Oki terlihat
muram malam itu, ada kemarahan terselip di wajahnya. Oki mengeluarkan sumpah
serapah dan menyebut nama seseorang: Aman. Aku tahu Aman adalah teman Oki yang
datang bersama-sama ke Amerika lewat program magang kerja. Aman dan teman-teman
berangkat dengan visa J-1 atau exchange visitor program, semuanya
berstatus mahasiswa, dan kebanyakan kerja magang di restoran siap saji seperti
Mc Donald, atau di hotel-hotel terpencil yang ramai hanya musim tertentu saja.
Wednesday, November 9, 2005
DITIPU KAWAN SENDIRI
Posted by Janu Jolang at 10:10 AM 0 comments
Saturday, October 1, 2005
HARI-HARI SETELAH PERISTIWA 911
Seluruh dunia
geger dengan Serangan 911. Hari-hari mencekam kini meninggalkan duka yang
mendalam. Proses pencarian dan penyelamatan korban terus dilakukan. Jumlah
korban terupdate dengan cepat. Dari data penerbangan, jumlah penumpang keempat
pesawat yang dibajak: 92 penumpang American Airlines 11 yang menabrak Gedung WTC,
65 penumpang United Airlines 175. Yang menabrak Pentagon pesawat American
Airlines 77 membawa 64 orang, sedangkan pesawat United Airlines 93 membawa 44
orang dan jatuh di Shanksville. Semua pesawat tipe Boeing 757 dan 767. Tak
satupun yang selamat dan total yang meninggal termasuk pembajak dan awak
pesawat adalah 265 orang.
Posted by Janu Jolang at 12:00 AM 0 comments
Sunday, September 11, 2005
TRAGEDI 911
Jam 8:50 pagi: Selasa 11 September 2001 aku
dikejutkan oleh suara keras Bang Herdi dari ruang tengah. Aku yang sedang bikin
kopi di dapur kaget lalu tergopoh-gopoh menghampirinya; ia sedang serius nonton
berita CNN. " Ada sebuah pesawat menabrak gedung WTC New York.... Gila,
... masa pesawat bisa nyasar sampe ke situ?", Bang Herdi
membelalak. Reporter CNN melaporkan ada saksi mata yang melihat pesawat
menghujam salah satu gedung kembar WTC, kemungkinan sebuah pesawat jet bermesin
ganda.
Posted by Janu Jolang at 8:57 AM 0 comments
Wednesday, August 10, 2005
JIWA JURNALIS YANG PERNAH ADA
Jiwa
jurnalisku terbangkitkan kembali gara-gara si Crystal Ball, seorang wanita
kulit hitam berkepala plontos yang sering mondar mandir di area sekitar
restoran tempatku bekerja. Ya semasa mahasiswa aku pernah aktif di lembaga Pers
Mahasiswa. 5 W 1H itulah resep dasar menjadi jurnalis, resep yang diajarkan
dalam diklat pers mahasiswa yang pernah kuikuti, What, Who, When, Where, Why
dan How. Dan cara menuliskannya menganut konsep Piramida Terbalik, ketika
sebuah berita kepanjangan maka seorang editor akan memangkas informasi yang
kurang penting mulai dari bagian bawah.
+++
Posted by Janu Jolang at 12:00 PM 0 comments
Monday, July 4, 2005
BARANG BEKAS
Di lantai
basemen apartemen dekat ruang laundry aku sering melihat perabot atau
barang-barang tergeletak di sana. Ya.. itu semua barang-barang yang sudah tak
dikehendaki pemiliknya, barangkali sudah rusak, atau sudah bosan. Ada kursi,
rak kayu, sofa, kasur, tv bahkan komputer. Di dekat lobby ada juga penghuni
yang menaruh buku-buku, majalah, atau vas bunga antik yang berarti kita boleh
mengambilnya andai suka. Sering aku mengalami "dejavu" ketika bermain
ke kamar orang Indonesia dan melihat sofa yang kududuki rasanya pernah
melihatnya di suatu tempat, yaa .. di tempat pembuangan barang bekas di basemen
apartemen.
Posted by Janu Jolang at 10:30 AM 0 comments
Friday, June 17, 2005
TINGGAL RAME – RAME DALAM KAMAR STUDIO
Aku tak bisa
membayangkan andaikata orang Amerika yang biasa mengutamakan nilai-nilai
privacy dalam kehidupannya berkumpul dalam satu ruangan sempit seperti kita di
kamar 720. Mungkin mereka sudah berantem satu sama lain, atau barangkali
sebagian dari mereka akan mengalami depresi.
Posted by Janu Jolang at 3:20 AM 0 comments
Tuesday, May 3, 2005
CSIG di Amerika: APARTEMEN KAMPOENG MELAJOE DI DAERAH DOWNTOWN WASHINGTON, DC
Aku tinggal di sebuah apartemen, sebut saja Apartemen Kampoeng Melajoe di daerah downtown Washington DC.
Istilah Apartemen Kampung Melayu populer ditahun 80an. Waktu itu hampir sebagian besar penghuninya orang – orang Indonesia. Kalau kita iseng menyusuri tiap lantainya, pasti segera tercium bau masakan khas Indonesia. Bawang goreng dalam kuah santan, bumbu rendang yang menggoda selera, atau sambal terasi yang menyengat hidung. Konon tetangga kamar yang bukan orang Indonesia protes keras bau tak sedap itu, katanya seperti bau bangkai.
