Tuesday, July 23, 2013

EL CHAPO GUZMAN SI RAJA NARKOBA DUNIA

Pertama kali aku dengar nama Chapo Guzman, itu keluar dari mulut Lazaro si juru masak asal Mexico. Berawal dari kebiasaan ketika restoran tutup di siang hari, sehabis makan siang, Lazaro kemudian menyetel musik balada khas Mexico dari HP nya. Musik khas berbirama 2/4 dengan dominan akordion dan violin yang mirip musik Polka itu kedengaran brisik di telingaku, aku terganggu kala sedang berbaring di kursi panjang untuk mencoba tidur melepas lelah.

Iseng kutanya apa nama band-nya lantas Lazaro menjawab dengan semangat bahwa grup band ini sangat terkenal dan melegenda di Mexico, namanya Los Tigres Del Norte.
Ketika aku tanyakan lagunya bercerita tentang apa, Lazaro bilang lagu yang sedang ia dengarkan itu tentang Perang Mafia Narkoba di Mexico. Ya, aku sering melihat berita di tv bahwa kejahatan dan pembunuhan merajalela di Mexico: banyak terjadi pembunuhan masal di siang bolong, tembak menembak di keramaian kota, atau seorang digantung di jembatan dengan kepala dikarungi kain, atau dilain hari dua atau tiga kepala dipenggal dan dipajang di keramaian kota sebagai pesan peperangan. Mereka juga tak takut membunuh aparat kepolisian dengan sadis lewat penyiksaan. Semua kejadian itu ada hubungannya dengan narkoba. Ya .. di Mexico ada 7 kartel besar narkoba yang bermain: Los Zetas, Sinaloa, Gulf, Tijuana, Beltran Leyva, La Familia, dan Juarez. Selain perang dengan aparat militer, kartel narkoba juga terlibat perang antar mereka sendiri dengan tujuan untuk mengontrol jalur distribusi, daerah kekuasaan, dan ujung-ujungnya saling balas dendam karena pertumpahan darah antar keluarga mafia.
Salah satu penjahat yang paling melegenda yang diceritakan Lazaro adalah Si Pendek Guzman, dia adalah Pablo Escobarnya Mexico, Drug Lord paling berkuasa di dunia. Pemimpin Kartel Sinaloa ini tak pernah diketahui keberadaannya hingga saat ini.
Sepak terjangnya bagai hantu, ia bisa muncul dimana saja. Semenjak kejadian "heboh" kaburnya Chapo Guzman dari penjara yang paling ketat tingkat keamanannya, penjara Puente Grande tahun 2001, dan menurut ceritanya Chapo Guzman menghabiskan uang $2.5 juta untuk menyuap dan merencanakan pelariannya, melibatkan 78 orang mulai dari sipir penjara, direktur fasilitas rutan, dan polisi. Sampai kini keberadaan Chapo Guzman tak diketahui. Ada beberapa saksi mata yang melaporkan bahwa mereka melihat Chapo Guzman berada di hutan belantara Honduras, atau mati tertembak di Sinaloa, atau muncul di sebuah restoran di Tamaulipas untuk makan bersama puluhan bodyguard dan mentraktir semua pengunjung yang ada di dalam restoran secara diam diam.
Si Pendek yang tingginya 168 cm ini menguasai penyelundupan berton-ton cocaine dari Columbia lewat Mexico dan diteruskan masuk Amerika. Chapo Guzman juga punya jaringan distribusi lewat orang-orang kepercayaannya di Amerika. Kartel Sinaloa ini lebih digdaya karena juga memproduksi methamphetamine, heroin, dan mariyuana untuk diselundupkan ke segala penjuru dunia. DEA badan anti narkoba Amerika -- sampai kewalahan menghadapi sepak terjangnya dan menyebut Chapo Guzman adalah "The Godfather of the Drug World", Bandar Narkotik paling berkuasa seantero dunia -- melebihi Pablo Escobar pada masanya.
Lazaro yang berasal dari daerah yang sama dengan Chapo Guzman di Sinaloa menceritakan betapa segala cara dipakai untuk bisa menyelundupkan Cocaine ke Amerika. Mulai dipak dalam kaleng jalapeno, ditimbun dalam gerbong tangki minyak, ditanam di sela-sela kerangka mobil truk, dibawa pakai pesawat terbang, hingga membuat terowongan bawah tanah. Salah satu terowongan yang akhirnya ketahuan oleh aparat keamanan terletak di sebuah gudang tua di Tijuana Mexico. Terowongan itu menerobos lewat perbatasan hingga mencapai area dekat San Diego California. Kedalaman terowongan mencapai 20 meter dan panjang 450 meter lengkap dengan listrik dan kereta dorong untuk memindahkan cocaine. Pekerja-pekerja yang membuat terowongan itu senang dibayar tinggi tapi tak menyadari betapa berbahayanya berurusan dengan Chapo Guzman. Mereka dibunuh setelah menyelesaikan pekerjaannya demi merahasiakan identitas dan lokasi terowongan. Chapo Guzman adalah pembunuh berdarah dingin.
