Wednesday, January 16, 2008

TAKUT KOMITMEN

Riska mencuil pitta bread lalu mengoleskan pada hummus dan kemudian mengunyah dengan lembut. Sam, pasangan bulenya asik memperhatikan sambil mencecap apple martini Keduanya tengah menghabiskan akhir pekan di sebuah restoran Amerika yang menyajikan pertunjukan singing servers di daerah Dupont Circle. Riska dan Sam berbeda warna kulit dan kebangsaan, tapi keduanya terlihat amat serasi malam itu.

Bagi Sam, Riska adalah pengalaman pertamanya menjalin cinta dengan wanita Asia. Tadinya ia mengira Riska adalah orang Thailand, Kamboja, atau Vietnam karena paras Riska seperti yang terekam dalam film perangnya Sylvester Stallone.. Tetapi setelah Riska mengatakan asal Indonesia, Sam harus membuka ulang buku geografi dunianya untuk lebih mengetahui posisi Indonesia, sejarah, kebudayaan, dan manusia yang menghuninya.
Sudah satu tahun hubungan percintaan mereka berjalan. Riska tak memungkiri bahwa Sam seorang lelaki bule ganteng, tinggi, romantis, dan sangat berbeda dengan laki – laki Indonesia yang pernah menjadi pacarnya. Bersama Sam, ia seperti tak ada jarak, sederajat, dan tidak diatur harus ini itu. Semua mengalir begitu saja tanpa kekangan tapi justru tenggang rasalah yang lebih menonjol dalam hubungan mereka.
Bagi Sam, sebetulnya telah lama dalam hatinya memendam hasrat untuk lebih mengenal wanita Asia, menjalin cinta dengan salah satunya. Barangkali karena dia lelaki tulen yang masih muda, baru 28 tahun, dan ketika ia memandang postur wanita Asia yang berbeda dari wanita – wanita lain yang pernah singgah di hatinya -- baik bule Amerika, Eropa Timur, kulit hitam, atau mamasita Dominica. Rasa penasaran itu lain dari yang pernah ia rasakan ketika jaman masih SMA atau awal – awal di college, rasa penasaran yang didorong keinginan untuk pamer pada kawan – kawannya – bahwa ia sudah meniduri wanita sejumlah jari tangannya. Rasa penasaran itu kini tidak butuh sorak sorai teman – temannya. Bukankah mengenal wanita dari segala penjuru dunia adalah satu cara juga untuk mengenal peradaban dan budaya mereka? Ya, alam telah memberikan sari kehidupan yang berbeda untuk tumbuh dan kembang masing – masing wanita itu. Riska tumbuh dari tanah Jawa yang konon terkenal keluwesannya, kelembutannya, dan keeksotisannya. “Hidup hanya sekali, maka nikmatilah sepuas – puasnya”, pikirnya dalam hati.
Dan kenyataannya ia memang jatuh cinta pada Riska. Riska sempurna. Mata Riska yang tak terlalu sipit dan tulang hidung mungil tapi bangir, dengan kulit kuning langsat, dan tubuh mungil berisi, dinilainya perpaduan  antara ras Asia dan Hispanic, barangkali wajahnya lebih mirip wanita Polynesia. Dan benarlah apa yang pernah dikatakan temannya bahwa wanita Asia “kecil – kecil cabe rawit”, little spicy. Bersama Riska, ia merasakan sengatnya, selalu bergairah, membuat lidahnya selalu menari – nari kepedasan, tetapi selalu membangkitkan selera lagi. Lagi dan lagi….
Pelayan restoran membawakan hidangan utama pesanan mereka dan menaruhnya di meja, fillet mignon dan rib eye steak. Kemudian pelayan wanita bernama Megan pamit menuju panggung ditengah antara bar dan restoran untuk menyanyikan lagu New York State of Mind -nya Billy Joel diiringi denting piano lembut dari Steve pianisnya. Malam itu restoran dipenuhi pengunjung, sebagian menunggu di bar, dan yang lainnya antri di pintu masuk.
Riska, ...I have a little surprise for you. Guess what?”, wajah Sam jenaka menyembunyikan sesuatu.
“ Apa?”, tanya Riska. “ Did you buy me something?
 “ No, no, no “, jawab Sam masih dengan muka jenaka.“ Trus apa?”, tanya Riska memaksa.
“ Aku sudah dapat apartemen baru, di daerah downtown sini. One bedroom, kamu pindah ya dari apartemenmu? Kita hidup bersama.”
