapisi tanah berbukit sepanjang jalan. Aku dan Hendro
dijemput Mas Windi di China Town, Washington D.C. Kami melewati gapura
berbentuk ornamen khas China yang melintang di jalan utama, juga kulihat di
kanan kiri aksara China bertebaran dimana-mana, semua toko kebanyakan restoran
menyajikan aneka khas makanan Chinese food.
Kami
kemudian dibawa ke rumah single house-nya di daerah Wheaton, Maryland. Rumah
tua di daerah sini kebanyakan berdinding setengah kayu dan setengah batu. Konon
di musim dingin kayu-kayu itu bisa menyerap hawa dingin dan di musim panas
batu-batu itu bisa mendinginkan hawa panas. Mas Windi tinggal bersama istrinya
Siti Zubaidah yang bekerja sebagai perawat di panti jompo, mereka punya dua
anak yang masih sekolah di SMP.
Mas
Windi sendiri bekerja di jasa kurir sebagai pengantar barang, sedangkan malam
hari ia bekerja sebagai pengantar koran. Ketika aku tak bisa tidur karena jam
biologisku masih menyesuaikan dengan Indonesia yang siang hari, mas Windi iseng
mengajak aku untuk menemani dia mengantar koran. Maka berbekal jaket tebal
untuk menahan cuaca dingin di akhir Februari aku duduk di samping kanan kursi
depan mobil van-nya. Kuperhatikan mas Windi dengan sigap meraih satu demi satu
koran dari tumpukan, memasukkannya ke dalam kantong plastik dan melemparkannya
ke halaman rumah pelanggan. Jendela mobil yang terbuka di sisi kiri kanan
membuat badanku menggigil terkena suhu enol derajat Celcius. Entah sudah berapa
ratus koran yang dilempar, mas Windi tak terlihat lelah dan kedinginan.
Pekerjaan melempar koran yang dimulai sejak jam 3.00 pagi hingga selesai jam
5.00 pagi adalah pekerjaan berat yang butuh dedikasi tinggi. Ya karena disaat
kebanyakan orang masih terlelap dalam kamar berpenghangat yang nyaman, mas
Windi sudah membanting tulang dalam dinginnya malam.
Di
basemen rumah yang disekat menjadi empat ruangan kecil tinggal anak-anak
Indonesia yang kos di sana. Aku berkenalan dengan kakak beradik Marcel dan
Marco perantau asal Jakarta yang bekerja sebagai Waiter atau Pelayan di
restoran Pan Asia di downtown Washington DC. Dari mereka aku mendapatkan
gambaran bahwa bekerja sebagai Waiter dibutuhkan kepandaian berbahasa Inggris,
harus ramah, dan pandai melayani pelanggan. Seorang pelayan juga harus mengerti
semua jenis makanan yang dijual di restoran, mengetahui bumbu-bumbu apa saja
yang dipakai serta bagaimana cara memasaknya. Marcel menyebut dengan fasih
berbagai makanan yang dijual di restoran tempat ia bekerja seperti Pad Thai,
Tom Yum, Lime Chicken, Mongolian Beef, Bento Box, dan aku sama sekali awam
dengan itu. Marco juga menambahkan bahwa pelayan restoran di Amerika jauh
berbeda dengan di Indonesia. Terutama masalah penghasilan, pelayan restoran
punya penghasilan tinggi dari tips yang diberikan pelanggan atas jasa
pelayanannya. Di siang hari saat pengunjung menyerbu restoran untuk makan
siang, Marco bisa mendapatkan tip 100 dollar diluar gajinya. Pada malam hari
jumlah yang sama bisa didapatkan Marco dari para pelanggan yang menghabiskan
malam dengan rekan kerja, pacar, atau partner bisnis. Sungguh cerita Marcel dan
Marco menjadikan aku seperti orang bodoh karena tak tahu apa-apa. Tapi
setidaknya aku jadi mengerti hal-hal baru, menambah pengetahuanku untuk bekal
hidup di Amerika.
Di
akhir pekan mbak Ratna, Aas dan Jaenah yang bekerja Live In sebagai Nanny
pulang ke kos-kosan. Selama lima hari seminggu mereka bekerja dan menginap
di rumah majikannya keluarga Arab yang kaya raya. Selain pekerjaan utama
merawat bayi, mereka juga memasak, mencuci baju, dan membersihkan rumah.
Kedatangan mereka di kos-kosan menjadikan suasana akhir pekan tambah ramai. Celoteh
mereka tentang berbagai hal lucu yang dialami, atau cerita sedih teman-teman
sesama perantau, apalagi ketika tahu mereka sibuk memasak nasi Kebuli kambing
untuk makan siang. Dan itu terus berlanjut hingga sore hari ketika kami
kedatangan tamu sesama nanny.
Mbak
Siti Zubaidah istri mas Windi yang dulu seorang nanny ternyata adalah figur
tuan rumah yang pandai melayani tamunya. Ia ramah, hangat, dan pandai
bercerita. Mereka berkumpul di ruang tengah, bercengkerama sambil mendengarkan lagu dari
Amr Diab, Habibi ya Nour El Ain. Beberapa nanny tak kuat mendengar petikan
gitar Andalusia dan hentakan Tabla bercampur Cempring lantas mereka mengajakku
menari ala tari perut padang pasir dalam iringan gemulai Akordion dan syair
berbahasa Arab.
Ya,
lewat perkenalan dengan merekalah aku bisa mengetahui lebih dekat dunia para
perantau di Amerika Serikat. Mereka yang telah bertahun-tahun hidup jauh dari
keluarga, mereka yang kesepian, mereka yang tabah dengan berbagai cobaan,
menandakan mereka adalah pribadi yang tak mudah menyerah oleh kerasnya
kehidupan. Hal itu menjadi sebuah inspirasi bagiku untuk bisa bertahan hidup,
tetap semangat, dan tak gampang menyerah di Amerika.
Malam telah larut,
dinginnya basemen terasa menyengat kulitku, aku menggigil. Tak lupa kusempatkan
telpon paman memakai "calling card" bahwa aku telah berada di Amerika
dengan selamat. Dari nada suaranya paman terdengar gembira walau aku tahu masih
ada kekecewaan di hatinya.
No comments:
Post a Comment