Saturday, February 1, 2014

KAMAR 310: ASYLUM - SUAKA POLITIK


Asylum dalam terminologi hukum keimigrasian AS adalah Peminta Suaka Politik. Mereka adalah orang-orang dari berbagai bangsa yang mengajukan dan meminta perlindungan kepada pemerintah Amerika karena alasan-alasan yang berkaitan dengan pelanggaran hak azasi manusia terhadap dirinya.

Ketika meletus kerusuhan Mei 98 banyak WNI keturunan Cina yang lari ke Amerika untuk meminta suaka politik dengan alasan kekerasan rasial dan kriminal. Banyak dari mereka akhirnya menjadi penduduk tetap dan kemudian mengajukan naturalisasi menjadi warga negara Amerika.
Tiga tahun berlalu, tepatnya setelah peristiwa 911, ketika serangan bunuh diri pesawat yang menghujam ke gedung kembar WTC dan Pentagon, Amerika menjadi paranoid dengan hal-hal yang berbau muslim. Mereka lantas mengadakan program wajib lapor diri bagi warga negara yang berasal dari negara - negara yang “dicurigai” ada kaitannya dengan terorisme, Al Qaida, dan Indonesia termasuk di dalamnya.
Kala itu banyak pendatang gelap merasa ketakutan. Status mereka yang dicap seolah-olah atau setengahnya "teroris" membuat nyali mereka ciut. Beberapa dari mereka mengadu ke Kedutaan Indonesia untuk meminta penjelasan tentang proses wajib lapor dan nasib mereka di kemudian hari. Saat itu kalau mereka tidak lapor atau mangkir, mereka akan diburu oleh satgas khusus bentukan Department of Homeland Security. Beberapa yang ketakutan mematuhi peraturan itu, mereka antri menyerahkan paspornya, didata, diperiksa, dan yang ketahuan overstay pasrah tinggal menunggu dideportasi.
Dalam suasana yang kacau dan penuh ketidakpastian, ada satu cara yang ditempuh para imigran gelap agar bisa tetap bertahan atau minimal memperpanjang waktu untuk "tinggal" di Amerika, yaitu mengajukan Suaka Politik. Maka mereka berbondong-bondong mencari tahu pengacara imigrasi mana yang bisa membantu menangani kasus mereka.
Selalu ada yang bermain. Yaa demikian istilah dalam dunia abu-abu Imigran Gelap di Amerika. Sebut saja mbak Rani -- yang bekerja sebagai staff paralegal di sebuah kantor Pengacara Imigrasi di area DC, Maryland, Virginia -- akhirnya kebanjiran klien dadakan dari imigran gelap Indonesia.
Mbak Rani mempermudah proses pengajuan Asylum para pendatang gelap untuk didaftarkan ke Kantor Imigrasi. Mulai dari "karangan cerita" sampai bukti-bukti yang nantinya akan di review dan diputuskan di pengadilan oleh hakim urusan keimigrasian. Kenapa disebut karangan cerita? Karena kebanyakan data dan fakta yang disodorkan ke pengadilan adalah fiktif alias karangan belaka. Isu yang diangkat kalau kebetulan si pemohon adalah WNI keturunan Tionghoa maka ceritanya dia "seolah-olah" menjadi korban sentimen ras, dengan diperlakukan secara kejam, disiksa, atau diperkosa.
Kalau kebetulan si pemohon adalah orang yang beragama Nasrani, maka cerita yang akan diangkat bisa bermacam-macam. Mulai dari dilarang beribadah, dianiaya warga, hingga gereja dibakar.
Andai si pemohon orang Aceh, maka isu GAM-lah yang diangkat sebagai cerita di pengadilan. Tapi kalau anda orang Purwokerto maka tidak masuk akal kalau alasannya adalah mau mendirikan Gerakan Purwokerto Merdeka. Cerita yang masuk akal adalah Anda "seolah-olah" dituduh sebagai pemasok kebutuhan logistik untuk GAM. Hidup anda merasa terancam karena dikejar-kejar aparat polisi atau intelijen negara.
Lain lagi kalau si pemohon adalah seorang aktivis demokrasi, maka tindakan represif dari sang penguasa; lewat agen intelijen, polisi, atau preman suruhan; lewat tindakan menculik mereka, mengintimidasi, menganiaya, atau bahkan sampai menghilangkan nyawa.
Salah satu teman dari Indonesia sebut saja Romli yang dahulu di Indonesia adalah pembalap motor liar yang kerjanya kebut-kebutan di jalan raya, bahwa ia pernah kecelakaan parah hingga tangan dan kakinya patah, maka dengan menyajikan foto-foto ronsen yang penuh sambungan pin diantara kaki dan tangannya sebagai bukti di persidangan, ditambah plintiran cerita bahwa itu akibat disiksa tentara di masa era Presiden Soeharto, akhirnya permohonan Asylum Romli disetujui oleh hakim.
Singkatnya, inti cerita dan bukti-bukti yang akan disampaikan ke hakim haruslah masuk akal, meyakinkan, dan memenuhi kriteria sebagai korban pelanggaran hak azasi manusia, entah itu berkaitan dengan ras, agama, kebangsaan, anggota kelompok sosial tertentu, atau pandangan politik yang berbeda dengan pihak penguasa.
Para pemohon Asylum sadar bahwa rasa nasionalismenya tengah digadaikan. Mereka mengambil sikap seolah-olah sebagai “musuh” negara atau”korban” dari sebuah institusi negara. Tujuannya jelas, untuk tetap bisa bertahan dan mencari nafkah serta hidup di Amerika. Dan kondisi mereka yang serba belum pasti, yaitu mengambil sikap sebagai musuh Indonesia sekaligus belum diakui (bahkan bisa ditolak) oleh hakim, para pemohon Asylum tak mau statusnya diketahui oleh sesama perantau. Mereka takut akan dicap sebagai “pengkhianat” bangsa.
Aku jadi teringat lagunya Gombloh: Indonesia .. Merah darahku, Putih tulangku, Bersatu dalam semangatmu. Indonesia ... debar jantungku, Getar nadiku, Berbaur dalam angan anganmu. Kebyar ... kebyar ... pelangi jingga. Sekali lagi, hidup memberikan warnanya tak sekedar hitam atau putih melainkan juga abu-abu.