Riska tak bisa menyembunyikan kegembiraannya,“ Tapi Sam, aku nggak bisa buru – buru. Aku harus bilang room mate- ku dulu, Kathy bisa marah kalau tiba – tiba kutinggal.”
“ Apapun terserah, sementara kau masih di sana, kau bisa tidur di apartemen baruku. Tiap hari malah lebih baik.” “ Dasar anak nakal ”, kerling Riska manja. Ya, untuk urusan yang satu itu, ia merasa melayang – layang dibuatnya.
“ Sam, aku juga punya kejutan buat kamu.” Sejenak Riska diam, dan itu dilihat Sam seolah Riska bercanda. Sam makin penasaran.
“ Aku nggak dapat masa periodeku, Sam. Mungkin aku hamil”
Bagai disambar petir wajah Sam berubah tegang, kata-katanya tiba-tiba seperti orang tersedak makanan. Ia tak bisa menyembunyikan kecemasannya. Wajah jenakanya hilang seketika. “ Apakah kamu yakin?”
“ Ya, aku sudah tes kemarin, aku hamil… surprise!!”
Kini Sam malah diam saja. Ia benar – benar terkejut atas berita itu. Bukankah Riska selalu meminum obatnya? Atau jangan – jangan dia lupa. “ Kamu kelihatan sedih mendengarnya Sam?” “ Oh tidak, tidak. Aku gembira kau hamil Riska “
“ Kau bohong Sam” “ Aku bahagia Riska, betul.”
“ Kamu nggak menghendaki bayi ini Sam?” “ Ooo jangan berpikiran seperti itu Riska. Aku bahagia mendengar kamu hamil, cuma rasanya kok terlalu cepat bagiku. Aku surprise …” Sesungguhnya ia belum siap. Sam takut jadi orang tua. Sam takut tidak bisa menjadi orang tua yang baik bagi anaknya.
“ Sam, lantas bagaimana?” “ Sudah kita nikmati makan malam ini. Lihat sweetie, daging rib eye ini, oogh rasanya juicy banget. Kamu harus mencobanya …” Sam memanggil pelayan, dia memesan Jack and Coke double, sepertinya ia ingin menenggelamkan galau hatinya pada gelas alkohol itu.
***
Malam itu Riska memilih pulang ke apartemen. Biasanya akhir pekan selalu dihabiskan untuk bermesraan hingga pagi, entah di kamar apartemennya atau di tempatnya Sam. Kali ini ia sedang tidak berhasrat, ia ingin sendiri, memikirkan dan merenung kembali apa yang telah terjadi, dan apa yang akan diperbuat nanti. Akankah kehamilanku ini kukabarkan pada papa dan mama di Indonesia?
Ia kemudian membayangkan wajah marah ayahnya. Seorang Raden Wiryoatmodjo yang menjabat Dirjen sebuah departemen prestise di Indonesia itu pasti akan malu mendengar anaknya hamil diluar nikah, “ Muka papa akan ditaruh mana? Di depan Menteri, Dirjen – dirjen lain, dan kolega – kolega papa? Belum pada keluarga besar Wiryoatmodjo. Kamu disekolahkan jauh – jauh biar pintar, ini malah bikin bubrah pasar.... Sopo jenenge bocah londo iku? Dia harus sembodo, harus bertanggung jawab.
Riska makin bertambah bingung membayangkan ayahnya yang marah. Ketika tadi ia katakan kehamilannya kepada Sam, dan Sam hanya tenang – tenang saja, mungkinkah dia mau bertanggung jawab? Kini disadarinya ada jarak yang lebar antara dirinya dan Sam. Jarak lebar dalam mengartikan sebuah makna tanggung jawab. Bagi keluarga besar Wiryoatmodjo tanggung jawab berarti: menikah secepatnya. Menutupi aib keluarga, untuk menyelamatkan kewibawaan dan kehormatan keluarga. Tapi bagi Sam yang orang bule, tanggung jawab tidak selalu berarti pernikahan. Di Barat, pasangan tidak menikah boleh punya anak. Dan sepertinya mereka tak peduli dan asik – asik saja dengan status yang disandangnya. Bahkan masyarakat sekitar juga tak peduli. Dan kalau jalan itu yang dipilih Sam sebagai bentuk tanggung jawab, tentu ayahnya akan mencak – mencak tak karuan sambil berkata,” Londo kucluk. Londo edan.”
