Sebut saja Supri, seorang warga negara Amerika naturalisasi asal Indonesia yang mengaku bersalah dalam persidangan di negara bagian Virginia pada akhir November 2008, dengan tuduhan Menampung Pendatang Gelap untuk Keuntungan Pribadinya.
Menurut dokumen di pengadilan, sejak tahun 2000 Supri dan istrinya Kamti menampung 11wanita TKW gelap di ruang basement rumahnya, dan mempekerjakan mereka untuk menjadi nanny atau housekeeper di keluarga kaya di daerah Potomac, Maryland. Sang majikan, diantaranya adalah dokter-dokter kenamaan di rumah sakit Maryland, Jaksa terpandang di Washington DC, dan Insinyur yang mengurusi sektor energi ataupun pengairan.
Di setiap akhir pekan atau Jum at sore, Supri dan Kamti menjemput mereka dari rumah majikan, dan menampung mereka di rumahnya di daerah Virginia. Senin pagi, mereka mengantar kembali kesebelas wanita itu ke rumah majikan masing-masing. Suami istri itu menarik bayaran $375 perbulan untuk biaya sewa tempat tinggal dan transportasi. Urusan lainnya seperti kirim uang ke Indonesia, mereka menarik ongkos lagi yang besarnya bervariasi.
Supri – Supri di sini banyak, TKW gelap juga banyak. Hubungan antar mereka sebetulnya tidak sepenuhnya hitam putih, tapi berada dalam area abu-abu. TKW butuh tempat tinggal dan pekerjaan. Supri menampung mereka dan mencarikan pekerjaan.
Sebetulnya para TKW itu datang ke Amerika dengan dokumen lengkap alias pakai visa kerja. Kebanyakan mereka dipekerjakan sebagai housekeeping atau nanny di rumah diplomat – diplomat dari berbagai negara, kebanyakan dari Timur Tengah. Setelah kontrak kerjanya habis, atau biasanya mereka kabur karena dibayar terlalu murah, atau diperlakukan dengan kasar, nah lewat jasa si Supri inilah kelangsungan hidup para TKW bergantung. Simbiosis mutualisme. Saling membutuhkan dan saling menolong. Supri butuh tambahan income, para TKW butuh tempat tinggal dan pekerjaan.
Masalahnya bisa berbeda ketika fakta hukum berbicara lain. Menurut dokumen pengadilan, Supri memperlakukan kesebelas wanita itu dengan semena-mena. Menumpuknya dalam sebuah basement seperti layaknya ikan pindang berjejer-jejer. Mereka juga dilarang keluar rumah, Paspor ditahan, serta diancam kalau kabur dari rumah maka keluarganya di Indonesia akan dibunuh. Karena status mereka yang tak punya dokumen resmi lagi, maka Supri selalu mengancam akan melaporkan mereka kepada petugas Imigrasi.
Bermula dari salah seorang wanita yang tak tahan lagi dengan ancaman dan keadaan yang menyengsarakan itu, ia kemudian mengabarkan pada saudaranya di Indonesia bahwa hidupnya terancam, atau menurut wanita itu, bahwa Supri mau membunuh keluarganya di Indonesia kalau dia tak patuh dengan Supri. Keluarganya di Indonesia kemudian melaporkan ancaman ini ke Kedutaan Amerika di Indonesia. Tak berapa lama kawat berita sampai ke FBI dan U.S. Immigration and Customs Enforcement (ICE). Investigasipun dilakukan dan setelah memakan waktu lama dan cukup bukti, pada sekitar bulan Oktober 2008, petugas hukum menangkap Supri dan istrinya.
Yaa .. rekruitmen, menampung, dan mentransportkan pendatang gelap adalah kejahatan serius dan tak bisa ditolerir. Apalagi mengexploitasi dan mengambil untung dari status mereka yang rentan. Modern slavery and human trafficking, Perbudakan Modern dan Penyelundupan Manusia. Untuk kejahatan itu Supri menghadapi ancaman hukuman 10 tahun penjara dan membayar restitusi kepada TKW yang pernah dirugikannya. Sedangkan istrinya yang masih warga negara Indonesia menghadapi ancaman 5 tahun penjara karena telah memberikan statemen palsu kepada agen federal pada saat penyelidikan.
Selama lima tahun usahanya, Supri dan istrinya mampu meraup $ 90.000 dari para TKW tersebut.
