Thursday, March 22, 2012

CINTA SEJATI

Adakah Rahwana mengira itu cinta sejati

Berbunga bunga semerbak petamanan hati
Memberi sangkar emas kepada pujaan hati
Melumat cinta membungkusnya dengan,

Segala digdaya dan angkara
Untuk memiliki pujaan hatinya


Adakah Romeo mengira itu cinta sejati
Ketika tragedi memisahkan kehidupan ini
Tak bisa memiliki tak bisa menciumi
Melumat cinta membungkusnya dengan,

Segala pengorbanan hidupnya
Untuk memiliki pujaan hatinya

Cinta sejati adalah ketika,

Rama melumat segala angkara dan digdaya dalam cintanya
Melumat rasa cemburu dan dendam
Melumat rasa hina dan dusta
Melumat rasa gelisah dan amarah
Melumat rasa kebencian dan kerinduan
Kedalam kasih sayangnya

Pernahkah dikau terbahak-bahak hingga meneteskan airmata
Dan pernahkah dikau menangis tersedu-sedu dalam riang gembira

Cinta sejati ada dalam jiwa jiwa yang penuh cinta
Bukan dalam jiwa yang penuh angkara
(Janu Jolang)

Sunday, March 4, 2012

AKIRA SAN

(Terbit di Kompas.com, Selasa, 28 Februari 2012)

Wanita Jepang itu selalu duduk di sushi bar, berbincang akrab dengan kepala sushi chefnya Nyoman, di sebuah restoran Jepang di daerah Manhattan New York. Akira lain dari kebanyakan wanita Jepang yang biasa dididik orangtuanya untuk selalu menjaga jarak dengan orang lain, karena itu tentang sebuah kehormatan diri, untuk tak terlalu akrab dan tertawa berlebihan, tangan harus menutup ke mulut. Nyoman merasa kaget karena sepanjang 12 tahun bekerja dibelakang sushi bar tak ada seorang wanita Jepangpun yang sengaja duduk di sushi bar kecuali Akira.

Andai ada yang menggugurkan kemustahilan itu atau secara kebetulan menjadikannya mungkin, itu karena alasan sederhana tatkala Akira terheran - heran melihat sajian tuna roll pesanannya berbentuk bunga Sakura. Akira lalu minta pindah duduk di sushi bar. Setahu Akira hanya kakeknyalah yang bilang sushi bunga Sakura ini khusus ditata spesial untuk cucu kesayangannya, keluar dari pakem menata sushi yang diagonal. Dan perkenalanpun akhirnya terjadi. Mereka bercakap dalam bahasa Inggris.

“ Where did you learn sushi?”, tanya Akira

“ He was a head sushi chef at this restaurant, Mr Ito ”, jawab Nyoman

Akira berpenampilan seperti anak muda Harajuku. Mewakili generasi pemberontak yang penuh semangat, mereka bebas berdandan apapun, atau model rambut apapun, tak ada trend rambut Lady Di memperbaharui era Kucir Kuda, atau potong rambut Poni lebih tua usianya dari rambut Demi Moore. Semuanya membaur jadi satu. Tak ada kata kuno alias ketinggalan jaman dalam kamus Harajuku.

“ Akira San kerja di mana?”, tanya Nyoman

“ Aku hanya berkunjung. Urusan bisnis. Summer besok aku balik ke Jepang.”

Akira tinggal di apartemen seberang jalan. Ia selalu menyempatkan mampir untuk makan malam sambil ngobrol dan memperhatikan Nyoman membuat sushi, seolah ia kembali mengenang masa kecilnya ketika diakhir pekan seharian ia bercengkerama dengan kakeknya pemilik kedai sushi di Ueno.

Kakeknya mengiris ikan tuna tipis tipis, atau memotong seekor ikan Salmon, dan ia selalu mendapatkan panggang kepala Salmon yang lezat untuk makan siangnya. Tapi Akira selalu jijik ketika kakeknya sedang mengurusi liver ikan Monk, ikan purba berwajah monster yang hanya diambil hati atau ekornya, dan sisanya dibuang begitu saja. Liver ikan Monk dipenuhi cacing cacing yang masih hidup, dan kakeknya mencabuti satu-satu dengan pinset. Akira menjerit ketika kakeknya menakut nakuti dirinya sambil menyodorkan cacing itu ke mukanya.

Bagi Nyoman, profesi Sushi Chef hanya sekedar pekerjaan, sekedar mencari uang buat hidup di perantauan. Tak pernah terpikirkan dalam benaknya Sushi sebagai sesuatu yang serius, penuh detil dan indah. Orang Jepang paling bisa membuat sesuatu yang simpel menjadi spesial, berharga mahal, memberi kesan seolah-olah perpaduan cita rasa makanan dan budaya bercitra tinggi.

Membuat gulungan sushi bagi Nyoman sekedar menaburkan segenggam nasi di atas lembaran Nori lantas meratakannya dengan jari jemarinya, sesederhana gerakan memijit, tapi barangkali bagi ahli kuliner seolah membayangkan gerakan jari jemari rumit yang memainkan piano Beethoven Symphony No. 5. Atau Akira melihatnya seolah gerakan tangan Nyoman memijit-mijit lehernya, menepuk-nepuk serta mengelus bahunya dengan lembut. Semua itu baru disadari Nyoman karena Akira telah mengajarkan keindahan itu.


*****

Bagi orang Jepang seusia Akira -- generasi setelah Perang Dunia II, dia menyandang beban moral tersendiri ketika Tuan Wang asal China secara sengaja mengungkit-ungkit pembantaian tentara Jepang di China. Atau cerita Nyoman tentang slogan “Saudara Tua” saat Jepang masuk Indonesia. Mereka datang dengan propaganda yang bersahabat: Jepang pelindung Asia, Jepang Pemimpin Asia dan Jepang cahaya Asia, tapi tentara Jenderal Hitoshi Imamura itu kemudian tega merampas dan memperkosa saudara mudanya, bahkan membunuh mereka dengan kejam.

“ Maafkan aku Nyoman. Aku tak mempelajari sejarah, maafkan aku yang bodoh ini.”

“Ooh maaf Akira San, aku sekedar bercerita, tapi kalau itu membuatmu merasa nggak nyaman ...”, kata Nyoman. Ia menyadari Akira San merasa terintimidasi. Raut mukanya merana seolah menunjukkan permintaan maaf atas kekejaman tentara Jepang kakek moyangnya dahulu.

Bagi Nyoman Akira tak pernah sekejam tentara Jepang, atau berusaha mempropagandakan dirinya sebagai Saudara Tua seperti tahun 1942, tapi sungguh perhatian dan kasih sayang Akira dirasakan benar benar sebagai saudara tuanya. Nyoman sangat menghormati Akira, maka dibelakang namanya ia selalu menambahkan San. Akira San, ungkapan hormat untuk seseorang yang dituakan. Akira San sungguh merupakan jelmaan Dewi Cinta sekaligus kakak perempuan yang tak pernah dimilikinya.

“ Watashiwa Akira San o aishite imas”, Nyoman gugup mengutarakan cintanya pada Akira.

Akira tersenyum, “ Where do yo learn Japanese, Nyoman?”, Dewi Cinta itu sungguh tenang seolah badai Tsunami takkan pernah membuatnya takut, Nyoman hanyalah badai asmara seorang lelaki lugu yang gelombangnya takkan menelannya, memporakporandakan, atau membuatnya binasa.

