Wednesday, September 13, 2006

KAWAN DATANG DARI PHILADELPHIA

Hari ini kami kedatangan dua orang teman Asnawi dari Philadelphia, mereka bekerja di pabrik yang banyak terdapat di negara bagian Pennsylvania. Suka duka kerja di pabrik sungguh berbeda dengan kerja di restoran. Kebanyakan anak-anak Indo melamar lewat agen, atau direkomendasi temannya yang sudah bekerja di pabrik. Tomi menceritakan kepadaku bahwa agen Kenny sangat terkenal di kalangan orang-orang Indonesia yang mau bekerja di pabrik. Kenny menyediakan rumah gratis dan jemputan mobil bagi orang-orang yang bekerja lewat dia. Kenny punya koneksi ke pabrik-pabrik selama puluhan tahun, ia selalu mensuplai kebutuhan pekerja-pekerja lepas jika pabrik membutuhkan. Sering pabrik meningkatkan kapasitas produksinya ketika permintaan pasar meningkat, maka dengan mempekerjakan karyawan lepas tentu akan menghemat ongkos operasinya.

Dari bisnisnya Kenny bisa membeli beberapa rumah, mobil-mobil untuk antar jemput, dan bisa mempekerjakan saudara-saudaranya. Si juru bayar yang dipercayakan kepada adiknya membayar karyawan dengan cara yang sangat sederhana. Jika kita bekerja satu shift yang lamanya delapan jam maka Kenny akan membayar $50. Kalau dihitung, jatuhnya $5 sejam; jumlah yang cukup kecil kalau dibandingkan bekerja di restoran.
Tapi bagi anak-anak pabrik cara menghitungku dianggap salah. Bagi anak-anak yang masih muda dan kuat tenaganya, mereka bisa minta jadwal dua shift kerja alias 16 jam berturut-turut kepada Kenny. Biasanya mereka menyelesaikan shift pertama di pabrik A dan kemudian langsung diantar menuju pabrik B untuk meneruskan shift keduanya. Dengan mendapat $100 setelah bekerja 16 jam, mereka bisa beristirahat 8 jam. Keesokan harinya dilanjut bekerja dua shift lagi, baru setelah itu libur sehari. Dengan bekerja seperti itu, dua hari bekerja - sehari libur maka dalam seminggu mereka bisa mengantongi uang $500, dan sebulan bisa mengantungi $2000.
Kalau cara menghitungnya demikian maka aku yang bekerja di restoran tentu kalah penghasilannya, tapi kata Arif yang pernah bekerja di pabrik, cara gila-gilaan seperti itu bikin badan cepat rusak. Tubuh diforsir melebihi kemampuannya. Belum kalau mendapat pekerjaan yang tugasnya ngangkat-angkat palet atau mengangkat box masuk kontainer, atau dapat pekerjaan menata barang di gudang penyimpanan. Sungguh pekerjaan itu sangat menguras tenaga. Dan satu hal lagi, bekerja di pabrik tak bisa diandalkan keberlangsungannya. Kalau sedang ramai kita bisa dapat double shift tapi giliran sepi bisa-bisa hanya kebagian kerja dua shift seminggu.

Wednesday, August 2, 2006

APARTEMEN KAMPOENG MELAJOE: GOSIP DAN GOSIP

Andai tembok apartemen Kampoeng Melajoe bisa berbicara maka ia akan menceritakan banyak rahasia tentang anak-anak perantau. Bahkan ketika rahasia itu sedikit terkuak keluar dari masing-masing pintu kamarnya dan itu sudah cukup membuat gempar para penghuninya. Gosip beredar sangat cair di sini, atau kadang seperti oksigen yang senyap dan tiba-tiba bisa berubah jadi eksplosif.

