Tuesday, December 17, 2013

DARI DISH WASHER MENJADI SUSHI HELPER

Pedro si sushi helper dari El Salvador keluar kerja. Arif lantas menawariku untuk menggantikan posisi Pedro sebagai orang ketiga di Sushi Bar. Aku bilang aku nggak punya pengalaman membuat sushi tapi Arif meyakinkanku bahwa membuat sushi gampang. Seperti gerakan orang memijat, kamu tinggal menyebarkan nasi ke lembaran Nori dan meratakannya.

Arif kemudian bilang ke Bos bahwa ia siap mengajari aku untuk menjadi penggulung sushi. Johny si bos tak banyak cakap dan kini aku resmi menjadi seorang sushi helper yang pekerjaannya menanak nasi, mengaduk nasi itu dengan rice vinegar hingga rata. Arif kemudian mengajari aku cara memegang pisau yang benar, belajar memotong ikan salmon, tuna, escolar untuk sushi gulung. Masih banyak lagi yang harus kusiapkan yaitu memotong timun, alpukat, jalapeno, memasak udang rebus, lobster, dan jamur shitake.
Aku juga mengatur barang-barang pesanan yang datang dari suplier. Ada barang-barang yang harus kutaruh di gudang pendingin seperti timun, alpukat, cream cheese, dan sayur-sayuran. Ada yang harus masuk freezer seperti ikan tuna saku, kanikama, lobster, octopus. Barang lainnya kutaruh di storage seperti beras, rice vinegar, gula, garam, soy sauce, wijen dan lain-lain.
Hari pertama aku di belakang sushi bar, Arif mengajariku cara menakar nasi untuk sebuah  gulungan sushi. Aku mengambil nasi dan mengepalkan nasi itu dalam telapak tangan, tak boleh padat karena nanti akan ditaburkan ke lembaran Nori. Nasi yang bercampur rice vinegar itu ternyata lengket. Tanganku blepotan nasi, tak bisa seperti Arif yang bersih, tak ada sebijipun nasi yang menempel di tangannya, butuh waktu untuk bisa seperti itu. Arif menjelaskan bahwa tangan kita harus selalu basah dengan air biar nasi tak lengket di tangan. "Orang sushi punya tangan paling bersih di dunia, karena tiap mau bikin order harus cuci tangan, selesai bikin order cuci tangan. Sehari bisa 500an kali cuci tangan....."
Orang sushi kata Arif punya tangan yang halus karena tiap hari memegang nasi. Aku tak mempercayainya. Lantas aku disuruhnya memeriksa tangan Arif, memang kurasakan tangan Arif lembut seperti bayi. Johny Tan si bos yang melihat adegan itu tersenyum - senyum penuh arti. Arif tiba-tiba mengkibaskan tangannya. Aku tak sadar dengan apa yang terjadi dan ketika Arif bilang," Eiiits ... Di sini daerah P street bro ....sensitif ....Entar kita dikira gay ...."

Wednesday, November 27, 2013

KAMAR 324: LURAHNYA KAMPOENG MELAJOE

Walau sudah tinggal di Amerika, tinggal di kawasan elit daerah downtown Washington DC dalam sebuah apartemen dengan sebutan keren Kampoeng Melajoe, kita warga Indonesia tetap tak bisa melepaskan tradisi untuk menghormati seseorang yang di-tua-kan. Ya.. tanpa lewat pemilihan, kita sepakat menyebut Rudi Syamsudin sebagai Lurahnya Kampoeng Melajoe. Jadi Lurah di sini bukanlah seorang yang punya pekerjaan seperti layaknya lurah di Indonesia tapi hanyalah sebutan untuk seseorang yang dihormati. Ya .. jiwa penolong, supel dan mengayomi membuat para perantau segan padanya.

Rudi si Pak Lurah sering menjadi juru damai ketika ada permasalahan timbul diantara sesama perantau. Maklum, warga Indonesia yang tinggal di apartemen Kampoeng Melajoe datang dari berbagai ragam kalangan sosial maupun tingkat pendidikan. Ada para TKW yang bekerja sebagai pembantu, ada mahasiswa yang sedang sekolah di Amerika, ada staf lokal Kedutaan Indonesia, dan turis-turis overstayed alias imigran gelap sepertiku.
Pernah suatu kejadian sebut saja Yusuf yang mahasiswa dari sebuah perguruan tinggi swasta di Washington DC berantem dengan Darus gara-gara rebutan cewe. Dilain waktu si Murni yang bekerja sebagai nanny menggosipkan Rani sebagai wanita murahan yang sering bergonta ganti lelaki. Keributan - keributan itu bisa didamaikan oleh Rudi.
Ya .. Rudi telah melewati beberapa generasi warga Indonesia yang tinggal di Kampoeng Melajoe. Lelaki yang kini menginjak usia 40an asal Jakarta itu pernah bekerja jadi staf lokal di Kedutaan Indonesia di bagian umum, atau menjadi tenaga keamanan bersama Ocim si jago silat. Dalam sebuah obrolan, Rudi menceritakan generasi terdahulu yang tinggal di Kampoeng Melajoe, ketika ekonomi Indonesia masih bagus, dengan nilai tukar waktu itu 1 dollar masih 1800an rupiah. Orang Indonesia datang ke Amerika hanya karena berwisata atau bersekolah. Ya .. Kala itu banyak anak-anak dari pejabat negara datang hanya untuk bersekolah. Sungguh kala itu tak ada yang mau menjadi imigran gelap. Saat itu nilai uang $1000 adalah setara dengan Rp. 1.800.000, bayangkan dengan kurs sekarang yang rata-rata $1 setara Rp. 10.000. Nilainya melonjak menjadi 13 jutaan rupiah. Dan berbondong-bondonglah orang ingin bekerja di Amerika, juga anak-anak pejabat yang bersekolah tadi tak bisa lagi mengandalkan uang kiriman dari orang tuanya. Terpaksa mereka bekerja.

Tuesday, October 8, 2013

PINDAH PEKERJAAN

Arif teman sekamarku perantau asal Madura menawari aku pekerjaan full time sebagai dish washer alias tukang cuci piring di restoran sushi tempat dia bekerja. Pekerjaanku sebagai Bush Boy selama ini memang mendatangkan uang tip yang lumayan tapi itu hanya part time. Aku hanya dapat jadwal dua kali shift malam dan dua kali shift siang. Ketika restoran ramai di akhir pekan, untuk shift malam aku bisa mendapatkan uang tip 80 dollar dari 12 pelayan restoran. Seminggu aku rata-rata mengantongi 200 dollar, sebulan 800 dollar.

