Wednesday, February 6, 2013

KEDUTAAN AMERIKA DI JAKARTA


Tirto Projo, begitulah nama yang tertera dalam pasporku, juga visa pelaut yang dikeluarkan oleh Kedutaan Amerika di Jakarta, tapi sungguh itu bukan identitas diriku sebenarnya. Awalnya aku mendaftarkan diri untuk permohonan visa turis dengan memakai nama asliku, Joko Lelono, sama persis seperti yang tertera di akte kelahiranku.

Kata beberapa orang yang pernah berurusan dengan Kedutaan Amerika -- untuk mendapatkan visa kunjungan ke Amerika sulitnya setengah mati. Walaupun si pemohon sudah  menyertakan bukti penguat seperti mengikuti tour wisata ke Amerika, diundang untuk hadir dalam sebuah seminar, diundang berkunjung oleh warga Amerika, atau undangan untuk menghadiri wisuda anaknya, semuanya itu bukanlah jaminan. Petugas pewawancara tak pandang bulu apakah pemohonnya seorang Artis, Pengusaha, Jendral atau sekedar Kepala Desa, semua sama di mata mereka. Hak untuk menentukan siapa yang diloloskan siapa yang ditolak ada di tangan mereka. Celakanya mereka diberi kebebasan untuk tidak menjelaskan alasan penolakan tersebut. Siapa sangka artis papan atas Indonesia yang terkenal dan kaya raya berkali-kali ditolak permohonan visanya -- sampai ia merasa trauma, juga seorang jendral yang mencak-mencak di Kedutaan karena visa pesiarnya ditolak. Sepertinya para pewawancara lebih mengandalkan intuisinya untuk memberikan keputusan menerima atau menolak.
Maka tak ada salahnya kalau aku mencoba peruntunganku, siapa tahu permohonan visaku lancar - seperti yang pernah dialami Pak Parman, lelaki paruh abad tetanggaku di Kali Baru yang cenunak - cenunuk alias lugu, tak bisa berbahasa Inggris, tapi dengan keluguannya itu ia bisa meluluhkan hati mereka.
Ketika kutanyakan hal itu kepada Pak Parman, apa yang dilakukan ia di depan petugas pewawancara kok sepertinya amat mudah? Pak Parman menjawab dengan simpel, aku berdoa terus di depan petugasnya, dik Joko. Berdoa kepada Tuhan semoga si petugas tergerak hatinya meluluskan permohonan visa-ku. Dan semuanya terjadi begitu saja, teramat sederhana dan tak berbelit-belit. Pak Parman yang tak punya pangkat apa-apa, tak punya harta melimpah, pensiunan pegawai negeri rendahan, ternyata dengan mudah mendapatkan visa ke Amerika.
Foto-foto Pak Parman yang bergaya di Patung Liberty, New York adalah bukti dia pernah ke sana, juga kulihat di album fotonya ketika ia mengunjungi Hollywood Boulevard -- trotoar yang berisi jejak nama pesohor terkenal di Amerika. Dalam fotonya ia jongkok sambil mengacungkan jempolnya di depan nama John Travolta.
Pak Parman lantas menceritakan ketika ia kabur dari rombongan di hari terakhir pesiarnya dan dijemput oleh Jerry, teman si agen Indonesia yang berjanji untuk menampung dan mencarikan pekerjaan. Tapi sayang bagi pak Parman (berusia 55 tahun waktu itu) mendapatkan pekerjaan di Amerika bagi seusia dia sama susahnya untuk mendapatkan visa Amerika bagi orang-orang yang pernah ditolak. Bagi usia yang mulai menua dengan tenaga yang tak sekuat dulu, tulang belulang yang mulai keropos, ditambah tak cakap berbahasa Inggris, Pak Parman harus bersaing keras dengan imigran gelap asal Amerika Tengah yang masih muda, berbadan kekar, dan mau dibayar murah. Sungguh ibarat seseorang diterjunkan dan tersesat dalam hutan belantara yang masih perawan, tak ada peta, tak ada kompas, dan pisau komando, hanya naluri bertahan hiduplah yang akan menuntun Pak Parman untuk bisa survive.
" Sawang sinawang, dik Joko ", kata pak Parman, " waktu itu aku mudah mendapatkan visa, tapi mati-matian waktu cari pekerjaan. Banyak restoran yang menolak pegawai tua seperti saya. Tapi alhamdulillah semuanya Gusti Allah yang ngatur."
Dan cerita Pak Parman yang lugu dan sederhana itu menambah semangatku untuk merantau ke Amerika.
++++
Ketika pertamakali memasuki gerbang Kedutaan Amerika perasaanku seolah sudah berada di Amerika walau sebetulnya aku tahu itu adalah tetangganya stasiun Gambir. Beberapa bangunan utamanya yang angker, juga petamanan yang ditata rapi menyatu dengan beberapa pohon tua membuat atmosfir yang kurasakan memang terasa beda. Ketika aku memasuki ruangan pemeriksaan yang dijaga tentara Amerika yang tegap serta berwajah angker hatiku deg-degan, mereka tak banyak ngomong, hanya nadanya yang keras berisi instruksi ala militer agar semua pengunjung meletakkan barang- barang logam dan tas ke mesin scan.