***
Dalam negara yang penuh kemiskinan, bisnis narkoba adalah hal yang besar dan penuh uang. Semua orang ingin mendapatkan bagiannya. Aparat pemerintah, politikus, hakim, polisi, tentara, tergiur mendapatkan bagiannya. Dari 1kg cocaine yang masuk dari Colombia ke Mexico, para Kartel membeli murah seharga $2000. Ketika sampai di perbatasan Mexico - Amerika harganya berubah menjadi $5000. Setelah melewati perbatasan, di tangan bandar besar Amerika harga cocaine 1 kg dibeli $20.000. Bisa dibayangkan uang yang akan didapat para bandar jika ia menjajakan cocaine itu di jalanan dengan harga 1 gram-nya (setara hampir 1 sendok teh) $55 sampe $110, tergantung kualitasnya. Bahkan yang bagus harganya bisa membumbung tinggi mencapai $200 dan dipasarkan untuk kalangan berduit. Yaa bisnis narkoba sangat menggiurkan, dari modal $20.000 perkilogramnya bisa mendapatkan uang $55.000 - $200.000.
Dengan kekayaan milyaran dollar itu Kartel Narkoba menggunakan uangnya untuk menyuap aparat guna mendapat perlindungan keamanan. Mereka juga dengan gampang menghamburkan uang untuk membangun rumah sakit, gereja, menyumbang organisasi sosial, dan menggerakkan ekonomi sekitarnya. Bahkan tak hanya itu, anak-anak muda jalananpun direkrut untuk dijadikan kurir narkoba, atau bahkan anak-anak yang pandai disekolahkan agar kelak bisa menjadi polisi, hakim, atau pejabat penting -- yang nantinya akan dimanfaatkan untuk mengamankan bisnis narkobanya. Gerakan mereka terstruktur dan merambah ke segala aspek kehidupan.
***
Semenjak pemerintah Mexico mengadakan operasi militer untuk melawan kartel narkoba di tahun 2006, tingkat pembunuhan merangkak dengan tajam. Kartel yang punya duit milyaran dolar itu tak mau kalah dan mempersenjatai diri dengan segala jenis senjata; mulai pistol, AK 47, Uzi, senjata mitraliur amunisi bersabuk seperti dalam film Rambo, hingga senjata pelontar roket untuk berperang dengan tentara.
Para kartel juga memakai cara-cara sadis untuk menakut-nakuti aparat dengan membuat video eksekusi ala teroris dengan menyiksa dan membunuh secara keji di depan kamera video. Bagi siapapun yang mengganggu bisnisnya, entah itu polisi, hakim, jaksa, agen anti narkotika, awak media, atau lawan bisnisnya, mereka tak segan-segan mempertontonkan kekejian itu dan menyebarkan video tersebut ke media tv. Segala kekejaman yang berasal dari dasar neraka itu ditebarkan oleh para kartel narkoba ke segala penjuru Mexico.
Jumlah korban tewas meningkat dari tahun ke tahun, seolah tiada hari tanpa pembantaian. Banyak aparat hukum meninggal, juga anggota atau pimpinan kartel. Menurut laporan kepolisian Mexico, pada tahun 2006 terdapat 2119 korban meninggal atau setara dengan 5 orang kehilangan nyawa setiap hari. Tahun 2007 meningkat 2275 orang, tahun 2008 korban meningkat dobel menjadi 5207 orang, tahun 2009 meningkat lagi menjadi 9616 orang. Dan yang mengkhawatirkan adalah tahun 2010 dimana korban tewas mencapai angka 15.273 atau setara dengan 40 orang terbantai tiap hari.
***
Dan cerita tentang kemunculan tiba-tiba atau berita kematian Chapo Guzman akhirnya menjadi sebuah mitos layaknya kisah si pengidap sindrom Robinhood yang dermawan, mitos ini untuk menegaskan betapa dia sama sekali tak pernah tersentuh tangan-tangan hukum, tak takut muncul di keramaian, atau mati tanpa diketahui kuburnya...
Lazaro dalam istirahat siangnya lirih mengikuti lantunan lagu La Mafia Muere-nya Los Tigres dari HP nya:
Culiacan, capital Sinaloense, / Culiacan ibukota Sinaloa,
Convirtiendose en el mismo infierno / Berubah jadi neraka,
Fue testigo de tanta masacre / Dia jadi saksi pembantaian.
Cuantos hombres valientes han muerto. / Telah banyak pemberani mati
Unos grandes que fueron del hampa / Beberapa pembesar dunia bawah tanah
Otros grandes tambien del gobierno. / Juga pembesar pemerintahan