Arman yang digelandang polisi dari kamar 117 karena berusaha merayu dan memperkosa Andri, atau Mbak Nuning yang bersuami guru agama SMP di Pekalongan tega menikah lagi di Amerika dengan Martin lelaki kulit hitam, juga Pak Nur staf lokal Kedutaan Indonesia yang menampung mahasiswa pelarian visa J-1, dan Rumiyati yang "diceritakan" membeli obat Cina untuk menggugurkan kandungannya, adalah sebagian gosip yang beredar dari kamar ke kamar, dan ini adalah bumbu penyedap bagi para penghuni apartemen Kampoeng Melajoe.
Mengenai tingkat kebenaran cerita-cerita tersebut semua sepakat tak ada yang mempermasalahkan alias "protes". Yang namanya gosip, semuanya bisa berubah liar atau meredup sama sekali. Atau barangkali kita harus kembali pada istilah lama, Gosip: diGosok ... makin Siiiip ...

Saturday, July 22, 2006

BELANJA KEBUTUHAN BAHAN MAKANAN

Teman-teman sekamar yang kesemua lelaki tidak semuanya bisa memasak. Di Indonesia, aku tak pernah masak kecuali indomie dan telor ceplok. Di sini sedikit demi sedikit aku mulai belajar memasak. Aku mulai rajin mengumpulkan resep, dengan bertanya pada ibu-ibu perantau asal Indonesia yang tinggal di Kampoeng Melajoe. Masakan yang bisa awet disimpan dalam kulkas seperti rendang sapi, telor balado, sambel teri, kering tempe adalah resep favorit dan ketika ada waktu luang kita memasak dalam porsi besar untuk persediaan.

Kami berenam semua kerja di restoran jadi kami tak masak tiap hari. Makan siang dan malam sudah dapat jatah di restoran tempat kami bekerja. Untuk persediaan dapur, kebutuhan utama yang harus tersedia adalah beras, indomie, telur, dan bumbu-bumbu seperti garam, mrica, ketumbar, sere, ketumbar, bawang putih.
Hari ini aku bersama Oki dan Arif pergi belanja ke Asian market di Wheaton. Kami membeli kebutuhan pokok saja seperti beras Jasmine, beras ini putih, tak pecah dan pulen kalau dimasak, rasanya manis. Untuk berat 25 pound atau 11 an kg harganya $24. Ya walau harganya mahal tapi makan jadi puas, dengan lauk apapun makan jadi lezat.
Kemudian kita beli minyak goreng 1 galon atau 3.7 liter seharga $6.50. Satu hal yang wajib beli adalah Indomie. Ya, kembali ke selera asal -- mie goreng dan rebus isi 30 bungkus harganya $11.
Untuk asupan protein, kami membeli daging yang sudah diolah seperti sosis ayam atau sapi harganya 4.85 dollar satu pak, kornet 4.99 dollar sekaleng, sarden kaleng kecil aneka rasa 1.59 dollar. Untuk telur ayam ukuran besar atau grade A harganya 2.99 dollar untuk 1.5 dozen atau 18 butir. Untuk bumbu-bumbu kita sudah punya stok: seperti bawang $1 dapat dua buah ukuran besar, Sereh per 453.5 gram harga $1, Lengkuas per 453.5 gram harga $1.5, sedangkan cabe rawit harga $ 0.60 per 453.5 gram.
Kalau kupikir-pikir biaya hidup di Amerika, khususnya kebutuhan makan tidaklah terlalu mahal. Dulu ketika aku masih di Indonesia sering membayangkan bahwa harga-harga di Amerika semuanya mahal, memang iya mahal -- tapi terjangkau. Ya dengan gaji $1800 yang kudapat, aku yang berstatus sebagai pendatang gelap di Amerika bisa bertahan hidup. Aku tak perlu takut terancam kelaparan. Istilah kalau secara ekstrim dipaksakan, sehari beras setengah kilo dan telur 6 pak hanya menghabiskan sekitar $50 perbulan. Atau kalau kita mau makan mie tiap hari hanya akan menghabiskan $33. Murah bukan??

Wednesday, June 21, 2006

MENGENAL MASAKAN DARI BERBAGAI PENJURU DUNIA

Ketika ada waktu senggang, teman sekamar kadang suka mengajak makan di luar. Karena kebanyakan mereka bekerja di restoran maka sedikit demi sedikit aku menjadi tahu berbagai jenis masakan. Bang Herdi yang bekerja di restoran Arab di Georgetown kadang membawa iga kambing bakar untuk disantap bersama. Oki yang asal Malang paling senang dengan sup daging sapi asal Vietnam atau yang lebih dikenal dengan nama Pho. Lidahkupun sedikit demi sedikit beradaptasi dengan cita rasa masakan dari berbagai negara.