Di tempat baru restoran Jepang, si bos yang orang Singapore menawari bayaran 1300 dollar sebulan, bekerja dari jam 11.00 pagi hingga 11 malam, 6 hari seminggu. Tanpa pikir panjang aku segera menerima tawaran itu. Aku tak perlu malu menjadi tukang cuci piring. Aku juga tak perlu malu pada anak-anak Kampoeng Melajoe kalau aku hanyalah tukang cuci piring.
Keesokan harinya aku diajak ke restoran tempat Ari bekerja. Tanpa prosedur yang berbelit hari itu juga aku langsung bekerja. Arif mengantarkan aku ke bagian belakang, di sana terletak mesin cuci. Hari itu aku belajar menggunakan mesin cuci piring otomatis, gampang cara pemakaiannya. Piring kotor tinggal disemprot air panas lalu dijejer pada rak sampai penuh, setelah itu rak dimasukkan ke dalam mesin dan secara otomatis akan membilas hingga kering.
Pekerjaan lainnya yang harus kulakukan adalah menyapu dan mengepel lantai restoran, juga kamar mandi. Hari pertama kulalui tanpa halangan berarti, cuma saat membersihkan toilet banyak tissue bekas berserakan di lantai, juga mutahan pengunjung karena kebanyakan minum alkohol. Menjijikkan ...

Monday, September 2, 2013

AKU PINDAH KE WASHINGTON DC

Tempat tinggalku di rumah mas Windi di daerah Wheaton Maryland memang terlalu jauh dari tempatku bekerja. Pertama aku harus naik bis ke stasiun Wheaton dan kemudian ganti naik kereta bawah tanah menuju Dupont Circle di Washington DC yang jaraknya cukup jauh. Selain ongkosnya mahal, kadang aku kesulitan pulang setiap restoran tutup tengah malam. Maklum restoran ini sekaligus Bar sehingga banyak pelanggan yang betah sampai larut malam. Belum kalau ada dari mereka yang mabuk berat, maka jam tutup restoran bisa molor. Kereta bawah tanah sudah tak ada, bis Metro juga tak ada. Akhirnya aku sering menunggu pagi menumpang di apartemen mas Tio yang letaknya tak jauh dari restoran Mimi.

Karena aku hanya bekerja empat shift seminggu, dua shift malam, dua shift siang, ongkos transport menjadi masalah yang cukup signifikan alias it is a big deal bagi kantongku. Kalau begini terus tentu aku tak bisa menabung, habis buat sewa kamar dan transport. Mas Windi memahami hal itu dan mencoba membantu mencarikan lowongan pekerjaan lain, kerja full time di daerah dekat rumah.
Pada suatu hari di restoran, mas Tio memberitahu kepadaku kalau Bang Herdi yang tinggal di lantai 7 mencari room mate. Aku memang sudah lama mengeluhkan keadaan ini pada mas Tio, dan siang hari ketika sudah selesai bekerja ia mengajak aku menemui Bang Herdi di apartemennya. Bang Herdi walau sudah pertengahan 40 tapi bergaya anak muda, perawakannya pendek dan gaya bicaranya hangat. Di kamar studionya ia tinggal bersama Arif dan Oki. Dia bilang kalau aku mau tinggal bersama ya seadanya, tidur berempat di ruang tengah. Masalah pembayaran di share berempat, tiap kepala kena $250 perbulan. Tanpa pikir panjang aku menyetujuinya. Walau harus tidur di kasur lesehan bagiku tak masalah, yang penting dengan kepindahanku aku bisa menghemat waktu, tenaga dan uang transport karena tempat kerjaku hanya dibelakang apartemen ini.
Sebulan lebih aku kos di tempat mas Windi dan kini saatnya aku pindah. Ketika kuutarakan rencana kepindahanku mas Windi tampak kecewa, ia berusaha menghalangi kepindahanku secara halus dengan menjanjikan akan mencarikan pekerjaan full time di sekitar Wheaton. Jujur bagiku amat berat juga meninggalkan rumah yang penuh kehangatan, keramahan dan kekeluargaan, tapi alasanku semata hanyalah masalah jauhnya jarak yang harus kutempuh kala aku kerja. Akhirnya mas Windi bisa menerima alasanku.
Ya, kini aku pindah ke Washington DC, ibukota Amerika, sebuah kota kecil yang asri dengan taman-taman kota, pepohonan rimbun dan bunga sakura yang mekar di kala musim semi, bunga yang akan merubah kota menjadi romantis, dengan warna warni jambon diantara bangunan museum yang tampak gagah, atau dalam rangkulan sungai Potomac yang meneduhkan.
Ya kini aku tinggal di tempatnya Bang Herdy di daerah Dupont Circle, daerah trendi dengan hingar bingarnya Club dan Bar di tiap sisi jalan, berhadap-hadapan atau bersebelahan, juga berbagai jenis Cafe dan Restoran segala masakan. Pelataran jalan Connecticcut Avenue akan menjadi ramai oleh pengunjung yang antri masuk Bar, muda-mudi dengan segala pakaian indah, ada yang seronok memperlihatkan belahan dada rendah dan lencir kakinya, dengan make up tebal dan setengah mabuk. Tak lupa kusebutkan bahwa daerah ini pusatnya komunitas Gay dan Lesbian di Washington D.C., daerah yang tak pernah sepi untuk melihat pasangan bercengkerama di keremangan taman, atau membaur dalam gelak tawa di Bar atau Restoran dari petang hingga pagi.

Sunday, August 18, 2013

17-AN DI AMERIKA

Bulan Agustus adalah bulan yang istimewa bagi masyarakat Indonesia di Amerika. Kedutaan Besar Republik Indonesia di Washington, D.C selalu mengadakan rangkaian acara meriah menyambut Hari Kemerdekaan Indonesia, hari suka cita karena telah terbebas dari belenggu penjajahan. Upacara bendera terasa sangat khidmat. Kulihat serombongan Pasukan Pengibar Bendera yang terdiri dari anak-anak SMA dan Perguruan Tinggi; dengan seragam putih-putih peci hitam tampak gagah, dalam langkah tegap dan semangat tinggi mengiring bendera Merah Putih, dalam gerakan seirama dan disiplin tinggi bak tentara maju ke medan perang, membusungkan dada, sungguh membuat diriku bangga.