Tuesday, July 9, 2013

BERTEMU PERANTAU INDONESIA


Bulan Maret udara masih terasa dingin. Sisa-sisa salju masih tampak di atas pepohonan, juga melapisi tanah berbukit sepanjang jalan. Aku dan Hendro dijemput Mas Windi di China Town, Washington D.C. Kami melewati gapura berbentuk ornamen khas China yang melintang di jalan utama, juga kulihat di kanan kiri aksara China bertebaran dimana-mana, semua toko kebanyakan restoran menyajikan aneka khas makanan Chinese food.

Kami kemudian dibawa ke rumah single house-nya di daerah Wheaton, Maryland. Rumah tua di daerah sini kebanyakan berdinding setengah kayu dan setengah batu. Konon di musim dingin kayu-kayu itu bisa menyerap hawa dingin dan di musim panas batu-batu itu bisa mendinginkan hawa panas. Mas Windi tinggal bersama istrinya Siti Zubaidah yang bekerja sebagai perawat di panti jompo, mereka punya dua anak yang masih sekolah di SMP.
Mas Windi sendiri bekerja di jasa kurir sebagai pengantar barang, sedangkan malam hari ia bekerja sebagai pengantar koran. Ketika aku tak bisa tidur karena jam biologisku masih menyesuaikan dengan Indonesia yang siang hari, mas Windi iseng mengajak aku untuk menemani dia mengantar koran. Maka berbekal jaket tebal untuk menahan cuaca dingin di akhir Februari aku duduk di samping kanan kursi depan mobil van-nya. Kuperhatikan mas Windi dengan sigap meraih satu demi satu koran dari tumpukan, memasukkannya ke dalam kantong plastik dan melemparkannya ke halaman rumah pelanggan. Jendela mobil yang terbuka di sisi kiri kanan membuat badanku menggigil terkena suhu enol derajat Celcius. Entah sudah berapa ratus koran yang dilempar, mas Windi tak terlihat lelah dan kedinginan. Pekerjaan melempar koran yang dimulai sejak jam 3.00 pagi hingga selesai jam 5.00 pagi adalah pekerjaan berat yang butuh dedikasi tinggi. Ya karena disaat kebanyakan orang masih terlelap dalam kamar berpenghangat yang nyaman, mas Windi sudah membanting tulang dalam dinginnya malam.
Di basemen rumah yang disekat menjadi empat ruangan kecil tinggal anak-anak Indonesia yang kos di sana. Aku berkenalan dengan kakak beradik Marcel dan Marco perantau asal Jakarta yang bekerja sebagai Waiter atau Pelayan di restoran Pan Asia di downtown Washington DC. Dari mereka aku mendapatkan gambaran bahwa bekerja sebagai Waiter dibutuhkan kepandaian berbahasa Inggris, harus ramah, dan pandai melayani pelanggan. Seorang pelayan juga harus mengerti semua jenis makanan yang dijual di restoran, mengetahui bumbu-bumbu apa saja yang dipakai serta bagaimana cara memasaknya. Marcel menyebut dengan fasih berbagai makanan yang dijual di restoran tempat ia bekerja seperti