Ya, di Indonesia aku hanya makan masakan ibu. Sayur asem, sayur lodeh, kangkung tumis dan lauk tahu tempe. Kalau sesekali ibu memasak ayam goreng, hati kami anak-anaknya girang bukan kepalang. Kemudian baru ketika aku kuliah di Jogja aku mulai mengenal masakan Padang yang banyak menggunakan rempah-rempah.
Hari ini aku bersama Arif dan Oki pergi ke restoran Peru yang terkenal dengan menu Pollo ala Brasa alias Ayam Panggang menggunakan Arang. Dalam hal kuliner, konon resep ini sudah menjadi warisan dunia. Aroma jinten dan mrica hitam yang kuat membuat asap yang keluar dari ruang panggang memenuhi restoran. Dengan sigap pelayan mengambil seekor ayam dan memotongnya menjadi empat bagian, dua dada dua paha. Paket ayam dengan pilihan dua menu masakan, bisa kombinasi antara: nasi putih, nasi goreng, kentang goreng, salad, sayur bayem, kacang merah, atau chickpea.
Dengan bekerja di restoran aku sedikit demi sedikit belajar tentang dunia kuliner. Aku jadi mengetahui apa itu 5 Rasa Dasar dalam masakan, yaitu: Asin, Manis, Asem, Pahit, dan Umami atau Gurih. Sensor lidah rerata orang mampu membedakan sekitar 5.000 kombinasi kelima rasa itu . Dengan menambah sedikit gula maka rasa asin akan berkurang sekaligus menjadikan asinnya "nendang" di lidah. Dengan menambahkan cuka atau asam pada masakan manis seperti Sayur Asem maka masakan yang tadinya berat akan berasa lebih segar dan "ringan". Dengan menambah umami yang terdapat pada mitcin, saus ikan, atau keju maka aroma masakan menjadi harum menerbitkan air liur dan rasanya sangat gurih.
Ya tentang makanan semuanya mengenai perpaduan rasa dengan komposisi yang pas. Kini mulutku bisa menerima jenis masakan yang awalnya terasa asing di lidah, seperti Tom Yam Thailand yang berasa kecut manis pedas dan aroma Laos yang kuat serta saus ikan yang gurih. Lamb Karahi Afghanistan, kari kambing dalam wajan besi yang berisi rempah-rempah berat dan dicampur dengan banyak tomat serta yoghurt dan butter sebagai efek pengentalnya. Aneka Pasta Italia yang dominan dengan saus tomat, aneka keju, minyak zaitun, bawang putih dan daun Parsley.

Friday, May 19, 2006

KETIKA SAKIT

Hari ini aku ijin tidak masuk kerja. Kepalaku pusing, sesak nafas, dan badanku panas. Jangan-jangan aku terkena Swine Flu alias Flu Babi yang sedang heboh akhir-akhir ini. Aku tergolek lemah tak berdaya sambil menggigil kedinginan. Kalau sudah begini aku tiba-tiba merasa jadi orang yang pengecut. Ketegaran yang dibutuhkan oleh seorang perantau dalam menghadapi segala rintangan serasa menghilang. Aku jadi teringat ibu, rindu dengan belaiannya ketika aku sakit, rindu dengan suapan makanannya, atau omelannya yang melarang ini-itu biar aku cepat sembuh.

Aku butuh kehangatan untuk mengusir menggigilku. Selimut tebal tak berasa apapun. Kurasakan seolah musim dingin kembali tiba – aku menggigil merapatkan gigi. Ya, aku harus mencari kehangatan untuk mengusir kedinginanku. Aku segera beranjak menuju kamar mandi. Kubuka keran air panas hampir setengahnya, juga seperempat keran air dingin. Kuisi 'bath tub' hampir penuh.