Monday, January 20, 2014

Cerpen: Crystal Ball


Wanita setengah baya berkulit hitam itu bernama Crystal, karena kepalanya plontos, mengkilat maka orang-orang menambahkan Ball, jadilah ia bernama Crystal Ball alias Bola Kristal. Nama yang sangat indah.

Kalau tak kenal Crystal Ball, siapapun pasti mengira ia seorang laki-laki tulen. Perawakannya kurus pendek, teteknya hampir tak ada, gaya bicaranya lantang, mudah marah, dan rokok tak pernah lepas dari mulutnya. Apabila dari mulutnya tercium bau alkohol, maka perangainya makin runyam. Caci maki dan sumpah serapah dalam bahasa "slank" paling kotor keluar bertubi-tubi dari mulutnya. Ibarat senjata api yang menyalak dalam perang kota Baghdad, si Crystal Ball mengutuk siapa saja secara membabi buta. Barangkali semua orang sepakat bahwa si Crystal Ball punya problem mental alias sakit jiwa.
Crystal Ball adalah bagian dari komunitas Dupont Circle daerah trendi downtown Washington DC. Ia bisa berada di hingar bingarnya Club dan Bar di sisi jalan. Lantas berpindah ke trotoar Cafe dan Restoran segala masakan. Entah ia menjual narkoba atau sekedar minta sebatang rokok, atau hanya sekedar meramaikan suasana antrian masuk Bar, diantara muda-mudi yang berpakaian gemerlap, seronok memperlihatkan belahan dada rendah, make up tebal dan setengah mabuk. Ya .. daerah Gay dan Lesbian di Washington D.C. menawarkan aneka kegembiraan, daerah yang tak pernah sepi, daerah dimana pasangan bercengkerama di keremangan bangku taman, atau bersama homeless dan pengemis yang lelah tertidur di rerumputan taman, atau membaur dalam gelak tawa di Bar hingga dini hari.
Perkenalanku dengan Crystal Ball sungguh tak sengaja. Waktu itu siang hari cerah di musim panas aku sedang duduk santai menikmati lalu lalang orang di undakan depan restoran tempatku bekerja. Tiba-tiba si Crystal Ball lewat trotoar dan berhenti tepat di mukaku sambil marah-marah. Ibarat angin topan yang datang tiba-tiba, dia meneriaki dan menuding-nuding aku dengan kata-kata kasar fucking bitch, berulang-ulang tanpa sebab apa-apa.
Aku hanya celilian bengong menggelengkan kepala. Orang-orang yang lalu lalangpun ikut bertanya dalam hati, mungkin aku bikin gara-gara. Yaa sebuah awal perkenalan yang tak mengenakkan. Selanjutnya kalau melihat dia aku memilih untuk menghindar, biar tak kena maki-maki lagi.
Celakanya pada suatu hari dalam kondisi yang tak bisa kuhindari, aku berpapasan dengannya di trotoar. Aku berusaha menyapa dia dengan lagak ramah dan tak kuduga dia membalasnya dengan senyuman. Lagaknya seolah kawan lama, ia memanggilku dengan sebutan sweety alias si manis.
Kutawarkan sebatang rokok untuk mengusir canggung dan ia dengan gembira menyambutnya. Sambil basa-basi kutanyakan dimana dia tinggal dan dia menjawab tinggal di komunitas orang hitam di daerah South East, Washington DC. Tempat yang angker karena tingkat kejahatannya yang tinggi dan hampir tiap hari terdengar suara pistol menyalak. Perampokan, pencurian dan perang narkoba antar geng, Breaking News TV lantas menyiarkan seseorang terbunuh lagi hari ini di South East.
Crystal Ball bercerita bahwa sesama orang hitam selalu ada rivalitas. Diapun tak ingin disamakan dengan orang hitam asal Afrika, ataupun dari Jamaika. Ia mengaku keturunan suku Indian. Kakek moyangnya adalah suku Cherokee yang hidup sepanjang Georgia - Carolina - Tennesse dan punya naluri berburu hebat. Gara-gara cerita tentang perburuan, si Crystal Ball berjanji kepadaku bahwa suatu saat dia akan menghadiahkan sebuah busur panah kebanggaan suku Cherokee. Memang benar dia kemudian menepati janji - tapi sayang apa yang kubayangkan sebuah busur panah yang kekar dan bagus ternyata (dia sempat-sempatnya) hanyalahlah rangkaian busur panah dari ranting pohon dengan di kedua ujungnya disambung seutas tali. Dalam hatiku aku tertawa melihat hadiah dari dia. Itu mah kerjaan anak SD bikin panah-panahan.
Aku tertawa dalam hati, tapi dengan senang hati pemberian itu aku terima. Dan Crystal Ball berjanji suatu saat ia akan membuatkan anak panahnya.
