Bulan Agustus
adalah bulan yang istimewa bagi masyarakat Indonesia di Amerika. Kedutaan Besar
Republik Indonesia di Washington, D.C selalu mengadakan rangkaian acara meriah
menyambut Hari Kemerdekaan Indonesia, hari suka cita karena telah terbebas dari
belenggu penjajahan. Upacara bendera terasa sangat khidmat. Kulihat serombongan
Pasukan Pengibar Bendera yang terdiri dari anak-anak SMA dan Perguruan Tinggi;
dengan seragam putih-putih peci hitam tampak gagah, dalam langkah tegap dan
semangat tinggi mengiring bendera Merah Putih, dalam gerakan seirama dan
disiplin tinggi bak tentara maju ke medan perang, membusungkan dada, sungguh
membuat diriku bangga.
Sunday, August 18, 2013
17-AN DI AMERIKA
Lagu Indonesia
Raya yang biasa kudengar kini terasa sangat beda di telingaku. Atmosfer
kerinduan akan tanah air sangat kental kurasakan. Ternyata jarak 14.000 km yang
memisahkan aku dengan bumi pertiwi sanggup melelehkan air mataku. Mungkin betul
air mataku tak berkaitan dengan rasa haru atas jasa para pahlawan yang telah
berjuang mati-matian mempertahankan bumi pertiwi, atau mungkin tak ada
kaitannya dengan rasa heroik ketika Bung Tomo meneriakkan kata merdeka. Sungguh
air mataku meleleh karena teringat kampung halaman dimana aku menghabiskan
masa-masa kecilku. Rumah kecil dekat pematang sawah yang dikelilingi rerimbunan
pohon bambu selalu menghadirkan keteduhan di teriknya siang, dengan suara
gesekan dedaunan yang tertiup angin, sambil memandang hamparan sawah yang mulai
menguning sungguh merupakan sebuah simponi alam yang indah. Sebuah kedamaian
kecil yang kini seolah hilang dalam hidupku.
***
Hari Minggu
aku bersama Oki, Asnawi, Rinto, Arif dan Bang Herdy bersiap diri pergi ke acara
Bazar 17 Agustus di Wisma Indonesia di daerah Tilden. Aku mematut diri di kaca
dengan baju batik yang sengaja kubawa dari Indonesia. Di depan apartemen
Kampoeng Melajoe kulihat rombongan mbak Yanti yang menempati kamar 127 mengarah
ke stasiun Dupont Circle. Siang yang cerah dimusim panas menebarkan keceriaan
dalam diri. Pakaian kebaya bordiran warna warni, rambut yang disanggul rapi,
mereka berceloteh sambil tertawa gembira.
Sepanjang
jalan Tilden di daerah Uptown menuju Wisma Indonesia di kediaman Duta Besar
Indonesia telah penuh mobil yang parkir di kiri kanan jalan. Banyak orang
Indonesia di area DC Maryland Virginia tak ingin ketinggalan acara setahun
sekali ini. Mereka ingin mencicipi masakan Indonesia yang dijajakan stand-stand,
ada sate Padang, gudeg Jogja, lontong sayur, empek-empek Palembang, bakso sapi,
dan masih banyak lagi makanan yang bisa mengobati rasa rindu kita akan selera
asal, rasa masakan yang dikenalkan oleh orang tua kita semenjak kecil. Rasa
lezat dan gurih yang telah tertanam dalam memori otak kita.
Acara bazar
juga dimeriahkan Panggung Gembira yang ramai diisi oleh ansambel musik
anak-anak, lagu-lagu Batak, tarian khas daerah seperti Tari Merak, Tari Bali,
juga Tari Saman. Tak ketinggalan musik tradisional Jawa Gamelan ikut
mengalunkan lagu Kebo Giro dengan perpaduan bunyi kenong saron sesekali tabuhan
ringan kendang, dan si penabuh gong yang menabuh gong kecil berulang-ulang, aku
tercengang ketika yang main kebanyakan bule. Mereka benar-benar menikmati
bermain gamelan. Aku bangga dengan mereka yang ikut melestarikan seni budaya
Indonesia, juga para penggiat seni yang sudah memperkenalkan kesenian Nusantara
ke manca negara.
Memang tak ada karnaval mobil
hias di sini, atau parade tukang becak yang beratraksi dengan roda sebelah
diangkat, atau lomba panjat pinang yang selalu membuat gelak tawa. Acara 17an
di Wisma Indonesia adalah tempat "klangenan" setahun sekali. Ya ..
Indonesia kecil telah hadir di Wisma Indonesia yang asri dan dipenuhi oleh pepohonan
tinggi. Tempat dimana kita bisa bertemu dengan sesama orang Indonesia,
berkenalan, atau mencari teman bahkan pacar. Acara yang paling ditunggu-tunggu
tiba, terdengar panggung dihentak irama dangdut dari para pemain band lokal.
Tanpa dikomando para pengunjung mendekat ke panggung. Kulihat mbak Supiyati
meliuk-liukkan pinggulnya mengikuti irama lagu, tangannya mengajak yang
malu-malu untuk ikut bergoyang. Segala jenis goyangan hot dan heboh lantas
meramaikan panggung hiburan. Merekapun larut dalam kegembiraan. Sungguh
Indonesia kecil hadir lagi secara nyata hari itu dan setidaknya bisa mengobati
rasa rinduku pada tanah air.