Itulah ritual yang selalu kukerjakan ketika aku sakit, aku berendam di dalamnya. Kurasakan panas air beradu dengan kulitku yang menggigil kedinginan. Sekejap kurasakan sensasi yang luarbiasa merayapi sekujur tubuhku. Tubuhku nyaman tiada tara. Kalau ada sebuah kenikmatan terbaik di dunia ini, aku lebih memilih berendam di air panas ketika aku sedang tak enak badan. Kurasakan sebuah kedamaian membalut pori-poriku, mengaliri aliran darahku, dan menenangkan syaraf-syarafku,. Kurasakan sebuah surga kecil melingkupiku: Aku yang dibalut kehangatan dalam ketidakberdayaanku, Aku yang merasakan kembali kepada fitrahku, kembali pada kenyamanan natural dalam perut ibuku.

Sunday, April 23, 2006

CSIG di Amerika: PEKERJA RESTORAN TEMPATKU BEKERJA

Pemilik Restoran, sekaligus manager, dan berpengalaman sebagai Sushi Chef selama 13 tahun adalah orang Singapore bernama Jammy Tan. Berperawakan kekar dengan perut gendut, berambut panjang bak pendekar samurai, dan hobinya main badminton seminggu tiga kali. Delapan tahun yang lalu, ia mengambil alih tempat ini dari pemilik lama yang terpaksa menutup usaha klab gay-nya gara-gara ada pengunjung over dosis yang mati terjatuh dari tangga saat mau ke kamar kecil. Memang restoran ini terletak di lantai dua dan kamar kecil berada di lantai dasar. Pengelola gedung menyediakan kamar kecil itu untuk digunakan bersama-sama dengan kedai Sandwich dan kedai Crepes yang menyewa ruangan lantai dasar. Pekerjaan si boss ini serabutan. Kalau bagian dapur ramai order – maka ia akan membantu Lazaro si juru masak menggoreng tempura atau calamari. Giliran sushi ramai order dia berada di balik sushi bar memotong sushi dan meletakkan ke piring. Demikian pula kalau pelayan kewalahan, dia membantu entah itu membersihkan meja, mendudukkan pelanggan, atau membuat minuman. Kalau restoran sepi, dia lebih suka duduk di ruangannya berjam-jam tanpa keluar asik dengan browsing internet.

Orang kedua di restoran adalah Chow-san imigran asal Taiwan. Sejak muda -- ketika ia tinggal di Tokyo -- ia lebih memilih bekerja di restoran daripada belajar di bangku sekolah. Dan ketika ia pindah ke Amerika, ia pernah membuka restoran Chinese food khusus untuk orderan 'carry out' dan 'delivery'. Kata Chow-san, ia hanya mempekerjakan satu orang untuk terima order merangkap kasir, satu orang 'driver' untuk mengantarkan makanan. Dan urusan masak memasak ditangani dia sendiri. Dalam satu tahun kalender, Chow-san membuka usahanya 364 hari alias tidak pernah libur. Tapi sayang, hanya bertahan satu atau dua tahun, ia kemudian menjual tempat usahanya gara-gara ibunya 'stroke'. Ia lebih memilih mengurusi ibunya daripada mengurusi kedai carry-out-nya.

Chow-san bertanggung jawab di restoran kalau Juragan tidak masuk, dan biasanya itu hari Kamis dan Sabtu. Awalnya Chow-san bekerja di dapur sebagai Kitchen Chef, sedangkan Sushi Chef dipegang orang Jepang bernama Suzuki-san. Tapi berhubung restoran tidak seramai dulu, dan gaji orang Jepang itu sangat tinggi, dengan terpaksa si boss mengeluarkan Suzuki-san. Akhirnya Chow-san merangkap pekerjaan ngurusi sushi dan dapur. Selain itu, di bagian sushi masih ada dua orang lagi yaitu Aku yang bekerja 'full time', serta Hiro orang Jepang yang bekerja 'part time'. Baru kali ini kulihat ada orang Jepang yang mau bekerja sebagai 'sushi helper' alias di posisi pemula. Biasanya orang Jepang hanya tertarik di posisi tertinggi, Head Sushi Chef. Maklum, bagaimanapun kadang pelanggan kurang 'sreg' kalau Sushi Chefnya orang kulit hitam, atau orang Latin. Gengsi restoran sushi di mata pelanggan akan turun dan bisa-bisa dicap sebagai restoran sushi kelas rendahan. Karena kondisi itu, maka orang Jepang yang punya keahlian sushi biasanya meminta bayaran tinggi. Sambil membanggakan keahliannya memotong ikan, serta melengkapi dirinya dengan pisau sushi yang berharga 1000an dollar, atau mengetahui ikan terbaik datang dari laut mana, dan tentu saja mahir berbahasa Jepang. Maklum sushi adalah makanan khas Jepang.