Lagu Indonesia Raya yang biasa kudengar kini terasa sangat beda di telingaku. Atmosfer kerinduan akan tanah air sangat kental kurasakan. Ternyata jarak 14.000 km yang memisahkan aku dengan bumi pertiwi sanggup melelehkan air mataku. Mungkin betul air mataku tak berkaitan dengan rasa haru atas jasa para pahlawan yang telah berjuang mati-matian mempertahankan bumi pertiwi, atau mungkin tak ada kaitannya dengan rasa heroik ketika Bung Tomo meneriakkan kata merdeka. Sungguh air mataku meleleh karena teringat kampung halaman dimana aku menghabiskan masa-masa kecilku. Rumah kecil dekat pematang sawah yang dikelilingi rerimbunan pohon bambu selalu menghadirkan keteduhan di teriknya siang, dengan suara gesekan dedaunan yang tertiup angin, sambil memandang hamparan sawah yang mulai menguning sungguh merupakan sebuah simponi alam yang indah. Sebuah kedamaian kecil yang kini seolah hilang dalam hidupku.
***
Hari Minggu aku bersama Oki, Asnawi, Rinto, Arif dan Bang Herdy bersiap diri pergi ke acara Bazar 17 Agustus di Wisma Indonesia di daerah Tilden. Aku mematut diri di kaca dengan baju batik yang sengaja kubawa dari Indonesia. Di depan apartemen Kampoeng Melajoe kulihat rombongan mbak Yanti yang menempati kamar 127 mengarah ke stasiun Dupont Circle. Siang yang cerah dimusim panas menebarkan keceriaan dalam diri. Pakaian kebaya bordiran warna warni, rambut yang disanggul rapi, mereka berceloteh sambil tertawa gembira.
Sepanjang jalan Tilden di daerah Uptown menuju Wisma Indonesia di kediaman Duta Besar Indonesia telah penuh mobil yang parkir di kiri kanan jalan. Banyak orang Indonesia di area DC Maryland Virginia tak ingin ketinggalan acara setahun sekali ini. Mereka ingin mencicipi masakan Indonesia yang dijajakan stand-stand, ada sate Padang, gudeg Jogja, lontong sayur, empek-empek Palembang, bakso sapi, dan masih banyak lagi makanan yang bisa mengobati rasa rindu kita akan selera asal, rasa masakan yang dikenalkan oleh orang tua kita semenjak kecil. Rasa lezat dan gurih yang telah tertanam dalam memori otak kita.
Acara bazar juga dimeriahkan Panggung Gembira yang ramai diisi oleh ansambel musik anak-anak, lagu-lagu Batak, tarian khas daerah seperti Tari Merak, Tari Bali, juga Tari Saman. Tak ketinggalan musik tradisional Jawa Gamelan ikut mengalunkan lagu Kebo Giro dengan perpaduan bunyi kenong saron sesekali tabuhan ringan kendang, dan si penabuh gong yang menabuh gong kecil berulang-ulang, aku tercengang ketika yang main kebanyakan bule. Mereka benar-benar menikmati bermain gamelan. Aku bangga dengan mereka yang ikut melestarikan seni budaya Indonesia, juga para penggiat seni yang sudah memperkenalkan kesenian Nusantara ke manca negara.
Memang tak ada karnaval mobil hias di sini, atau parade tukang becak yang beratraksi dengan roda sebelah diangkat, atau lomba panjat pinang yang selalu membuat gelak tawa. Acara 17an di Wisma Indonesia adalah tempat "klangenan" setahun sekali. Ya .. Indonesia kecil telah hadir di Wisma Indonesia yang asri dan dipenuhi oleh pepohonan tinggi. Tempat dimana kita bisa bertemu dengan sesama orang Indonesia, berkenalan, atau mencari teman bahkan pacar. Acara yang paling ditunggu-tunggu tiba, terdengar panggung dihentak irama dangdut dari para pemain band lokal. Tanpa dikomando para pengunjung mendekat ke panggung. Kulihat mbak Supiyati meliuk-liukkan pinggulnya mengikuti irama lagu, tangannya mengajak yang malu-malu untuk ikut bergoyang. Segala jenis goyangan hot dan heboh lantas meramaikan panggung hiburan. Merekapun larut dalam kegembiraan. Sungguh Indonesia kecil hadir lagi secara nyata hari itu dan setidaknya bisa mengobati rasa rinduku pada tanah air.