Pertemuan singkat itu telah menaburkan benih-benih cinta diantara dua anak manusia, berbeda bangsa, budaya, bahkan dimasa lampau pernah punya sejarah kelam penjajahan. Seolah cerita cinta selalu menghapus beribu-ribu dendam, amarah, melebur sekat-sekat perbedaan, dan selalu menemukan jalan untuk bersatu.

Akira sungguh sangat suka melihat cara Nyoman menyayat ikan Ekor Kuning. Sayatan pisau baja birunya itu tipis, tegas, dan ngilu melihatnya. Apalagi ketika pisau itu beraksi memotong daun bawang sungguh irisan itu tipis – tipis dengan gerakan pisau yang maju mundur sangat cepat, secepat kilat di musim hujan, mata Akira tak mampu mengikuti gerakannya, dan kecepatan itu membuatnya terperangah. Dengan cara berbeda pisau itu bisa mencacah timun dengan garang, menghasilkan setumpuk timun irisan jullien, sungguh irisan itu tipis dan sangat rapi. Nyoman memainkan pisau baja birunya sesempurna Samurai memainkan pedangnya.

******

Mereka berdua baru mendarat di Narita, transit sebelum melanjutkan perjalanan ke Bali. Malam telah larut. Dengan taxi limosin mereka pergi ke Tokyo. Dalam hingar bingar lampu iklan Shinjuku, diantara karaoke bar yang berserakan dan mesin-mesin pachinko yang diawasi geng Yakuza kedua pasang jiwa yang dimabuk asmara itu menerobos di sela-sela pejalan kaki, menyeberangi zebra cross yang saling berhimpitan akibat sempitnya persimpangan jalan, beberapa dari mereka adalah pegawai kantor masih dengan pakaian jas lengkap sambil menenteng tas kantor yang sempoyongan sehabis menenggak sake. Dua sejoli itu menelusuri lorong gang dan menjumpai sebuah kedai ikan Fugu. Ya .. waktu makan malam telah tiba. Menu ikan Fugu adalah sebuah tantangan yang mendebarkan bagi Nyoman.

Akira kalem dan suka menentang bahaya. Ikan Fugu alias ikan Balon adalah ikan beracun yang dalam darah dan organ pencernaannya sanggup membunuh 30 orang sekaligus. Kekuatan racun itu 1200 kali lebih mematikan dibandingkan cianida. Sebut saja mulai dari aktor Kabuki ternama yang mati hingga gelandangan yang mengais sampah di sudut taman Ueno. Menu ini sampai kapanpun dilarang masuk dapur Kerajaan..

“Lets try Fugu 5 Ways “, kata Akira. Lima hidangan kenikmatan sekaligus mematikan. Hati Nyoman berdebar-debar ketika di meja telah tersedia irisan tipis ikan Fugu mentah tertata rapi melingkar dalam piring keramik.

“ Try it Nyoman .. “, Akira seolah menantang nyalinya.

Nyoman ragu-ragu, hatinya berdebar-debar. Untuk apa aku memakan ikan itu, lantas mati, dan tak bisa bertemu Akira lagi? Apakah Akira sengaja ingin meracuninya? Atau ingin mengejeknya karena ia seorang penakut? Andai ia disuruh memilih, mending ia akan memesan sup ramen atau belut panggang saja.

Akira kemudian mengambil sehelai dengan sumpitnya dan memasukkan ikan Fugu itu ke dalam mulutnya.

” Is it good?”, tanya Nyoman.

“ Ouuuuch ... deadly good Nyoman”, desah Akira sambil memejamkan matanya.

Akira kemudian mengambil lagi dan disodorkan ke mulut Nyoman, ia mengunyah perlahan lahan daging itu dengan berdebar-debar. Rasanya renyah dimulut dan kenyal ketika dikunyah. Adrenalinnya tiba-tiba mengisyaratkan sebuah bahaya sama persis ketika orang Jawa nekat dan mati karena makan Tempe Bongkrek. Atau ketika Fugu goreng dengan sake manis itu masuk ke mulutnya, Nyoman mencecap rasa gurih yang mencekam seolah merasakan buah terlarang di Taman Eden. Akira membawa Nyoman ke tingkat ekstasi yang mendebarkan.

“ Wooow .. it is killing me ... it's so goood Akira San”, kata Nyoman seolah berlagak sebagai si Pemberani.

Dan ketika Akira menantang Nyoman untuk menikmati sajian terakhir, Fugu rebus campur sawi dan jamur, Nyoman merasakan kenyalnya daging itu membuat urat lehernya meregang kesakitan. Sejenak Nyoman memegang kepala bagian belakangnya, mengira racun tetrodotoxin sedang merenggut nyawanya, tapi kemudian Akira mengatakan racun Fugu hanya melumpuhkan otot-otot pernafasan.

Nyoman merasa lega. Diteguknya sake entah sudah berapa sloki, tubuhnya setengah melayang. Nyoman meracau sambil menirukan adegan lucu kartun Burt Simpsons, “Poison poison tasty fish.” Bagi Nyoman itu adalah pengalaman sensasional yang tak terlupakan.Sebuah puncak rasa sekaligus mendebarkan. Orang rela menantang bahaya bahkan rela menukar nyawanya.

Kedua sejoli itu mabuk berat, keluar kedai dan berjalan gontai karena pengaruh berbotol-botol sake Otokoyama, juga kelelahan perjalanan New York - Tokyo yang hampir 12 jam, dan taklama mereka menemukan Love love Hotel, hotel murahan untuk percintaan sesaat. Mereka tergeletak dalam kamar sempit dan tertidur pulas sambil berpelukan.

*****

Akira tak pernah lepas dari syal yang selalu melingkari lehernya. Biar musim berganti empat kali, ia akan memadukan syal yang dipakainya dengan jaket musim dinginnya. Atau tank top musim panas yang memperlihatkan busung dadanya, dipadu celana pendek sepangkal paha, maka kesempurnaan akan terlihat ketika orang-orang mengetahui cara berjalannya yang mirip setengah bebek, dan setengahnya macan lapar. Semuanya terasa indah karena dia seorang Harajuku, itulah ciri Akira, bahkan ketika dia memakai kawat gigi sedangkan giginya sudah rapi bagi ukuran orang Jepang, dan ia selalu mengganti warna karetnya setiap dua bulan sekali, orang menyadari bahwa itu sebagian dari gaya Akira. Ketika Nyoman menyadari ada sisa daging Wagyu yang lembut telah berpindah ke mulutnya, ia mengutuk dalam hati -- ini gara-gara trend kawat gigi Akiralah sehingga ia mendapati sisa-sisa daging dalam mulutnya.

Pesawat mereka telah mendarat di Bandara Ngurah Rai. Nyoman tak sabar ingin cepat sampai kampung halamannya, tak sabar ingin bertemu ibunya, mengenalkan Akira pada keluarganya. Atau tak sabar ingin bermain ke pura di tengah pantai di desanya saat air sedang surut, ketika ia bermain bersama teman-teman masa kecilnya, ketika melihat ibu mereka berjalan beriringan dengan kain kebaya warna warni membawa sesajian di atas kepala dan bersembahyang di pura untuk memohon agar dagangannya laris. Juga ketika turis-turis meminta berkah dari air suci, atau kemudian mereka berlari - lari menuju tebing-tebing pantai dan di bawah pohon kamboja mereka menikmati pemandangan saat matahari tenggelam. Sangat indah dan mentakjubkan.