+++
Crystal Ball tak punya pekerjaan tetap. Kadang ia membantu membersihkan kaca di toko grocery milik orang Korea, atau mengelap meja kursi di kedai Sandwich, atau menyapu trotoar sepanjang blok. Kalau kutanya siapa yang membayarmu untuk menyapu jalanan, dia hanya menjawab tak ada yang membayar. Dia melakukan untuk kebersihan lingkungan. Rasa peduli lingkungannya kuacungi jempol. Di sini orang dilihat dari partisipasinya dalam komunitas sosial. Kadang ia mampir ke restoran dan memberikan sebotol bir kepadaku. Atau memberikan baju bekas yang diambilnya dari box tempat pengumpulan barang bekas.
Kubayangkan si Crystal Ball adalah seorang pesakitan mental yang mencoba bertahan hidup. Ia selalu berkata dan mengulangi pernyataannya, " somebody gonna kill me." Dan entah siapa yang akan membunuhnya aku tak tahu. Pernah dia menuding pemuda gelandangan kulit putih yang lagi asyik mengorek sisa makanan di tempat sampah. Barangkali siapa saja bisa jadi tertuduhnya, suka-suka dia.
Sore hari kulihat di seberang jalan di depan pintu hotel si Crystal Ball sedang marah-marah dengan petugas Doorman dan manager hotel. Kulihat mereka saling otot-ototan tak ada yang mau mengalah. Tak lama polisi datang melerai dan membawa Crystal Ball pergi. Beberapa hari kemudian ketika aku bertemu dengannya ia menceritakan bahwa ia dituduh meludahi pegawai hotel. Sedangkan dia beralasan saking antusiasnya berargumen ludah muncrat dari mulutnya. Sejak kejadian itu ia mendapatkan notice dari polisi tak boleh mendekati hotel tersebut. Dalam komunitas Dupont Circle dia dipandang sebagai seorang relawan sosial sekaligus  "trouble maker". Sungguh sangat absurd.
***
Setiap bertemu Crystal Ball selalu mengeluh padaku tak punya uang. Kemudian ia merajuk dan minta uang kepadaku. Dan entah sudah berapa puluh kali jawabanku selalu sama, " I don't have money. I'm broke"
Lantas aku mengeluarkan bungkus rokok dari saku celanaku dan kutawarkan padanya. Ia menyambut gembira sambil mengambil sebatang dan aku menyalakannya. Masalah uang pun akhirnya lupa dan kita basa-basi ngobrol.
Pertemananku dengan Crystal ball dilihat teman kerjaku sangat aneh. Terutama oleh si Kepala Chef Mr. Chong, yang notabene benci banget dengan si hitam plontos itu. Suatu malam ketika Mr. Chong pulang kerja dia mendapati ban mobilnya robek ditusuk pisau di pelataran parkir. Mr Chong lantas menghubungkan kejadian itu dengan ulah si kepala plontos yang beberapa hari lalu diusirnya karena masuk restoran dalam kondisi mabuk dan teriak-teriak minta ketemu Mr. Tan pemilik restoran. 
Suatu hari Crystal ball sengaja datang menghampiriku di restoran dan tiba-tiba dari saku celana ia mengeluarkan duit 20an dollar dan memberikannya kepadaku. Aku kaget dan bertanya," Uang ini untuk apa?".
"This is for you .. Sweety ..."
" No ... No ..no .. I am fine", aku menolak dengan halus.
" Keep it ... Keep it sweety ... Jangan menolak pemberianku."
Sekali lagi aku menolak dengan halus sambil mengatakan bahwa aku masih ada sedikit uang untuk hidup. Tak kuduga Crystal Ball berubah marah atas penolakanku. Barangkali yang dia pahami aku selalu bilang tak punya uang ketika ia meminta. Sekarang ia punya uang dan ingin berbagi tetapi aku menolaknya. Sambil ngomel-ngomel dengan suara keras ia memaksa aku untuk menerima uang pemberian itu. Sungguh sangat absurd berurusan dengan Crystal Ball. Akhirnya uang 20 dollar kuterima sambil aku mengucapkan terima kasih. Dia langsung ngeloyor pergi.
Chong san si head sushi chef yang melihat kejadian itu memperingatkanku untuk waspada kalau-kalau uang itu hasil penjualan narkoba dan suatu saat aku bisa tersangkut masalah hukum karena pemberian uang itu. Bisa jadi uang itu terkait dengan sebuah jaringan peredaran narkoba.
 +++