Tuesday, August 6, 2013

MENCARI PEKERJAAN

Aku baru pernah dengar istilah Bush Boy ketika di Amerika, sebuah pekerjaan di restoran yang kerjanya mengangkat piring dan gelas kotor dari meja setelah pelanggan selesai makan. Kita juga harus membersihkan meja kemudian melapisi dengan taplak baru, meletakkan garpu dan pisau serta gelas anggur yang baru setelah pelanggan meninggalkan restoran. Sangat simpel, dan tak perlu ngomong Inggris. Mas Windi menawarkan pekerjaan itu kepadaku atas informasi mas Tio perantau asal Semarang yang bekerja sebagai Food Runner di restoran itu. Restoran Mimi ini menyajikan masakan Barat dan lokasinya di daerah down town DC.
Tanpa pikir panjang aku menerimanya. Aku ingin cepat bekerja. Ingin cepat menghasilkan dollar guna membayar pinjamanku pada paman. Aku juga ingin secepatnya menunjukkan pada ibu bahwa kepergianku ke Amerika tidak sia-sia. Keesokan pagi Mas Windi mengantar aku ke restoran Mimi dan mengenalkan aku kepada mas Tio. Aku kemudian diajak menemui manager restoran bernama Hisham seorang Arab Maroko dan aku tak ditanya macam-macam. Ia hanya tanya namaku, asli dari mana, dan menjelaskan secara singkat bahwa ia butuh seorang bush boy. Tanpa prosedur yang berbelit hari itu aku diterima dan disuruh segera training.
Tak lama aku sudah berganti memakai kaus hitam bertuliskan Mimi, celana hitam dengan apron melilit pinggang, dan bersepatu hitam. Walau hanya seorang Bush Boy, aku merasa gagah dengan seragam kerjaku. Julio bush boy senior di restoran itu lantas mengajariku cara membersihkan meja yang telah ditinggalkan pelanggan. Dia tak banyak cakap, diambilnya gelas anggur dan diselipkan satu persatu ke sela-sela jari tangan kirinyanya. Ia lantas mengambil tumpukan piring dengan tangan satunya dan membawa ke tempat cucian. Walau sudah berumur 50an tahun, Julio amat cekatan dan gesit.
Hari pertama bekerja aku berpartner dengan Julio. Aku melihat betapa cekatan dia menangani meja untuk 12 orang yang sedang mengadakan pesta ulang tahun. Mulai menyajikan roti roll pada lepekan kecil, mengisi gelas dengan air bening, menarik piring yang sudah selesai disantap, hingga ketika pesta berakhir Julio dengan gesit men-setup kembali meja untuk siap ditempati lagi.
Hal yang sama kulakukan, tapi bagian dari latihanku adalah meja kecil yang berisi dua atau empat pelanggan. Sambil membawa keranjang berisi roti roll dan butter, aku menghampiri meja yang baru terisi dan membagikannya. Setelah itu aku kemudian menuangkan air putih pada gelas yang sudah tersedia di meja. Pekerjaan itu terlihat mudah tatkala restoran tak ramai. Tapi kenyataannya restoran Mimi tak pernah sepi, selalu ramai. Maka pekerjaanku menjadi sulit, aku keteter. Yosef floor manager malam itu menyuruhku bergerak lebih cepat.    
Banyak meja telah kosong dan belum sempat kubersihkan sedangkan orang-orang sudah antri menunggu. Sambil setengah berlari kedua tanganku membawa tumpukan piring kotor ke tempat cucian. Julio kulihat pontang-panting di bagian Bar. Karena tak ingin membiarkan pelanggan lebih lama menunggu, akhirnya Yosef si orang Maroko itu turut membantu kami membawa piring, gelas, sendok garpu kotor ke tempat cucian. Para pelayan ikut menolong memasang taplak dan silverware baru. Dan pengunjung yang tadi mengantri kini satu persatu telah didudukkan. Aku tak sempat menghela nafas, ditanganku sudah ada keranjang roti roll dan aku bergegas mengedarkannya ke meja-meja baru, mengisi air bening ke gelas-gelas mereka.
Hari pertama bekerja kulalui dengan banyak keluhan dari para pelayan. Muka mereka masam atas kinerjaku yang lambat. Selesai kerja Yosef memberi arahan aku untuk bekerja lebih cepat. Aku disuruh belajar memahami keadaan. Kapan aku harus mengambil piring kotor, kapan aku harus membagikan roti roll, kapan aku harus menata meja, karena semua meja itu kepunyaan para waiter yang sudah dibagi-bagi. Lindsay protes karena jatah meja-mejanya lambat dibersihkan sehingga konsentrasinya terbagi antara ikut membersihkan meja dan melayani pelanggan. Ujung-ujungnya pelanggan di meja Lindsay banyak yang memberikan tip jelek. Aku tak berkata apa-apa, hanya mengangguk, dan berjanji untuk bekerja lebih baik lagi.

Tuesday, July 23, 2013

EL CHAPO GUZMAN SI RAJA NARKOBA DUNIA

Pertama kali aku dengar nama Chapo Guzman, itu keluar dari mulut Lazaro si juru masak asal Mexico. Berawal dari kebiasaan ketika restoran tutup di siang hari, sehabis makan siang, Lazaro kemudian menyetel musik balada khas Mexico dari HP nya. Musik khas berbirama 2/4 dengan dominan akordion dan violin yang mirip musik Polka itu kedengaran brisik di telingaku, aku terganggu kala sedang berbaring di kursi panjang untuk mencoba tidur melepas lelah.