Atau ketika warga kampungnya membuat boneka raksasa dengan muka seram, berambut gimbal, gigi bertaring tapi mempunyai payudara yang montok, seolah boneka raksasa itu mewakili roh jahat yang menggoda sekaligus mematikan, untuk kemudian pada malam harinya warga kampung mengarak Ogoh-ogoh itu keliling desa dan kemudian membakarnya. Akira sangat menikmati ritual itu sambil berpegangan erat di lengan Nyoman.

Hari-hari terasa indah bagi mereka, ingin rasanya waktu berhenti, atau berjalan secara slow motion, secara perlahan, sehingga mereka berdua dapat memaknai keindahan itu. Nyoman mengajak Akira ke sebuah pura kecil di tetangga desanya. Ada mata air tak pernah kering selama beratus-ratus tahun yang dipagar jeruji besi, juga batu-batu lonjong yang dibebat kain putih sehingga mirip bayi yang digeletakkan berjajar.

“ Balik badanmu Akira San. Pegang koin ini dan pejamkan matamu. Mintalah sesuatu yang kamu inginkan kepada Dewa. Setelah itu jentikkan koin ditanganmu ke kolam di belakangmu. Dewa akan mengabulkan permintaanmu andai koin itu masuk ke kolam.”

Akira melakukan apa yang diperintah Nyoman, memejamkan mata dan melemparkan koin itu dan berhasil masuk ke dalam kolam. Nyoman kemudian melakukan hal yang sama dan berhasil. Keduanya bergembira layaknya kakak adik yang baru menemukan permainan mengasyikkan. Akira bagi Nyoman adalah “partner in crime”, kakak yang selalu melindunginya, kakak yang selalu menyelamatkan dirinya dari amarah bapak ibunya. Ia tak pernah mengeluarkan ancaman seperti ibunya yang tak tahan melihat kebandelannya. Juga tak pernah mengecewakan dirinya dengan bilang tidak kepadanya.

“ Akira san, aku memohon pada Dewa ingin menikahimu.”

Akira tersipu sambil tak percaya, “ Really?? Permintaan kita sama Nyoman. Semoga Dewa mengabulkannya.”

*****

Malam sedang purnama, air pasang, ombak ganas menggulung, gemuruhnya memecah batu karang, badai menghempas memporak porandakan rumah - rumah kayu. Dalam kerlip cahaya lampion, wanita berkimono putih itu mengiris ikan tipis - tipis, lantas dengan hati-hati mencelup sedikit kecap asin lalu cuka dan memberikan pada dirinya. Sudah berkali-kali Nyoman mengimpikan Akira dalam tidurnya. Mimpi buruk itu selalu muncul menggantikan perbincangan yang telah lama tak dilakukan mereka berdua.

Ketika Nyoman menelpon, Akira lebih sering mengatakan,“ Aku sedang sibuk, Nyoman.”

Nyoman lantas teringat perpisahan terakhir mereka di Bandara Sukarno Hatta ketika Akira akan pulang ke Tokyo dan Nyoman balik ke New York. Nyoman tak mengira Akira yang biasanya tenang dan tegar tiba-tiba tak kuasa meneteskan airmatanya dan memeluk Nyoman erat sekali seolah tak ingin berpisah. Kesedihan itu tergambar seolah mereka takkan pernah bertemu lagi. “Como si fuera esta noche la ultima vez”, sepertinya malam itu adalah pertemuan terakhir mereka. Sepertinya rintihan itu mirip Andre Bocelli saat menyentuh nada tinggi diakhir birama Besame Mucho, benar-benar menahan kesedihan yang amat dalam untuk tak bertemu lagi.

Waktu merubah segalanya.
Andai benar sangkaan Nyoman bahwa cahaya akan luruh oleh kekuatan gravitasi, maka cahaya cinta Akira mulai meluruh secepat cahaya melintasi Tokyo - New York yang datangnya bertubi-tubi 27 kali sedetik. Nyoman merasakan seolah ia ditampar api cinta yang membuat dirinya petinju KO akibat pukulan bertubi-tubi. Cinta itu membakar jiwa raganya bahkan ketika musim dingin tiba, cinta itu mampu melelehkan gundukan – gundukan salju di perbukitan.

Lama kelamaan Nyoman merasakan cahaya cinta itu mulai melemah ketika melintasi Mongolia, Kazakhtan, Austria, Prancis, dan luruh ketika menyeberangi Samudera Atlantik tertarik oleh kekuatan maha dahsyat ke dalam palung-palung yang dalam dan beku.

Ketika telpon berdering dan Akira memberitahu Nyoman bahwa dirinya telah menjalin hubungan cinta dengan lelaki lain. Nyoman tiba-tiba patah hati. Hatinya bergemuruh seperti gunung Merapi ingin meletupkan lahar, membuat dadanya ingin meledak. Beribu kupu-kupu terbang memenuhi perutnya.

“ Why ... Akira San?”


“ Aku tak kuat menanggung derita cinta berpisah jauh darimu Nyoman.”


“ You always sing to me Akira San, I will be right here waiting for you. Do you remember ?”


“ Forgive me Nyoman.... I am sorry ...”


Terdengar nada telpon putus. Nyoman termangu. Hatinya kembali melayang ke masa lampau ingat tatkala ia menggaris nama mereka berdua di pasir pantai, berlari-lari mendekat ke air mata suci dan meminta berkah dari para pendeta, membasuh wajah dengan keduabelah tangannya, berjingkat-jingkat menuju gua tempat ular laut penunggu pura, dan tiba-tiba Akira pergi begitu saja meninggalkannya.

Nyoman sangat marah. Akira telah meninggalkan ia dalam kesendirian di pura itu. Ia ingin segera memburunya pulang ke rumah. Dan tatkala Nyoman menemui Akira sedang asyik bermain dengan boneka kesayangannya. Ia ingin segera menghambur menumpahkan kemarahannya, memukuli sekenanya, sampai puas, sampai lelah, dan ia lantas mendekap Akira, menyandarkan kepalanya pada dadanya, sambil menangis sesenggukan.

Nyoman merasakan kesepian yang mendalam. Baru kali ini ia merasa nyali merantaunya hilang setelah 12 tahun bekerja di Amerika. Masa depannya seolah kelam, bahkan ia sampai ketakutan memikirkan hari esok. Nyoman ingin waktu berhenti diam saja, tak bergerak. Tak ada esok atau lusa.

Entah sudah berapa lama Nyoman dalam kemurungan, tapi kemudian ia teringat ibunya, juga tanah Bali dimana ia lahir. Mereka mengajarkan sebuah kearifan dalam norma-norma keluarga. Kakak punya derajat yang dituakan, dihormati, ia adalah Nyoman anak ketiga, masih ada Made dan Wayan di atasnya. Ada hak istimewa sebagai kakak, hak yang tak bisa disanggah. Apapun tindakan yang diperbuat seorang kakak, Nyoman akhirnya menerima keadaan itu apa adanya, “taken for granted”, menerima Akira San dalam hirarki keluarga. Akira san adalah Harajuku. Tak ada istilah kuno atau ketinggalan jaman dalam hidupnya. Apapun itu sebuah kenangan indah, yang ada sekarang hanyalah semangat masa kininya.

Nyoman berusaha tegar, lagu sederhana dengan melodi ajaib dan indah Sukiyaki, Kyu Sakamoto dengan liriknya yang lugu menuntun kesedihannya untuk menepi.

