Friday, July 22, 2011

JALAN-JALAN KE KOTA TUA GEORGETOWN

Georgetown “Tempo Doeloe”. Dalam sebuah papan iklan tertulis seperti ini:

Two negro men $300
One ditto woman $150
Four ditto girls $150
Two horses $200
Two cows $30


Awalnya Georgetown adalah tempatnya budak kulit hitam. Kota kecil bersuasana asri dan teduh di pinggiran sungai Potomac dan tak jauh dari Washington DC itu dahulu adalah salahsatu port keluar masuknya tembakau dari dan ke Amerika. Mereka mendatangkan orang-orang dari Afrika untuk bekerja di ladang tembakau yang kebanyakan berada di daerah Virginia dan Maryland.

Kalau membaca iklan “Tempo Doeloe” yang usianya lebih dari ratusan tahun di atas sungguh hati rasa terenyuh. Tak habis pikir kalau harga 2 ekor kuda lebih mahal dari 4 gadis kulit hitam. Ya itulah kenyataannya.

Itulah kisah yang kubaca di Washington Post yang ditulis Andrew Stephen, yang punya rumah di Georgetown, dan ketika anaknya yang berumur 16 tahun ada tugas sekolah, dan ternyata menemukan di perpustakaan lokal tentang sejarah yang (sengaja) terlupakan dari kota tua Georgetown, yaitu tentang Perbudakan dan terusirnya kaum kulit hitam dari Georgetown.

Budak-budak kulit hitam menjadi alat perekonomian dalam perkembangan kota Georgetown kala itu. Mereka tinggal di basement-basement sempit di rumah tuannya, atau di penampungan – penampungan kumuh. Tenaga mereka di peras, diperjual belikan untuk membangun rumah, jalan, jembatan, pertamanan, atau bekerja di sektor industri dan perkebunan. Tapi ironisnya mereka secara sosial ditolak keberadaan dan hak-haknya sebagai manusia pada umumnya. Banyak peraturan-hukum yang membuat mereka selalu dalam ketakutan dan tertekan. Dilarang berkumpul lebih dari 7 orang, Hukum cambuk bagi yang kedapatan mandi di sungai Potomac, Melihat Adu Jago, atau Bermain Layang-layang. Bahkan untuk ke gereja mereka hanya diperbolehkan datang di hari Sabtu, dan itupun tempatnya terpisah dari kaum kulit putih.

Di jaman sekarang, Georgetown telah menjadi daerah elit yang sebagian besar dihuni orang kulit putih. Banyak politisi, selebrities, sosialista, membeli rumah di sana. Rumah – rumah di sana kini berharga jutaan dollar, melonjak pesat dari harga 3000an dollar tahun 1800an. Rumah – rumah tua dengan suasana asri dan tenang itu ternyata menyimpan banyak kisah memilukan. Kisah terusirnya komunitas kulit hitam dari kota Georgetown.

Kembali ke belakang, setelah Presiden Abraham Lincoln membebaskan Perbudakan di tahun 1862, banyak kaum kulit hitam yang mendiami Georgetown mulai berdikari.Mereka menjadi buruh kasar diberbagai sektor bisnis kala itu. Sebagai budak yang sudah dibebaskan, walau hak-haknya masih dibatasi, mereka bisa beraktifitas secara sosial maupun ekonomi. Mereka bisa berkumpul, mempunyai gereja sendiri, tidak dibatasi khusus hari Sabtu saja, juga bisa bekerja dengan mendapatkan upah.

Lalu datanglah bencana ekonomi yang membuat nasib kaum hitam jadi kelam. Sungai Potomac tertimbun lumpur akibat banjir dari hulu Cheaspeake dan Ohio Canal sehingga industri pelabuhan Georgetown lumpuh. Banyak bisnis seperti pengolahan tepung, pabrik kertas, gudang tembakau dan lain lainnya bangkrut. Orang kulit hitam banyak kehilangan pekerjaan dan jadi homeless. Sebagian dari mereka pindah ke daerah lain. Dan ketika terjadi Depresi Besar Ekonomi yang melanda Amerika kaum kulit hitam makin terdesak karena profesi “buruh kasarnya” direbut oleh kaum kulit putih.

Waktu berjalan, kaum kulit hitam di kota Georgetown makin terdesak, ribuan pekerja pemerintah kulit putih di era Presiden FDR datang memenuhi Washington DC. Hal ini menciptakan pasar properti dan perumahan yang mendorong harga rumah di Georgetown menjadi tinggi. Banyak warga kulit hitam kehilangan rumahnya entah itu dijual atau tak mampu lagi memilikinya.

Pukulan telak kembali terjadi. Bagi kalangan miskin kulit hitam yang menempati rumah-rumah kumuh, dengan adanya undang-undang yang dikeluarkan pemerintah tentang “Membuat Suasana Asri Kota Georgetown” dan “Melindungi Cagar Budaya dan Tempat Bersejarah” maka secara otomatis mereka tersingkir. Populasi orang kulit hitam di Georgetown menyusut drastis. Tercatat pada tahun 1970an komunitas kulit hitam tinggal 250an orang, merosot dari 3200 orang pada tahun 1870an.

Aku berjalan sepanjang jalan M street yang membelah kota Georgetown. Masih terlihat jejak bangunan kota tua seperti dalam film-film koboi jaman dulu. Bedanya sekarang bangunan itu telah disulap menjadi toko-toko yang mencirikan simbol kemodern-an. Sebut saja Lacoste, Banana Republic, Benneton dan lainnya. Demikian pula beberapa bangunan tua dijadikan restoran – restoran mewah langganan orang-orang penting di Ibukota, mulai dari Presiden US, Senator, eksekutif dan para pelobi tingkat tinggi.

Di musim panas, banyak turis lokal maupun mancanegara mengunjungi kota tua tersebut. Mereka ingin menikmati suasana kota tua yang asri dan teduh dengan pepohonan di sepanjang jalan, juga dengan dermaga pelabuhannya yang mempunyai pemandangan indah ditepian sungai Potomac. Dalam hati “nggak nyangka” kalau jaman dulu orang-orang kulit hitam dilarang mandi di sungai itu dan bermain layang-layang.

Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap di Amerika

 
Site Meter