Sekedar data tambahan, Human Trafficking di Amerika cukup tinggi yaitu 14.500 sampai 17.500 orang dalam setahunnya. Kebanyakan dari mereka datang dari berbagai bangsa yang tingkat kesejahteraan sosialnya rendah, tak banyak lapangan pekerjaan, dan upah kerja sangat rendah. Data internasional sendiri lebih besar yaitu 600.000 sampai 800.000 orang tiap tahunnya menjadi korban Perbudakan Modern dan Penyelundupan Manusia.
Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap di Amerika
Thursday, November 17, 2011
HARI GINI MASIH ADA PERBUDAKAN DI AMERIKA
Posted by Janu Jolang at 11:59 PM 0 comments
Saturday, October 1, 2011
TEORI POLITIK ALA WANG CHUAN
WANG CHUAN SI DELIVERY MAN
MENJELASKAN TENTANG TEORI POLITIK
Entah bermaksud guyon atau sekedar sindiran, joke politik ini diceritakan Wang Chuan di suatu sore sebelum restoran ramai. Cerita ini tentang seorang pemuda di negara komunis yang tidak lulus pelajaran politik di sekolahan padahal si ayah adalah seorang tokoh politik terpandang dan disegani. Malam harinya si ayah (karena malu dengan guru-guru di sekolahan), akhirnya turun tangan mengajarkan tentang ideologi politik itu kepada anaknya.
Si ayah menerangkan bahwa 'POLITIK' itu identik dengan 'KELUARGA'. Sedangkan figur 'AYAH' adalah identik dengan 'PARTAI'. 'IBU' identik dengan IBU PERTIWI', 'KAKEK' identik dengan "SERIKAT PEKERJA', dan yang terakhir 'ANAK' identik dengan 'RAKYAT'. “ Nah... kini kamu sudah tau fungsi dan peran masing-masing orang dalam sebuah keluarga. Kini kamu keluar rumah, berdiri di depan pintu, dan fahami ajaran saya tadi !!!”, kata ayahnya marah melihat kegoblokan anaknya. “ Dan jangan masuk rumah kalau belum faham!!!”, tambah si ayah.
Satu jam di luar rumah si anak belum juga bisa memahami apa yang diajarkan ayahnya. Dua jam berlalu, dan udara malam makin dingin, si anak belum juga faham.
Mendekati jam ke tiga si anak menggigil kedinginan dan merasa tersiksa. Tiba-tiba dari lantai dua kamar ayahnya terdengan suara dan ternyata itu rintihan ibunya. Si anak kurang memahami itu suara tangisan atau erangan kenikmatan, sedangkan si kakek tertidur pulas sambil ngorok. Dia sendiri merasa tersiksa kedinginan di luar rumah.
Akhirnya si anak memahami apa yang diajarkan ayahnya tentang arti “POLITIK”. Ia kemudian merangkai kejadian itu dengan kalimat yang begini bunyinya: Politik adalah Partai yang memperkosa Ibu Pertiwi, sedangkan Serikat Pekerja tertidur pulas, dan Rakyat tertindas”
Posted by Janu Jolang at 11:28 PM 2 comments
Sunday, September 18, 2011
RESTORAN ITU BUTUH “SUSU-SAPI”
Dalam komunitas perantau asal Indonesia, istilah 'SUSU-SAPI' bukannya segelas susu murni, melainkan punya arti tersendiri dan sangat populer dalam hal mencari pekerjaan.
”Wah susah masuk restoran A, Si Bossnya butuh 'Susu-Sapi' “
“ Si Taufik kemaren ditangkap FBI gara gara pakai Susu-Sapi Abal-abal.”
Ya .. istilah SUSU-SAPI sebetulnya adalah “kode rahasia” imigran gelap dalam menyebut SOCIAL SECURITY NUMBER (SSN), atau biasa disebut SS, secarik kertas ukuran KTP berwarna biru yang berisi nama pemiliknya dan 9 digit nomer yang dikeluarkan kantor Social Security.
Di Amerika, atau kebanyakan negara maju, Nomer SS digunakan sebagai identitas tunggal pemiliknya. Jadi ketika Albert lahir, sekolah, bekerja, pensiun dan meninggal dunia, ia hanya punya satu nomer SS saja, nggak bisa diganti atau diterbitkan nomer baru lagi. Dengan sistem ini, Albert tak bakalan bisa memiliki identitas ganda atau punya banyak KTP, atau berusaha memalsukan identitasnya seperti banyak terjadi di negara dunia ketiga.
Karena SSN merupakan identitas tunggal maka untuk keperluan yang menyangkut pengadministrasian seperti cari kerja, daftar sekolah, cari SIM/ID, buka akun bank, beli asuransi kesehatan, beli mobil, rumah dan lain-lain, mereka selalu mensyaratkan nomer SS.
