Monday, January 20, 2014

Cerpen: Crystal Ball


Wanita setengah baya berkulit hitam itu bernama Crystal, karena kepalanya plontos, mengkilat maka orang-orang menambahkan Ball, jadilah ia bernama Crystal Ball alias Bola Kristal. Nama yang sangat indah.

Kalau tak kenal Crystal Ball, siapapun pasti mengira ia seorang laki-laki tulen. Perawakannya kurus pendek, teteknya hampir tak ada, gaya bicaranya lantang, mudah marah, dan rokok tak pernah lepas dari mulutnya. Apabila dari mulutnya tercium bau alkohol, maka perangainya makin runyam. Caci maki dan sumpah serapah dalam bahasa "slank" paling kotor keluar bertubi-tubi dari mulutnya. Ibarat senjata api yang menyalak dalam perang kota Baghdad, si Crystal Ball mengutuk siapa saja secara membabi buta. Barangkali semua orang sepakat bahwa si Crystal Ball punya problem mental alias sakit jiwa.
Crystal Ball adalah bagian dari komunitas Dupont Circle daerah trendi downtown Washington DC. Ia bisa berada di hingar bingarnya Club dan Bar di sisi jalan. Lantas berpindah ke trotoar Cafe dan Restoran segala masakan. Entah ia menjual narkoba atau sekedar minta sebatang rokok, atau hanya sekedar meramaikan suasana antrian masuk Bar, diantara muda-mudi yang berpakaian gemerlap, seronok memperlihatkan belahan dada rendah, make up tebal dan setengah mabuk. Ya .. daerah Gay dan Lesbian di Washington D.C. menawarkan aneka kegembiraan, daerah yang tak pernah sepi, daerah dimana pasangan bercengkerama di keremangan bangku taman, atau bersama homeless dan pengemis yang lelah tertidur di rerumputan taman, atau membaur dalam gelak tawa di Bar hingga dini hari.
Perkenalanku dengan Crystal Ball sungguh tak sengaja. Waktu itu siang hari cerah di musim panas aku sedang duduk santai menikmati lalu lalang orang di undakan depan restoran tempatku bekerja. Tiba-tiba si Crystal Ball lewat trotoar dan berhenti tepat di mukaku sambil marah-marah. Ibarat angin topan yang datang tiba-tiba, dia meneriaki dan menuding-nuding aku dengan kata-kata kasar fucking bitch, berulang-ulang tanpa sebab apa-apa.
Aku hanya celilian bengong menggelengkan kepala. Orang-orang yang lalu lalangpun ikut bertanya dalam hati, mungkin aku bikin gara-gara. Yaa sebuah awal perkenalan yang tak mengenakkan. Selanjutnya kalau melihat dia aku memilih untuk menghindar, biar tak kena maki-maki lagi.
Celakanya pada suatu hari dalam kondisi yang tak bisa kuhindari, aku berpapasan dengannya di trotoar. Aku berusaha menyapa dia dengan lagak ramah dan tak kuduga dia membalasnya dengan senyuman. Lagaknya seolah kawan lama, ia memanggilku dengan sebutan sweety alias si manis.
Kutawarkan sebatang rokok untuk mengusir canggung dan ia dengan gembira menyambutnya. Sambil basa-basi kutanyakan dimana dia tinggal dan dia menjawab tinggal di komunitas orang hitam di daerah South East, Washington DC. Tempat yang angker karena tingkat kejahatannya yang tinggi dan hampir tiap hari terdengar suara pistol menyalak. Perampokan, pencurian dan perang narkoba antar geng, Breaking News TV lantas menyiarkan seseorang terbunuh lagi hari ini di South East.
