Tuesday, August 30, 2011

SEORANG PELANGGAN RESTORAN BERNAMA PETER BARANGKALI SEORANG AGNOSTIC

Peter selalu duduk di sushi bar. Perawakannya gendut – mengingatkanku pada si Hengki temanku di Indonesia. Ia pelanggan tetap restoran tempatku bekerja. Pekerjaan Peter termasuk bagus, seorang programmer komputer di Fanny Mae, sebuah perusahaan mortgage raksasa di Amerika yang akhir-akhir ini sedang mengalami 'collapse'.

Kemarin malam di restoran, sambil menyantap Seared Salmon Belly kesukaannya - ia menceritakan pengalamannya waktu mengunjungi Turki, sebuah negara yang dalam sejarahnya pernah mengalami jaman keemasan dan juga merupakan salahsatu tonggak kemajuan peradaban Islam di dataran Eropa.

Dengan jujur, Ia menceritakan bahwa Ia sangat terkesan ketika mendengar suara azan yang mengalun indah dan magis di sore hari di kota Ankara, diantara bayangan sinar matahari yang hampir tenggelam.

Mendengar ceritanya, anganku tiba-tiba melayang ke masa kecilku, mengingat suasana ramadan di kampung halaman. Ketika aku berada di bawah rindangnya pohon beringin di tengah Alun-alun sore hari, sungguh suasananya sangat “khusyuk” dan magis. Perut lapar, badan lemes, sesekali aku menggigil diterpa angin sore, dan tak berapa lama adzan berkumandang.

Sungguh rasanya aku sangat dekat, dekat sekali dengan Tuhanku.

Iseng kutanyakan kepadanya, “ Do you believe in God?”

Ternyata jawaban dari Peter malah mencengangkan diriku,” Hey man, that (question) is not important to me. The importan thing is God believe in me.” Pertanyaan itu nggak penting, bro. Yang penting, Tuhan percaya padaku.

Wheladalah .. barangkali faham inilah yang sering disebut dengan Agnostic. Mereka percaya Tuhan tapi tidak peduli. Memang kalau dipikir memakai sudut pandang Tuhan Yang Maha Segalanya, tentu Tuhan selalu yakin dan percaya terhadap semua ciptaanNya. Kita mau dibikin kaya, miskin, pandai, bodoh, beriman, kafir, mati hari ini, atau 100tahun lagi. Semua mutlak KuasaNya.

Maka ketika hal itu kuceritakan pada temanku yang kini jadi Kyai di sebuah pesantren di Jogjakarta, dia bilang pernyataan si Peter ini sungguh profokatif, terlalu berani, dan berkesan arogan seolah ia tidak butuh Tuhan dalam hidupnya.

Memang di Amerika yang sekuler ini, agama kurang menginspirasi dalam kehidupan sehari-hari. Istilah kerennya kurang “Greget”. Mau ngurus KTP kolom agama tidak ada, cari kerja juga. Kalau kita mau nikah hal itu juga tak ditanya. Untuk perayaan hari Natal, yang notabene banyak pemeluk agama Nasrani di sini, orang-orang lebih nyaman menggunakan kata-kata “Happy Hollyday” atau “Season's Greetings” dalam kaitannya dengan ucapan selamat, seringnya dipakai dalam sambutan resmi pejabat publik, sekolahan-sekolahan, department stores, atau greeting cards.

Apalagi suasana puasa ramadan di sini, sungguh aku kehilangan suasana religi yang dahulu kurasakan waktu masih di Indonesia. Ketambahan lagi puasa pas musim panas yang panjangnya bisa 16 jam, sungguh setengahnya merupakan siksaan, dan setengahnya merupakan cobaan.

Ahmad, temanku yang kerja di restoran Pan Asia di daerah downtown yang selalu ramai pengunjung mengeluh padaku,” Gila man ..., chefku orang Vietnam ngomel-ngomel terus. Dia nggak mau tau ini bulan ramadan man ... gue di pushed terus!”

Kasihan juga si Ahmad yang bekerja 12 jam sehari. Puasa membuat tubuhnya kehilangan kelincahan dan konsentrasi kerja. Jam 1 siang adalah saat-saat restoran ramai, dan Ahmad sudah kehilangan banyak energi. Suasana dapur di depan wajan yang panas membuat dirinya mengalami dehidrasi alias kehilangan cairan tubuh. Metabolismenya terganggu, badan lemas, suhu tubuh naik, konsentrasi terganggu, dan mengalami pusing-pusing. Untung nggak sampe kena stroke atau jantung mandeg, dan akhirnya Ahmad mengalah.

Chefnya bilang,”Ngapain kamu menyiksa diri?” Dan dijawab Ahmad ini bagian dari tradisi.

“Ya tapi kamu jadi sering salah bikin order dan lambat. Pelanggan komplain tuh ....”

Akhirnya setelah beberapa hari Ahmad memilih keluar dari pekerjaannya. “Gila man ... gue baru tau rasanya kerja Rodi yang dialami nenek moyang kita dulu.”

“... Mending ente bisa keluar kerjaan, Mad. Palingan nganggur nggak dapet duit. Lha nenek moyang kite dulu? Dipaksa kerja Rodi sampe ko'it ..man.”

Dalam hati aku salut dengan Ahmad. Dia lebih mementingkan puasanya dan tak takut kehilangan pekerjaannya. Jujur, sebagai pendatang gelap yang “lahan pekerjaannya” terbatas, dia termasuk berani mengambil resiko jadi pengangguran di Amerika.

“ Rejeki nggak akan lari kemana ... man!”, katanya mantap, semantap keyakinannya pada Agama dan Tuhannya.

Kembali pada Peter, aku tiba-tiba tergelitik pingin tanya tentang agamanya, “What is your religious view?”

Dan jawabannya malah mencengangkan sekaligus bikin aku geleng-geleng kepala, “ I will find out after i'm gone”, “Aku akan mengetahuinya setelah aku mati”

Sejenak pikiranku berkecamuk ... hmmmm..., pada akhirnya semua kukembalikan pada masing-masing pribadi. Masalah Tuhan dan Agama adalah masalah keyakinan, masalah kepercayaan. Pada titik ini kita tidak bisa memaksakan sebuah keyakinan kepada seseorang yang tidak yakin akan hal itu. Kita sering mendengar istilah Lakum dinukum waliyadin, Bagimu Agamamu Bagiku Agamaku, dan itulah sebetulnya esensi dari kebersamaan hidup damai di dunia.

Kulirik jam dinding menunjukkan setengah sembilan malam. Tak ada adzan mengumandang di sini. Aku pamit pada Peter mau berbuka puasa. Di dalam kuteguk teh manis hangat dan kukunyah sepotong roti.

Ada suasana hilang yang kurasakan saat itu. Aku kehilangan suasana religi dan kedekatan kepada Tuhanku. Aku kembali bekerja. Semuanya terasa mekanistik seperti robot. Tak ada lagi kegembiraan berbondong-bondong ke Masjid Agung untuk shalat taraweh, bermain kembang api dan petasan setelahnya, atau tak sabar menunggu Idul Fitri tiba, sambil mengumandangkan takbir di malam hari. Dan menantikan opor ayam bikinan ibu serta mengenakan baju baru ......

Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap di Amerika

 
Site Meter