Aku harus tengadah ketika berjalan (sambil bersiul)
Biar airmataku tak jatuh
Karena mengenang hari hari indah musim semi itu
Dan malam ini aku kesepian

Menghitung kaburnya bintang – bintang di langit (sambil bersiul)
Lewat air mataku yang menggenang
Karena mengenang hari-hari indah musim panas
Dan malam ini aku kesepian

Kebahagiaan bersandar di atas awan, Kebahagiaan ada di atas langit
Aku berjalan sambil menangis
Kesedihan terpancar pada bintang-bintang, Kepedihan terpancar pada cahaya bulan

Janu Jolang
Washington DC, Februari 2012

Wednesday, February 15, 2012

TENTANG BAHASA

“Biarkata sudah 8 tahun di Amerika aku tetap saja punya kebiasaan menghitung uang (dalam hati) memakai bahasa ibuku, ji ro lu pat mo nem. Satu dua tiga empat lima enam. Rasanya mantep, nggak takut salah jumlahnya.”

Juga ketika marah karena ulah si Spanish gila teman kerjaku, sinyal gambar yang ada diotakku adalah binatang menggonggong dan keluar lewat makian dalam bahasa ibuku, Asu!!! Bukannya lantas dalam bahasa inggris, ... Dog!!! Malah lucu ...karena di sini anjing adalah binatang yang lucu dan punya derajat “kebinatangan” tinggi.

Masalah bahasa sangat komplek, menyangkut kerja otak yang rumit, juga kultur dimana kita dibesarkan. Aku jadi teringat sebuah kaos yang dikenakan orang hitam di stasiun kereta bawah tanah tentang definisi berpikir, “Think: Remembering, Sensing, Computing, Reasoning, Make decision, etc...etc.”

Ketika kita berpikir, apakah semuanya murni menggunakan bahasa ibu? Tidak juga.Kemampuan berbahasa seseorang berkembang lewat pengalaman dan pemahaman yang dari hari ke hari makin bertambah linier dengan pengalaman hidupnya. Aku pernah punya teman kerja bule yang bicara dan logatnya sama sama sempurna dalam dua bahasa, Spanish dan Inggris. Dan ternyata orang tuanya asli Argentina, dan dia lahir di Amerika.

Kata Wang Chuan si delivery man, pada kondisi yang spontan, atau seseorang mengalami sensasi psikis tertentu entah itu merasa terkejut, marah, sakit, atau gembira, orang cenderung kembali kepada bahasa ibunya. Bahasa pertama yang tertanam dalam otaknya dan telah terkoneksi dengan memori dasar yang pertamakali dialami. Aku jadi teringat lagu lawas Adie Bing Slamet yang populer di usia-usiaku, Mak Inem Tukang Latah (Eh... copot ..copot)

Ketika hal itu kutanyakan secara iseng kepada mBak Marmi, dan sebetulnya aku kurang kerjaan juga sehingga membuat mBak Marmi tersipu-sipu. Aku menjadi agak nggak enak hati.

Bukannya apa-apa, aku hanya penasaran tentang mBak Marni yang bahasa Inggrisnya terbata-bata (bukan maksud menghina) dan mempunyai suami orang hitam Amerika.

Sungguh aku merasa berdosa setelah menanyakan: Apakah dia masih menggunakan bahasa ibunya ketika bercinta dengan suaminya? Bukankah kata si Wang Chuan kalau kita mengalami sensasi psikis yang “nikmat” tentu akan berpulang pada bahasa ibunya? Tapi dalam hal ini mBak Marmi sudah mengalami akulturasi budaya? Juga bahasa?

Jawaban mBak Marmi begini,” Halaaah ana-ana wae pitakonane, dik.” (Halaaah ada-ada saja pertanyaannya, dik)

Jujur dalam hati tidak bermaksud “porno” atau pelecehan sexual, aku cuma ingin membandingkan antara kata-kata: Harder dengan Sing Cepet, I'm coming dengan Enak gilaaa. Mana yang spontan keluar dulu dari mulutnya.

Aaaah ..... karena aku tetap menghitung uang dalam bahasa ibuku, juga kandidat Doctor Mr. Wang Chuan berkata seperti itu. Maafkan aku mBak Marmi ....

Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap di Amerika

Wednesday, January 25, 2012

BIAR KULI RANTAU YANG PENTING “BE-GAYA”

Daromes adalah sosok perantau yang unik. Lelaki usia 30an tahun asal Simalungun itu selalu punya semangat lebih, ramah, dan mudah akrab dengan siapa saja. Bekerja di Amerika adalah impiannya sejak dulu ketika ia masih di kampung walau hanya sebagai tukang cuci piring di sebuah restoran Jepang di daerah downtown Washington DC.

Yang unik darinya, setiap pagi berangkat kerja, Daromes yang berwajah bocah itu keluar dari apartemen Kampoeng Melajoe berpakaian necis ala pegawai kantoran, berjas mahal, dasi melilit lehernya, bersepatu “cetok” alias sepatu kantoran yang mengkilat, berjalan dengan lagak eksekutif muda membaur dikerumunan pekerja “white collar” Washingtonian. Di dalam kereta bawah tanah ke Union Station, Daromes sesekali membuat nyaman lehernya dengan menggeser-geser letak dasinya, bukan apa-apa melainkan untuk menarik perhatian wanita di depannya, tersenyum manis, dan wanita itu segera bisa mencium bau harum semerbak wangi dari parfum yang melekat di tubuh Daromes.

Sungguh awal mula aku tak mengira kalau Daromes adalah tukang cuci piring. Kupikir dia adalah pekerja kerah putih di kantor pengacara terpandang di Washington DC. Tapi si Oki teman sekamarku memberitahu kalau Daromes adalah “dish washer” alias Tukang Cuci Piring di restoran Itoyanagi.

Pertunjukan sandiwara setengah babak akhirnya berakhir ketika Daromes sampai di restoran, melepas jas, dasi dan sepatu, menggantungkannya di locker room, dan berganti dengan baju kerja tukang cuci piring. Lain hari, ketika dia menelpon emaknya di kampung, Daromes yang selalu rajin mengirimkan foto-foto “keren”nya itu selalu bilang bahwa dia bekerja di perusahaan Jepang, “ Aku bekerja di company Jepang , mak.” Dan emaknya yang melihat penampilan foto anaknya yang perlentepun percaya kalau anaknya bekerja pada sebuah perusahaan Jepang yang bonafid di Ibukota Amerika.

Selain itu, untuk meyakinkan emaknya, Daromes juga rajin datang ke acara Kedutaan, biasanya ketika Pejabat Negara Indonesia berkunjung ke Amerika, mulai dari Presiden Gus Dur, Megawati, sampai SBY, Daromes selalu menyempatkan foto bersama presidennya, dengan gaya yang seolah-olah “akrab” dan foto itu langsung dikirim ke ibunya di kampung. Semua tetangga yang melihat foto-foto Daromes terpajang di ruang tamu menjadi segan dan hormat. Hal seperti ini, kok kurasakan, kurang lebih sama ketika seseorang memajang pelat mobil Lemhanas, Sticker Hankam, atau memasang simbol Polisi Militer di tempat usahanya. Yaaa nilai-nilai feodal yang selalu bersandar pada Pusat Kekuasaan, suatu kondisi yang tak ingin dipandang remeh oleh lingkungan sosialnya, atau untuk menaikkan pamor dan derajat, atau bahkan untuk menghindari orang-orang yang ingin memerasnya.