Menurut sejarahnya, dahulu kala, waktu Amerika mengalami resesi ekonomi, banyak orang kehilangan pekerjaan dan tak bisa lagi mencukupi kebutuhan dasar hidupnya. Banyak diantara mereka terserang kelaparan dan juga kehilangan tempat tinggalnya. Sebetulnya ide dasar dari Social Security sangat sederhana, masyarakat tradisional Indonesia dahulu juga pernah menerapkan sistem yang sama dan dikenal dengan istilah Lumbung Padi. Ketika panen tiba, masing-masing warga menyetor beras untuk disimpan di lumbung. Ketika musim paceklik tiba, beras yang ada di lumbung dimanfaatkan untuk menyambung hidup sampai kondisi normal kembali.
Kantor Social Security diibaratkan lumbung padi, setiap gajian kita harus menyetor sejumlah uang untuk disimpan dan nantinya ketika pensiun dan membutuhkan perawatan kesehatan kita bisa memanfaatkannya. Mereka mensyaratkan kita harus bekerja setara dengan 40 satuan kredit atau minimal 10 tahun untuk bisa mendapatkan benefit pensiun dan medicare yang bisa diambil ketika kita berumur 65 tahun, atau kalau kita mengalami cacat permanen.
Lantas bagaimana nasib para pendatang gelap di Amerika yang tak mempunyai SSN? Bagaimana mereka bisa “survive” tanpa identitas yang sah?
Boro-boro mendapatkan uang pensiun, mau cari kerja aja susahnya minta ampun.Tiap orang yang akan melamar pekerjaan selalu ditanyakan nomer SS. Perusahaan yang bonafid bahkan punya perangkat komputer yang bisa mengakses keabsahan nomer SS beserta pemiliknya. Para pendatang gelap akhirnya hanya bisa bekerja di sektor informal yang dibayar cash alias tunai seperti Tukang Kebun, Nanny, Handyman, atau tukang bersih-bersih. Mengenai kerja di restoran, beberapa diantara pemiliknya “tutup” mata dengan “status” karyawan. Mereka tidak mengecek keaslian SSN, atau menerima mereka dengan sembunyi-sembunyi alias tidak melaporkan ke instansi terkait. Tentu tindakan ini jika ketahuan beresiko restoran itu akan kena denda bahkan ditutup.
Selalu ada yang bermain .... ya itulah yang terjadi. Mafia-mafia “Latino” bak dewa penolong bagi imigran-imigran gelap di sini. Mereka bisa menyediakan identitas palsu mulai dari Kartu SS, Kartu Working Permit, sampai Greend Card secara sembunyi-sembunyi kepada Imigran gelap. SS palsu itu wujudnya sama, nomernya juga resmi dikeluarkan oleh kantor SS, tapi namanya dibikin sesuai si pemesan. Mafia-mafia ini memakai nomer SS-nya orang-orang yang sudah meninggal, atau mencuri dari seseorang dan kemudian menggandakan nomer SS tersebut. Nah berbekal SS palsu itu banyak para imigran gelap melamar kerja di restoran-restoran, usaha konstruksi, pertamanan, atau di kantor-kantor kecil.
Teman-teman perantau asal Indonesia banyak juga yang “tergiur” dengan membeli identitas palsu itu. Asal siap menanggung resiko ditangkap petugas dan ditahan, semuanya berpulang pada masing-masing pribadi. Seperti Mas Taufik yang bekerja di sebuah restoran Pan Asia di daerah Rosslyn, dia ditangkap lewat operasi gabungan dari FBI, Imigrasi, dan Kepolisian. Mereka mengepung restoran dan menangkap Mas Taufik yang sedang memasak order di dapur, memborgolnya, dan membawa keluar melewati ramainya pelanggan restoran siang itu.
Ya... memakai nomer SS orang lain untuk bekerja amatlah beresiko. Menurut cerita Mas Toto yang menengok di penjara, Mas Taufik ternyata memakai identitas orang lain untuk bekerja. Kejanggalan akan terlihat di kantor SS atau IRS (kantor Pajak), ketika seseorang bekerja di beberapa tempat sekaligus dalam waktu bersamaan. Aliran slip gajinya bisa dirunut darimana dan kapan mendapatkannya. Amat sangat janggal kalau seseorang bisa bekerja “fulltime” di dua tempat sekaligus, apalagi berbeda lokasi atau negara bagian.