Iseng kutanya apa nama band-nya lantas Lazaro menjawab dengan semangat bahwa grup band ini sangat terkenal dan melegenda di Mexico, namanya Los Tigres Del Norte.
Ketika aku tanyakan lagunya bercerita tentang apa, Lazaro bilang lagu yang sedang ia dengarkan itu tentang Perang Mafia Narkoba di Mexico. Ya, aku sering melihat berita di tv bahwa kejahatan dan pembunuhan merajalela di Mexico: banyak terjadi pembunuhan masal di siang bolong, tembak menembak di keramaian kota, atau seorang digantung di jembatan dengan kepala dikarungi kain, atau dilain hari dua atau tiga kepala dipenggal dan dipajang di keramaian kota sebagai pesan peperangan. Mereka juga tak takut membunuh aparat kepolisian dengan sadis lewat penyiksaan. Semua kejadian itu ada hubungannya dengan narkoba. Ya .. di Mexico ada 7 kartel besar narkoba yang bermain: Los Zetas, Sinaloa, Gulf, Tijuana, Beltran Leyva, La Familia, dan Juarez. Selain perang dengan aparat militer, kartel narkoba juga terlibat perang antar mereka sendiri dengan tujuan untuk mengontrol jalur distribusi, daerah kekuasaan, dan ujung-ujungnya saling balas dendam karena pertumpahan darah antar keluarga mafia.
Salah satu penjahat yang paling melegenda yang diceritakan Lazaro adalah Si Pendek Guzman, dia adalah Pablo Escobarnya Mexico, Drug Lord paling berkuasa di dunia. Pemimpin Kartel Sinaloa ini tak pernah diketahui keberadaannya hingga saat ini.
Sepak terjangnya bagai hantu, ia bisa muncul dimana saja. Semenjak kejadian "heboh" kaburnya Chapo Guzman dari penjara yang paling ketat tingkat keamanannya, penjara Puente Grande tahun 2001, dan menurut ceritanya Chapo Guzman menghabiskan uang $2.5 juta untuk menyuap dan merencanakan pelariannya, melibatkan 78 orang mulai dari sipir penjara, direktur fasilitas rutan, dan polisi. Sampai kini keberadaan Chapo Guzman tak diketahui. Ada beberapa saksi mata yang melaporkan bahwa mereka melihat Chapo Guzman berada di hutan belantara Honduras, atau mati tertembak di Sinaloa, atau muncul di sebuah restoran di Tamaulipas untuk makan bersama puluhan bodyguard dan mentraktir semua pengunjung yang ada di dalam restoran secara diam diam.
Si Pendek yang tingginya 168 cm ini menguasai penyelundupan berton-ton cocaine dari Columbia lewat Mexico dan diteruskan masuk Amerika. Chapo Guzman juga punya jaringan distribusi lewat orang-orang kepercayaannya di Amerika. Kartel Sinaloa ini lebih digdaya karena juga memproduksi methamphetamine, heroin, dan mariyuana untuk diselundupkan ke segala penjuru dunia. DEA badan anti narkoba Amerika -- sampai kewalahan menghadapi sepak terjangnya dan menyebut Chapo Guzman adalah "The Godfather of the Drug World", Bandar Narkotik paling berkuasa seantero dunia -- melebihi Pablo Escobar pada masanya.
Lazaro yang berasal dari daerah yang sama dengan Chapo Guzman di Sinaloa menceritakan betapa segala cara dipakai untuk bisa menyelundupkan Cocaine ke Amerika. Mulai dipak dalam kaleng jalapeno, ditimbun dalam gerbong tangki minyak, ditanam di sela-sela kerangka mobil truk, dibawa pakai pesawat terbang, hingga membuat terowongan bawah tanah. Salah satu terowongan yang akhirnya ketahuan oleh aparat keamanan terletak di sebuah gudang tua di Tijuana Mexico. Terowongan itu menerobos lewat perbatasan hingga mencapai area dekat San Diego California. Kedalaman terowongan mencapai 20 meter dan panjang 450 meter lengkap dengan listrik dan kereta dorong untuk memindahkan cocaine. Pekerja-pekerja yang membuat terowongan itu senang dibayar tinggi tapi tak menyadari betapa berbahayanya berurusan dengan Chapo Guzman. Mereka dibunuh setelah menyelesaikan pekerjaannya demi merahasiakan identitas dan lokasi terowongan. Chapo Guzman adalah pembunuh berdarah dingin.
***
Dalam negara yang penuh kemiskinan, bisnis narkoba adalah hal yang besar dan penuh uang. Semua orang ingin mendapatkan bagiannya. Aparat pemerintah, politikus, hakim, polisi, tentara, tergiur mendapatkan bagiannya. Dari 1kg cocaine yang masuk dari Colombia ke Mexico, para Kartel membeli murah seharga $2000. Ketika sampai di perbatasan Mexico - Amerika harganya berubah menjadi $5000. Setelah melewati perbatasan, di tangan bandar besar Amerika harga cocaine 1 kg dibeli $20.000. Bisa dibayangkan uang yang akan didapat para bandar jika ia menjajakan cocaine itu di jalanan dengan harga 1 gram-nya (setara hampir 1 sendok teh) $55 sampe $110, tergantung kualitasnya. Bahkan yang bagus harganya bisa membumbung tinggi mencapai $200 dan dipasarkan untuk kalangan berduit. Yaa bisnis narkoba sangat menggiurkan, dari modal $20.000 perkilogramnya bisa mendapatkan uang $55.000 - $200.000.
Dengan kekayaan milyaran dollar itu Kartel Narkoba menggunakan uangnya untuk menyuap aparat guna mendapat perlindungan keamanan. Mereka juga dengan gampang menghamburkan uang untuk membangun rumah sakit, gereja, menyumbang organisasi sosial, dan menggerakkan ekonomi sekitarnya. Bahkan tak hanya itu, anak-anak muda jalananpun direkrut untuk dijadikan kurir narkoba, atau bahkan anak-anak yang pandai disekolahkan agar kelak bisa menjadi polisi, hakim, atau pejabat penting -- yang nantinya akan dimanfaatkan untuk mengamankan bisnis narkobanya. Gerakan mereka terstruktur dan merambah ke segala aspek kehidupan.
***
Semenjak pemerintah Mexico mengadakan operasi militer untuk melawan kartel narkoba di tahun 2006, tingkat pembunuhan merangkak dengan tajam. Kartel yang punya duit milyaran dolar itu tak mau kalah dan mempersenjatai diri dengan segala jenis senjata; mulai pistol, AK 47, Uzi, senjata mitraliur amunisi bersabuk seperti dalam film Rambo, hingga senjata pelontar roket untuk berperang dengan tentara.
Para kartel juga memakai cara-cara sadis untuk menakut-nakuti aparat dengan membuat video eksekusi ala teroris dengan menyiksa dan membunuh secara keji di depan kamera video. Bagi siapapun yang mengganggu bisnisnya, entah itu polisi, hakim, jaksa, agen anti narkotika, awak media, atau lawan bisnisnya, mereka tak segan-segan mempertontonkan kekejian itu dan menyebarkan video tersebut ke media tv. Segala kekejaman yang berasal dari dasar neraka itu ditebarkan oleh para kartel narkoba ke segala penjuru Mexico.
Jumlah korban tewas meningkat dari tahun ke tahun, seolah tiada hari tanpa pembantaian. Banyak aparat hukum meninggal, juga anggota atau pimpinan kartel. Menurut laporan kepolisian Mexico, pada tahun 2006 terdapat 2119 korban meninggal atau setara dengan 5 orang kehilangan nyawa setiap hari. Tahun 2007 meningkat 2275 orang, tahun 2008 korban meningkat dobel menjadi 5207 orang, tahun 2009 meningkat lagi menjadi 9616 orang. Dan yang mengkhawatirkan adalah tahun 2010 dimana korban tewas mencapai angka 15.273 atau setara dengan 40 orang terbantai tiap hari.
***
Dan cerita tentang kemunculan tiba-tiba atau berita kematian Chapo Guzman akhirnya menjadi sebuah mitos layaknya kisah si pengidap sindrom Robinhood yang dermawan, mitos ini untuk menegaskan betapa dia sama sekali tak pernah tersentuh tangan-tangan hukum, tak takut muncul di keramaian, atau mati tanpa diketahui kuburnya...
Lazaro dalam istirahat siangnya lirih mengikuti lantunan lagu La Mafia Muere-nya Los Tigres dari HP nya:
Culiacan, capital Sinaloense, / Culiacan ibukota Sinaloa,
Convirtiendose en el mismo infierno / Berubah jadi neraka,
Fue testigo de tanta masacre / Dia jadi saksi pembantaian.
Cuantos hombres valientes han muerto. / Telah banyak pemberani mati
Unos grandes que fueron del hampa / Beberapa pembesar dunia bawah tanah
Otros grandes tambien del gobierno. / Juga pembesar pemerintahan

Tuesday, July 9, 2013

BERTEMU PERANTAU INDONESIA


Bulan Maret udara masih terasa dingin. Sisa-sisa salju masih tampak di atas pepohonan, juga melapisi tanah berbukit sepanjang jalan. Aku dan Hendro dijemput Mas Windi di China Town, Washington D.C. Kami melewati gapura berbentuk ornamen khas China yang melintang di jalan utama, juga kulihat di kanan kiri aksara China bertebaran dimana-mana, semua toko kebanyakan restoran menyajikan aneka khas makanan Chinese food.

