Friday, December 12, 2014

Kunjungan Pada Seorang Teman: Endro

Ketika mataku melihat sosoknya yang gempal, garang bertatto dan sedang asyik mengutak atik sesuatu maka kudekati ia dan aku menyapa,"Sedang apa, Ndro?", ia lantas menjawab "Lagi iseng mbenerin mesin jahit." Dalam hati aku heran bahwa Endro yang berkarakter garang, "brangasan" alias preman,dan itu jadi "trade mark"nya selama ini -- ternyata bisa juga telaten. Tak selamanya ia menunjukkan sifat kemrungsung, tergesa-gesa dan meledak-ledak, ternyata ia punya sisi ketekunan yang mampu merunut rumitnya konfigurasi mesin jahit yang punya engsel gerak lebih dari duapuluhan (penjelasannya).


"Boleh kufoto Ndro? "

Nggo ngapa?", tanyanya. "Di upload nang FB Ndro. "

Wis.. Siki apa critamu Ndro", tanyaku.

Crita apa lah ... Wis ngeneh njagong. Arep ngopi apa ngeteh?", Endro menghentikan pekerjaannya memperbaiki mesin jahit.

Kopi baen Ndro, kane. ... O ya angger ana ... gendul Ciu Ndro.", Aku setengah bercanda meminta sebotol ciu karena kutahu bahwa Endro adalah pecandu alkohol. Tiap hari ia harus menenggak minuman keras agar bisa menjalani hidupsecara normal, tubuhnya tak gemetar, konsentrasinya tak kacau. Saking tinggi mabuknya, atau saking kecanduannya, ia selalu mengatakan mau beli Chivas dulu (untuk menyebut merk ternama Chivas Regal), padahal setelah kutahu apa yang dimaksud Endro Chivas adalah Ciu Vlastikan alias ciu dalam bungkus plastik, ciu Cikakak yang murah meriah tapi nyodok di kepala -- aku tertawa mendengarnya.

Bisa dibayangkan ketika hidup tak bisa lepas dari alkohol, berarti selama sehariania menjalani kehidupan sosialnya dengan bau alkohol menyembur dari mulutnya.Bagi Endro ia cuek-cuek saja tapi bagi orang lain yang berhadapan dengannya,dengan gaya bicara Endro yang sedikit "mengintimidasi", suara ceplas ceplos seolah mercon meledak di siang bolong, atau umpatan "pejuh-ngasu"nya, tentu akan berpikir seribu kali untuk meladeninya. Pernah ketika ia mengantar teman SMAnya (mbuh sapa) ke dukun untuk meminta ajian pelet atau (entah)kesaktian, dan Endro (dengan yakin) punya "feeling" dalam mabuknya bahwa dukun itu menipu, maka secara refleks ia segera berkacak pinggang didepan dukun itu sambil memuntahkan sumpah serapahnya," Dukun dobol!!!"

Kutukan Endro makin tak tertahan dan terdengar diantara para pasien mbah dukun yang menunggu giliran sowan. Untuk menghentikannya mbah dukun itu lantas mengajakEndro ke ruangan lain dan bicara memohon - mohon untuk tak mengganggu prakteknya sambil mbah dukun menyelipkan beberapa lembar puluhan ribu ke tangan Endro. Dan Endro melenggang sambil cengengesan.

Aku mendengar ceritanya dengan serius. Juga ketika ia bercerita "dalam pengaruh alkoholnya" ia melakukan "solo karir" memprotes kenaikan BBM, dengan hanya bercawet dan melumuri sekujur tubuhnya dengan cat hitam. Ia kemudian berjalan ditengah jalan raya Pasar Wage. Bisa dibayangkan Endro membuat lalu lintas jadi macet, polisipun buru-buru mengamankannya. Atau ketika dalam pertunjukan wayang oleh dalang Enthus orang-orang berebut untuk foto bersama, Endro malah menolak kecuali ia berfoto bugil bersama dalang Enthus.

+++

Nyong wis mari nginum ..Aku sudah berhenti minum ... sudah jalan 5 bulan.",jawab Endro kalem.
Temenan?... Beneran? Ora dobol?", tanyaku kurang yakin. Aku membayangkan bagaimana seorang Endro yang sudah puluhan tahun hidup dengan alkohol bisa berhenti. Bahkan kalau tak minum ciu ia tak bisa menjalankan kendaraan ketika profesi pekerjaannya dibalik kemudi, dan sangat "ndrawasi" ketika tahu ia nyupir sambil mabuk, tapi jujur aku pernah mengalami ia nyetir mobil sangat halus dan titis ketika dalam pengaruh alkohol. Tapi aku tetap khawatir membayangkan kala itu ...