Menurut perkiraan, kejahatan Identity Theft di Amerika dialami oleh 10 juta orang tiap tahunnya. Mulai dari kategori yang ringan sampai yang terberat. Identitas kita dipakai untuk mendaftar kerja, membuka line telpun, menyewa apartemen, apply credit card, transaksi online, atau lain-lainnya. Kita tak menyadari Identitas kita dipakai sampai seseorang dari debt collector menagih “utang-utang kita”.
Kejahatan Pencurian Identitas ini sangat serius akibatnya, terutama bagi si korban. Mereka bisa kehilangan ribuan dollar tanpa pernah sekalipun membelanjakannya, dan juga kehilangan nama baik serta skor “credit record”nya anjlok, yang bisa berakibat jangka panjang dalam kemudahan mendapatkan kredit perumahan, peluang kerja, ataupun pendidikan.
Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap di Amerika
Posted by Janu Jolang at 12:04 AM 0 comments
Tuesday, August 30, 2011
SEORANG PELANGGAN RESTORAN BERNAMA PETER BARANGKALI SEORANG AGNOSTIC
Peter selalu duduk di sushi bar. Perawakannya gendut – mengingatkanku pada si Hengki temanku di Indonesia. Ia pelanggan tetap restoran tempatku bekerja. Pekerjaan Peter termasuk bagus, seorang programmer komputer di Fanny Mae, sebuah perusahaan mortgage raksasa di Amerika yang akhir-akhir ini sedang mengalami 'collapse'.
Kemarin malam di restoran, sambil menyantap Seared Salmon Belly kesukaannya - ia menceritakan pengalamannya waktu mengunjungi Turki, sebuah negara yang dalam sejarahnya pernah mengalami jaman keemasan dan juga merupakan salahsatu tonggak kemajuan peradaban Islam di dataran Eropa.
Dengan jujur, Ia menceritakan bahwa Ia sangat terkesan ketika mendengar suara azan yang mengalun indah dan magis di sore hari di kota Ankara, diantara bayangan sinar matahari yang hampir tenggelam.
Mendengar ceritanya, anganku tiba-tiba melayang ke masa kecilku, mengingat suasana ramadan di kampung halaman. Ketika aku berada di bawah rindangnya pohon beringin di tengah Alun-alun sore hari, sungguh suasananya sangat “khusyuk” dan magis. Perut lapar, badan lemes, sesekali aku menggigil diterpa angin sore, dan tak berapa lama adzan berkumandang.
Sungguh rasanya aku sangat dekat, dekat sekali dengan Tuhanku.
Iseng kutanyakan kepadanya, “ Do you believe in God?”
Ternyata jawaban dari Peter malah mencengangkan diriku,” Hey man, that (question) is not important to me. The importan thing is God believe in me.” Pertanyaan itu nggak penting, bro. Yang penting, Tuhan percaya padaku.
Wheladalah .. barangkali faham inilah yang sering disebut dengan Agnostic. Mereka percaya Tuhan tapi tidak peduli. Memang kalau dipikir memakai sudut pandang Tuhan Yang Maha Segalanya, tentu Tuhan selalu yakin dan percaya terhadap semua ciptaanNya. Kita mau dibikin kaya, miskin, pandai, bodoh, beriman, kafir, mati hari ini, atau 100tahun lagi. Semua mutlak KuasaNya.
Maka ketika hal itu kuceritakan pada temanku yang kini jadi Kyai di sebuah pesantren di Jogjakarta, dia bilang pernyataan si Peter ini sungguh profokatif, terlalu berani, dan berkesan arogan seolah ia tidak butuh Tuhan dalam hidupnya.
Memang di Amerika yang sekuler ini, agama kurang menginspirasi dalam kehidupan sehari-hari. Istilah kerennya kurang “Greget”. Mau ngurus KTP kolom agama tidak ada, cari kerja juga. Kalau kita mau nikah hal itu juga tak ditanya. Untuk perayaan hari Natal, yang notabene banyak pemeluk agama Nasrani di sini, orang-orang lebih nyaman menggunakan kata-kata “Happy Hollyday” atau “Season's Greetings” dalam kaitannya dengan ucapan selamat, seringnya dipakai dalam sambutan resmi pejabat publik, sekolahan-sekolahan, department stores, atau greeting cards.
Apalagi suasana puasa ramadan di sini, sungguh aku kehilangan suasana religi yang dahulu kurasakan waktu masih di Indonesia. Ketambahan lagi puasa pas musim panas yang panjangnya bisa 16 jam, sungguh setengahnya merupakan siksaan, dan setengahnya merupakan cobaan.
