Monday, January 17, 2011

CerpenRantau: Cacat Cacat Cinta

Malam telah larut suasana sunyi, hanya bunyi jengkerik dan sesekali lolongan anjing memecah keheningan. Rumah joglo dengan aksen ukiran jawa itu tampak asri menyatu dengan aneka bunga di taman yang tertata indah. Rias Pengantin dan Salon Kecantikan “ Jeng Yuli”, demikian papan nama terpampang di depan rumah. Konon nama dagang itu sedang naik daun karena ketelatenan dan kepiawian pemiliknya.

Keheningan menyimpan suasana mencekam malam itu. Sayup-sayup dari dalam rumah terdengar isak tangis Yuli. Ia sedang meratapi tubuh kekasihnya yang tengah meregang nyawa. Sudah pukul 3 pagi, tiba-tiba petugas ronda dikejutkan oleh raungan kesetanan dari rumah itu. Mereka bergegas mencari tahu.

“Jangan tinggalkan aku sayang... Cintaku hanya untukmu,” tangis Yuli.

Romi barangkali tak mendengar, Ia menggelepar di atas tempat tidur luks di kamar utama. Kamar itu khusus dirias Yuli layaknya kamar pengantin. Bau wangi kembang setaman, asap dupa ratus, minyak cendana, dan alunan lirih gending “Kebo Giro” jadi ritual terakhir yang mengantarkan mereka ke pelaminan abadi. Darah mengucur dari leher Romi laksana semburan minyak keluar dari perut bumi. Matanya membelalak tak bisa bernafas.

“ Kenapa kamu tega melakukan itu semua, Romi? Hidupku tak lagi berarti tanpa kehadiranmu,” tangis Yuli.

Jujur, andai setiap pasangan kekasih -- paling tidak sekali tempo pernah terlintas dalam pikiran -- menginginkan kekasihnya cepat mati, tidak demikian dengan Yuli. Ia seorang yang penuh kasih dan telaten. Rasa memilikinya sangat kuat. Boneka lusuh sejak masa kanak-kanak, bulu – bulu ayam dalam lembaran buku, surat – surat kumal, juga puisi dan catatan harian dimasa kecil, semua masih dirawat dan tersimpan rapi di lemari. Yang agak menjijikkan dan bikin heran adalah koleksi bekas aneka luka (mungkin kejadiannya sudah bertahun-tahun lampau) yang disimpan dalam sebuah kotak terkunci. Ada darah yang sudah mengering pada perban, tensoplas, sarung bantal, dan bercak – bercak darah di saputangan. Barangkali semua luka-luka itu menyimpan cerita tersendiri.

Yuli jauh dari tipe seorang narsis yang sibuk mencintai diri sendiri atau selalu membela diri, atau pribadi dengan 1001 alasan. Ia pribadi yang selalu menebar kasih sayang di sekelilingnya, membawa aroma keibuan, dan tahu apa yang diinginkan orang lain.

Petugas ronda memanggil dengan suara keras di depan pintu. Mieke, sahabat Yuli sejak masa kanak-kanak sekaligus asisten dalam merias pengantin terbangun geragapan. Instingnya segera menuntun ke kamar utama. Hati Mieke tercekat ketika dilihatnya kedua kekasih itu bersimbah darah.

Romi dan Yuli adalah pasangan serasi. Kekasih sekaligus partner bisnis dalam menjalankan usaha salon kecantikan, rias pengantin, persewaan baju, dan dekorasi pengantin. Mieke tak percaya mereka melakukan tindakan nekat seolah terinspirasi tragedi Romeo and Juliet. Apakah cinta mereka seheboh dengan kematian itu sendiri? Apakah cinta sejati harus berakhir dengan kematian? Dan hanya disebut cinta jika itu berakhir dengan kematian?

Kenapa mereka bunuh diri?

Petugas ronda akhirnya masuk rumah, “ Ada kejadian apa mBak Mieke?”

Mieke tak kuasa menjawab, tangannya menunjuk ke arah tempat tidur berselambu ungu dimana kedua kekasih itu meregang nyawa..

“ Masya Allah ...nDan. Ada pembunuhan. Tapi ...sepertinya mereka masih hidup, nDan,” seru petugas ronda pada atasannya.

****

Dua tahun lalu, Mieke mengenalkan Romi pada Yuli. Romi salesman seragam sekolah, ketika itu mau potong rambut.

Disela-sela perbincangan yang hangat, Mieke memberitahu Yuli kalau Romi bisa mencarikan perlengkapan pernikahan yang berkwalitas dengan harga murah. Romi tahu dimana mencari beskap, jarik, dodhot, selop, keris, dan aneka keperluan pengantin lainnya. Ramah, tampan dan suka menolong itulah yang membuat Yuli jatuh hati.

