Aku tinggal di sebuah apartemen, sebut saja Apartemen Kampoeng Melajoe di daerah downtown Washington DC.
Istilah Apartemen Kampung Melayu populer ditahun 80an. Waktu itu hampir sebagian besar penghuninya orang – orang Indonesia. Kalau kita iseng menyusuri tiap lantainya, pasti segera tercium bau masakan khas Indonesia. Bawang goreng dalam kuah santan, bumbu rendang yang menggoda selera, atau sambal terasi yang menyengat hidung. Konon tetangga kamar yang bukan orang Indonesia protes keras bau tak sedap itu, katanya seperti bau bangkai.
Tinggal di apartemen bukanlah sebuah kemewahan di Amerika sini. Tidak seperti bayangan kawan – kawan atau saudara saya yang tinggal di kampung sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Mereka membayangkan aku hidup nyaman, mewah, dan tentunya berkantong tebal. Apalagi ketika mendengar ongkos sewanya yang mahal, USD1100 perbulan untuk tipe studio, atau USD 1450 untuk tipe 1 bedroom. Dalam bayangan mereka uang 8 – 12 jutaan rupiah perbulan bisa untuk mengangsur rumah yang cukup bagus di Indonesia.
Kalo boleh berkata jujur, uang USD 1100 bagiku cukup banyak untuk menyewa apartemen. Apalagi untuk kalangan perantau yang hanya bekerja di restoran seperti aku dan kebanyakan teman – teman di sini. Lokasi apartemen "Kampoeng - Melajoe" yang strategis, dekat daerah perkantoran, dan hanya 15 menit jalan kaki ke White House, harganya memang sudah setinggi langit. Bahkan teman kerja yang asli Amerika, Alex agak kaget ketika tahu aku tinggal di daerah elit yang tiap hari selalu dilewati iring – iringan polisi yang mengawal wapres Amerika.
Mungkin menurut Alex, seorang bergaji rendah tak akan mampu menyewa apartemen sekaligus memenuhi biaya hidup yang tinggi di pusat kota kosmopolitan seperti Washington, DC.
Mungkin dengan mengambil perbandingan sepadan, kita akan sama terkejutnya ketika tahu seorang tukang cuci piring di restoran Pecenongan tinggalnya di apartemen Kawasan Sudirman atau Kuningan.
Tapi keterkejutan Alex segera sirna ketika tahu bahwa aku tinggal berame – rame. Istilah kerennya “ sharing”. Cuma dalam kenyataan lebih tepat disebut “ngirit”. Kini Alex terbengong-bengong ketika tahu kami tinggal berenam di sebuah kamar studio yang sempit. Sewa kamar yang USD 1100 perbulan dibagi enam jatuhnya hampir 200an dollar. Amat murah kan?
Maaf-maaf saja aku kadang nggak tega menggambarkannya, atau menceritakan ini kepada teman-teman atau keluargaku di Indonesia. Ukuran kamar yang tak begitu luas,
kira – kira 6 x 4 meter, tapi ditempati 6 orang. Mungkin tempat itu lebih layak disebut barak pengungsian ketimbang apartemen. Salah satu teman kami, Rinto, selalu menyebut dengan istilah “ikan pindang” ketika melihat kita – kita sedang tidur berjajar.
Sedikit kalau boleh aku gambarkan, begitu kita masuk, dibalik pintu terdapat rak sepatu. Satu orang minimal punya dua sepatu dan satu sandal, jadi bisa dibayangkan jumlah sepatu yang menumpuk di balik pintu. Beberapa sepatu itu jarang dicuci, sehingga aroma kaki busuk kadang tercium memenuhi ruangan. Disebelah rak sepatu, ada sebuah komputer lawas Pentium 3 yang disediakan Bang Herdi si pemilik kamar, untuk keperluan browsing internet, nonton Tukul Arwana atau Bajaj Bajuri di Youtube.
Untuk menutupi pandangan dari luar, Bang Herdi memasang sekat sebuah meja dengan rak buku hampir menyentuh atap. Selain itu, hanya ada sebuah meja makan kecil mepet ke tembok beserta 3 kursi. Satu lagi, ada sebuah tv yang 'dapat nemu' di ruang laundry dan diletakkan di sudut dekat jendela. Sisanya ruangan dibiarkan kosong di tengah. Tata ruang seperti itu dipakai
untuk menampung ke enam orang biar bisa tidur berjajar.
Tinggal berame – rame bukannya tanpa resiko. Setiap hari selalu main kucing – kucingan dengan pihak management gedung. Batas yang diperbolehkan untuk tipe studio hanya dua orang. Ketahuan melanggar maka ancamannya adalah, peringatan pertama: nama – nama yang tidak ada di daftar harus keluar, atau perintah kedua: semuanya harus keluar. Hal ini sudah tercantum dalam pasal-pasal perjanjian sebelum kita mengontrak.
