Saturday, October 9, 2010

MUSIM DINGIN HAMPIR TIBA

Ketika daun-daun mulai berguguran, hembusan angin kencang menggigilkan badan, dan udara beku terasa perih di hidung, aku selalu kembali teringat homeless-homeless yang terjebak diantara taman-taman kota, atau di gedung-gedung pencakar langit. Mereka itu gelandangan yang putus asa karena tak kebagian shelter yang jumlahnya sedikit. Sungguh menjadi gelandangan di Amerika amat berat. Selain faktor cuaca, hidup di jalanan juga penuh resiko. Mereka sering mengalami penganiayaan, pelecehan seksual, uangnya dicuri, dan kekurangan makanan. Sukur-sukur bisa bertahan hidup, kadang malah nyawa menjadi taruhannya.

Aku teringat cerpennya O Henry tentang Soapy, seorang gelandangan yang secara psikologis berpengalaman mensiasati penjara sebagai tempat berteduhnya selama musim dingin. Layaknya sebuah hotel, makan minum dan tidur gratis, Soapy selalu merancang beberapa taktik kejahatan ringan agar polisi memasukkannya ke dalam penjara.

Hari terakhir musim gugur. Sembari menyusuri daerah Madison Square Soapy memikirkan ide tentang makan di sebuah restoran mewah. Dalam bayangannya ia memesan roasted duck, sebotol anggur Chablis, dan begitu selesai tinggal bilang “nggak punya uang”. Mereka pasti memanggil polisi. Si Soapy optimis perjalanan tamasyanya ke hotel Prodeopun tinggal menunggu waktu saja.

Tapi nasib belum berpihak padanya. Ketika menginjakkan kakinya di restoran mewah itu, kepala pelayan curiga dengan penampilan dan sepatu butut si Soapy. Ia kemudian memanggil security dan menyeretnya keluar restoran.

Sampai di sudut Sixth Avenue Soapy mendapat ide baru ketika melihat toko yang gemerlapan dengan lampu neon. Diambilnya batu lantas Ia memecahkan kaca jendela toko itu.

“Siapa yang melakukan ini”, kata polisi.

Dengan ramah sembari membayangkan tempat pesiarnya di musim dingin si Soapy mengaku. Tapi si polisi tak menggubrisnya dan malah mencurigai dan mengejar seseorang yang lari kearah blok seberang. Si Soapy kecewa. Barangkali kalo pak polisinya orang Jawa akan berguman,“Endi ana maling ngaku” demikian kira-kira kalimat populer dalam bahasa Jawa, “Mana ada pencuri ngaku”.

Dengan gundah hati Soapy berjalan gontai di keramaian suasana Broadway. Ia melihat sebuah restoran di seberang jalan yang barangkali tak semewah tadi. Ia kemudian masuk, duduk dan memesan beefsteak, flapjacks, donat, dan pie. Disantapnya makanan di meja dengan lahap. Setengah langkah telah terlewati, pikirnya.

Dan giliran ditagih bayarannya, dengan lagak sombong Ia berkata, “Cepat telpon polisi. Jangan biarkan seorang gentelman menunggu terlalu lama.”

Lagi-lagi nasib tidak berpihak padanya. Alih-alih dipanggilkan polisi, si pelayan malah memanggil dua pelayan berbadan kekar menyeret si Soapy keluar dan melemparkannya ke trotoar. Seorang polisi yang berdiri tak jauh dari toko obat tertawa melihat adegan itu dan berjalan melenggang. Impian pesiar ke pulau impian pun sepertinya makin menjauh.

Lima blok Soapy berjalan hingga timbul semangatnya lagi untuk “ditangkap” polisi.

Didekatinya seorang wanita muda yang sedang melihat – lihat etalase toko. Tak jauh dari situ segerombolan polisi berjaga di keramaian suasana. Soapy mulai beraksi: berdehem, mengedipkan mata, tersenyum, dan merangsek wanita muda itu sambil matanya melirik ke arah gerombolan polisi yang sedang mengawasinya.

Si wanita muda itu bergeser selangkah. Soapy tak gentar dan ikut bergeser sembari mengangkat topinya dan berkata,” Maukah kamu datang dan bermain di pekarangan rumahku?”

Polisi masih mengawasi. Dalam bayangan Soapy ia sudah bisa merasakan hangatnya tidur di penjara. Tiba-tiba wanita muda itu menatapnya, mencengkeram lengan jaketnya dan berkata,” Tentu Mike. Kita bicarakan nanti, Polisi sedang mengawasi kita.”

“Gagal maning ...gagal maning ....”, demikianlah keluh Soapy ketika tahu si wanita muda itu jauh dari merasa dilecehkan. “Oalaaah arep mlebu penjara be angele pooor!!!”

Demikian singkat cerita, hingga si Soapy mencoba berlagak mabuk, membuat gaduh, dan seorang polisi menganggapnya wajar karena waktu itu bertepatan dengan selesainya pertandingan football dimana Yale mengalahkan Hartford College. Sampai usaha terakhir mencuri payung di sebuah toko rokok dan pemilik payung itu akhirnya mengiklaskan.

Soapy mati gaya, putus asa, impiannya berlibur di pulau impian gagal sudah. Di akhir cerita O Henry menggambarkan Soapy duduk terpekur di sebuah gereja tua. Saat itu malam telah larut, bulan di atas awan, udara dingin menusuk kulit, dan orang lalu lalang tinggal beberapa. Di sana ia mendengar dentingan organ gereja yang membawa suasana religi ke dalam hatinya. Ingatannya kembali ke masa kecil yang penuh dengan keindahan bersama keluarga dan teman-temannya. Masa dimana segala cita-cita, harga diri, dan optimisme jadi panglimanya.

Ia merasakan sebuah semangat hidup baru mengaliri nadinya. Suasana ini benar-benar membawa perubahan dalam jiwa Soapy. Mulai besok dia tak mau lagi menjadi gelandangan. Ia akan memerangi takdir kesengsaraan ini. Memerangi setan yang selalu membujuknya. Ia ingin meraih harga dirinya kembali sebagai laki-laki. Ia masih cukup muda. Besok Ia akan menghubungi seseorang yang pernah menawarkan pekerjaan untuk menjadi supir di perusahaan impor di daerah downtown. Dia akan menjadi seseorang (yang berguna) lagi di dunia ini....

Tiba-tiba Soapy merasakan seseorang menepuk pundaknya, ternyata seorang polisi. (O Henry sering membuat “twist” dalam ceritanya)

“ Sedang apa di sini? ” tanya Polisi.

“ Nggak ngapa-apa,” jawab Soapy

“ Ayo ikut,” kata Polisi.

“ Tiga bulan di pulau impian ,” kata hakim di pengadilan kepolisian keesokan harinya. (Untuk memecahkan kaca etalase toko)

Takdir sudah dibungkus, Soapy masuk penjara.

Oalaaah ... arep tobat we kok angele poooool (Waaaaah mau tobat aja kok susahnya minta ampun)

Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap di Amerika

 
Site Meter