"Sumpah!!! Aku sudah berhenti ...", tegas Endro.

Saking surprisenya aku ingin mengabadikan Endro dengan The Last "botolterakhirnya", lantas aku menuju ke sudut ruangan pada tempat koleksi botol minuman kerasnya, yang berisi botol berkelas seperti Jack Daniel, Chivas Regal,Vodka, Johnnie Walker, yang kata Endro (bangga) bahwa botol-botol itu ia koleksi ketika ia habis meminumnya bukan sembarang nyomot dari tempat sampah atau botol bekas milik orang. Kuambil botol Jack Daniel dan kuserahkan kepadaEndro dan ia berpose dengan "manisnya".



"Critakan kenapa kamu berhenti minum.", kataku semangat. Tapi aku segera berubah pikiran. "Sebentar, aku pingin tau dulu ceritamu, kapan pertamakali mengenal miras."Aku pingin mengira-ira sebetulnya berapa tahun Endro sudah kecanduan alkohol. Seberapa lama darahnya dialiri "banyusetan", melayang-layang dalam dunia kegembiraan, dan seberapa berat livernya telah menahan beban alkohol dan tidak juga mengeras seperti batu. Lantas Endro bercerita asal muasal ia mengenal minuman keras. Kakeknya mbah Joyo dulu adalah pensiunan polisi yang cukup terpandang di Karesidenan Banyumas. Koleksi minuman keras kakeknya hadiah dari kolega dan pengusaha yang merasa aman goleman terlindungi banyak menumpuk di lemari. Suatu hari Endro mencoba sesloki Martini yang rasanya sepet manis dan ketika ia mulai merasakan tubuhnya enteng melayang-layang, ia berlari kesana kemari menikmatinya serasa terbang. Ia menambahkan se-sloki lagi, dan tak butuh waktu lama dia berkeyakinan bahwa ia telah menemukan surga kenikmatan. Ia kemudian memberikan kabar gembira ini kepada teman di sekolahnya: Engki dan Sobri, dan dijawab oleh mereka di toko Hasil atau Nusantara banyak dijual minuman seperti itu. Dan mulailah diusia muda Endro mabuk. Ibunya tak tahu Endro mabuk, Endro selalu bilang "kesambet setan" untuk menutupi limbung gerakannya, atau tak teratur nada bicaranya. Ibunya cemas. Lain waktu ibunya selalu menanyakan botol - botol gepeng apa itu yang ada di kamarnya dan dijawab oleh Endro itu botol "jamu". Maka oleh ibunya botol-botol"jamu" itu diminta dan dipakai untuk memperindah taman dengan menanamnya melingkar diantara tanaman - tanaman kesukaan ibunya. Kala itu ia masihSMP kelas satu.

"Sekarang crita .. Kenapa kamu berhenti minum?", tanyaku.

"Aku berhenti minum bukan karena minuman alkohol itu haram, dosa! Biar seribuKyainglarang! Atau kakangku! Atau biyungku menasihati.... aku tak pernah menggubrisnya.", Hendro menjelaskan dengan lantang.

Kalau Endro sudah membuat statemen seperti itu pasti ada sesuatu yang lebih heboh,lebih garang dari itu." Livermu kena?", tanyaku. " Ora, aku sehat-sehat baen." "Trus apa?", tanyaku.

Dan beginilah ceritanya:
Alkisah Endro menceritakan lima bulanan lalu ia mengantar anaknya berenang. Endro yang katanya dulu di masa SD pernah belatih renang serius bersama perenang-perenang profesional mengawasi anak-anak berenang sambil mabok di pinggiran kolam. Ia terlihat santai sambil menghisap rokok Sampoernanya.