Ada satu hal yang bikin aku risih ketika bertemu Crystal Ball, kini ia sok akrab dan minta peluk. Pernah ia mengecup pipiku dengan tiba-tiba saat kami berpelukan. Aku kaget setengah mati. Lantas kubayangkan ketika Crystal Ball mau ditangkap polisi tempo hari. Tiga polisi memakai sarung karet dengan susah payah menaklukkan ia yang meronta-ronta seperti banteng terluka. Walau kecil tenaganya perkasa. Ia juga sempat mencakar salah satu polisi hingga berdarah. Gelandangan yang hidup di jalan bisa jadi kotor, jorok, tak pernah mandi, pecandu narkoba, atau habis onani.
" Give me a hug sweety ...", katanya manja.
" I'm sweat ... I'm sweat ...", aku menolak dengan halus sambil memperagakan badanku keringatan dan bau. Akupun buru-buru masuk restoran bilang sedang sibuk.
Malam hari di belakang restoran kulihat Crystal Ball bersandar di tembok dan meracau nggak karuan. Entah mabuk minuman keras atau ganja yang jelas dia mabuk berat. Dalam keadaan setengah sadar dia mulai meneriaki orang-orang yang akan menuju ke Omega Bar dengan sebutan Congo Army. Istilah itu sangat kasar bagi orang yang mendengarnya, istilah yang menggambarkan segerombolan orang-orang bersenjata di Kongo Afrika yang sering bikin teror, menggedor rumah-rumah, merampok serta (dapat dipastikan) memperkosa penghuninya dengan sadis. "Fuck my ass .. Congo Army - bitch!!! .... Fuck my ass .. Congo Army - bitch!!! "
Crystal Ball si trouble maker tak hanya sekali ini saja mabuk berat. Pada suatu malam di tengah - tengah trotoar depan restoran kulihat si Crystal Ball sedang menepuk-nepuk pantatnya dan mengacungkan jari tengahnya ke udara. Gerakannya seperti mengejek seseorang, dengan menepuk pantat dan mengacungkan jari tengah yang melambangkan bahasa "fuck my ass", tapi ia mengejek kepada siapa aku tak tahu. Barangkali kepada burung - burung di angkasa atau makhluk UFO yang lewat.
Aku baru menyadari ketika tiba-tiba melintas sebuah helikopter dengan lampu sorotnya dan si Crystall Ball mengulangi gerakannya memamerkan pantat sambil menepuk-nepuk dan mengacungkan jari tengahnya, ternyata dia sedang mengejek helikopter polisi yang sedang patroli di udara. Aku tertawa melihat tingkah polahnya.
Lain waktu pada suatu malam Crystal Ball pernah membuat seorang gay mendapat masalah gara-gara melihat si Crystal Ball sedang tergeletak di trotoar dekat klub malam khusus gay. Beberapa orang yang lewat berhenti, mencoba mendekat dan membangunkannya. Si Crystal Ball tak bergeming, kerumunan orang makin banyak, saling berbicara dan kemudian salah satu gay atau barangkali banci yang berlagak genit cemas menelpon 911.
Tak berapa lama datang sebuah mobil ambulan beserta truk pemadam kebakaran. Empat orang paramedis mendekat ke arah Crystal Ball yang tergeletak. Kerumunan orang makin banyak. Aku yang melihat kejadian itu menduga-duga barangkali si Crystal Ball mabuk hingga tak sadarkan diri, atau barangkali ia terkena serangan jantung. Kulihat paramedis memakai sarung tangan dan mulai memegang tubuh Crystal Ball, memeriksa denyut nadinya. Salah satu paramedis itu menggoyang-goyangkan tubuh Crystal Ball.
Tiba-tiba si Crystall Ball melek. Terjadi pembicaraan singkat antara mereka, tak lama ia bangun dan ngeloyor pergi. Kulihat ia tak mabuk, juga tak berkata-kata kasar seperti biasanya. Ia juga tak terlihat sakit. Mungkin ia hanya kelelahan saja dan tertidur pulas di pinggir jalan.
Paramedis yang melihat kejadian itu hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum kecut. Mereka lantas memberi kode kepada para pemadam kebakaran untuk bisa pergi meninggalkan tempat. Orang-orang yang berkerumun mulai membubarkan diri. Si gay yang tadi menelpon 911 kulihat sudah kabur entah kemana. Barangkali dia nggak mau kena urusan dengan "panggilan telpon palsu"nya.
Restoran mau tutup aku mulai bersih-bersih dan membuang sampah. Kulihat Crystal Ball masih berada di belakang restoran, bersandar di dinding dalam kondisi mabuk berat. Yang bikin aku tercengang, dia tengah memelorotkan celananya dan kencing sambil berdiri. Air kencingnya ndlewer kemana-mana. Celananya basah. Aku membayangkan kembali ketika ia memeluk dan mencium pipiku, aku jadi gigu. Ingin rasanya membasuh pipiku berulang-ulang hingga bersih. Ingin rasanya buru-buru mandi. Sungguh sangat absurd.