Dan cinta Yuli tidak bertepuk sebelah tangan, Romi menerimanya dengan sukacita. Persemaian cinta mereka tumbuh dengan pesat seiring usaha yang mereka jalankan bersama. Jadilah mereka berpacaran sekaligus berpartner bisnis. Yuli yang telaten sekaligus ahli potong rambut dan rias pengantin, didukung Romi yang ramah, supel dan ulet. Keduanya mampu mendatangkan pelanggan baru dan berhasil mengembangkan usaha hingga dikenal luas.

Tubuh Yuli lemas, darah mengucur dari nadi tangannya. Ia merebahkan kepala di dada Romi sambil tangannya menutup luka di leher kekasihnya dengan kain kafan. Barangkali itu akan menjadi koleksi aneka luka terakhir kalinya.

Yuli meracau tak karuan, “Aku ... tak pernah memanggilmu cahaya bintangku, .... matahariku, atau ... pelangiku. Itu hanya .... tipuan mata, .... keindahan penglihatan saja“

“ Lagipula..... itu hanya cocok untuk wanita yang mendayu-dayu, .... sok romantis bagiku. .... Oalaaah ... Romiiiiiiiii...., Kowe luwih gagah seka Janoko!!!”

Tubuh Yuli menggigil kedinginan. Denyut nadinya melemah. Mieke segera mengambil jarik dari lemari dan menyelimutkannya.

“Kenapa kau lakukan ini, Yul.” tangis Mieke.

Mieke merasa bersalah. Kalau ia tidak menceritakan kepada Yuli bahwa Romi memadu kasih dengan mbak Endang perias manten saingan bisnisnya, maka tragedi ini tak bakalan terjadi. Sungguh niatnya baik, ingin mengakurkan mereka kembali. Tapi Mieke tak menyangka Yuli yang telaten, perhatian, keibuan, dan rasa memilikinya sangat kuat itu malah bunuh diri. Semua yang ada dihadapan Mieke kini masih teka-teki.

Kenapa Yuli berpikiran sempit? Bukankah cinta hanya sekedar penyakit? Ibarat influenza yang bisa menyerang siapa saja, kapan saja, membuat lemah tak berdaya. Dengan berlalunya waktu tubuh akan menyembuhkannya sendiri. Persangkaan kesepian dan matinya impian membuat hati dan jiwa Yuli menolak cinta – cinta lain yang akan datang dikemudian hari. Bahkan ia menolak kehidupan itu sendiri. Seolah hidup sudah tak berarti lagi. Bukankah kalau mau, Yuli bisa mendapatkan laki-laki lain dengan mudah? Anak-anak muda pelanggan salon banyak yang tergiur dengan kemolekan, kekayaan, dan ketelatenannya, tapi Yuli malah menyodorkan anak-anak muda itu kepada dirinya.

Dan Miekelah yang riang gembira -- walau kewalahan melayani mereka.

Selintas timbul pikiran di benak Mieke, mungkinkah Yuli membunuh Romi? Suatu hari, waktu berangkat remaja, Yuli pernah berkeluh kesah bahwa dunia percintaannya tak seberuntung mbak Yuni kakaknya. Ia selalu dipermainkan lelaki. Mereka tak pernah serius mencintainya. Dugaan itu menguat ketika Romi -- akhirnya mengakui kepada Mieke, bahwa sebenarnya Ia tak mencintai Yuli. Romi juga mengakui sebagian uang Yuli digunakan untuk usaha barunya bersama mBak Endang.

Dasar laki-laki buaya, penipu!!

“Apakah ini takdir Tuhan? Cinta tak pernah datang padaku,” tangis Yuli.

“ Ah ndak usah mikir kedawan ta Yul, nikmati saja apa yang sudah diberikan Tuhan kepada kita,” saran Mieke.

Alkisah sepanjang hidupnya tak seorang lelakipun mencintai Yuli secara tulus hingga datanglah Romi seolah mengubah nasib percintaannya. Dunia menjadi penuh warna, mejikuhibiniu hingga jutaan warna, tidak hitam putih lagi. Dalam puisinya Yuli menuliskan dengan hati-hati perasaannya agar tak terkesan cengeng dan mendayu-dayu:

Kau mengisi jiwaku bagai malam,
yang selalu menyelimutiku
Malam yang dinginnya bisa kurasakan,
sampai ke tulang belulangku

Andai pagi berselimut hujan,
engkau tetap mengisi batinku
Bagai rintiknya,
dalam setiap gerak langkahku

Andai mentari kan tenggelam,
aku tak khawatir kehilangan terikmu, karena
Aku masih bisa merasakan,
kehangatan yang terpantul dari tanah yang kupijak



Serombongan polisi datang menggunakan mobil kijang. Mereka langsung menyebar di seputar TKP. Ada yang membawa kantong mayat, kamera digital, peralatan Olah TKP, dan pistol yang siap menyalak. Polisi menemukan sepucuk surat di samping tubuh mereka yang sudah tak bernyawa.