Di bagian dapur, yang menjual masakan seperti Salmon Teriyaki, Udon Noodle Soup, Katsudon, Unadon, dan lain-lainnya kini -- setelah Chow-san pindah ke sushi bar-- dipegang orang Mexico bernama Lazaro. Orangnya cekatan dan rajin, tetapi kalau penyakitnya kambuh – kita suka dibikin kerepotan. Kebiasaan mabuknya kadang masih terbawa sampai keesokan paginya ketika ia datang di restoran. Lazaro kehilangan kegesitannya dan hanya mengoceh sambil tertawa-tawa nggak karu-karuan. Si tukang cuci piring Jose dari Honduras yang tidak bisa berbahasa Inggris mengejek Lazaro dan bercakap dalam Spanish kepada kita – kita sambil memperagakan pakai tangan,” Poquito Tequila – poquito pendejo. Mas Tequila – mas pendejo. Mucho Tequila – mucho pendejo”. (Sedikit Tequila – sedikit goblok. Tambah Tequila – tambah goblok. Makin banyak Tequila – makin goblok). Dan Lazaro hanya tertawa-tawa saja.

Di bagian order luar restoran atau order delivery, ada seorang 'driver' yang biasa 'ngantar' makanan yang bernama Wang Chuan, lelaki 48 tahunan dari RRC. Ia sedang mengambil program Doktor di bidang 'Material Science' lebih spesifik lagi yang berhubungan dengan urusan limbah nuklir di Catholic University. Sehabis pulang dari kampus ia bekerja sambilan di restoran ini. Untuk urusan melayani pelanggan yang makan di restoran, ada beberapa 'server' antara lain dua orang dari Malaysia yaitu Marcus Yap dan Mandy Liem. Satu orang Hongkong bernama Kate, Aple dari Thailand, Shelly dari Bejing, dan Alex lelaki kulit putih Amerika yang mahir berbahasa Mandarin dan masih belajar di GW University.

Aku bekerja 11 jam sehari atau kira – kira 60an jam seminggu, jadi hampir sebagian besar waktuku memang habis di restoran. Waktu yang 11 jam sehari itu aku habiskan untuk (mau tak mau) berinteraksi dengan mereka. Ya inilah duniaku, dunia sempit sekotak restoran. Rutinitas yang membosankan, melelahkan, atau barangkali rasanya seperti terkurung dalam penjara. Bedanya, tiap dua minggu aku mendapat bayaran. Kalau ada sesuatu yang bisa diambil sebagai pelajaran, setidaknya aku jadi tahu karakter dan kultur orang – orang dari lain negara.

Saturday, March 25, 2006

CSIG di Amerika: RESTORAN JEPANG TEMPATKU BEKERJA

Restoran tempatku bekerja tidaklah begitu ramai, sedang-sedang saja. Apalagi sepanjang 3 blok mulai nomer 2000an jalan P street terdapat 3 restoran sushi. Restoran tempatku bekerja juga bukan terletak di daerah perkantoran sehingga kalau jam makan siang hanya beberapa meja saja yang terisi.

Tetapi kalau malam tiba, daerah dekat Dupont Circle itu berubah menjadi hingar bingar. Banyak klab – klab gay dan lesbian disekeliling restoran. Maklum daerah P street adalah pusatnya gay dan lesbian di Washington DC. Jamak diantara gay yang dengan bangga menyebut huruf P diawal jalan P Street mempunyai konotasi alat vital laki-laki. Juga para lesbian menyebut P sebagai istilah slank untuk alat vital perempuan. Maka tak heran kalau ada salahsatu pelanggan sushi menyebut restoran kami ini sebagai restoran 'sushi gay'.