Kami kemudian dibawa ke rumah single house-nya di daerah Wheaton, Maryland. Rumah tua di daerah sini kebanyakan berdinding setengah kayu dan setengah batu. Konon di musim dingin kayu-kayu itu bisa menyerap hawa dingin dan di musim panas batu-batu itu bisa mendinginkan hawa panas. Mas Windi tinggal bersama istrinya Siti Zubaidah yang bekerja sebagai perawat di panti jompo, mereka punya dua anak yang masih sekolah di SMP.
Mas Windi sendiri bekerja di jasa kurir sebagai pengantar barang, sedangkan malam hari ia bekerja sebagai pengantar koran. Ketika aku tak bisa tidur karena jam biologisku masih menyesuaikan dengan Indonesia yang siang hari, mas Windi iseng mengajak aku untuk menemani dia mengantar koran. Maka berbekal jaket tebal untuk menahan cuaca dingin di akhir Februari aku duduk di samping kanan kursi depan mobil van-nya. Kuperhatikan mas Windi dengan sigap meraih satu demi satu koran dari tumpukan, memasukkannya ke dalam kantong plastik dan melemparkannya ke halaman rumah pelanggan. Jendela mobil yang terbuka di sisi kiri kanan membuat badanku menggigil terkena suhu enol derajat Celcius. Entah sudah berapa ratus koran yang dilempar, mas Windi tak terlihat lelah dan kedinginan. Pekerjaan melempar koran yang dimulai sejak jam 3.00 pagi hingga selesai jam 5.00 pagi adalah pekerjaan berat yang butuh dedikasi tinggi. Ya karena disaat kebanyakan orang masih terlelap dalam kamar berpenghangat yang nyaman, mas Windi sudah membanting tulang dalam dinginnya malam.
Di basemen rumah yang disekat menjadi empat ruangan kecil tinggal anak-anak Indonesia yang kos di sana. Aku berkenalan dengan kakak beradik Marcel dan Marco perantau asal Jakarta yang bekerja sebagai Waiter atau Pelayan di restoran Pan Asia di downtown Washington DC. Dari mereka aku mendapatkan gambaran bahwa bekerja sebagai Waiter dibutuhkan kepandaian berbahasa Inggris, harus ramah, dan pandai melayani pelanggan. Seorang pelayan juga harus mengerti semua jenis makanan yang dijual di restoran, mengetahui bumbu-bumbu apa saja yang dipakai serta bagaimana cara memasaknya. Marcel menyebut dengan fasih berbagai makanan yang dijual di restoran tempat ia bekerja seperti Pad Thai, Tom Yum, Lime Chicken, Mongolian Beef, Bento Box, dan aku sama sekali awam dengan itu. Marco juga menambahkan bahwa pelayan restoran di Amerika jauh berbeda dengan di Indonesia. Terutama masalah penghasilan, pelayan restoran punya penghasilan tinggi dari tips yang diberikan pelanggan atas jasa pelayanannya. Di siang hari saat pengunjung menyerbu restoran untuk makan siang, Marco bisa mendapatkan tip 100 dollar diluar gajinya. Pada malam hari jumlah yang sama bisa didapatkan Marco dari para pelanggan yang menghabiskan malam dengan rekan kerja, pacar, atau partner bisnis. Sungguh cerita Marcel dan Marco menjadikan aku seperti orang bodoh karena tak tahu apa-apa. Tapi setidaknya aku jadi mengerti hal-hal baru, menambah pengetahuanku untuk bekal hidup di Amerika.
Di akhir pekan mbak Ratna, Aas dan Jaenah yang bekerja Live In sebagai Nanny pulang ke kos-kosan. Selama lima hari seminggu mereka bekerja dan menginap di rumah majikannya keluarga Arab yang kaya raya. Selain pekerjaan utama merawat bayi, mereka juga memasak, mencuci baju, dan membersihkan rumah. Kedatangan mereka di kos-kosan menjadikan suasana akhir pekan tambah ramai. Celoteh mereka tentang berbagai hal lucu yang dialami, atau cerita sedih teman-teman sesama perantau, apalagi ketika tahu mereka sibuk memasak nasi Kebuli kambing untuk makan siang. Dan itu terus berlanjut hingga sore hari ketika kami kedatangan tamu sesama nanny.
Mbak Siti Zubaidah istri mas Windi yang dulu seorang nanny ternyata adalah figur tuan rumah yang pandai melayani tamunya. Ia ramah, hangat, dan pandai bercerita. Mereka berkumpul di ruang tengah, bercengkerama sambil mendengarkan lagu dari Amr Diab, Habibi ya Nour El Ain. Beberapa nanny tak kuat mendengar petikan gitar Andalusia dan hentakan Tabla bercampur Cempring lantas mereka mengajakku menari ala tari perut padang pasir dalam iringan gemulai Akordion dan syair berbahasa Arab. 
Ya, lewat perkenalan dengan merekalah aku bisa mengetahui lebih dekat dunia para perantau di Amerika Serikat. Mereka yang telah bertahun-tahun hidup jauh dari keluarga, mereka yang kesepian, mereka yang tabah dengan berbagai cobaan, menandakan mereka adalah pribadi yang tak mudah menyerah oleh kerasnya kehidupan. Hal itu menjadi sebuah inspirasi bagiku untuk bisa bertahan hidup, tetap semangat, dan tak gampang menyerah di Amerika.   
Malam telah larut, dinginnya basemen terasa menyengat kulitku, aku menggigil. Tak lupa kusempatkan telpon paman memakai "calling card" bahwa aku telah berada di Amerika dengan selamat. Dari nada suaranya paman terdengar gembira walau aku tahu masih ada kekecewaan di hatinya.

Friday, June 21, 2013

WELCOME TO AMERICA

Roda pesawat menyentuh ujung landasan, kegembiraan menyeruak diantara keletihan yang memuncak. Bandara JFK New York telah menyambut kedatanganku. Ingin segera kukabarkan pada ibu, pada paman, bahwa aku telah menjejakkan kaki di tanah Amerika.