Rupanya beginilah aura yang disebut Negara Super Power, negara Adi Daya. Negara yang sering diprotes oleh para demonstran. Entah itu rombongan bersorban dari berbagai ormas Islam yang meneriakkan yel yel Amerika antek Yahudi, atau rombongan nasionalis yang meneriakkan yel yel Amerika Neokolonialis, si penjajah gaya baru. Mereka mulai membakar karikatur presiden Amerika, merangsek ingin masuk halaman Kedutaan Amerika. Pasukan Anti Huru - hara datang untuk membuat barikade, juga panser serta mobil water canon yang siap menyemprotkan air untuk membubarkan para demonstran. Dan keangkuhan itu tak sedikitpun bergeming.
Maka keangkuhan yang sama ditunjukkan oleh seorang lelaki tua kulit putih petugas kedutaan yang menginterview aku, ia dengan ketus bertanya," untuk apa Anda ingin ke Amerika?"
Kujawab," Aku ingin pesiar. Ke Las Vegas, Grand Canyon, Disneyland, dan Hollywood."
" Hmmm " , gumam dia lantas kembali bertanya," Anda bekerja di mana?"
"Aku masih kuliah", kataku sambil kutunjukkan kartu mahasiswaku yang masih berlaku.
"Maaf permohonan visa Anda kami tolak", kata Si orangtua kulit putih itu tanpa basa-basi.
Ternyata peruntunganku jeblok, walau aku sudah menyertakan bukti penguat dengan mengikuti tour wisata ke Amerika dari biro travel ngetop di Jakarta tapi tetap saja permohonan visaku ditolak.
Aku harus mendaftar ulang lagi, dan itu berarti aku harus mengeluarkan uang yang tak sedikit. Saat itu Amerika belum menerapkan sistim keamanan secara ketat. Andai kita pernah ditolak permohonan visanya maka data diri kita akan ada bersama catatan penolakannya dalam database komputer selama 4 bulan. Entah kebenarannya sampai dimana aku percaya ucapan orang-orang itu dan kemudian mengganti identitas diriku merubah namaku, membuat KTP baru, dan paspor baru. Namaku berubah menjadi Wicak Jodhi. Dan kini aku hanya bisa menunggu barangkali beberapa minggu lagi akan dipanggil untuk wawancara.
 +++
Dini hari sebelum besok jadwal wawancara aku sudah datang ke daerah Gambir Monas. Aku ingin datang awal supaya bisa dapat antrian yang terdepan. Sebelum ini  aku datang mendekati jam buka kantor dan dalam proses menunggu hingga sore hari aku tak kebagian giliran. Ternyata daya tarik Amerika mampu menyedot orang-orang rela berpanas-panasan dan mandi matahari untuk mengantri.
Malam itu udara terasa panas, di depan gerbang Kedutaan Amerika sudah ada lin antrian. Beberapa kutahu mereka tenaga sewaan dan ketika pagi tiba -- si Tuan datang dan langsung merogoh koceknya memberikan beberapa lembar 50.000 dan segera menggantikan tempatnya.
Dari beberapa cerita yang kudengar, kini aku makin mengenal beberapa trik ketika wawancara. Selain aku mengikuti paket wisata ke Amerika, aku juga menyertakan Surat Pengantar dari salah satu Perusahaan terpandang di Indonesia yang menyatakan aku sebagai karyawan dengan jabatan Manager yang ingin berpesiar ke Amerika. Dan tak lupa aku juga menyertakan copy saldo rekening bankku yang jumlahnya cukup banyak. Tentunya semua surat keterangan itu palsu.
Mungkin dengan cara seperti itu si pewawancara akan punya pikiran bahwa aku tak bakalan menjadi imigran gelap di Amerika karena aku punya pekerjaan bagus dan cukup uang untuk sebuah kehidupan mapan di Indonesia.
Kulihat si pewawancara masih muda, sopan, dan dapat berbahasa Indonesia dengan lancar. Dia menyapaku apa kabar dan kujawab dengan ramah. Lantas dia sibuk membaca dokumenku, membolak - balik beberapa formulir, dan menanyaiku dengan singkat, " Sudah berapa lama kerja di PT. A ."
" Satu tahun.", jawabku.
Si bule itu manggut-manggut. Tak lama terdengar suara sopan diseberang loket tetapi kudengar bagai kilat menyambar telingaku," Maaf kami menolak permohonan visa Anda."
Dan ini kali kedua aku gagal mendapatkan visa Amerika. Aku kecewa, peruntunganku tak sebesar Pak Parman. Barangkali benar juga cibiran orang tentang susahnya masuk Amerika, "Lebih gampang masuk surga daripada masuk Amerika." Tapi ya sudahlah, karena setelah kunalar akhirnya aku mendapatkan jawaban kenapa si petugas itu menolak visaku, ya karena menurut logika, tak masuk akal kalau baru bekerja satu tahun sudah dapat bonus pesiar ke Amerika.

 
Site Meter