Posted by Janu Jolang at 1:06 AM 0 comments
Tuesday, August 6, 2013
MENCARI PEKERJAAN
Aku
baru pernah dengar istilah Bush Boy ketika di Amerika, sebuah pekerjaan di
restoran yang kerjanya mengangkat piring dan gelas kotor dari meja setelah
pelanggan selesai makan. Kita juga harus membersihkan meja kemudian melapisi
dengan taplak baru, meletakkan garpu dan pisau serta gelas anggur yang baru
setelah pelanggan meninggalkan restoran. Sangat simpel, dan tak perlu ngomong
Inggris. Mas Windi menawarkan pekerjaan itu kepadaku atas informasi mas Tio
perantau asal Semarang yang bekerja sebagai Food Runner di restoran itu.
Restoran Mimi ini menyajikan masakan Barat dan lokasinya di daerah down town
DC.
Tanpa
pikir panjang aku menerimanya. Aku ingin cepat bekerja. Ingin cepat
menghasilkan dollar guna membayar pinjamanku pada paman. Aku juga ingin
secepatnya menunjukkan pada ibu bahwa kepergianku ke Amerika tidak sia-sia.
Keesokan pagi Mas Windi mengantar aku ke restoran Mimi dan mengenalkan aku
kepada mas Tio. Aku kemudian diajak menemui manager restoran bernama Hisham
seorang Arab Maroko dan aku tak ditanya macam-macam. Ia hanya tanya namaku,
asli dari mana, dan menjelaskan secara singkat bahwa ia butuh seorang bush boy.
Tanpa prosedur yang berbelit hari itu aku diterima dan disuruh segera training.
Tak
lama aku sudah berganti memakai kaus hitam bertuliskan Mimi, celana hitam
dengan apron melilit pinggang, dan bersepatu hitam. Walau hanya seorang Bush
Boy, aku merasa gagah dengan seragam kerjaku. Julio bush boy senior di restoran
itu lantas mengajariku cara membersihkan meja yang telah ditinggalkan
pelanggan. Dia tak banyak cakap, diambilnya gelas anggur dan diselipkan satu
persatu ke sela-sela jari tangan kirinyanya. Ia lantas mengambil tumpukan
piring dengan tangan satunya dan membawa ke tempat cucian. Walau sudah berumur
50an tahun, Julio amat cekatan dan gesit.
Hari
pertama bekerja aku berpartner dengan Julio. Aku melihat betapa cekatan dia
menangani meja untuk 12 orang yang sedang mengadakan pesta ulang tahun. Mulai
menyajikan roti roll pada lepekan kecil, mengisi gelas dengan air
bening, menarik piring yang sudah selesai disantap, hingga ketika pesta
berakhir Julio dengan gesit men-setup kembali meja untuk siap ditempati lagi.
Hal
yang sama kulakukan, tapi bagian dari latihanku adalah meja kecil yang berisi
dua atau empat pelanggan. Sambil membawa keranjang berisi roti roll dan butter,
aku menghampiri meja yang baru terisi dan membagikannya. Setelah itu aku
kemudian menuangkan air putih pada gelas yang sudah tersedia di meja. Pekerjaan
itu terlihat mudah tatkala restoran tak ramai. Tapi kenyataannya restoran Mimi
tak pernah sepi, selalu ramai. Maka pekerjaanku menjadi sulit, aku keteter.
Yosef floor manager malam itu menyuruhku bergerak lebih cepat.
Banyak
meja telah kosong dan belum sempat kubersihkan sedangkan orang-orang sudah
antri menunggu. Sambil setengah berlari kedua tanganku membawa tumpukan piring
kotor ke tempat cucian. Julio kulihat pontang-panting di bagian Bar. Karena tak
ingin membiarkan pelanggan lebih lama menunggu, akhirnya Yosef si orang Maroko
itu turut membantu kami membawa piring, gelas, sendok garpu kotor ke tempat
cucian. Para pelayan ikut menolong memasang taplak dan silverware baru.
Dan pengunjung yang tadi mengantri kini satu persatu telah didudukkan. Aku tak
sempat menghela nafas, ditanganku sudah ada keranjang roti roll dan aku
bergegas mengedarkannya ke meja-meja baru, mengisi air bening ke gelas-gelas
mereka.
Hari pertama bekerja
kulalui dengan banyak keluhan dari para pelayan. Muka mereka masam atas
kinerjaku yang lambat. Selesai kerja Yosef memberi arahan aku untuk bekerja
lebih cepat. Aku disuruh belajar memahami keadaan. Kapan aku harus mengambil
piring kotor, kapan aku harus membagikan roti roll, kapan aku harus menata
meja, karena semua meja itu kepunyaan para waiter yang sudah
dibagi-bagi. Lindsay protes karena jatah meja-mejanya lambat dibersihkan
sehingga konsentrasinya terbagi antara ikut membersihkan meja dan melayani
pelanggan. Ujung-ujungnya pelanggan di meja Lindsay banyak yang memberikan tip
jelek. Aku tak berkata apa-apa, hanya mengangguk, dan berjanji untuk bekerja
lebih baik lagi.
Posted by Janu Jolang at 10:30 PM 0 comments
Subscribe to:
Posts (Atom)