  Aku berjalan keluar pesawat, kuikuti penumpang sambil berjalan pelan lewat lorong-lorong panjang. Kulihat wajah-wajah gembira diantara beberapa bule yang habis pesiar. Hatiku deg - degan, Hendro melihat kecemasanku dan ia berusaha menenangkanku.
Bandara JKF adalah salah satu bandara tersibuk di dunia, berbagai maskapai dari segala penjuru dunia datang dan pergi tak pernah henti. Tak lama kami sampai pada antrian panjang mengular di loket-loket imigrasi. Ya demikianlah suasana ketika para penumpang keluar dari pesawat. Kami menggerombol dalam satu barisan dan aku mencoba bersikap rileks diantara teman-teman pelaut, aku persis di belakang Hendro. Aku was-was andai visa pelautku ketahuan.
Petugas Imigrasi di depanku adalah seorang lelaki kulit hitam usia 50an, dan kulihat Hendro sudah lolos pemeriksaan. Aku maju ke depan sambil menekan rasa ketakutan jangan-jangan visa pelautku ketahuan. Dengan mencoba berlagak ramah aku menyapa petugas imigrasi dengan sopan, sekaligus menunjukkan sikap sigap seorang pelaut.
Petugas itu membolak balik pasporku dan mencocokkan datanya. Aku menunggu dengan was-was. Ia menanyakan," Kamu penggemar New York Yankee?", lantas aku jawab suka walau aku tak tahu apa yang dia maksud.
Ketika si petugas itu menunjuk ke arah topi yang kupakai berlogo NY, aku baru paham bahwa mungkin itu yang dimaksud. Sambil manggut-manggut aku mengulangi dengan antusias," I like New York Yankee .... I like New York Yankee."
Dan dari balik loket kudengar ia mengatakan, "Welcome to America .....Sailor"
Hatiku plong. Bergegas aku melangkahkan kaki menuju pintu keluar Terminal Kedatangan sambil menarik tas bawaan. Langkahku terasa ringan seolah semua beban dan kekhawatiran yang selama ini menggelayutiku hilang. Tak menyangka setelah mengalami jalan terjal berliku dan berat, semuanya kini terasa mudah dan ringan.
Tiba-tiba udara dingin menerpa wajahku, kuhirup udara sisa-sisa musim dingin yang membuat hidungku tersengat. Aku menggigil kedinginan. Ya aku baru pernah merasakan dingin yang barangkali enol derajat. Alih-alih menuju ke kantor kapal pesiar kita berbelok arah ke terminal bis di China Town, New York. Kami akan meneruskan perjalanan ke Washington D.C yang memakan waktu empat jam.

Monday, June 17, 2013

JUMP SHIP


Istilah Loncat Kapal sering dipakai anak-anak yang kabur dari kapal. Menurut cerita Hendro bekerja di kapal pesiar sangat berat. Tidak seperti gambaran orang awam yang mengira bekerja di kapal pesiar adalah suatu hal yang mewah, dengan baju seragam yang gagah dan suasana kapal pesiar yang luks, ditambah iming-iming gaji yang tinggi dan kesempatan bisa berkeliling dunia ke tempat-tempat indah di segala penjuru dunia. Iming-iming itu melekat di benak anak-anak muda seusiaku.

Hendro pernah ikut kapal pesiar tujuan Eropa. Di kapal Ia mendapatkan supervisor galak yang menginspeksi kamar secara detil, ke bagian-bagian yang tak terlihat mata, bahkan sampai ke balik toilet duduk. Dan ketika ia menemui debu disana maka segera ia berteriak memanggil Hendro dan "ngomel-ngomel" dengan sumpah serapah.
" Kerja di kapal pakai disiplin militer, man. Kalau kita nglawan atasan bisa-bisa kita malah makin sengsara. Pernah teman kerja dari Filipina protes gara-gara dia dikasih kerjaan nglewatin jam kerja, eeh keesokan hari dan selanjutnya dia malah ditekan ... sengaja dikerjain ... Akhirnya dia gak betah dan minta pulang. Ini kapal liat benderanya dulu man. Emang kepunyaan orang Amrik tapi benderanya bisa di Karibia, atau mana saja. Jadi aturan kerjanyapun tak seperti pekerja Amerika. Kita-kita gak bisa nuntut terlalu banyak. Makanya anak-anak kapal pasti ngiri kalo denger cerita temen-temennya yang kerja di darat, walau gelap tapi masih bikin duit. Makanya ketika ada kesempatan, lebih baik kabur dari kapal. Di darat biarpun dibayar murah jatuhnya masih lebih gede, man. Udah gitu kerja di darat nggak boring kayak kerja di kapal, ada liburnya. Kita bisa jalan-jalan. Kalo di kapal ada libur juga percuma, liatnya air laut saja hehehe. Kerja di kapal sistemnya kontrak 10 bulan, setelah itu dikasih ijin pulang dua bulan sambil bikin kontrak baru."
Hendro memperpanjang kontraknya yang ke tiga tahun ini, tapi keberangkatan kali ini untuk lompat kapal alias tak memenuhi panggilan kerja. Kerja di kapal sangat berat, sehari bisa kerja 10 sampai 13 jam, selalu ada yang harus dikerjakan, tak pernah berhenti, tidur hanya 5 jam. Dalam seminggu tak ada hari libur. Setelah bekerja selama 10 bulan baru diberi cuti 2 bulan. Hendro yang kebagian pekerjaan bersih-bersih sering mengeluh apalagi ketika harus membersihkan kotoran penumpang yang mutah, ketika kapal sedang oleng dihantam ombak atau penumpang yang mabuk di bar.
Saat pesawat lepas landas dari bandara Frankfurt hatiku berdebar campur gembira. Perjalanan menuju Amerika tinggal hitungan jam lagi. Badanku terasa letih setelah menempuh perjalanan panjang dari Singapore menuju Frankfurt. Anganku melayang kembali kepada kata-kata paman. Apa yang akan kucari di Amerika, aku sendiri tak pasti menjawabnya, tapi ada satu keyakinan diantara semua perantau yang akan pergi meninggalkan Indonesia bahwa mereka ingin memperbaiki kondisi ekonominya, mencari penghasilan yang lebih baik di negeri orang. Ya, motif ekonomi adalah iming-iming yang mampu menggoda hasrat mereka untuk menempuh resiko apapun. Apalagi semenjak Pak Harto Lengser, makin banyak orang tergiur untuk merantau ke sana, bekerja apa saja, dengan imbalan dollar. Ya .. ekonomi Indonesia terpuruk, banyak perusahaan bangkrut, lapangan kerja menyusut, dan nilai rupiah menjadi susut. Dollar Amerika yang tadinya dikisaran 2000 rupiah melonjak hingga 14.000 rupiah, dan bekerja di Amerika adalah suatu impian surga.