Lain lagi dengan Thomas, pemuda gagah perlente asal Bandung yang selalu berpenampilan “army look” selalu bilang kepada saudara atau teman-temannya di Indonesia bahwa dia bekerja di Pentagon, pusatnya keamanan dunia. Potongan rambut Thomas yang cepak, kalau di Indonesia dikenal dengan gaya ABCD, ABRI Bukan Cepak Doang, dengan kalung Dog Tag ala militer melingkari lehernya, dan memajang foto-fotonya dengan senjata M 16 dengan pose mirip Rambo, entah senjata itu dipinjam dari mana, sungguh kalau di Indonesia penampilan ala militer ini amat mudah kujumpai di terminal-terminal, stasiun, pasar-pasar, atau tempat hiburan malam. Di sini, di Amerika, orang jarang berpenampilan “army look” kecuali memang mereka benar-benar tentara.

Nah Thomas ternyata masih terbawa “kesenangannya” berpenampilan tentara, atau barangkali menjadi tentara adalah obsesinya sejak kecil, tapi memang benar adanya bahwa Thomas bekerja di Pentagon, tapi dia “hanya” bekerja sebagai Tukang Parkir untuk mobil-mobilnya para jendral di Pentagon. Maka jangan heran ketika melihat foto Thomas yang berlatarbelakang gedung Pentagon, ya memang disanalah dia bekerja.

Lain Thomas, lain lagi Amran, ia selalu mengaku kepada teman-temannya di Indonesia bahwa ia bekerja di FBI, Federal Bureau of Investigation, Penyelidik Federal yang sangat terkenal karena kecanggihannya, juga ketangguhannya, seperti dalam film film Holywood yang sering kita saksikan di tv atau layar lebar. Amran selalu memakai kaus dan topi FBI dalam foto-fotonya. Tapi sungguh perlu diketahui, bahwa institusi FBI bagi warga Washington DC ternyata sudah menjadi simbol “tourist attractions”. Kantor pusat FBI yang berseberangan dengan Hard Rock Cafe bukanlah sesuatu yang angker, gedung itu dikelilingi oleh toko-toko suvenir yang menjual atribut FBI mulai dari kaus 3 dollar, topi, sticker, banner ataupun simbol-simbol FBI lainnya.

Dan ternyata Amran memang punya singkatan tersendiri apa itu FBI: Food and Beverage Industry, alias dia bekerja jadi tukang masak di restoran Ravi Kabob. Alih-alih memburu “serial killer” penjahat psikopat ala film Silence of the Lamb, Amran malah bikin Lamb Chop yang rasanya mak nyuuus, Lamb Kabob dengan roti naan dan salad yang kecut segar, atau Lamb Karahi alias kari kambing yang tersaji dalam wajan besi.

Apapun tingkah polah mereka, entah lucu atau “wagu”, setidaknya mereka sudah memberikan kesan “wah” pada keluarga dan teman – temannya di kampung halaman. Kulihat juga foto-foto para nanny yang bergaya di depan White House, Lincoln Memorial, atau Washington Monument, dengan jaket imitasi Fur musim dingin, sepatu boat selutut, memakai tas Louis Vuitton palsu yang dibeli di emperan toko kota tua Georgetown, dengan wajah ceria, itulah sebagian dari jati diri mereka yang ingin diakui keberadaannya. Sedikit Bergaya apa salahnya?

Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap di Indonesia

Thursday, December 15, 2011

KEMBANG DESA PULANG KAMPUNG

Terbit di Kompas Online 14 Desember 2011

Dusun Adem Ayem digegerkan oleh kedatangan Yuni Amperawati mantan kembang desa puluhan tahun silam. Tak seorangpun tahu kapan Yuni meninggalkan kampung. Ibunya menangis dan hanya bilang Yuni pergi merantau, entah ke Arab, Taiwan, Jepang, atau hanya ke Jakarta. Kala itu banyak pemuda dusun patah hati. Dan kini ketika Yuni pulang -- tak seorangpun mengendus kehadirannya kecuali sisa-sisa kecantikan yang masih terpancar di wajah dan tubuhnya.

Warga dusun Adem Ayem amatlah bersahaja, sopan, dan religius. Pak Kyai Joko sebagai panutan dan pengayom warga dusun punya peran penting dalam menjaga keharmonisan hidup sehari-hari. Hanya bu Sastro, istri Pak Kepala Dusun agak terganggu dengan kepulangan Yuni.

Tak butuh waktu lama Yuni dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang pernah jadi kesehariannya. Selain ramah, Yuni kini menjadi seorang wanita yang sublim dan mandiri. Ia tak segan mengulurkan tangan membantu yu Warti memasak untuk santri Pak Kyai.

Kebiasaan di dusun Adem Ayem, hari Minggu pagi, Ibu-ibu mencuci pakaian di sungai, bapak-bapak memandikan kerbaunya, sementara anak-anak cebur – cebur-an, mandi telanjang. Beratraksi salto, menukik, atau pantatnya menghantam air hingga mengeluarkan bunyi berdebam. Yuni tersenyum melihat tingkah polah anak-anak.

Maklum anak-anak, tak ada rasa risih walau mereka telanjang bulat dan alat kelaminnya lari kemana-mana. Tabu ketika mereka sudah akil baliq, dan alat tersebut sudah bisa berfungsi sebagai alat reproduksi. Dalam bahasa jawa, sebutan thithit -- berubah menjadi “anu”, ya karena “anu” tidak layak diucapkan secara terang-terangan, tertulis, atau di depan publik. Dan mengenai “anu” inilah biang keladi Yuni mendapat masalah yang membuat geger dusun Adem Ayem.

Kejadiannya bermula saat Pak Kyai Joko mengadakan pengajian di suraunya. Semua santri dan warga dusun Adem Ayem hadir bersimpuh di atas tikar, menyimak tausiyah Pak Kyai yang bersuara bariton empuk. Semilir angin malam itu sesekali membawa bau kotoran sapi dari kandang belakang milik pak Kyai. Tapi itu tak mengurangi suasana syahdu yang menenangkan hati. Yuni ikut hadir, khidmat memperhatikan ajaran Pak Kyai.

Tiba-tiba ada seekor lalat Ijo hinggap di jidat Yuni, barangkali kabur dari kandang sapi di belakang rumah Pak Kyai. Dan Atun yang berada di sebelah Yuni tiba-tiba secara reflek menepuk lalat itu. Warga yang hadir tak mengetahui kejadian itu sampai Yuni berteriak kaget, “ Eh.. Anu ... anu .....(menyebut alat vital laki-laki dewasa).. eeh anu ... Ya Tuhan .... maaf.”

Semua hadirin tersentak kaget. Pandangan mereka mengarah ke Yuni yang tertunduk malu. Bu Sastro istri pak Kadus memandang Yuni dengan jijik. Ditengah suasana khusuk menghadapkan diri kepada Tuhan, terselip kata-kata tak senonoh keluar dari mulut Yuni, tentang alat kelamin laki-laki dewasa..

Konon kebiasaan “Latah” adalah bentuk pertahanan diri ketika ia kaget atau sering dikageti. Insting itu tersambung cepat ke kosa kata di otaknya, entah itu punya arti menyenangkan, lucu, atau bahkan traumatis. Hal itu sangatlah alamiah dan dapat dimaklumi. Tapi jika itu terjadi pada acara suci keagamaan apakah itu bisa dimaklumi? Yuni kini menanggung semua akibatnya.