Sebagai pembuat sushi, aku harus ramah terhadap pelanggan, terutama jika pelanggan itu duduk di 'sushi bar'. Mereka tentu ingin menikmati cara kita membuat sushi atau sekedar ngobrol.

Salah satu pelanggan dari New York pernah mengajakku secara terang – terangan “ngedate” setelah restoran tutup. Kuperhatikan dari cara merayunya, dia terlihat PD banget tanpa ada malu – malunya. Yah namanya Amerika, gay dan lesbian kini diakui eksistensinya. Salah-salah kalau kita menunjukkan sikap anti pati terhadap mereka bisa-bisa berakibat fatal. Kalau nggak salah mereka bisa menuduh kita dengan pasal yang berkaitan dengan hal-hal yang berbau "pelecehan" dan 'diskriminasi'.

“How's the sushi?”, ini pertanyaan standard yang selalu kuucapkan kepada pelanggan setelah mereka menyantap sushi yang kuhidangkan.

Dan si gay dari New York itu menjawab dengan nakal. “Do you know, ******(tanpa suara) ... better than this sushi!”, sambil kedua tangannya menunjuk ke arahku dan mulutnya (tanpa suara) membentuk kalimat “You are”.

"Ternyata begini ya cara gay merayu ", pikirku dalam hati.

Aku hanya tersenyum dan tak berkata apa – apa. Bagiku terasa janggal seorang laki-laki merayu laki-laki. Dan ketika ia menanyakan kemana aku setelah restoran tutup, kujawab pulang ke rumah, Ia lantas menawarkan ajakan untuk 'hang out'.

Tawaran itu aku tolak dengan halus sambil tersenyum, walau di dalam hati menolak mentah-mentah, “Sorry, I'm ... straight....”

Friday, February 3, 2006

KRIMINALITAS DI WASHINGTON DC

Ketika pulang ke apartemen kujumpai Asnawi sedang meringis kesakitan dengan muka lebam di rahang bagian kanan. Aku kaget dan sontak bertanya kenapa, dijawabnya ia tadi habis dirampok di daerah China Town. Asnawi lantas bercerita ketika ia baru pulang bekerja kira-kira jam 11 malam ada dua orang dengan logat orang hitam jalan di belakangnya sambil bercanda ria. Lantas ketika sampai jalan yang sepi kedua orang itu dengan sangat cepat menempelkan sesuatu ke punggung Asnawi sambil meminta uang.

Asnawi ditodong pistol, disuruh diam, diperintah tak boleh menengok ke belakang sembari menyerahkan dompetnya. Karena reflek dan barangkali penasaran lantas Asnawi menengok. Tanpa babibu dihajarlah rahang Asnawi oleh salah satu penodongnya hingga jatuh tersungkur ke trotoar. Dalam pening dan kesakitan sayup- sayup Asnawi mendengar si penodong itu bilang dalam logat rapper: Aku bilang apa? jangan nengok.. Jangan nengok. Bodoh lu ya.
Ya Washington DC memang kota dengan kejahatan yang cukup tinggi di Amerika. Di tahun 1990 bahkan kota ini dapat sebutan Murder Capital alias Ibukota Pembunuhan, kala itu pembunuhan marak terjadi akibat perang antar genk dalam bisnis narkoba yang diedarkan oleh kartel Colombia. Data statistik FBI menyebutkan bahwa korban meninggal karena pembunuhan mencapai 474 setahun. Sepuluh tahun berselang; di tahun 2000, walau Kejahatan Pembunuhan mengalami penurunan tajam, tapi jumlah 242 orang meninggal masihlah amat tinggi. Sedangkan Kejahatan Perampokan tercatat sejumlah 3554 kasus setahun yang berarti dalam sehari terjadi 9 kali perampokan.
Washington DC yang dibagi dalam empat kwadran, North East, South East, North West dan South West masing-masing ada daerah rawan kejahatan. Tapi yang paling parah adalah daerah North East dan South East. Memang aku pernah melewati daerah North East dan South East yang kebanyakan dihuni oleh warga Amerika kulit hitam; pada daerah yang berbahaya semua rumah dipasangi teralis besi, juga toko-toko dan restoran. Kasir-kasir dibatasi dengan kaca anti peluru dan transaksi jual beli hanya melalui lubang kecil seperti saat kita beli tiket bioskop. Wang Chuan bilang jadi Delivery Man di daerah tersebut harus berbadan kekar dan ahli Kungfu.
Selain perampokan, daerah tersebut adalah tempat para gangster berebut daerah kekuasaan. Bisnis ilegal mereka seperti peredaran narkoba, prostitusi terselubung, dan centeng penjaga keamanan klub malam adalah ladang yang menghasilkan uang sekaligus membahayakan. Tak heran andai tiap hari terdengar senjata menyalak dan kita melihat korban bergelimpangan bersimbah darah. Mengenai perang antar gangster, daerah perseteruan sering merembet ke area lain yang dikuasai Mafia Jamaika, Geng Salvador, atau Mexico.
Daerah North West yang paling rawan adalah di daerah Adam Morgan, Kalorama, Columbia Road dan China Town yang banyak terdapat klub malam dan restoran. Perampokan biasanya terjadi pada malam hari dan di jalan yang gelap dan sepi. Asnawi baru saja mengalami perampokan dengan kekerasan, dan ia tak lapor ke polisi. Banyak diantara para imigran gelap memilih diam. Kita hanya bisa menganggap itu sebuah musibah dan lain kali berusaha untuk lebih berhati-hati.