Tiba-tiba dari tengah kolam renang, anak-anak berteriak minta tolong. Endro melihat salah satu anak gelagapan diantara kerumunan itu. Diamat-amati ternyata itu anaknya.Tanpa pikir panjang ia terjun dan berenang ke tengah kolam. Nah titik baliknya di sini, kata Endro dengan tegas. Waktu berenang ke tengah kolam tiba-tiba merasa dadanya sesak, ia merasakan sulit bernafas, bahkan ia merasakan hampir mati. Saat ia bersusah payah ingin menolong anaknya yang terkena kram perut, saat itu pula ia merasa tak berdaya untuk segera menolong anaknya. Akhirnya dengan susah payah ia berhasil membawa anaknya ke pinggir kolam. Endro terengah-engah dengan wajah merah. Dalam "feeling" mabuknya (ia sering dalam kondisi mabuk membuat keputusan-keputusan penting dalam hidupnya) ia berkeyakinan " Ora lucu mbok -- gara-gara mabok aku ra teyengnylametna anakku?" Enggak lucu kan gara-gara mabuk aku nggak bisa menyelamatkan anakku. Endro yang jago renang tak bisa menyelamatkan anaknya yang kram perut di kolam renang. Apa kata dunia? Begitu kira-kira kata Jendral Nagabonar kalau sampe kalah dengan kumpeni. Dan saat itu juga aku memutuskan untuk berhenti minum.

Endro melanjutkan ceritanya, minggu-minggu pertama adalah masa yang paling menyiksa dalam hidupnya. Badannya gemetar hebat, ia tak bisa konsentrasi apalagi dibalik kemudi. Ia menjadi fisik yang lemah. Bahkan saking niatnya untuk berhenti minum alkohol ia melakukan ritual mandi air es di subuh dini hari. Dan betul kata Endro, setelah seminggu stop ia mulai bisa berenang tanpa dada sakit, dua minggu ia sudah kuat bolak-balik kolam renang. Dan diminggu ketiga Endro yakin bahwa dengan berhenti minum alkohol ia akan bisa mengembalikan kebugaran fisiknya di kolam renang.

Demikianlah Endro, selama ini aku menerka perilaku agresif nya akibat pengaruh alkohol, tapi nyatanya Endrotetap bercerita seperti dulu, dengan nada meledak-ledak, heboh, diselingikata-kata kotor keluar dari mulutnya. Yang beda darinya sekarang, ia kinitampak lebih segar raut wajahnya. Dan menurut Endro: kini hidupnya lebihteratur ...

Saturday, March 8, 2014

MEMBELA INDONESIA ALA PERANTAU

Ketika restoran sedang sepi di sore hari, teman-teman kerja sering terlibat pembicaraan ringan, bercanda dan ketawa-tawa. Kali ini suasananya agak beda, si Chef orang Taiwan menurutku agak kelewat batas, entah seharian sedang ada masalah keluarga atau memang sedang kesal denganku, tiba-tiba dia melontarkan pertanyaan kepadaku," Why Indonesian people killing Chinese?" Kenapa orang Indonesia "suka" membunuhi orang Cina. Lantas si Chef mengingatkanku akan tragedi Mei 1998, dimana kerusuhan massa melanda Jakarta, Medan, dan Solo, amok massa menjarah toko-toko, mall, dan rumah-rumah mewah, juga dengan keji memperkosa para WNI keturunan bahkan membunuhnya.

