Sunday, April 23, 2006

CSIG di Amerika: PEKERJA RESTORAN TEMPATKU BEKERJA

Pemilik Restoran, sekaligus manager, dan berpengalaman sebagai Sushi Chef selama 13 tahun adalah orang Singapore bernama Jammy Tan. Berperawakan kekar dengan perut gendut, berambut panjang bak pendekar samurai, dan hobinya main badminton seminggu tiga kali. Delapan tahun yang lalu, ia mengambil alih tempat ini dari pemilik lama yang terpaksa menutup usaha klab gay-nya gara-gara ada pengunjung over dosis yang mati terjatuh dari tangga saat mau ke kamar kecil. Memang restoran ini terletak di lantai dua dan kamar kecil berada di lantai dasar. Pengelola gedung menyediakan kamar kecil itu untuk digunakan bersama-sama dengan kedai Sandwich dan kedai Crepes yang menyewa ruangan lantai dasar. Pekerjaan si boss ini serabutan. Kalau bagian dapur ramai order – maka ia akan membantu Lazaro si juru masak menggoreng tempura atau calamari. Giliran sushi ramai order dia berada di balik sushi bar memotong sushi dan meletakkan ke piring. Demikian pula kalau pelayan kewalahan, dia membantu entah itu membersihkan meja, mendudukkan pelanggan, atau membuat minuman. Kalau restoran sepi, dia lebih suka duduk di ruangannya berjam-jam tanpa keluar asik dengan browsing internet.

Orang kedua di restoran adalah Chow-san imigran asal Taiwan. Sejak muda -- ketika ia tinggal di Tokyo -- ia lebih memilih bekerja di restoran daripada belajar di bangku sekolah. Dan ketika ia pindah ke Amerika, ia pernah membuka restoran Chinese food khusus untuk orderan 'carry out' dan 'delivery'. Kata Chow-san, ia hanya mempekerjakan satu orang untuk terima order merangkap kasir, satu orang 'driver' untuk mengantarkan makanan. Dan urusan masak memasak ditangani dia sendiri. Dalam satu tahun kalender, Chow-san membuka usahanya 364 hari alias tidak pernah libur. Tapi sayang, hanya bertahan satu atau dua tahun, ia kemudian menjual tempat usahanya gara-gara ibunya 'stroke'. Ia lebih memilih mengurusi ibunya daripada mengurusi kedai carry-out-nya.

Chow-san bertanggung jawab di restoran kalau Juragan tidak masuk, dan biasanya itu hari Kamis dan Sabtu. Awalnya Chow-san bekerja di dapur sebagai Kitchen Chef, sedangkan Sushi Chef dipegang orang Jepang bernama Suzuki-san. Tapi berhubung restoran tidak seramai dulu, dan gaji orang Jepang itu sangat tinggi, dengan terpaksa si boss mengeluarkan Suzuki-san. Akhirnya Chow-san merangkap pekerjaan ngurusi sushi dan dapur. Selain itu, di bagian sushi masih ada dua orang lagi yaitu Aku yang bekerja 'full time', serta Hiro orang Jepang yang bekerja 'part time'. Baru kali ini kulihat ada orang Jepang yang mau bekerja sebagai 'sushi helper' alias di posisi pemula. Biasanya orang Jepang hanya tertarik di posisi tertinggi, Head Sushi Chef. Maklum, bagaimanapun kadang pelanggan kurang 'sreg' kalau Sushi Chefnya orang kulit hitam, atau orang Latin. Gengsi restoran sushi di mata pelanggan akan turun dan bisa-bisa dicap sebagai restoran sushi kelas rendahan. Karena kondisi itu, maka orang Jepang yang punya keahlian sushi biasanya meminta bayaran tinggi. Sambil membanggakan keahliannya memotong ikan, serta melengkapi dirinya dengan pisau sushi yang berharga 1000an dollar, atau mengetahui ikan terbaik datang dari laut mana, dan tentu saja mahir berbahasa Jepang. Maklum sushi adalah makanan khas Jepang.

Di bagian dapur, yang menjual masakan seperti Salmon Teriyaki, Udon Noodle Soup, Katsudon, Unadon, dan lain-lainnya kini -- setelah Chow-san pindah ke sushi bar-- dipegang orang Mexico bernama Lazaro. Orangnya cekatan dan rajin, tetapi kalau penyakitnya kambuh – kita suka dibikin kerepotan. Kebiasaan mabuknya kadang masih terbawa sampai keesokan paginya ketika ia datang di restoran. Lazaro kehilangan kegesitannya dan hanya mengoceh sambil tertawa-tawa nggak karu-karuan. Si tukang cuci piring Jose dari Honduras yang tidak bisa berbahasa Inggris mengejek Lazaro dan bercakap dalam Spanish kepada kita – kita sambil memperagakan pakai tangan,” Poquito Tequila – poquito pendejo. Mas Tequila – mas pendejo. Mucho Tequila – mucho pendejo”. (Sedikit Tequila – sedikit goblok. Tambah Tequila – tambah goblok. Makin banyak Tequila – makin goblok). Dan Lazaro hanya tertawa-tawa saja.

Di bagian order luar restoran atau order delivery, ada seorang 'driver' yang biasa 'ngantar' makanan yang bernama Wang Chuan, lelaki 48 tahunan dari RRC. Ia sedang mengambil program Doktor di bidang 'Material Science' lebih spesifik lagi yang berhubungan dengan urusan limbah nuklir di Catholic University. Sehabis pulang dari kampus ia bekerja sambilan di restoran ini. Untuk urusan melayani pelanggan yang makan di restoran, ada beberapa 'server' antara lain dua orang dari Malaysia yaitu Marcus Yap dan Mandy Liem. Satu orang Hongkong bernama Kate, Aple dari Thailand, Shelly dari Bejing, dan Alex lelaki kulit putih Amerika yang mahir berbahasa Mandarin dan masih belajar di GW University.

Aku bekerja 11 jam sehari atau kira – kira 60an jam seminggu, jadi hampir sebagian besar waktuku memang habis di restoran. Waktu yang 11 jam sehari itu aku habiskan untuk (mau tak mau) berinteraksi dengan mereka. Ya inilah duniaku, dunia sempit sekotak restoran. Rutinitas yang membosankan, melelahkan, atau barangkali rasanya seperti terkurung dalam penjara. Bedanya, tiap dua minggu aku mendapat bayaran. Kalau ada sesuatu yang bisa diambil sebagai pelajaran, setidaknya aku jadi tahu karakter dan kultur orang – orang dari lain negara.

 
Site Meter