Ahmad, temanku yang kerja di restoran Pan Asia di daerah downtown yang selalu ramai pengunjung mengeluh padaku,” Gila man ..., chefku orang Vietnam ngomel-ngomel terus. Dia nggak mau tau ini bulan ramadan man ... gue di pushed terus!”
Kasihan juga si Ahmad yang bekerja 12 jam sehari. Puasa membuat tubuhnya kehilangan kelincahan dan konsentrasi kerja. Jam 1 siang adalah saat-saat restoran ramai, dan Ahmad sudah kehilangan banyak energi. Suasana dapur di depan wajan yang panas membuat dirinya mengalami dehidrasi alias kehilangan cairan tubuh. Metabolismenya terganggu, badan lemas, suhu tubuh naik, konsentrasi terganggu, dan mengalami pusing-pusing. Untung nggak sampe kena stroke atau jantung mandeg, dan akhirnya Ahmad mengalah.
Chefnya bilang,”Ngapain kamu menyiksa diri?” Dan dijawab Ahmad ini bagian dari tradisi.
“Ya tapi kamu jadi sering salah bikin order dan lambat. Pelanggan komplain tuh ....”
Akhirnya setelah beberapa hari Ahmad memilih keluar dari pekerjaannya. “Gila man ... gue baru tau rasanya kerja Rodi yang dialami nenek moyang kita dulu.”
“... Mending ente bisa keluar kerjaan, Mad. Palingan nganggur nggak dapet duit. Lha nenek moyang kite dulu? Dipaksa kerja Rodi sampe ko'it ..man.”
Dalam hati aku salut dengan Ahmad. Dia lebih mementingkan puasanya dan tak takut kehilangan pekerjaannya. Jujur, sebagai pendatang gelap yang “lahan pekerjaannya” terbatas, dia termasuk berani mengambil resiko jadi pengangguran di Amerika.
“ Rejeki nggak akan lari kemana ... man!”, katanya mantap, semantap keyakinannya pada Agama dan Tuhannya.
Kembali pada Peter, aku tiba-tiba tergelitik pingin tanya tentang agamanya, “What is your religious view?”
Dan jawabannya malah mencengangkan sekaligus bikin aku geleng-geleng kepala, “ I will find out after i'm gone”, “Aku akan mengetahuinya setelah aku mati”
Sejenak pikiranku berkecamuk ... hmmmm..., pada akhirnya semua kukembalikan pada masing-masing pribadi. Masalah Tuhan dan Agama adalah masalah keyakinan, masalah kepercayaan. Pada titik ini kita tidak bisa memaksakan sebuah keyakinan kepada seseorang yang tidak yakin akan hal itu. Kita sering mendengar istilah Lakum dinukum waliyadin, Bagimu Agamamu Bagiku Agamaku, dan itulah sebetulnya esensi dari kebersamaan hidup damai di dunia.
Kulirik jam dinding menunjukkan setengah sembilan malam. Tak ada adzan mengumandang di sini. Aku pamit pada Peter mau berbuka puasa. Di dalam kuteguk teh manis hangat dan kukunyah sepotong roti.
Ada suasana hilang yang kurasakan saat itu. Aku kehilangan suasana religi dan kedekatan kepada Tuhanku. Aku kembali bekerja. Semuanya terasa mekanistik seperti robot. Tak ada lagi kegembiraan berbondong-bondong ke Masjid Agung untuk shalat taraweh, bermain kembang api dan petasan setelahnya, atau tak sabar menunggu Idul Fitri tiba, sambil mengumandangkan takbir di malam hari. Dan menantikan opor ayam bikinan ibu serta mengenakan baju baru ......
Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap di Amerika
Posted by Janu Jolang at 12:47 AM 0 comments
Friday, July 22, 2011
JALAN-JALAN KE KOTA TUA GEORGETOWN
Georgetown “Tempo Doeloe”. Dalam sebuah papan iklan tertulis seperti ini:
Two negro men $300
One ditto woman $150
Four ditto girls $150
Two horses $200
Two cows $30
Awalnya Georgetown adalah tempatnya budak kulit hitam. Kota kecil bersuasana asri dan teduh di pinggiran sungai Potomac dan tak jauh dari Washington DC itu dahulu adalah salahsatu port keluar masuknya tembakau dari dan ke Amerika. Mereka mendatangkan orang-orang dari Afrika untuk bekerja di ladang tembakau yang kebanyakan berada di daerah Virginia dan Maryland.