“Akankah kehamilanku ini kukabarkan pada papa dan mama di Indonesia? Kenapa harus kukabarkan?” Terbersit rasa malu dalam dirinya. “Aku yang mengaku wanita modern, yang telah bertahun – tahun tinggal di Amerika, yang telah nyaman dengan nilai – nilai kebebasan individu, yang dengan sadar memilih pergaulan bebas, kini merasa tak berdaya dan harus berpaling pada orang tuaku hanya karena kehamilanku.” Nyatanya Riska tidak siap mental jika ia kemudian kehilangan kasih sayang orang tuannya dan dukungan keuangannya.
Pernikahan adalah solusi terbaiknya. Ya, ia harus utarakan ini pada Sam. Ia tak ingin melukai perasaan orang tuanya lebih dalam lagi, ia tak mau durhaka terhadap mereka. Orang tuanya sudah begitu baik, perhatian dan sayang kepadanya. Berita kehamilan dirinya tentu akan membuat pecah kepala orang tuanya. Tapi, kenapa reaksi Sam tidak seperti yang dibayangkannya? “ Ya Riska, kita akan menikah segera”, tentu itu akan mengurangi galau hatinya. Juga mengurangi kemarahan kedua orang tuannya.
Riska masih menimbang – nimbang keinginannya untuk mengajak Sam menikah. Bagi kebanyakan lelaki bule, ditodong seorang wanita untuk menikah ibarat mendapatkan “sebuah bencana”. Sementara bagi wanita, menodong lelaki bule untuk menikahinya adalah tabu. Kini ia jengkel dengan kenyataan seperti itu. Siapa sih yang bikin aturan – aturan yang mengada – ada itu? Barangkali kalau Sam lelaki Indonesia masalahnya menjadi sederhana, ia akan menuntut pertanggung jawaban untuk menikahinya. Tapi sayangnya Sam warga negara Amerika. Cara berpikir, melihat, dan adat budayanya amat berbeda dengan dirinya, dengan keluarga besar Wiryoatmodjo.
Tiba – tiba cellphonenya berdering, dilihatnya id caller dari Sam. “ Hmm ...”
Are you all right, honey?
I’m fine Sam, but.. leave me alone …
Are you sure?”, tanya Sam.
Dimatikan telpon genggamnya. Riska menyadari menikah adalah panggilan hati, tidak bisa dipaksakan. Tapi dalam kondisi kepepet seperti ini apakah mesti harus menunggu panggilan hati? Minimal kita saling mencinta, apakah modal itu kurang cukup?
****
Sam yang kini berada di apartemennya tergolek lesu di atas sofa dengan segelas Jack Daniels dan asap rokok mengepul pada mulutnya. Kabar kehamilan Riska bagai kilat menyambar di siang bolong. Sikap keterkejutannya tadi di restoran membuat ia merasa tak enak kepada Riska. Ya sepertinya ia kehilangan sikap kedewasaannya dan berubah menjadi anak kecil, seperti anak kecil yang baru saja memecahkan guci kesayangan ibunya dan mengelak untuk mempertanggung jawabkannya.
Ada ketakutan yang memenuhi hatinya ketika terngiang kata - kata menikah. “ Buat apa menikah?”, tanya Sam dalam hati. Ketika ia memutuskan untuk menikah, hal itu ibarat ia memasuki sangkar burung untuk tidak bisa bebas lagi. Kebebasannya akan segera terampas dan digantikan rutinitas kewajiban sebagai seorang suami. Tapi kalau tidak menikah tentu itu menyakiti perasaan Riska. Ya, ia ingat ketika pertamakali bermain cinta dengan Riska, ketika ia terlena akan kemolekan tubuhnya, Riska masih sempat membisikkan ke telinganya agar berhati – hati jangan sampai hamil. Dan dilain waktu dalam suasana rileks Riska menceritakan tentang adat istiadat di tanah Jawa bahwa berhubungan sex sebelum menikah adalah dilarang agama, juga melanggar etika susila. Apalagi sampai hamil, itu merupakan aib bukan hanya diri sendiri melainkan seluruh keluarga. Si wanita bisa dicap sebagai orang tak bermoral. Biasanya mereka kemudian dinikahkan secepatnya agar jangan sampai kabar itu tersebar.