Wednesday, January 1, 2014

TERLAHIR KEMBALI DI AMERIKA

Pada sebuah acara perkawinan teman Indonesia di sebuah restoran buffet di Silver Spring kulihat seorang lelaki setengah baya berkulit keling sedang asyik ngobrol sambil menyantap hidangan secara prasmanan. Dari logatnya yang kental aku yakin ia berasal dari Jawa, tapi begitu kutahu namanya yang Yahudi banget, Mark Goldstein, dalam hati aku bertanya-tanya siapakah diantara kedua orang tuanya yang Yahudi.  

Usut punya usut ternyata si Mark Goldstein itu berayah dari Semin Gunung Kidul, dan ibunya adalah wanita dari Bagelen Purworejo. Nama aslinya adalah Paino. Ia merantau sudah puluhan tahun dan terlahir kembali di Amerika sebagai Mark Goldstein.
Memang pernah kudengar kisah bahwa di Amerika orang bisa mendapatkan identitas baru, jati diri baru sebagai bagian dari Program Perlindungan Saksi. Program ini di bawah Departemen Kehakiman dan yang melaksanakan adalah US Marshal Service. Saksi-saksi kunci dalam kejahatan terorganisir akan mendapatkan perlindungan dari ancaman-ancaman yang bisa membahayakan jiwanya 24 jam sehari baik sebelum sidang, masa-masa persidangan sampai sesudahnya. Para saksi dan keluarganya akan mendapatkan identitas baru yang dijamin keasliannya, rumah tinggal baru, sejumlah uang untuk kehidupan dasar sehari-hari, jaminan kesehatan, dan pekerjaan baru di tempat yang aman.
Kalau melihat tampang si Mark Goldstein asal Gunung Kidul ini, sepertinya ia tidak ikut dalam Program Perlindungan Saksi. Tampangnya bukanlah seperti anggota mafia Itali John Gotti yang terkenal sadis, atau Pengedar Narkoba dari Mexico yang terkenal brutal. Siapapun dia, nyatanya kini ia terlahir kembali di Amerika.
Menurut cerita diantara para imigran gelap, Identitas baru bisa didapatkan dengan cara yang cukup unik dan sedikit rumit. Langkah awal yang harus dilakukan adalah kita bisa pergi ke kuburan dan memeriksa, adakah orang-orang yang seusia kita telah meninggal, atau meninggal dikala usia mereka masih belia. Atau kita bisa pergi ke Perpustaan Kota dan memeriksa file-file surat kabar lama yang memajang iklan obituari, di sana kita akan tahu siapa-siapa yang meninggal di hari itu. 
Langkah selanjutnya adalah lewat kantor Bureau of Vital Records kita bisa meminta kutipan akte kelahiran. Atau kalau prosesnya terlalu berbelit kita bisa melakukan cara kedua yaitu membuat akte kelahiran palsu dari penyedia jasa yang bisa mencetak dengan tingkat keaslian mendekati sempurna. Setelah mendapatkan Akte Kelahiran maka langkah selanjutnya kita harus mendapatkan kartu Social Security Number.
Social Security Number atau disingkat SSN, atau sering disebut SS, adalah secarik kertas seukuran KTP berwarna biru yang berisi nama pemiliknya dan 9 digit nomer yang dikeluarkan kantor Social Security. Di Amerika, nomer SS digunakan sebagai identitas tunggal pemiliknya. Jadi ketika lahir sampai meninggal dunia, ia hanya punya satu nomer SS saja, nomer itu tak bisa diganti. Keperluan yang menyangkut pengadministrasian seperti cari kerja, daftar sekolah, cari SIM/ID, buka akun bank, beli asuransi kesehatan, beli mobil, rumah, mendapatkan pengembalian pajak tahunan, dan benefit pensiun dimasa tua, mereka selalu mensyaratkan nomer SS.
Untuk mendapatkan nomer SS atas nama identitas baru yang sesuai dengan akte kelahiran, kita bisa memanfaatkan "loophole" atau kelemahan sistem, dimana beribu-ribu bayi yang lahir belum didaftarkan oleh orang tuanya untuk mendapatkan nomer SS, atau anak-anak terlantar maupun Juvenile yang secara mandiri bisa meminta nomer SS.
Dengan berbekal akte kelahiran aspal dan nomer SS yang telah kita dapatkan maka jalan lapang terbentang di hadapan kita. Cari kerja, SIM, buka akun bank, membangun credit record, mendapatkan tax return, semuanya akan terasa mudah. Si Mark Goldstein mendapatkan kedua hal di atas dari seorang makelar yang menjual birth certificate dan nomer Social Security kepunyaan si empunya aslinya yang sudah meninggal dunia. Entah Paino yang asli Semin itu harus membayar berapa ratus dollar sehingga ia terlahir kembali di Amerika dengan identitas baru. nyatanya kini ia berstatus sebagai warga negara Amerika yang terpandang, bisa membeli sebuah rumah di Kensington, memiliki paspor Amerika guna menengok orang tuanya di Semin, mempunyai pekerjaan di sebuah perusahaan swasta besar ternama, dan tentunya mendapatkan benefit dari kantor Social Security kelak kala ia pensiun.