Crystal Ball bercerita bahwa sesama orang hitam selalu ada rivalitas. Diapun tak ingin disamakan dengan orang hitam asal Afrika, ataupun dari Jamaika. Ia mengaku keturunan suku Indian. Kakek moyangnya adalah suku Cherokee yang hidup sepanjang Georgia - Carolina - Tennesse dan punya naluri berburu hebat. Gara-gara cerita tentang perburuan, si Crystal Ball berjanji kepadaku bahwa suatu saat dia akan menghadiahkan sebuah busur panah kebanggaan suku Cherokee. Memang benar dia kemudian menepati janji - tapi sayang apa yang kubayangkan sebuah busur panah yang kekar dan bagus ternyata (dia sempat-sempatnya) hanyalahlah rangkaian busur panah dari ranting pohon dengan di kedua ujungnya disambung seutas tali. Dalam hatiku aku tertawa melihat hadiah dari dia. Itu mah kerjaan anak SD bikin panah-panahan.
Aku tertawa dalam hati, tapi dengan senang hati pemberian itu aku terima. Dan Crystal Ball berjanji suatu saat ia akan membuatkan anak panahnya.
+++
Crystal Ball tak punya pekerjaan tetap. Kadang ia membantu membersihkan kaca di toko grocery milik orang Korea, atau mengelap meja kursi di kedai Sandwich, atau menyapu trotoar sepanjang blok. Kalau kutanya siapa yang membayarmu untuk menyapu jalanan, dia hanya menjawab tak ada yang membayar. Dia melakukan untuk kebersihan lingkungan. Rasa peduli lingkungannya kuacungi jempol. Di sini orang dilihat dari partisipasinya dalam komunitas sosial. Kadang ia mampir ke restoran dan memberikan sebotol bir kepadaku. Atau memberikan baju bekas yang diambilnya dari box tempat pengumpulan barang bekas.
Kubayangkan si Crystal Ball adalah seorang pesakitan mental yang mencoba bertahan hidup. Ia selalu berkata dan mengulangi pernyataannya, " somebody gonna kill me." Dan entah siapa yang akan membunuhnya aku tak tahu. Pernah dia menuding pemuda gelandangan kulit putih yang lagi asyik mengorek sisa makanan di tempat sampah. Barangkali siapa saja bisa jadi tertuduhnya, suka-suka dia.
Sore hari kulihat di seberang jalan di depan pintu hotel si Crystal Ball sedang marah-marah dengan petugas Doorman dan manager hotel. Kulihat mereka saling otot-ototan tak ada yang mau mengalah. Tak lama polisi datang melerai dan membawa Crystal Ball pergi. Beberapa hari kemudian ketika aku bertemu dengannya ia menceritakan bahwa ia dituduh meludahi pegawai hotel. Sedangkan dia beralasan saking antusiasnya berargumen ludah muncrat dari mulutnya. Sejak kejadian itu ia mendapatkan notice dari polisi tak boleh mendekati hotel tersebut. Dalam komunitas Dupont Circle dia dipandang sebagai seorang relawan sosial sekaligus  "trouble maker". Sungguh sangat absurd.
***
Setiap bertemu Crystal Ball selalu mengeluh padaku tak punya uang. Kemudian ia merajuk dan minta uang kepadaku. Dan entah sudah berapa puluh kali jawabanku selalu sama, " I don't have money. I'm broke"
Lantas aku mengeluarkan bungkus rokok dari saku celanaku dan kutawarkan padanya. Ia menyambut gembira sambil mengambil sebatang dan aku menyalakannya. Masalah uang pun akhirnya lupa dan kita basa-basi ngobrol.
Pertemananku dengan Crystal ball dilihat teman kerjaku sangat aneh. Terutama oleh si Kepala Chef Mr. Chong, yang notabene benci banget dengan si hitam plontos itu. Suatu malam ketika Mr. Chong pulang kerja dia mendapati ban mobilnya robek ditusuk pisau di pelataran parkir. Mr Chong lantas menghubungkan kejadian itu dengan ulah si kepala plontos yang beberapa hari lalu diusirnya karena masuk restoran dalam kondisi mabuk dan teriak-teriak minta ketemu Mr. Tan pemilik restoran. 