Tinggal di apartemen bukanlah sebuah kemewahan di Amerika sini. Tidak seperti bayangan kawan – kawan atau saudara saya yang tinggal di kampung sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Mereka membayangkan aku hidup nyaman, mewah, dan tentunya berkantong tebal. Apalagi ketika mendengar ongkos sewanya yang mahal, USD1100 perbulan untuk tipe studio, atau USD 1450 untuk tipe 1 bedroom. Dalam bayangan mereka uang 8 – 12 jutaan rupiah perbulan bisa untuk mengangsur rumah yang cukup bagus di Indonesia.
Kalo boleh berkata jujur, uang USD 1100 bagiku cukup banyak untuk menyewa apartemen. Apalagi untuk kalangan perantau yang hanya bekerja di restoran seperti aku dan kebanyakan teman – teman di sini. Lokasi apartemen "Kampoeng - Melajoe" yang strategis, dekat daerah perkantoran, dan hanya 15 menit jalan kaki ke White House, harganya memang sudah setinggi langit. Bahkan teman kerja yang asli Amerika, Alex agak kaget ketika tahu aku tinggal di daerah elit yang tiap hari selalu dilewati iring – iringan polisi yang mengawal wapres Amerika.
Mungkin menurut Alex, seorang bergaji rendah tak akan mampu menyewa apartemen sekaligus memenuhi biaya hidup yang tinggi di pusat kota kosmopolitan seperti Washington, DC.
Mungkin dengan mengambil perbandingan sepadan, kita akan sama terkejutnya ketika tahu seorang tukang cuci piring di restoran Pecenongan tinggalnya di apartemen Kawasan Sudirman atau Kuningan.
Tapi keterkejutan Alex segera sirna ketika tahu bahwa aku tinggal berame – rame. Istilah kerennya “ sharing”. Cuma dalam kenyataan lebih tepat disebut “ngirit”. Kini Alex terbengong-bengong ketika tahu kami tinggal berenam di sebuah kamar studio yang sempit. Sewa kamar yang USD 1100 perbulan dibagi enam jatuhnya hampir 200an dollar. Amat murah kan?
Maaf-maaf saja aku kadang nggak tega menggambarkannya, atau menceritakan ini kepada teman-teman atau keluargaku di Indonesia. Ukuran kamar yang tak begitu luas,
kira – kira 6 x 4 meter, tapi ditempati 6 orang. Mungkin tempat itu lebih layak disebut barak pengungsian ketimbang apartemen. Salah satu teman kami, Rinto, selalu menyebut dengan istilah “ikan pindang” ketika melihat kita – kita sedang tidur berjajar.
Sedikit kalau boleh aku gambarkan, begitu kita masuk, dibalik pintu terdapat rak sepatu. Satu orang minimal punya dua sepatu dan satu sandal, jadi bisa dibayangkan jumlah sepatu yang menumpuk di balik pintu. Beberapa sepatu itu jarang dicuci, sehingga aroma kaki busuk kadang tercium memenuhi ruangan. Disebelah rak sepatu, ada sebuah komputer lawas Pentium 3 yang disediakan Bang Herdi si pemilik kamar, untuk keperluan browsing internet, nonton Tukul Arwana atau Bajaj Bajuri di Youtube.
Untuk menutupi pandangan dari luar, Bang Herdi memasang sekat sebuah meja dengan rak buku hampir menyentuh atap. Selain itu, hanya ada sebuah meja makan kecil mepet ke tembok beserta 3 kursi. Satu lagi, ada sebuah tv yang 'dapat nemu' di ruang laundry dan diletakkan di sudut dekat jendela. Sisanya ruangan dibiarkan kosong di tengah. Tata ruang seperti itu dipakai
untuk menampung ke enam orang biar bisa tidur berjajar.
Tinggal berame – rame bukannya tanpa resiko. Setiap hari selalu main kucing – kucingan dengan pihak management gedung. Batas yang diperbolehkan untuk tipe studio hanya dua orang. Ketahuan melanggar maka ancamannya adalah, peringatan pertama: nama – nama yang tidak ada di daftar harus keluar, atau perintah kedua: semuanya harus keluar. Hal ini sudah tercantum dalam pasal-pasal perjanjian sebelum kita mengontrak.
Tak sulit bagi mereka melakukannya, tinggal telpon lawyer, seminggu kemudian datang surat yang menyatakan bahwa kita melanggar kesepakatan yang telah ditentukan. Untuk mensiasatinya, kita hanya memasang dua kasur yang digelar lesehan di ruang tengah. Sisanya kita berempat tidur memakai matras tipis yang biasa untuk alas senam atau yoga. Bahkan saking sempitnya, satu kawan dari Madura bernama Arif memanfaatkan ruang closet di depan kamar mandi untuk tidur. Pagi hari, bangun tidur, kita mulai berbenah sehingga jika ada pemeriksaan kita bisa beralasan kalau empat kawan kita sedang bertamu. Siasat ini awalnya terasa berat dilakukan, tapi lama kelamaan menjadi terbiasa, bahkan sudah menjadi pola hidup kita.
Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap di Amerika
Posted by Janu Jolang at 7:00 AM 0 comments