Pad Thai, Tom Yum, Lime Chicken, Mongolian Beef, Bento Box, dan aku sama sekali awam dengan itu. Marco juga menambahkan bahwa pelayan restoran di Amerika jauh berbeda dengan di Indonesia. Terutama masalah penghasilan, pelayan restoran punya penghasilan tinggi dari tips yang diberikan pelanggan atas jasa pelayanannya. Di siang hari saat pengunjung menyerbu restoran untuk makan siang, Marco bisa mendapatkan tip 100 dollar diluar gajinya. Pada malam hari jumlah yang sama bisa didapatkan Marco dari para pelanggan yang menghabiskan malam dengan rekan kerja, pacar, atau partner bisnis. Sungguh cerita Marcel dan Marco menjadikan aku seperti orang bodoh karena tak tahu apa-apa. Tapi setidaknya aku jadi mengerti hal-hal baru, menambah pengetahuanku untuk bekal hidup di Amerika.
Di akhir pekan mbak Ratna, Aas dan Jaenah yang bekerja Live In sebagai Nanny pulang ke kos-kosan. Selama lima hari seminggu mereka bekerja dan menginap di rumah majikannya keluarga Arab yang kaya raya. Selain pekerjaan utama merawat bayi, mereka juga memasak, mencuci baju, dan membersihkan rumah. Kedatangan mereka di kos-kosan menjadikan suasana akhir pekan tambah ramai. Celoteh mereka tentang berbagai hal lucu yang dialami, atau cerita sedih teman-teman sesama perantau, apalagi ketika tahu mereka sibuk memasak nasi Kebuli kambing untuk makan siang. Dan itu terus berlanjut hingga sore hari ketika kami kedatangan tamu sesama nanny.
Mbak Siti Zubaidah istri mas Windi yang dulu seorang nanny ternyata adalah figur tuan rumah yang pandai melayani tamunya. Ia ramah, hangat, dan pandai bercerita. Mereka berkumpul di ruang tengah, bercengkerama sambil mendengarkan lagu dari Amr Diab, Habibi ya Nour El Ain. Beberapa nanny tak kuat mendengar petikan gitar Andalusia dan hentakan Tabla bercampur Cempring lantas mereka mengajakku menari ala tari perut padang pasir dalam iringan gemulai Akordion dan syair berbahasa Arab. 
Ya, lewat perkenalan dengan merekalah aku bisa mengetahui lebih dekat dunia para perantau di Amerika Serikat. Mereka yang telah bertahun-tahun hidup jauh dari keluarga, mereka yang kesepian, mereka yang tabah dengan berbagai cobaan, menandakan mereka adalah pribadi yang tak mudah menyerah oleh kerasnya kehidupan. Hal itu menjadi sebuah inspirasi bagiku untuk bisa bertahan hidup, tetap semangat, dan tak gampang menyerah di Amerika.   
Malam telah larut, dinginnya basemen terasa menyengat kulitku, aku menggigil. Tak lupa kusempatkan telpon paman memakai "calling card" bahwa aku telah berada di Amerika dengan selamat. Dari nada suaranya paman terdengar gembira walau aku tahu masih ada kekecewaan di hatinya.

 
Site Meter