Surat kepada ibunya berbunyi:
Maafkan aku ibu karena telah membuang harapan disaat hidup kita mulai berkecukupan.
Ingatkah ibu ketika ayah si Agus mendamprat kita gara-gara disangkanya aku mengajak Agus pacaran? Masih ingatkan ibu ketika Pak Japar menghardik kita dengan sebutan: Dasar gembel! Dasar miskin! Semenjak itu aku bersumpah bahwa suatu saat kita akan lebih kaya dari mereka.

Sepeninggalanku, usaha Salon Kecantikan & Rias Pengantin kupasrahkan pada ibu. Biarlah Mieke meneruskan urusan sehari-hari. Dia tahu apa yang mesti dilakukan. Aku berharap rias pengantin dan salon kecantikan ini bisa lebih maju dan terkenal.

Jangan tanyakan kenapa aku bunuh diri bu. Ini sudah pilihanku. Kalau tahu hidup ini sebuah permainan yang tak mungkin bisa kumenangkan, ingin rasanya aku tak usah dilahirkan saja. Aku tak takut mati, melainkan lebih takut dikecewakan cinta. Kepedihan yang kurasakan tak bisa kutanggung lagi. Kenapa Tuhan tak pernah menghadirkan seseorang laki-laki yang mencintaiku di dunia ini? Mencintaiku dengan tulus. Mencintaiku apa adanya. Kini, biarlah aku mengikuti Mas Romi ke alam baka. Barangkali kita bisa bertemu lagi sebagai sepasang kekasih yang abadi dan seutuhnya.”


*****

Polisi menemukan keris karatan berluk 9 berlumur darah tergeletak di permadani dan mengamankan sebagai barang bukti. Kemudian mereka menanyai saksi-saksi yang ada di TKP.

“Nama?” tanya petugas kepolisian.

“ Mieke pak polisi .... eh Moko”

“ Yang tegas; ini saya catat,” kata pak Polisi.

“ Halaaah gitu aja kok senewen too, nama saya Moko alias Harmoko pak polisi,”

“ Apa hubungan Anda dengan mereka?”

“ Saya asistennya Jeng Yuli. Saya bersahabat sejak masih kanak-kanak.”

Tak lama petugas kepolisian bisa menyelesaikan kasusnya. Semua barang bukti dan saksi begitu gamblang, sepertinya amat mudah untuk menyimpulkan.

“Pelakunya diduga Wandu Ndan,” lapor petugas forensik dengan dialek Jawa kental kepada komandannya.

“ Apa?” tanya sang komandan tak mengerti.

Petugas lain menjelaskan,”Pelakunya Banci, Ndan,”

Petugas forensik disebelahnya menambahkan, “ Nama pelakunya Jeng Yuli alias Yulianto, Ndan! Dia lantas bunuh diri ...”

“Ooh ... Waria..... Wanita-Pria,” si komandan mengerti. Ia ngeloyor pergi sambil bergumam, “Waria dilawan ....”

Washington DC, 2010

Janu Jolang

Thursday, January 6, 2011

BAHKAN BAYIPUN TAK KEBAL HUKUM

Kejadian menarik ini kudapatkan dari tabloid Express pagi ini 6 Januari 2011, ketika aku menempuh perjalanan kereta bawah tanah menuju Washington DC.

Dalam rubrik Eye Openers kutemukan cerita ini:
Calon bayi yang ada dalam perut istri John Coughlin tak bisa menunggu lagi pingin cepat lahir. Buru-buru sang ayah mengeluarkan mobil dan membawa ibu dan calon anak lelakinya ke rumah sakit. Dengan kecepatan tinggi -- di perjalanan -- Mr. John dikejar polisi.

Alih-alih meminggirkan mobilnya, Mr. John malah tancap gas pol sambil menelpon 911. Kejar – kejaranpun berlangsung seru.

Setelah operator 911 memberitahu polisi pengejarnya bahwa Mr. John dalam keadaan emergensi, akhirnya mereka berbalik menjadi pengawal dan mengamankan jalan menuju rumah sakit.

Bayi Kyle lahir dengan selamat enam menit setelah tiba di rumah sakit di kota Manchester, N.H.

Setelah urusannya beres, polisi yang tadi mengejar Mr. John memberikan selamat atas kelahiran putranya sambil tak lupa memberikan tiket “speeding” karena Mr. John telah menginjak gas dengan kecepatan mencapai 102 mph. Pengadilan dijadwalkan untuk hari Senin.


Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap Di Amerika

 
Site Meter