Kalau membaca iklan “Tempo Doeloe” yang usianya lebih dari ratusan tahun di atas sungguh hati rasa terenyuh. Tak habis pikir kalau harga 2 ekor kuda lebih mahal dari 4 gadis kulit hitam. Ya itulah kenyataannya.
Itulah kisah yang kubaca di Washington Post yang ditulis Andrew Stephen, yang punya rumah di Georgetown, dan ketika anaknya yang berumur 16 tahun ada tugas sekolah, dan ternyata menemukan di perpustakaan lokal tentang sejarah yang (sengaja) terlupakan dari kota tua Georgetown, yaitu tentang Perbudakan dan terusirnya kaum kulit hitam dari Georgetown.
Budak-budak kulit hitam menjadi alat perekonomian dalam perkembangan kota Georgetown kala itu. Mereka tinggal di basement-basement sempit di rumah tuannya, atau di penampungan – penampungan kumuh. Tenaga mereka di peras, diperjual belikan untuk membangun rumah, jalan, jembatan, pertamanan, atau bekerja di sektor industri dan perkebunan. Tapi ironisnya mereka secara sosial ditolak keberadaan dan hak-haknya sebagai manusia pada umumnya. Banyak peraturan-hukum yang membuat mereka selalu dalam ketakutan dan tertekan. Dilarang berkumpul lebih dari 7 orang, Hukum cambuk bagi yang kedapatan mandi di sungai Potomac, Melihat Adu Jago, atau Bermain Layang-layang. Bahkan untuk ke gereja mereka hanya diperbolehkan datang di hari Sabtu, dan itupun tempatnya terpisah dari kaum kulit putih.
Di jaman sekarang, Georgetown telah menjadi daerah elit yang sebagian besar dihuni orang kulit putih. Banyak politisi, selebrities, sosialista, membeli rumah di sana. Rumah – rumah di sana kini berharga jutaan dollar, melonjak pesat dari harga 3000an dollar tahun 1800an. Rumah – rumah tua dengan suasana asri dan tenang itu ternyata menyimpan banyak kisah memilukan. Kisah terusirnya komunitas kulit hitam dari kota Georgetown.
Kembali ke belakang, setelah Presiden Abraham Lincoln membebaskan Perbudakan di tahun 1862, banyak kaum kulit hitam yang mendiami Georgetown mulai berdikari.Mereka menjadi buruh kasar diberbagai sektor bisnis kala itu. Sebagai budak yang sudah dibebaskan, walau hak-haknya masih dibatasi, mereka bisa beraktifitas secara sosial maupun ekonomi. Mereka bisa berkumpul, mempunyai gereja sendiri, tidak dibatasi khusus hari Sabtu saja, juga bisa bekerja dengan mendapatkan upah.
Lalu datanglah bencana ekonomi yang membuat nasib kaum hitam jadi kelam. Sungai Potomac tertimbun lumpur akibat banjir dari hulu Cheaspeake dan Ohio Canal sehingga industri pelabuhan Georgetown lumpuh. Banyak bisnis seperti pengolahan tepung, pabrik kertas, gudang tembakau dan lain lainnya bangkrut. Orang kulit hitam banyak kehilangan pekerjaan dan jadi homeless. Sebagian dari mereka pindah ke daerah lain. Dan ketika terjadi Depresi Besar Ekonomi yang melanda Amerika kaum kulit hitam makin terdesak karena profesi “buruh kasarnya” direbut oleh kaum kulit putih.
Waktu berjalan, kaum kulit hitam di kota Georgetown makin terdesak, ribuan pekerja pemerintah kulit putih di era Presiden FDR datang memenuhi Washington DC. Hal ini menciptakan pasar properti dan perumahan yang mendorong harga rumah di Georgetown menjadi tinggi. Banyak warga kulit hitam kehilangan rumahnya entah itu dijual atau tak mampu lagi memilikinya.
Pukulan telak kembali terjadi. Bagi kalangan miskin kulit hitam yang menempati rumah-rumah kumuh, dengan adanya undang-undang yang dikeluarkan pemerintah tentang “Membuat Suasana Asri Kota Georgetown” dan “Melindungi Cagar Budaya dan Tempat Bersejarah” maka secara otomatis mereka tersingkir. Populasi orang kulit hitam di Georgetown menyusut drastis. Tercatat pada tahun 1970an komunitas kulit hitam tinggal 250an orang, merosot dari 3200 orang pada tahun 1870an.