Suatu hari Crystal ball sengaja datang menghampiriku di restoran dan tiba-tiba dari saku celana ia mengeluarkan duit 20an dollar dan memberikannya kepadaku. Aku kaget dan bertanya," Uang ini untuk apa?".
"This is for you .. Sweety ..."
" No ... No ..no .. I am fine", aku menolak dengan halus.
" Keep it ... Keep it sweety ... Jangan menolak pemberianku."
Sekali lagi aku menolak dengan halus sambil mengatakan bahwa aku masih ada sedikit uang untuk hidup. Tak kuduga Crystal Ball berubah marah atas penolakanku. Barangkali yang dia pahami aku selalu bilang tak punya uang ketika ia meminta. Sekarang ia punya uang dan ingin berbagi tetapi aku menolaknya. Sambil ngomel-ngomel dengan suara keras ia memaksa aku untuk menerima uang pemberian itu. Sungguh sangat absurd berurusan dengan Crystal Ball. Akhirnya uang 20 dollar kuterima sambil aku mengucapkan terima kasih. Dia langsung ngeloyor pergi.
Chong san si head sushi chef yang melihat kejadian itu memperingatkanku untuk waspada kalau-kalau uang itu hasil penjualan narkoba dan suatu saat aku bisa tersangkut masalah hukum karena pemberian uang itu. Bisa jadi uang itu terkait dengan sebuah jaringan peredaran narkoba.
 +++
Ada satu hal yang bikin aku risih ketika bertemu Crystal Ball, kini ia sok akrab dan minta peluk. Pernah ia mengecup pipiku dengan tiba-tiba saat kami berpelukan. Aku kaget setengah mati. Lantas kubayangkan ketika Crystal Ball mau ditangkap polisi tempo hari. Tiga polisi memakai sarung karet dengan susah payah menaklukkan ia yang meronta-ronta seperti banteng terluka. Walau kecil tenaganya perkasa. Ia juga sempat mencakar salah satu polisi hingga berdarah. Gelandangan yang hidup di jalan bisa jadi kotor, jorok, tak pernah mandi, pecandu narkoba, atau habis onani.
" Give me a hug sweety ...", katanya manja.
" I'm sweat ... I'm sweat ...", aku menolak dengan halus sambil memperagakan badanku keringatan dan bau. Akupun buru-buru masuk restoran bilang sedang sibuk.
Malam hari di belakang restoran kulihat Crystal Ball bersandar di tembok dan meracau nggak karuan. Entah mabuk minuman keras atau ganja yang jelas dia mabuk berat. Dalam keadaan setengah sadar dia mulai meneriaki orang-orang yang akan menuju ke Omega Bar dengan sebutan Congo Army. Istilah itu sangat kasar bagi orang yang mendengarnya, istilah yang menggambarkan segerombolan orang-orang bersenjata di Kongo Afrika yang sering bikin teror, menggedor rumah-rumah, merampok serta (dapat dipastikan) memperkosa penghuninya dengan sadis. "Fuck my ass .. Congo Army - bitch!!! .... Fuck my ass .. Congo Army - bitch!!! "
Crystal Ball si trouble maker tak hanya sekali ini saja mabuk berat. Pada suatu malam di tengah - tengah trotoar depan restoran kulihat si Crystal Ball sedang menepuk-nepuk pantatnya dan mengacungkan jari tengahnya ke udara. Gerakannya seperti mengejek seseorang, dengan menepuk pantat dan mengacungkan jari tengah yang melambangkan bahasa "fuck my ass", tapi ia mengejek kepada siapa aku tak tahu. Barangkali kepada burung - burung di angkasa atau makhluk UFO yang lewat.
Aku baru menyadari ketika tiba-tiba melintas sebuah helikopter dengan lampu sorotnya dan si Crystall Ball mengulangi gerakannya memamerkan pantat sambil menepuk-nepuk dan mengacungkan jari tengahnya, ternyata dia sedang mengejek helikopter polisi yang sedang patroli di udara. Aku tertawa melihat tingkah polahnya.
