Saturday, February 5, 2011

NO .... NO AMBULANCE

Jam 2 siang di depan apartemen kulihat bu Joko jalan terpincang-pincang dituntun mbak Supiyati sambil meringis kesakitan. Ketika kutanyakan, bu Joko menjawab,” Oalaah kaki saya barusan kejepit pintu bis dan jatuh kesleo mas...”

Kulihat pergelangan kaki bu Joko memang bengkak. “ Nggak dibawa ke Rumah Sakit bu Joko?”, tanyaku. “ Ah diparem saja nanti juga sembuh kok, mas.”, kata bu Joko.

“ Ini gara-gara supir bisnya teledor, wong kaki saya belum turun semua pintunya sudah ditutup. “, tambah bu Joko.

Mbak Supiyati pun menimpali, “ Supir bisnya memang brangasan, jelalatan.”

Mbak Supiyati lantas melanjutkan ceritanya tentang si supir bis yang mau menelpon ambulance," Should I call ambulance?" kata si supir bis dengan cengengesan.

Bu Joko langsung teriak sambil menahan sakit, " No ... no.. No ambulance."

Sungguh jawaban itu bagi orang Amerika (kebanyakan) dirasa agak aneh, kaki bengkak dan kesakitan kenapa bu Joko malah menolak dipanggilkan ambulance. Bagi mereka, urusan memanggil ambulance dalam keadaan emergency adalah hal yang umum, asuransi mengcover semua biaya ambulance, paramedis dan perlengkapannya.Tapi untuk para imigran yang tidak berasuransi (apalagi pendatang gelap), urusan memanggil ambulance bisa menjadi urusan yang panjang.

Seperti diketahui, di Amerika yang kapitalis ini tidak ada istilah gratis, nothing is free in America. Untuk memanggil ambulance setidaknya kita harus membayar 800 - 1000an dollar, belum termasuk perawatan rumah sakitnya. Jadi bisa dibayangkan kalau bu Joko menolak untuk dipanggilkan ambulance -- hal itu bisa dimaklumi. Ia pasti membayangkan tagihan 1000an dollar untuk biaya kakinya yang kesleo."Mending duite tak kirimke anakku neng Jowo", kata bu Joko dalam bahasa Jawa.

Benar, kalau ngomong soal kegesitan petugas ambulance maupun fire fighter di Amerika,tak usah diragukan lagi mereka mempunyai standar tinggi dalam hal pertolongan pertama dan penyelamatan. Dua menit pertama (setelah panggilan) adalah waktu yang sangat - sangat krusial. 5 menit adalah target utama yang harus dicapai para petugas ke TKP. Batas waktu maksimal untuk panggilan 'emergency' entah itu ambulance atau firefighter adalah dibawah 10 menit.

Mengacu dari standar itu, pernah kubaca di surat kabar, sebuah developer perumahan yang merencanakan akan membangun komplek perumahan baru ditolak oleh dewan kota karena setelah diteliti ternyata petugas ambulance dan pemadam kebakaran tidak bisa menjangkau daerah tersebut dalam waktu 10 menit.

Berbeda dengan di Indonesia, Jakarta khususnya, sering aku melihat berita di tv, banyak nyawa melayang gara-gara tidak ada petugas ambulance datang. Boro-boro datang, ini sudah dianter becak ke Rumah Sakit, tapi malah ditolak karena si korban nggak punya duit. Temanku Zuhri yang keserempet Metro Mini dibiarkan tergeletak di pinggir jalan, dengan darah mengucur dari tubuhnya selama 40an menit -- sampai pak polisi datang. Dan ketika tubuhnya digeletakkan di bak terbuka nyawanya sudah tak tertolong lagi.

Lain hari ketika terjadi kebakaran di komplek permukiman umum, Petugas Pemadam Kebakaran malah sibuk berantem sama warga gara-gara rebutan selang, telat datang, atau air pompanya 'asat'. Ya ujung-ujungnya duit. Untuk membiayai Petugas Paramedis dan Pemadam Kebakaran yang profesional dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Khusus armada ambulance beserta paramedisnya, untuk sebuah kota atau county di sini membutuhkan dana 500an ribu dollar. Duit itu digunakan antara lain untuk: Regular payroll, Overtime, Life insurance, Professional services – dispatch, Equipment rentals, Travel, meetings & training, dll.

Nah sekarang giliran penutupnya yang nggak enak didengar: Kapan kita mempunyai fasilitas layanan ambulance beserta paramedisnya, at least dalam standar yang minimal. Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan.


Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap Di Amerika

 
Site Meter