Tuesday, December 17, 2013

DARI DISH WASHER MENJADI SUSHI HELPER

Pedro si sushi helper dari El Salvador keluar kerja. Arif lantas menawariku untuk menggantikan posisi Pedro sebagai orang ketiga di Sushi Bar. Aku bilang aku nggak punya pengalaman membuat sushi tapi Arif meyakinkanku bahwa membuat sushi gampang. Seperti gerakan orang memijat, kamu tinggal menyebarkan nasi ke lembaran Nori dan meratakannya.

Arif kemudian bilang ke Bos bahwa ia siap mengajari aku untuk menjadi penggulung sushi. Johny si bos tak banyak cakap dan kini aku resmi menjadi seorang sushi helper yang pekerjaannya menanak nasi, mengaduk nasi itu dengan rice vinegar hingga rata. Arif kemudian mengajari aku cara memegang pisau yang benar, belajar memotong ikan salmon, tuna, escolar untuk sushi gulung. Masih banyak lagi yang harus kusiapkan yaitu memotong timun, alpukat, jalapeno, memasak udang rebus, lobster, dan jamur shitake.
Aku juga mengatur barang-barang pesanan yang datang dari suplier. Ada barang-barang yang harus kutaruh di gudang pendingin seperti timun, alpukat, cream cheese, dan sayur-sayuran. Ada yang harus masuk freezer seperti ikan tuna saku, kanikama, lobster, octopus. Barang lainnya kutaruh di storage seperti beras, rice vinegar, gula, garam, soy sauce, wijen dan lain-lain.
Hari pertama aku di belakang sushi bar, Arif mengajariku cara menakar nasi untuk sebuah  gulungan sushi. Aku mengambil nasi dan mengepalkan nasi itu dalam telapak tangan, tak boleh padat karena nanti akan ditaburkan ke lembaran Nori. Nasi yang bercampur rice vinegar itu ternyata lengket. Tanganku blepotan nasi, tak bisa seperti Arif yang bersih, tak ada sebijipun nasi yang menempel di tangannya, butuh waktu untuk bisa seperti itu. Arif menjelaskan bahwa tangan kita harus selalu basah dengan air biar nasi tak lengket di tangan. "Orang sushi punya tangan paling bersih di dunia, karena tiap mau bikin order harus cuci tangan, selesai bikin order cuci tangan. Sehari bisa 500an kali cuci tangan....."
Orang sushi kata Arif punya tangan yang halus karena tiap hari memegang nasi. Aku tak mempercayainya. Lantas aku disuruhnya memeriksa tangan Arif, memang kurasakan tangan Arif lembut seperti bayi. Johny Tan si bos yang melihat adegan itu tersenyum - senyum penuh arti. Arif tiba-tiba mengkibaskan tangannya. Aku tak sadar dengan apa yang terjadi dan ketika Arif bilang," Eiiits ... Di sini daerah P street bro ....sensitif ....Entar kita dikira gay ...."