Aku berjalan sepanjang jalan M street yang membelah kota Georgetown. Masih terlihat jejak bangunan kota tua seperti dalam film-film koboi jaman dulu. Bedanya sekarang bangunan itu telah disulap menjadi toko-toko yang mencirikan simbol kemodern-an. Sebut saja Lacoste, Banana Republic, Benneton dan lainnya. Demikian pula beberapa bangunan tua dijadikan restoran – restoran mewah langganan orang-orang penting di Ibukota, mulai dari Presiden US, Senator, eksekutif dan para pelobi tingkat tinggi.
Di musim panas, banyak turis lokal maupun mancanegara mengunjungi kota tua tersebut. Mereka ingin menikmati suasana kota tua yang asri dan teduh dengan pepohonan di sepanjang jalan, juga dengan dermaga pelabuhannya yang mempunyai pemandangan indah ditepian sungai Potomac. Dalam hati “nggak nyangka” kalau jaman dulu orang-orang kulit hitam dilarang mandi di sungai itu dan bermain layang-layang.
Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap di Amerika
Posted by Janu Jolang at 12:01 AM 0 comments
Friday, June 17, 2011
KREATIFNYA PENGEMIS – PENGEMIS INDONESIA
Seperti pernah kubandingkan, pengemis di Amerika tak ada seujung kukunya dengan pengemis di Indonesia. Pengemis di Jakarta tak pernah 'mati-gaya' selalu ada cara-cara baru dalam mengemis.
Salah satunya yang membuat jantungku berdebar – debar adalah seorang yang bertampang “brengos”, masuk ke dalam bis, dan “berlagak” seolah-olah kriminal yang baru saja keluar dari penjara.
Dia bilang begini kepada penumpang bis:” Para penumpang bis yang budiman, saya sebetulnya malu mengatakan ini kepada Anda sekalian. Hari ini saya barusaja keluar dari penjara Cipinang dan saya ingin pulang ke kampung saya di Serang. Terus terang saya tak punya bekal dan (sambil mengehunus gagang pisau yang diselipkan diantara celananya) saya meminta dengan hormat saudara bisa sedikit menolong saya sekedar beramal untuk ongkos saya pulang ke Serang. Mohon perhatian saudara saudara sekalian, saya pernah merasakan betapa keras dan susahnya hidup di penjara, jadi jangan bikin saya terpaksa menggunakan kekerasan dan kembali lagi ke penjara.”
Wooow dalam hati aku “keder” juga mendengar ancaman si pengemis yang tampangnya “preman” itu. Terpaksa kurogoh saku dan kurelakan jatah rokokku hilang. Menurutku, cara dia mengemis sungguh kreatif. Kreatif bro ... cuma ini udah “ngeganggu” ketentraman sosial. Kita-kita merasa terintimidasi dengan tingkah polahnya.
Dilain waktu ketika aku naik KRL jurusan Beos, ada seorang pengemis tua yang kehilangan anggota tubuhnya dari lutut ke kaki. Dengan dibalut perban yang seolah-olah masih berdarah, pak Tua itu merangkak di lantai kereta sambil menghiba-hiba kepada penumpang. Peran dia sebagai “mantan” Penderita Kusta -- sangat mengena dihati penumpang. Herannya, pengemis serupa kutemukan juga di perempatan lalu lintas, dan tempat keramaian lainnya. Peran yang mereka tampilkan “seragam”, membuat para dermawan merasa iba sekaligus jijik melihat luka yang masih berdarah (dan jangan-jangan menular).
Memang kata temanku Rohman, Indonesia adalah surganya para pengemis. Aku sampai kaget mendengar bayi yang disewakan 75. 000 rupiah perhari buat mengemis, juga orang buta yang bertarif 150.000 rupiah perhari. Dalam hatiku bertanya, “Modal awalnya aja sudah 75.000 atau 150.000 rupiah. Lantas si pengemisnya dapat berapa?”
Dan makin kaget aku dibuatnya ketika Rohman mengatakan bahwa pengemis orang buta bisa bikin antara 500.000 sampai 800.000 rupiah seharinya. “ Wah kalo dirata-rata 600.000 ribu dan “ngemis” 25 hari, berarti pendapatannya 15 an juta rupiah sebulan. Ngalah-ngalahin pegawai negeri dong?”
“ Iya. Ada mafianya, ada yang mengkoordinir. Mereka punya daerah masing-masing. Tiap pagi mereka di drop dan malamnya di jemput. Jangan harap bisa ngemis di perempatan Coca – Cola kalau nggak ada lampu hijau dari preman si empunya daerah situ.”