Keesokan paginya berita itu cepat menyebar. Ibu-ibu yang tadinya akrab kini menjaga jarak, saling berbisik, dan menghindar. Tak butuh waktu lama, beredarlah rumor kalau Yuni adalah perempuan nakal yang suka mangkal di warung remang-remang, menunggu supir-supir truck melepas lelah, sambil menawarkan tubuhnya dengan genit. Rumor tak berhenti di situ, sebaliknya malah tambah hebat, ada pihak ketiga yang sengaja menghembuskannya. Bu Kadus sendiri tampak vokal seolah dia sedang mensosialisasikan program kesejahteraan keluarga layaknya Pos Yandu.

Yang bikin Yuni jengkel, anak-anak kini sering mengageti dirinya, entah Ia sedang di pekarangan, di sungai, atau di jalan. Latah joroknya jadi kumat, anak-anak tertawa, sambil berlari-lari dan ikut menirukan latahnya. Ibu-ibu yang mendengar mengingatkan, “ Eeeh bocah-bocah jangan ngomong saru yaaa.”

Para orang tua kewalahan dan mengadu pada Pak Sastro. Yuni tepekur sedih. Ia tak mau lagi terusir dari dusun Adem Ayem seperti dulu. Ya.. Yuni ingat waktu remaja dulu, ketika Wati anak Pak Yudo Kadus jamannya, selalu merasa iri pada dirinya. Ketika ia menjadi juara kelas mengalahkan Wati, menjadi penari kebanggaan warga dusun, dan yang paling telak adalah Sastro -- ketua pemuda dusun -- yang lebih memilih dirinya daripada Wati anak Pak Kadus.

Hingga pada suatu hari kejadian luar biasa terjadi, waktu Ia diminta membantu pernikahan Tatik anak pak Kadus yang tertua, dan ketika perhiasan emas dan uang seserahan dari mempelai pria itu tiba-tiba hilang berpindah tangan dan secara ajaib berada di dalam saku jaketnya yg digantungkannya di kamar rias. Maka dia mengerti bahwa Wati telah menjebaknya. Dan akhirnya dengan penyelesaian “kekeluargaan” Yuni terpaksa meninggalkan dusunnya, meninggalkan Sastro dan segala impian indah masa depannya.


*****

Bu Sastro alias Wati istri pak Kaduslah yang kini paling vokal bersuara. Kepada suaminya ia berkata,“ Semenjak kedatangan Yuni, dusun kita jadi berubah tidak tentram, pakne,”

Pak Sastro yang melihat gelagat buruk Bu Sastro menghela nafas panjang. Ia tahu Yuni adalah pribadi yang baik hati. Ia lantas teringat kejadian puluhan tahun silam, ketika masa remaja, ketika Yuni telah mencuri hatinya, dan itu membuat Wati cemburu. Dan rasa cinta yang baru mekar itu tiba-tiba layu ketika Yuni meninggalkan dusun Adem Ayem dengan tiba-tiba, tanpa pamit, sepertinya ada sesuatu yang janggal dengan kepergiannya.

“ Ya nanti aku tak “rembugan” dengan dik Joko”
“ Pak ne tau apa? Diusir saja, demi ketentraman warga dusun.”
“ Ya ojo kesusu to bu.”
“ Pokoknya lebih cepat lebih baik, pakne.”

Pak Kadus segera menyuruh pembantunya memanggil Kyai Joko. Diantara pembicaraan bertiga, Pak Kyai menengahi, “ Janganlah kita berburuk sangka dulu, bu. Lebih baik kita “khusnudzon” saja. Semua orang tempatnya salah, tetapi sebaik-baik orang yang berbuat banyak kesalahan itu adalah orang-orang yang banyak bertaubat."

“ Dik Joko tahu, si Kelik tukang ojeg yang mangkal di terminal itu bilang kalo Yuni suka mangkal di warung-warung pangkalan truk. Nama dusun kita akan cemar. Ibu-ibu PKK mulai cemas lho dik Joko. Khawatir kalau nanti Yuni menggoda suami – suami mereka.”

“ Ya sabar bu Sastro.... Boleh jadi kita membenci sesuatu, padahal kita tidak tahu bahwa sesungguhnya itu amat baik bagi kita. Dan belum tentu apa yang menurut kita baik, padahal sebetulnya itu hal yang buruk bagi kita. Allah Maha Mengetahui. Saya akan berbicara dengan Yuni bu Sastro...”

*******

Dan mulailah Kyai Joko, atas permintaan Pak Kadus, menyelesaikan masalah ini dengan bijaksana. Dalam pembicaraan di surau Kyai Joko yang mengenyam pendidikan keguruan di IKIP menerapkan pendekatan psikologis pengajaran untuk menghilangkan “latah”nya Yuni.

“ Jeng Yuni, kebiasaan latah jorok yang keluar dari mulutmu sudah membuat warga Adem Ayem geger.”

“Iya Pak Kyai, mohon maaf. Saya harus bagaimana? Apapun akan saya kerjakan asalkan saya jangan diusir dari dusun Adem Ayem. Saya ingin menghabiskan masa tua dan mati di dusun ini.”

“ Baiklah saya akan bantu, coba jeng Yuni.... bagaimana kalau yang sudah-sudah itu, latahnya lebih baik diganti dengan menyebut asma Allah. Subhanallah boleh. Masya Allah boleh. Atau Allahu Akbar. Setuju?”

“ Ya ya ya Pak Kyai. Saya akan mencoba ...”

Dan ketika Pak Kyai Joko mencoba mengageti Yuni, dan kebiasaan latah joroknya masih tetap saja, Pak Kyai hanya geleng-geleng kepala sambil tersipu malu. Orang-orang yang lewat di depan surau dan mendengar tersenyum kecut.
Mungkin besok bisa berubah, atau minggu depan. Dan ketika sampai berhari-hari Yuni tak bisa melepas kebiasaanya, maka Pak Kyai tak kehilangan kesabarannya.
Ia kemudian membuat target antara, dengan membelokkan latah joroknya menjadi Eh copot .. copot. Ya... ia sering melihat orang-orang yang latah mengucapkan kalimat seperti itu. Hal yang pernah dipopulerkan oleh penyanyi Adi Bing Slamet lewat lagu Mak Inemnya waktu kecil.

Akhirnya, walau memakan waktu lama, ternyata usaha itu berhasil. Pak Kyai Joko merasa senang. Juga Yuni. Kini kalau ada sesuatu yang mengejutkan Yuni maka kata-kata yang keluar adalah:” Eh copot ..copot”, bukan latah jorok yang dulu "Eh ..anu ... anu".

Mendengar itu Pak Kadus ikut senang, anak-anakpun juga senang dan sekarang mereka mengikuti latah barunya Jeng Yuni, eh copot...copot, sambil tertawa-tawa gembira. Ibu-ibu dusun Adem Ayem menjadi tenang, hanya Bu Kadus seorang diri merasa sebaliknya.

Bersyukur dan berbahagialah seseorang yang dibimbing alim ulama, yang selalu mengajarkan suri tauladan, kebaikan, cinta kasih, tata krama, sopan berbahasa, budi pekerti dan berkaca diri. Yuni merasakan kehadiran Kyai Joko sangat dekat dalam dirinya.

**********

Disela-sela waktu longgar seputar surau siang itu, Pak Kyai Joko sedang terlibat pembicaraan dengan Yuni . Kali ini tidak lagi membahas “latahnya” melainkan hal lain.