Wednesday, November 27, 2013

KAMAR 324: LURAHNYA KAMPOENG MELAJOE

Walau sudah tinggal di Amerika, tinggal di kawasan elit daerah downtown Washington DC dalam sebuah apartemen dengan sebutan keren Kampoeng Melajoe, kita warga Indonesia tetap tak bisa melepaskan tradisi untuk menghormati seseorang yang di-tua-kan. Ya.. tanpa lewat pemilihan, kita sepakat menyebut Rudi Syamsudin sebagai Lurahnya Kampoeng Melajoe. Jadi Lurah di sini bukanlah seorang yang punya pekerjaan seperti layaknya lurah di Indonesia tapi hanyalah sebutan untuk seseorang yang dihormati. Ya .. jiwa penolong, supel dan mengayomi membuat para perantau segan padanya.

Rudi si Pak Lurah sering menjadi juru damai ketika ada permasalahan timbul diantara sesama perantau. Maklum, warga Indonesia yang tinggal di apartemen Kampoeng Melajoe datang dari berbagai ragam kalangan sosial maupun tingkat pendidikan. Ada para TKW yang bekerja sebagai pembantu, ada mahasiswa yang sedang sekolah di Amerika, ada staf lokal Kedutaan Indonesia, dan turis-turis overstayed alias imigran gelap sepertiku.
Pernah suatu kejadian sebut saja Yusuf yang mahasiswa dari sebuah perguruan tinggi swasta di Washington DC berantem dengan Darus gara-gara rebutan cewe. Dilain waktu si Murni yang bekerja sebagai nanny menggosipkan Rani sebagai wanita murahan yang sering bergonta ganti lelaki. Keributan - keributan itu bisa didamaikan oleh Rudi.
Ya .. Rudi telah melewati beberapa generasi warga Indonesia yang tinggal di Kampoeng Melajoe. Lelaki yang kini menginjak usia 40an asal Jakarta itu pernah bekerja jadi staf lokal di Kedutaan Indonesia di bagian umum, atau menjadi tenaga keamanan bersama Ocim si jago silat. Dalam sebuah obrolan, Rudi menceritakan generasi terdahulu yang tinggal di Kampoeng Melajoe, ketika ekonomi Indonesia masih bagus, dengan nilai tukar waktu itu 1 dollar masih 1800an rupiah. Orang Indonesia datang ke Amerika hanya karena berwisata atau bersekolah. Ya .. Kala itu banyak anak-anak dari pejabat negara datang hanya untuk bersekolah. Sungguh kala itu tak ada yang mau menjadi imigran gelap. Saat itu nilai uang $1000 adalah setara dengan Rp. 1.800.000, bayangkan dengan kurs sekarang yang rata-rata $1 setara Rp. 10.000. Nilainya melonjak menjadi 13 jutaan rupiah. Dan berbondong-bondonglah orang ingin bekerja di Amerika, juga anak-anak pejabat yang bersekolah tadi tak bisa lagi mengandalkan uang kiriman dari orang tuanya. Terpaksa mereka bekerja.

Tuesday, October 8, 2013

PINDAH PEKERJAAN

Arif teman sekamarku perantau asal Madura menawari aku pekerjaan full time sebagai dish washer alias tukang cuci piring di restoran sushi tempat dia bekerja. Pekerjaanku sebagai Bush Boy selama ini memang mendatangkan uang tip yang lumayan tapi itu hanya part time. Aku hanya dapat jadwal dua kali shift malam dan dua kali shift siang. Ketika restoran ramai di akhir pekan, untuk shift malam aku bisa mendapatkan uang tip 80 dollar dari 12 pelayan restoran. Seminggu aku rata-rata mengantongi 200 dollar, sebulan 800 dollar.

Di tempat baru restoran Jepang, si bos yang orang Singapore menawari bayaran 1300 dollar sebulan, bekerja dari jam 11.00 pagi hingga 11 malam, 6 hari seminggu. Tanpa pikir panjang aku segera menerima tawaran itu. Aku tak perlu malu menjadi tukang cuci piring. Aku juga tak perlu malu pada anak-anak Kampoeng Melajoe kalau aku hanyalah tukang cuci piring.
Keesokan harinya aku diajak ke restoran tempat Ari bekerja. Tanpa prosedur yang berbelit hari itu juga aku langsung bekerja. Arif mengantarkan aku ke bagian belakang, di sana terletak mesin cuci. Hari itu aku belajar menggunakan mesin cuci piring otomatis, gampang cara pemakaiannya. Piring kotor tinggal disemprot air panas lalu dijejer pada rak sampai penuh, setelah itu rak dimasukkan ke dalam mesin dan secara otomatis akan membilas hingga kering.
Pekerjaan lainnya yang harus kulakukan adalah menyapu dan mengepel lantai restoran, juga kamar mandi. Hari pertama kulalui tanpa halangan berarti, cuma saat membersihkan toilet banyak tissue bekas berserakan di lantai, juga mutahan pengunjung karena kebanyakan minum alkohol. Menjijikkan ...