Friday, May 24, 2013

BARU PERTAMA KALI AKU NAIK PESAWAT

Kakiku masuk ke dalam pesawat yang akan membawaku ke Singapore. Aku mengikuti Hendro yang berjalan santai di depanku. Dia sudah terbiasa bepergian jauh dengan pesawat, kali ini adalah yang ketiga kalinya ia ke Amerika. Tak ada rasa takut dan canggung dalam menghadapi para petugas bandara dan kru pesawat. Bagiku melihat pesawat dari jauh adalah hal yang biasa, aku dulu kos di dekat jalur naik turunnya pesawat di Bandara Adi Sucipto Jogja. Tapi urusan naik pesawat aku belum pernah sama sekali. Saat itu aku hanya bisa membayangkan betapa asyik terbang bersama burung besi meliuk-liuk menembus awan, menerjang badai, dan melaju tenang di ketinggian.

Hari ini adalah pertama kali aku terbang dan tak tanggung-tanggung jarak yang akan kutempuh 15.000-an km. Aku duduk di kelas ekonomi dekat sayap sisi jendela. Hendro mengajari aku cara memakai sabuk pengaman, juga cara merebahkan kursi. Hatiku berdebar ketika ada pemberitahuan pesawat segera lepas landas. Sabuk pengaman sudah kukenakan dari tadi dan kini kuperiksa kembali sembari mengencangkan perutku. Perasaan takut menyergap diriku. Ketika bunyi bising mesin jet mulai mendengung keras, roda-roda pesawat mulai terasa kencang melaju di atas landasan pacu, ketakutanku makin menjadi-jadi. Benar tingkat keamanan menggunakan pesawat jauh lebih aman daripada mengendarai mobil, tapi kalau sekali celaka dampaknya bisa dipastikan fatal. Dan ketika pesawat mulai terangkat oleh angin perutku terasa berdesir, jantungku seakan meloncat. Moncong yang mendongak ke atas bergoncang ketika menembus awan tebal yang menggantung di atas langit.  
Tak lama posisi pesawat datar dan aku merasa lega, barangkali ini sudah di ketinggian. Suara dari kabin pilotpun sudah memperbolehkan kita melepas sabuk pengaman. Kulihat di kejauhan kerlap kerlip cahaya kapal di laut Jawa. Hatiku mulai agak tenang, Hendro yang duduk di sebelahku mulai sibuk dengan menyetel film-film yang ada di layar kecil di balik punggung tempat duduk. Para pramugari sudah mulai mondar mandir sepanjang lorong pesawat. Mereka menawarkan handuk panas untuk membasuh wajah dan tangan. Aku coba pencet-pencet remote ingin nonton film, Hendro akhirnya memberitahuku cara mengoperasikannya.
Jamuan makan malam tak lama diantar oleh pramugari yang gesit lagi ayu. Dari gerobak dorongnya mereka menawarkan kepadaku pilihan ayam atau daging sapi. Mereka juga menawarkan minuman. Hendro memesan red wine, minuman anggur beralkohol sedangkan aku pilih jus jeruk. Tak terasa perutku keroncongan, aku belum makan sejak siang. Kumakan daging ayam dan nasi gurih dengan lahap sambil sesekali menyeruput jus jeruk. Hendro minta tambah red wine lagi, aku ikut-ikutan, rasanya pahit.
" Perjalanan masih panjang, satu jam lagi sampai Singapore. Transit 4 jam kemudian dilanjut 10an jam ke Frankfurt. Entar nunggu lagi 4 jam di sana, baru ke Amerika. Total kira-kira 21 jam lagi .." 
Hendro punya pengalaman kerja di kapal pesiar Eropa, ia pernah ke Venesia, Yunani, Prancis, Belanda, dan Inggris. Pergi bersama dia aku tak merasa khawatir. Inggrisnya lancar, lagak bicara dan tingkah lakunya sopan. Diapun pandai memuji dan suka bercanda, pramugari tak keberatan menuangkan gelas ketiga red wine-nya.
Tak terasa perjalanan ke Singapore hampir sampai, pilot menyuruh penumpang untuk memakai sabuk pengaman. Kurasakan badan pesawat mulai turun perlahan-lahan, juga mulai mengurangi kecepatannya, sesekali kurasakan pesawat itu mengerem di udara, terasa seperti kehilangan daya dorong dan terhenyak kena gravitasi. Badan pesawat sesekali miring kekiri kanan untuk mensejajarkan sudut pendaratan dengan landasan. Dan tak lama roda-roda mulai keluar menimbulkan bunyi gemeretak seakan pesawat akan pecah. Tak terasa roda-roda sudah menyentuh landasan di bandara Changi, pilotnya sangat pandai dan halus dalam mengoperasikan burung besi itu.
***
Singapore, inilah pertama kali aku menginjakkan kaki di luar negeri. Ya, walau hanya sekedar transit di bandara Changi, tapi tetap saja ini berada di Singapore, aku menghirup udara dan menjejakkan kakiku di sana, meminum air kran dan meninggalkan air kencing di toilet.
Teman-teman pelaut semua berjumlah 12 orang. Kami berjalan beriringan menuju Gate tempat pemberangkatan pesawat yang menuju Frankfurt. Masih ada waktu empat jam menunggu. Diantara kami ada team leader yang membawa dokumen perjalanan. Tadi dalam penerbangan Jakarta - Singapore Hendro sudah wanti-wanti kepadaku untuk tidak bercerita apapun tentang rencana "Jump Ship" alias kabur dari kapal. Aku mendengar ada rombongan yang akan menuju Miami dan New York.
Aku melihat-lihat sekeliling bandara Changi yang megah. Banyak toko-toko yang menjual barang oleh-oleh, ada permen coklat, rokok, minuman beralkohol, barang elektronik juga barangi-barang bermerk seperti tas, sepatu, dan jam tangan. Aku tak tertarik sama sekali dengan apa-apa yang ditawarkan mereka. Uang di saku celanaku hanya 500 dolar, dan aku bukan mau pesiar, tapi mau merantau. Perjalanan ke Amerika masih jauh. Hendro bilang bahwa nanti aku akan ditampung di rumah mas Windi di Maryland, dan itu sudah termasuk dalam perjanjian awal ketika aku sepakat untuk menggantikan Tirta Projo yang batal mengurus visa.
Hendro juga memberikan jaminan bahwa nanti saudaranya akan mencarikan aku pekerjaan ketika sudah sampai di Amerika. Yaa, kini aku masih berada di Singapore, dan uangku hanya 500 dollar. Aku harus berhemat dan uangku akan kugunakan untuk kebutuhan yang penting saja.

 
Site Meter