Aku masih terheran-heran dalam hati mendengar penjelasan si Rohman. Jujur penghasilan pengemis di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan upah minimum rata-rata di negara Amerika. Di negara bagian Virginia, seorang bekerja full time 8 jam dibayar $ 7.25 perjam, dan hanya mendapatkan USD 58 sehari. Seminggu mendapat $ 290, dan sebulan $ 1160. Dengan pajak pendapatan yang bervariasi antara 10 sampai 20 an persen. Kita bisa mengantongi pendapatan bersih sekitar $ 1000 an alias 9 juta rupiah (kurs 1 dollar setara 9000 rupiah).
Pantesan pengemis Indonesia kreatif karena selain pendapatannya besar, saingannya banyak. Mereka juga berfikir tentang inovasi ketika satu cara sudah nggak mendatangkan duit lagi. Dahulu kala ketika aku masih kecil, pengemis datang ke rumah – rumah meminta sedekah dengan tulus. Jika tak ada uang didapat, mereka mau menerima makanan sisa, atau baju-baju bekas. Pengemis sekarang “boro-boro” mau dikasih baju bekas, maunya hanya uang.
Dahulu pengamen hanya memakai kecipring, ketipung dari kaleng, atau kotak kayu dengan tiga senar dari karet. Dan ketika kita bilang “sanese mawon” atau menolak secara halus, mereka segera pergi. Tetapi sekarang, pengamen lebih “garang”. Ketika dikasih 100 rupiah, duit itu dilemparkan kembali kepada kita disertai umpatan dan caci maki.
Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap di Amerika
Posted by Janu Jolang at 1:22 AM 1 comments
Thursday, May 19, 2011
PERILAKU BINATANG
Hari ini aku ngobrol dengan Wang Chuan si delivery man tentang perilaku binatang.
Dalam sebuah penelitian ilmiah ternyata binatang ( dalam percobaan ini seekor anjing) punya pemahaman kalau diberi latihan yang berulang.
Ketika sebuah lonceng dibunyikan, berarti itu tanda makan tiba. Si anjing akan bereaksi dengan ekspresi girang, air liur menetes, dan perut keroncongan. Bahkan ketika bel itu dibunyikan dan makanan tidak datang si anjing tetap berekspresi kegirangan, air liur menetes dan perut keroncongan. Dalam hal perilaku anjing dengan lonceng yang dibunyikan, konon hasil penelitian itu diaplikasikan oleh agen-agen rahasia atau militer sebagai alat teknik mencuci otak, propaganda atau mendoktrin seseorang.
Demikian pula ketika sebuah peternakan babi yang berisi betina-betina unggul, dan kemudian didatangkan seekor pejantan babi tangguh. Dalam radius puluhan meter si babi betina itu bisa mencium kedatangan si babi jantan dan bereaksi secara hewani dengan mondar mandir nggak karuan, gelisah, dan berahi mulai meningkat. Dalam hal merangsang berahi, hasil pengamatan itu konon dipakai oleh salah satu perusahaan parfum untuk menciptakan parfum yang bisa merangsang dan menarik lawan jenisnya.
Aku lantas teringat sebuah buku, Sofie World yang dalam satu bagiannya menceritakan tentang seekor ayam dan seorang perempuan.
Setiap pagi si perempuan itu membawa ember yang berisi pakan untuk si ayam. Ketika mendengar langkah kaki dan bunyi ember, si ayam berkotek kegirangan tak sabar. Hal itu berulang dan menjadi kebiasaan hingga suatu hari si perempuan itu membawa ember tetapi tidak berisi makanan melainkan sebilah pisau. Tak lama kemudian si ayam itu menemui ajal karena disembelih untuk hidangan makan malam.
Sungguh cerita itu memberi kesan dalam bagiku. Apa yang selama ini kita pahami sebagai sebuah kenyataan, sebuah kebenaran, ternyata ada batasnya. Kadang kita mendasarkan keyakinan-keyakinan kita hanya pada pengalaman empiris yang kita alami saja, tetapi kadang kita lupa bahwa sebuah kebenaran bisa datang dari mana saja. Bisa dari buku, pengalaman orang lain, atau peristiwa yang tidak kita alami sekalipun. Kalau kita percaya Tuhan, kadang sebuah kebenaran akan ditunjukkan lewat kuasaNya.
Dalam hal cerita ayam dan perempuan, bagiku pribadi : sebuah pikiran yang selalu terbuka dan selalu kontemplasi adalah cara kita bisa mencapai sebuah pencerahan hidup....
Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap Di Amerika
Posted by Janu Jolang at 2:24 AM 0 comments