Lain waktu pada suatu malam Crystal Ball pernah membuat seorang gay mendapat masalah gara-gara melihat si Crystal Ball sedang tergeletak di trotoar dekat klub malam khusus gay. Beberapa orang yang lewat berhenti, mencoba mendekat dan membangunkannya. Si Crystal Ball tak bergeming, kerumunan orang makin banyak, saling berbicara dan kemudian salah satu gay atau barangkali banci yang berlagak genit cemas menelpon 911.
Tak berapa lama datang sebuah mobil ambulan beserta truk pemadam kebakaran. Empat orang paramedis mendekat ke arah Crystal Ball yang tergeletak. Kerumunan orang makin banyak. Aku yang melihat kejadian itu menduga-duga barangkali si Crystal Ball mabuk hingga tak sadarkan diri, atau barangkali ia terkena serangan jantung. Kulihat paramedis memakai sarung tangan dan mulai memegang tubuh Crystal Ball, memeriksa denyut nadinya. Salah satu paramedis itu menggoyang-goyangkan tubuh Crystal Ball.
Tiba-tiba si Crystall Ball melek. Terjadi pembicaraan singkat antara mereka, tak lama ia bangun dan ngeloyor pergi. Kulihat ia tak mabuk, juga tak berkata-kata kasar seperti biasanya. Ia juga tak terlihat sakit. Mungkin ia hanya kelelahan saja dan tertidur pulas di pinggir jalan.
Paramedis yang melihat kejadian itu hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum kecut. Mereka lantas memberi kode kepada para pemadam kebakaran untuk bisa pergi meninggalkan tempat. Orang-orang yang berkerumun mulai membubarkan diri. Si gay yang tadi menelpon 911 kulihat sudah kabur entah kemana. Barangkali dia nggak mau kena urusan dengan "panggilan telpon palsu"nya.
Restoran mau tutup aku mulai bersih-bersih dan membuang sampah. Kulihat Crystal Ball masih berada di belakang restoran, bersandar di dinding dalam kondisi mabuk berat. Yang bikin aku tercengang, dia tengah memelorotkan celananya dan kencing sambil berdiri. Air kencingnya ndlewer kemana-mana. Celananya basah. Aku membayangkan kembali ketika ia memeluk dan mencium pipiku, aku jadi gigu. Ingin rasanya membasuh pipiku berulang-ulang hingga bersih. Ingin rasanya buru-buru mandi. Sungguh sangat absurd.

Wednesday, January 1, 2014

TERLAHIR KEMBALI DI AMERIKA

Pada sebuah acara perkawinan teman Indonesia di sebuah restoran buffet di Silver Spring kulihat seorang lelaki setengah baya berkulit keling sedang asyik ngobrol sambil menyantap hidangan secara prasmanan. Dari logatnya yang kental aku yakin ia berasal dari Jawa, tapi begitu kutahu namanya yang Yahudi banget, Mark Goldstein, dalam hati aku bertanya-tanya siapakah diantara kedua orang tuanya yang Yahudi.  

Usut punya usut ternyata si Mark Goldstein itu berayah dari Semin Gunung Kidul, dan ibunya adalah wanita dari Bagelen Purworejo. Nama aslinya adalah Paino. Ia merantau sudah puluhan tahun dan terlahir kembali di Amerika sebagai Mark Goldstein.
Memang pernah kudengar kisah bahwa di Amerika orang bisa mendapatkan identitas baru, jati diri baru sebagai bagian dari Program Perlindungan Saksi. Program ini di bawah Departemen Kehakiman dan yang melaksanakan adalah US Marshal Service. Saksi-saksi kunci dalam kejahatan terorganisir akan mendapatkan perlindungan dari ancaman-ancaman yang bisa membahayakan jiwanya 24 jam sehari baik sebelum sidang, masa-masa persidangan sampai sesudahnya. Para saksi dan keluarganya akan mendapatkan identitas baru yang dijamin keasliannya, rumah tinggal baru, sejumlah uang untuk kehidupan dasar sehari-hari, jaminan kesehatan, dan pekerjaan baru di tempat yang aman.