“Jeng Yuni masih kayak dulu lho, awet muda... Resepnya apa? Mbok aku dikasih tau “

Yuni kaget dengan pertanyaan itu. Ia tak menyangka ucapan Pak Kyai akan seperti itu. Jangan-jangan kebiasaan joroknya selama ini mengakibatkan timbulnya kegelisahan terpendam pada diri Pak Kyai. Tapi ingatan Yuni langsung melayang ke masa mudanya ketika si Joko, adik kelasnya waktu di SMP dulu terlihat mencoba mendekati dirinya. Yuni ingat ketika Joko memboncengkan dirinya dalam karnaval sepeda 17 an. Juga beberapa kali pernah datang ke rumahnya.

“ Aah bisa aja Pak Kyai, hmmm resepnya apa ya?? Hehehe”

“ Wah ternyata sudah lama kita nggak ketemu yaa jeng ... ayo crita pengalaman merantaumu. Aku ingatnya dulu waktu jaman SMP, he he he. Jangan ngomong siapa-siapa ya jeng Yuni, aku dulu pengagum gelapmu lho”

Dan ketika Yuni memahami bahwa Pak Kyai berubah menjadi sedikit kekanak-kanakan, tersipu-sipu malu. Ia tak merasa kehormatan Pak Kyai menjadi luntur. Semua laki-laki dewasa pada dasarnya adalah kanak-kanak yang butuh perhatian, kasih sayang, dan pelayanan. Apalagi Pak Kyai statusnya masih single belum menikah. Yuni tetap menghormati Pak Kyai sebagai panutan moral warga dusun Adem Ayem.

“ Boong banget seeh .... puacarmu kan segudang...eh becanda Pak Kyai.. Aku sudah tua loh”, Yuni tersipu dan tiba-tiba ia berbicara dalam logat Betawi, barangkali dia pernah merantau di sana.

Suasana sangat akrab dan tidak formil,“ Kalo ingat jaman dulu lucu ya jeng Yuni. Waktu “mboncengin” kamu naik sepeda senangnya minta ampun. Tapi habis itu bingung mau gimana?? He he he cinta monyet ..., belum ngerti jurus-jurus merayu wanita. Jadinya diam saja, dipendam. Eeh ini jangan dimasukan hati ya, Jeng. Ini cuma pengakuan saja “

“ Ha ha ha lucu....lucu...., iya ... iya tenang saja Pak Kyai, kita kan bukan hanya sudah dewasa tapi “wis tuwo”, sudah tua, hehehe..Cerita seperti ini kan jaman dulu Pak Kyai “

Pak Kyai agak tersipu, kemudian ia mencoba bersikap bijak,“Iya bener jeng Yuni, kita sudah tua, sudah banyak makan asam garam kehidupan. Kadang kita hampir menyerah pada kenyataan pahit, tapi kemudian bangkit dengan semangat. Kadang juga kalau kita kembali ke jaman kanak-kanak, rasanya semuanya indah, penuh tawa dan canda. Dan cukuplah itu sebagai kenangan indah saja. Terlalu indah untuk menjadi nyata jeng Yuni ...”

“ Oh, jadi kalau sekarang Pak Kyai “udah canggih” ya cara merayunya.. hahaha. Ini becanda lho Pak Kyai.” , terlihat Yuni mulai nyaman dengan gerak gerik dan ucapannya. Terlihat dia bisa mengendalikan keadaan.

Dan kini Pak Kyai Joko tak bisa menahan perasaan hatinya, lalu mengungkapkan dengan jujur apa yang pernah dia alami sewaktu muda dulu,“ He he he sebenarnya dulu itu aku pingin deket denganmu cuma aku nggak tau “piye carane”, bagaimana caranya? Pernah aku beberapa kali main ke rumahmu cuma kok aku jadi tambah bingung he he he. Mungkin salah satunya karena kamu kakak kelasku, dan juga waktu itu Mas Sastro yang ketua pemuda desa itu tergila-gila padamu --- jadi aku minder. Kalo sekarang, mungkin kita sudah sama-sama dewasa, jadi ya yang ada sekarang adalah rasa hormat, rasa saling menghormati. “

“Pak Kyai, sebenernya aku juga inget banget kejadian waktu "kita" masih SMP. Seandainya waktu bisa diputar kembali.... “

Seolah Pak Kyai faham film tv Time Tunnel alias Lorong Waktu jaman kecil dulu, dan ketika dia mahasiswa belajar agama dan memahami bahwa Lorong Waktu hanyalah angan-angan belaka, tapi dengan maksud tak serius dia menjawab, “Ahh masak siy jeng Yuni ingat banget kejadian-kejadian waktu "kita" masih SMP? Andai waktu bisa diputar kembali .... Apakah kira-kira ada cerita yang berbeda?”

“Kalau waktu bisa diputar kembali???!!! Kalau kita memang gak jodoh atau gak dipertemukan sama Tuhan, yo tetep ora ketemu yo?? "Pekok” banget si aku, bodo banget siy aku!! Hahaha... “

“ Eh siapa tahu dipertemukan Tuhan dikemudian hari?”

“ Eh copot ... copot .... Pak Kyai .... pak Kyai”, Yuni latah karena gugup.

“ Jangan panggil aku Pak Kyai ... panggil aku Joko saja”

“ Aku tak berani ... apa nanti kata warga dusun Adem Ayem kalau dengar itu”

“Dulu waktu “mboncengin” kamu naik sepeda untuk pertama dan yang terakhir kalinya, he he ehem, rasanya seolah sudah jadi laki-laki gagah, gede kepala, dan bangga. Ah sayang aku dulu kurang berani, kurang nekat. Mestinya pemuda-pemuda yang naksir kamu itu tak aku gubris, atau kulawan. Jeng Yuni, maukah menikah denganku?”

“Eh copot ... copot ... Ah... Pak Kyai bercanda”

Tak pernah terbayangkan dalam benak Pak Kyai sebelumnya --- sampai pada keinginan ingin menikahi Yuni. Yaa ..usia Yuni mateng, lekuk pinggang dan busung dadanya menandakan hormon kewanitaannya melimpah. Demikianlah bahasa alam yang terungkap ketika seorang wanita menarik lawan jenisnya, sebagai bekal untuk bertahan di muka bumi, guna meneruskan keturunannya, beranak pinak dan pada saatnya berubah jadi gendut dan menua.

Dan akhirnya dusun Adem Ayem kembali tentram dan damai. Pak Kyai Joko bisa menyelesaikan permasalahan Yuni yang bikin dusun Adem Ayem heboh. Semua merasa bahagia, win win solution. Bu Sastro kini merasa tenang bisa menghabiskan masa tuanya bersama Pak Kadus, Kyai Joko bisa menikahi pujaan hatinya, dan Yuni tak terusir lagi dari dusunnya.

Di malam dingin, diantara suara angin yang mengguncang rimbunan bambu, sepertinya terdengar sayup-sayup Yuni mengucapkan kebiasaan latahnya, dan kini malah campur aduk tak karuan,
“ Ehh .. Anu-copot ...eeh anu-copot ..eh maaf Pak Kyai“

“ Hayoo ... Jeng Yuni nggak boleh latah jorok lagi yaaa”, Pak Kyai agak kecewa latah jorok Yuni muncul kembali.