Ya, ia merasa kasihan kalau Riska sampai dikucilkan keluarganya, dicap wanita yang tidak bermoral oleh lingkungannya. Ia benar – benar jatuh cinta pada Riska, tapi siapkah ia menikah? Ia sering mendengar keluhan teman – temannya yang sudah menikah, cerita di majalah, atau melihat di tv tentang sebuah pernikahan. Ketika ia harus dipusingkan oleh kewajiban rutin berumah tangga seperti: menyediakan tempat tinggal yang layak, membesarkan anak, menghidupi istrinya kalau istrinya memilih tidak bekerja, menyediakan asuransi bagi keluarga, menyediakan biaya pendidikan bagi anaknya, dan beban – beban lainnya. Sejujurnya secara ekonomi ia belum bisa dibilang mapan. Gajinya sebagai perancang grafis pada sebuah perusahaan iklan cukuplah untuk hidup sendiri, membiayai hobi fotografi untuk proyek foto – foto gedung tuanya, membiayai aktivitas waktu luang, dengan sedikit kelebihan uang untuk ditabung. Tapi kalau ia menikah dengan satu anak, apalagi biaya hidup di Washington, DC yang tinggi, mana cukup gaji segitu buat hidup?
Sam yang asli Texas itu bertambah pusing, dituangnya lagi alkohol ke dalam gelasnya. Ia mencoba telepon Riska tapi tak diangkat. Diraihnya gelas dari meja dan meneguk isinya sekali habis, dirasakan panas alkohol membakar kerongkongannya. Ia termenung lama.
Kini Sam diliputi ketakutan – ketakutan akibat sebuah pernikahan. Kebebasannya akan segera terampas. Digantikan dengan kewajiban – kewajiban terhadap keluarga, yang diikat dan dilindungi negara. Dan ketika ia alpa akan kewajiban itu, tangan – tangan hukum akan menjeratnya. Sam makin pusing memikirkannya. Alkohol membenamkan dirinya dalam kepusingan yang hebat, ia tak sadarkan diri. 
***
Sudah seminggu mereka saling menjauh, tidak telepon maupun bertemu. Hari – hari Riska dilalui dengan gundah gulana. Ia belum memberitahukan kehamilannya pada kedua orang tuanya, ia takut, takut akan kenyataan buruk yang akan menimpanya. Ia juga belum meminta Sam untuk menikahinya, tabu. Malah terlintas niatan untuk menggugurkan kandungannya. Ia bingung, ia sudah bertanya – tanya klinik atau rumah sakit mana untuk menggugurkan kandungannya. 
“ Ya, sebentar lagi aku akan terbebas dari masalah ini. Sebentar lagi kehidupanku akan normal kembali. Menyelesaikan sekolah bisnisku, kembali ke Indonesia, bersikap wajar di depan papa mama, lalu menyibukkan diri dalam pekerjaan. Ya, bekerja di salah satu perusahaan asing mitra kerja papa atau di perusahaan milik kakak.”
Tiba – tiba Riska dikejutkan oleh suara ketokan pintu. Ia berjalan ogah – ogahan menuju pintu, mengintip dari lubang kaca. Dilihatnya muka Sam yang cembung pada lubang kaca itu. Hatinya berdegup keras, serasa darah berhenti mengalir di sekujur tubuhnya ia merasa lemas.
Dari balik pintu yang belum dibuka Sam berkata keras,“ Riska, Would you marry me?
Riska terkaget-kaget di balik pintu. Sejenak ia tak percaya dengan apa yang diucapkan Sam dari balik pintu,“ Oh Sam, are you serious …?”, kata Riska terbata – bata,” apakah aku tidak salah dengar?”
Setelah pintu dibuka Sam mengulangi kata-katanya sambil merebahkan lututnya ke lantai,“ Would you marry me?
Riska terharu,“ Tapi kenapa Sam?”
“ Ya, aku cinta berat sama kamu Riska. Jangan kuatir tentang kehamilanmu. Aku akan bertanggung jawab. Seminggu berpisah rasaku nggak karuan, kacau. Ayo kita segera menikah ..”
“ Ya, tapi sabar dulu Sam, ada aturannya, –  pertama kamu harus melamar dulu ke orang tuaku.”
“ Rumit banget!! .. Oke demi kamu dan jabang bayi yang ada di perutmu, aku akan melamar ke orang tuamu. Kita pergi ke Indonesia sekarang?”
“ Oh.. Sam, you are so ... kemplu amat sih, just call my father ...say you want to marry me. The rest ...  I ' ll take care of it.
“ Baik … baik sebelum telepon papamu aku ingin goyang-goyang denganmu …”
“ Oh Sam you … bad boy”

 
Site Meter