Kalau melihat tampang si Mark Goldstein asal Gunung Kidul ini, sepertinya ia tidak ikut dalam Program Perlindungan Saksi. Tampangnya bukanlah seperti anggota mafia Itali John Gotti yang terkenal sadis, atau Pengedar Narkoba dari Mexico yang terkenal brutal. Siapapun dia, nyatanya kini ia terlahir kembali di Amerika.
Menurut cerita diantara para imigran gelap, Identitas baru bisa didapatkan dengan cara yang cukup unik dan sedikit rumit. Langkah awal yang harus dilakukan adalah kita bisa pergi ke kuburan dan memeriksa, adakah orang-orang yang seusia kita telah meninggal, atau meninggal dikala usia mereka masih belia. Atau kita bisa pergi ke Perpustaan Kota dan memeriksa file-file surat kabar lama yang memajang iklan obituari, di sana kita akan tahu siapa-siapa yang meninggal di hari itu. 
Langkah selanjutnya adalah lewat kantor Bureau of Vital Records kita bisa meminta kutipan akte kelahiran. Atau kalau prosesnya terlalu berbelit kita bisa melakukan cara kedua yaitu membuat akte kelahiran palsu dari penyedia jasa yang bisa mencetak dengan tingkat keaslian mendekati sempurna. Setelah mendapatkan Akte Kelahiran maka langkah selanjutnya kita harus mendapatkan kartu Social Security Number.
Social Security Number atau disingkat SSN, atau sering disebut SS, adalah secarik kertas seukuran KTP berwarna biru yang berisi nama pemiliknya dan 9 digit nomer yang dikeluarkan kantor Social Security. Di Amerika, nomer SS digunakan sebagai identitas tunggal pemiliknya. Jadi ketika lahir sampai meninggal dunia, ia hanya punya satu nomer SS saja, nomer itu tak bisa diganti. Keperluan yang menyangkut pengadministrasian seperti cari kerja, daftar sekolah, cari SIM/ID, buka akun bank, beli asuransi kesehatan, beli mobil, rumah, mendapatkan pengembalian pajak tahunan, dan benefit pensiun dimasa tua, mereka selalu mensyaratkan nomer SS.
Untuk mendapatkan nomer SS atas nama identitas baru yang sesuai dengan akte kelahiran, kita bisa memanfaatkan "loophole" atau kelemahan sistem, dimana beribu-ribu bayi yang lahir belum didaftarkan oleh orang tuanya untuk mendapatkan nomer SS, atau anak-anak terlantar maupun Juvenile yang secara mandiri bisa meminta nomer SS.
Dengan berbekal akte kelahiran aspal dan nomer SS yang telah kita dapatkan maka jalan lapang terbentang di hadapan kita. Cari kerja, SIM, buka akun bank, membangun credit record, mendapatkan tax return, semuanya akan terasa mudah. Si Mark Goldstein mendapatkan kedua hal di atas dari seorang makelar yang menjual birth certificate dan nomer Social Security kepunyaan si empunya aslinya yang sudah meninggal dunia. Entah Paino yang asli Semin itu harus membayar berapa ratus dollar sehingga ia terlahir kembali di Amerika dengan identitas baru. nyatanya kini ia berstatus sebagai warga negara Amerika yang terpandang, bisa membeli sebuah rumah di Kensington, memiliki paspor Amerika guna menengok orang tuanya di Semin, mempunyai pekerjaan di sebuah perusahaan swasta besar ternama, dan tentunya mendapatkan benefit dari kantor Social Security kelak kala ia pensiun.

 
Site Meter