“ Saestu Pak Kyai ... kulo mboten goroh” (Benar Pak Kyai ... Saya tidak bohong kok)

“ Ssssttt .....diam”, bisik pak Kyai Joko.

Washington DC 2011

Thursday, November 17, 2011

HARI GINI MASIH ADA PERBUDAKAN DI AMERIKA

Sebut saja Supri, seorang warga negara Amerika naturalisasi asal Indonesia yang mengaku bersalah dalam persidangan di negara bagian Virginia pada akhir November 2008, dengan tuduhan Menampung Pendatang Gelap untuk Keuntungan Pribadinya.

Menurut dokumen di pengadilan, sejak tahun 2000 Supri dan istrinya Kamti menampung 11wanita TKW gelap di ruang basement rumahnya, dan mempekerjakan mereka untuk menjadi nanny atau housekeeper di keluarga kaya di daerah Potomac, Maryland. Sang majikan, diantaranya adalah dokter-dokter kenamaan di rumah sakit Maryland, Jaksa terpandang di Washington DC, dan Insinyur yang mengurusi sektor energi ataupun pengairan.

Di setiap akhir pekan atau Jum at sore, Supri dan Kamti menjemput mereka dari rumah majikan, dan menampung mereka di rumahnya di daerah Virginia. Senin pagi, mereka mengantar kembali kesebelas wanita itu ke rumah majikan masing-masing. Suami istri itu menarik bayaran $375 perbulan untuk biaya sewa tempat tinggal dan transportasi. Urusan lainnya seperti kirim uang ke Indonesia, mereka menarik ongkos lagi yang besarnya bervariasi.

Supri – Supri di sini banyak, TKW gelap juga banyak. Hubungan antar mereka sebetulnya tidak sepenuhnya hitam putih, tapi berada dalam area abu-abu. TKW butuh tempat tinggal dan pekerjaan. Supri menampung mereka dan mencarikan pekerjaan.
Sebetulnya para TKW itu datang ke Amerika dengan dokumen lengkap alias pakai visa kerja. Kebanyakan mereka dipekerjakan sebagai housekeeping atau nanny di rumah diplomat – diplomat dari berbagai negara, kebanyakan dari Timur Tengah. Setelah kontrak kerjanya habis, atau biasanya mereka kabur karena dibayar terlalu murah, atau diperlakukan dengan kasar, nah lewat jasa si Supri inilah kelangsungan hidup para TKW bergantung. Simbiosis mutualisme. Saling membutuhkan dan saling menolong. Supri butuh tambahan income, para TKW butuh tempat tinggal dan pekerjaan.

Masalahnya bisa berbeda ketika fakta hukum berbicara lain. Menurut dokumen pengadilan, Supri memperlakukan kesebelas wanita itu dengan semena-mena. Menumpuknya dalam sebuah basement seperti layaknya ikan pindang berjejer-jejer. Mereka juga dilarang keluar rumah, Paspor ditahan, serta diancam kalau kabur dari rumah maka keluarganya di Indonesia akan dibunuh. Karena status mereka yang tak punya dokumen resmi lagi, maka Supri selalu mengancam akan melaporkan mereka kepada petugas Imigrasi.

Bermula dari salah seorang wanita yang tak tahan lagi dengan ancaman dan keadaan yang menyengsarakan itu, ia kemudian mengabarkan pada saudaranya di Indonesia bahwa hidupnya terancam, atau menurut wanita itu, bahwa Supri mau membunuh keluarganya di Indonesia kalau dia tak patuh dengan Supri. Keluarganya di Indonesia kemudian melaporkan ancaman ini ke Kedutaan Amerika di Indonesia. Tak berapa lama kawat berita sampai ke FBI dan U.S. Immigration and Customs Enforcement (ICE). Investigasipun dilakukan dan setelah memakan waktu lama dan cukup bukti, pada sekitar bulan Oktober 2008, petugas hukum menangkap Supri dan istrinya.

Yaa .. rekruitmen, menampung, dan mentransportkan pendatang gelap adalah kejahatan serius dan tak bisa ditolerir. Apalagi mengexploitasi dan mengambil untung dari status mereka yang rentan. Modern slavery and human trafficking, Perbudakan Modern dan Penyelundupan Manusia. Untuk kejahatan itu Supri menghadapi ancaman hukuman 10 tahun penjara dan membayar restitusi kepada TKW yang pernah dirugikannya. Sedangkan istrinya yang masih warga negara Indonesia menghadapi ancaman 5 tahun penjara karena telah memberikan statemen palsu kepada agen federal pada saat penyelidikan.

Selama lima tahun usahanya, Supri dan istrinya mampu meraup $ 90.000 dari para TKW tersebut.

Sekedar data tambahan, Human Trafficking di Amerika cukup tinggi yaitu 14.500 sampai 17.500 orang dalam setahunnya. Kebanyakan dari mereka datang dari berbagai bangsa yang tingkat kesejahteraan sosialnya rendah, tak banyak lapangan pekerjaan, dan upah kerja sangat rendah. Data internasional sendiri lebih besar yaitu 600.000 sampai 800.000 orang tiap tahunnya menjadi korban Perbudakan Modern dan Penyelundupan Manusia.

Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap di Amerika

Saturday, October 1, 2011

TEORI POLITIK ALA WANG CHUAN

WANG CHUAN SI DELIVERY MAN
MENJELASKAN TENTANG TEORI POLITIK

Entah bermaksud guyon atau sekedar sindiran, joke politik ini diceritakan Wang Chuan di suatu sore sebelum restoran ramai. Cerita ini tentang seorang pemuda di negara komunis yang tidak lulus pelajaran politik di sekolahan padahal si ayah adalah seorang tokoh politik terpandang dan disegani. Malam harinya si ayah (karena malu dengan guru-guru di sekolahan), akhirnya turun tangan mengajarkan tentang ideologi politik itu kepada anaknya.

Si ayah menerangkan bahwa 'POLITIK' itu identik dengan 'KELUARGA'. Sedangkan figur 'AYAH' adalah identik dengan 'PARTAI'. 'IBU' identik dengan IBU PERTIWI', 'KAKEK' identik dengan "SERIKAT PEKERJA', dan yang terakhir 'ANAK' identik dengan 'RAKYAT'. “ Nah... kini kamu sudah tau fungsi dan peran masing-masing orang dalam sebuah keluarga. Kini kamu keluar rumah, berdiri di depan pintu, dan fahami ajaran saya tadi !!!”, kata ayahnya marah melihat kegoblokan anaknya. “ Dan jangan masuk rumah kalau belum faham!!!”, tambah si ayah.
Satu jam di luar rumah si anak belum juga bisa memahami apa yang diajarkan ayahnya. Dua jam berlalu, dan udara malam makin dingin, si anak belum juga faham.

Mendekati jam ke tiga si anak menggigil kedinginan dan merasa tersiksa. Tiba-tiba dari lantai dua kamar ayahnya terdengan suara dan ternyata itu rintihan ibunya. Si anak kurang memahami itu suara tangisan atau erangan kenikmatan, sedangkan si kakek tertidur pulas sambil ngorok. Dia sendiri merasa tersiksa kedinginan di luar rumah.

Akhirnya si anak memahami apa yang diajarkan ayahnya tentang arti “POLITIK”. Ia kemudian merangkai kejadian itu dengan kalimat yang begini bunyinya: Politik adalah Partai yang memperkosa Ibu Pertiwi, sedangkan Serikat Pekerja tertidur pulas, dan Rakyat tertindas”

 
Site Meter