Monday, September 2, 2013

AKU PINDAH KE WASHINGTON DC

Tempat tinggalku di rumah mas Windi di daerah Wheaton Maryland memang terlalu jauh dari tempatku bekerja. Pertama aku harus naik bis ke stasiun Wheaton dan kemudian ganti naik kereta bawah tanah menuju Dupont Circle di Washington DC yang jaraknya cukup jauh. Selain ongkosnya mahal, kadang aku kesulitan pulang setiap restoran tutup tengah malam. Maklum restoran ini sekaligus Bar sehingga banyak pelanggan yang betah sampai larut malam. Belum kalau ada dari mereka yang mabuk berat, maka jam tutup restoran bisa molor. Kereta bawah tanah sudah tak ada, bis Metro juga tak ada. Akhirnya aku sering menunggu pagi menumpang di apartemen mas Tio yang letaknya tak jauh dari restoran Mimi.

Karena aku hanya bekerja empat shift seminggu, dua shift malam, dua shift siang, ongkos transport menjadi masalah yang cukup signifikan alias it is a big deal bagi kantongku. Kalau begini terus tentu aku tak bisa menabung, habis buat sewa kamar dan transport. Mas Windi memahami hal itu dan mencoba membantu mencarikan lowongan pekerjaan lain, kerja full time di daerah dekat rumah.
Pada suatu hari di restoran, mas Tio memberitahu kepadaku kalau Bang Herdi yang tinggal di lantai 7 mencari room mate. Aku memang sudah lama mengeluhkan keadaan ini pada mas Tio, dan siang hari ketika sudah selesai bekerja ia mengajak aku menemui Bang Herdi di apartemennya. Bang Herdi walau sudah pertengahan 40 tapi bergaya anak muda, perawakannya pendek dan gaya bicaranya hangat. Di kamar studionya ia tinggal bersama Arif dan Oki. Dia bilang kalau aku mau tinggal bersama ya seadanya, tidur berempat di ruang tengah. Masalah pembayaran di share berempat, tiap kepala kena $250 perbulan. Tanpa pikir panjang aku menyetujuinya. Walau harus tidur di kasur lesehan bagiku tak masalah, yang penting dengan kepindahanku aku bisa menghemat waktu, tenaga dan uang transport karena tempat kerjaku hanya dibelakang apartemen ini.
Sebulan lebih aku kos di tempat mas Windi dan kini saatnya aku pindah. Ketika kuutarakan rencana kepindahanku mas Windi tampak kecewa, ia berusaha menghalangi kepindahanku secara halus dengan menjanjikan akan mencarikan pekerjaan full time di sekitar Wheaton. Jujur bagiku amat berat juga meninggalkan rumah yang penuh kehangatan, keramahan dan kekeluargaan, tapi alasanku semata hanyalah masalah jauhnya jarak yang harus kutempuh kala aku kerja. Akhirnya mas Windi bisa menerima alasanku.
Ya, kini aku pindah ke Washington DC, ibukota Amerika, sebuah kota kecil yang asri dengan taman-taman kota, pepohonan rimbun dan bunga sakura yang mekar di kala musim semi, bunga yang akan merubah kota menjadi romantis, dengan warna warni jambon diantara bangunan museum yang tampak gagah, atau dalam rangkulan sungai Potomac yang meneduhkan.
Ya kini aku tinggal di tempatnya Bang Herdy di daerah Dupont Circle, daerah trendi dengan hingar bingarnya Club dan Bar di tiap sisi jalan, berhadap-hadapan atau bersebelahan, juga berbagai jenis Cafe dan Restoran segala masakan. Pelataran jalan Connecticcut Avenue akan menjadi ramai oleh pengunjung yang antri masuk Bar, muda-mudi dengan segala pakaian indah, ada yang seronok memperlihatkan belahan dada rendah dan lencir kakinya, dengan make up tebal dan setengah mabuk. Tak lupa kusebutkan bahwa daerah ini pusatnya komunitas Gay dan Lesbian di Washington D.C., daerah yang tak pernah sepi untuk melihat pasangan bercengkerama di keremangan taman, atau membaur dalam gelak tawa di Bar atau Restoran dari petang hingga pagi.

 
Site Meter