Tak sulit bagi mereka melakukannya, tinggal telpon lawyer, seminggu kemudian datang surat yang menyatakan bahwa kita melanggar kesepakatan yang telah ditentukan. Untuk mensiasatinya, kita hanya memasang dua kasur yang digelar lesehan di ruang tengah. Sisanya kita berempat tidur memakai matras tipis yang biasa untuk alas senam atau yoga. Bahkan saking sempitnya, satu kawan dari Madura bernama Arif memanfaatkan ruang closet di depan kamar mandi untuk tidur. Pagi hari, bangun tidur, kita mulai berbenah sehingga jika ada pemeriksaan kita bisa beralasan kalau empat kawan kita sedang bertamu. Siasat ini awalnya terasa berat dilakukan, tapi lama kelamaan menjadi terbiasa, bahkan sudah menjadi pola hidup kita.
Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap di Amerika
Tuesday, May 3, 2005
CSIG di Amerika: APARTEMEN KAMPOENG MELAJOE DI DAERAH DOWNTOWN WASHINGTON, DC
Posted by Janu Jolang at 7:00 AM 0 comments
Friday, April 29, 2005
CSIG di Amerika: CHERRY BLOSSOM
Washington DC punya 'gawe', ya Festival Nasional 'Cherry Blossom'. Dimulai setiap tanggal 28 Maret sampai 12 April. Banyak turis dari penjuru Amerika dan luar negeri datang untuk melihat dan menikmati mekarnya bunga cherry (kalau di Indonesia ibuku bilang bunga sakura). Kota Washington saat ini berubah menjadi lebih asri, romantis, dan penuh dengan warna-warni pink bunga sakura yang menyejukkan mata.
Dari sejarahnya, pada tahun 1912 Walikota Tokyo Yukio Ozaki menghadiahi 3000 pohon sakura kepada warga kota Washington, DC sebagai tanda persahabatan antara Amerika dan Jepang. Dalam upacara yang sederhana, istri dari presiden Taft bersama istri dari Duta besar Jepang menanamkan dua pohon cherry pertamakali di Tidal Basin, West Potomac Park. Pada tahun 1965, duapuluh tahunan setelah Jepang dibom Amerika, Ibu negara Lady Bird Johnson menerima lagi 3800 pohon untuk ditanam di berbagai sudut kota Washington DC.
Selama festival berlangsung, diperkirakan satu juta orang datang ke Washington DC. Bisa dibayangkan kota sekecil kecamatan itu dipenuhi orang-orang, terutama pada saat 'peak bloom period' yang diperkirakan tahun ini antara 1 – 4 April.
Hotel-hotel, restoran, bis dan kereta bawah tanah mengalami masa-masa panen. Demikian pula para penyelenggara even merancang berbagai macam acara menarik mulai dari Karnaval, Festival Layang-layang di lapangan Mall, Maraton 10 mile, Pesta Kembang Api, Grand Sushi & Sake Tasting, Japanese Street Festival, Panggung Kebudayaan di Tidal Basin Stage (Anak-anak Indonesia suka ngisi acara ini), dan acara lain-lainnya.
Posted by Janu Jolang at 12:00 AM 0 comments
Sunday, March 27, 2005
CSIG di Amerika: SPRING BREAK
Pertengahan bulan Maret selalu ditunggu – tunggu oleh setiap orang. Ya musim dingin mulai habis - berganti dengan musim semi. Udara mulai terasa nyaman, terasa segar masuk ke lubang pernafasan. Pepohonan yang tadinya seolah mati, kering kerontang; kini menampakkan kembali kehidupannya. Bunga-bunga mulai bermunculan, rerumputan mulai tumbuh, dan bajing – bajing mulai menari-nari di sekelilingnya. Demikian pula kulihat para wanita mulai menanggalkan jaketnya yang tebal, berganti dengan kaus nilon dan celana 'spandex' yang menonjolkan lekukan tubuhnya. Beberapa wanita kulihat sudah mulai tak sabar dengan mengenakan rok mini atau baju ' you-can-see' musim panas, padahal udara masih belum stabil, sering berubah-ubah, dan lumayan dingin. Beberapa pria kulihat mulai melirikkan mata, atau memakai kacamata gelap demi menikmati indahnya suasana musim semi.
Spring is in the Air!!!
Spring is in the Air!!!
Posted by Janu Jolang at 12:41 AM 0 comments
Tuesday, January 11, 2005
TSUNAMI MENGHANTAM INDONESIA
Hari Natal restoran libur. Seharian aku berada di
apartemen dari pagi hingga malam. Libur setahun sekali di Hari Natal dan sekali
Thanksgiving kupakai untuk beristirahat.
Posted by Janu Jolang at 8:28 AM 0 comments