Saturday, January 21, 2006

CSIG di Amerika: MANAGER APARTEMEN KAMPOENG MELAJOE YANG GALAK

Kalau ada hal yang menakutkan di Amerika, itu bukan hantu pocong atau kuntilanak, melainkan bertemu dengan manager apartemen yang biasa nongkrong di 'front desk' depan lobby.

Statusku yang tidak terdaftar alias gelap di apartemen ini beresiko untuk diusir. Wanita tua, sebut saja Linda itu kalo sudah “nyerocos” nggak ada yang bisa nyetop. Pernah aku kena apes, ketika sampai di depan pintu lobby (berhubung aku tidak punya kunci sensor pembuka pintu), aku kemudian dibukakan pintu oleh petugas Front Desk. Kulihat ada si Linda berdiri di sebelahnya. Aku mengucap terimakasih dan langsung nyeloyor.

Tiba-tiba dia berteriak memanggilku, aku kemudian berbalik dan terpaksa menuju ke front desk lagi. Hatiku deg-degan, sudah Inggrisku pas-pasan, apa nanti yang harus ku omongkan? Otakku berputar, kalau aku bilang tinggal di sini, pasti urusannya jadi panjang. Bisa-bisa dia tanya namaku, tinggal di kamar berapa, di list pengontrak ada namaku nggak. Saking deg-degan ketika ditanya, aku hanya menjawab gugup,“..visit ... visit”.

Sekilas kudengar wanita tua itu ngomel-ngomel. Orang – orang penghuni apartemen yang keluar – masuk lobby berhenti sejenak memperhatikan omelan manager gedung itu. Kalau kukira-kira barangkali artinya," Mau bertamu harus lapor dulu, jangan asal nyelonong."

Kulihat si Tammy, perempuan hitam berbadan gemuk petugas front desk yang biasa membukakan pintu untukku hanya diam saja. Lantas masih dengan suara tinggi, si wanita galak itu tanya kamar berapa yang mau dikunjungi dan kujawab seven twenty.

Aku disuruh menunggu, si Tammy kemudian menghubungi kamar bang Herdy lewat pager. Tak ada jawaban dari kamar 720 karena memang semua sedang bekerja. Akhirnya aku tak boleh masuk kamar dan dipersilahkan menunggu di ruang lobby atau meninggalkan pesan.

Setelah kejadian itu, aku tidak mau lagi masuk gedung antara jam 10 pagi sampai jam 4 sore. Menghindari kalau-kalau si wanita tua itu nongkrong di front desk. Kalaupun aku istirahat restoran jam 2 – 4 sore, waktuku lebih baik kugunakan untuk tidur-tiduran di restoran atau jalan – jalan.

Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap di Amerika

 
Site Meter