Pertanyaan itu dilontarkan di depan para pelayan restoran, Pui dari Thailand, Markus Yap dari Malaysia, Shelly dari Beijing, Alex bule Amrik mahasiswa GWU yang sedang belajar bahasa China, juga Wang Chuan si delivery man dari Shichuan.
Aku merasa terpojok dengan pertanyaan itu. Pandangan mata benci menyorot ke arahku seolah aku mewakili bangsa yang tak beradab, barbar, dan tak berperikemanusiaan. Layaknya sebuah persidangan di PBB, seolah aku sedang dimintai klarifikasi atas tragedi kemanusiaan 1998 silam dihadapan wakil - wakil bangsa di dunia. Ingin rasanya memanggil Sang Singa Tua MR. Ali Alatas diplomat handal yang pandai berdiplomasi untuk membantu menjelaskan masalah ini kepada mereka. Atau ingin segera lari ke Kedutaan Indonesia yang jaraknya tak jauh dari restoran, meminta salah satu staf Politik untuk menjelaskan kepada teman-teman kerjaku.
Dengan terbata-bata (karena Inggrisku memang jelek) ditambah mengingat kembali kejadian kala itu yang memang kacau, simpang siur, aku sebetulnya sudah tak ingat persis peristiwanya; dengan segala kerendahan hati aku mencoba menjelaskannya kepada Chong-san dan teman-teman kerjaku.
" Pada waktu itu situasi ekonomi Indonesia kacau. Indonesia kena krisis keuangan Asia. Nilai mata uang Indonesia jatuh ekstrim terhadap dolar, dari 2000an turun ke 7000an rupiah sedollar. Banyak pengangguran, rakyat kekurangan makan. Rakyat protes, mahasiswa protes. Mereka tak percaya lagi dengan pemerintahan Soeharto. Soeharto sudah 7 kali jadi presiden, kabinet baru diisi oleh keluarga dan kroni-kroninya. Polisi dan tentara makin represif terhadap mahasiswa. 4 mahasiswa ditembak mati oleh aparat. Rakyat marah. Situasi ini dimanfatkan orang-orang untuk bikin kondisi makin memburuk, chaos. Itu (peristiwa) terjadi sangat cepat. Ada orang-orang yang memprovokasi untuk melakukan amok massa, merusak toko-toko, merampas isinya, dan membakarnya."
Tapi Chong san tak mau menerima penjelasanku; mengenai latar belakang timbulnya amok massa, dan juga akibat yang ditimbulkan, ia mempertanyakan siapa yang merampas harta, memperkosa wanita-wanita dan membunuh WNI keturunan, dan ketika kujawab yang memperkosa dan membunuh WNI Chinese adalah para kriminal, Chong san lagi-lagi tak bisa menerima jawabanku.
Ya .. aku tahu masalah Kerusuhan Mei tak ada penyelesaiannya. Siapa yang salah, siapa yang bertanggung jawab tak ada satupun yang diajukan ke pengadilan. Aku tahu jawabanku kurang memuaskan dan selalu dibantah oleh Chong san. Sepertinya orang Indonesia tempatnya yang jelek-jelek. Anti Cina, Pemerkosa, Teroris, dan Korupsi.
Rupanya Chong-san lebih mengikuti berita kala itu dari Komunitas Global Etnik Chinese yang melabeli kerusuhan Mei 98 sebagai "Anti-Chinese" dan dikenal dengan peristiwa Black May. Chong san yang orang Taiwan mengecam padaku: (pemerintah) Taiwan menuntut orang-orang yang terlibat kerusuhan Mei 98 untuk dihukum. Kalau tidak Taiwan akan segera menarik investasinya dari Indonesia, juga menyetop para TKW yang jumlahnya puluhan ribu di Taiwan. Aku hanya terdiam. Ingin rasanya lari ke Kedutaan Indonesia dan menggeret seorang staff politik untuk membelaku, berdiplomasi dengan Chong san, atau setidaknya bisa meyakinkan Chong san bahwa Indonesia bukan bangsa yang Anti Cina seperti Nazi yang anti Yahudi, juga bukan tukang perkosa seperti Congo Army sebutan untuk tentara-tentara "mbalelo" yang merampas harta dan memperkosa wanita dalam operasi militer.
Doctor Wang si delivery man yang melihat aku diserang habis-habisan oleh Chong san mungkin merasa iba, dan beruntung dia sedikit mencairkan suasana tegang dengan tidak ikut menyalahkanku," Don't be sad,..... in China, Chinese kill Chinese everyday."
Dan aku tiba-tiba nelangsa, terkucil diantara teman-teman kerjaku yang berasal dari berbagai bangsa di dunia. Aku yang minoritas di perantauan mungkin tak bisa bicara searogan atau selantang orang-orang di Jakarta. Tak bisa berargumentasi bahwa itu hanyalah kejahatan biasa. Tak bisa berkelit dan menuding itu salahnya si X atau si Y, atau menganggap kerusuhan itu adalah ongkos politik yang harus ditanggung semua pihak. Kerusuhan Mei adalah lembar hitam sejarah bangsaku.
Tiba-tiba anganku melayang nun jauh ke kampung halamanku, apapun keadaan bangsaku aku tetap mencintainya. Aku yang dilahirkan di sana, aku yang tumbuh dan berkembang meminum air yang mengalir dari hulu sungai, atau yang mengalir dari mata air pegunungan, dan hidup dari benih-benih mekar dari tanah garapan pak tani, sedih bangsaku dihujat demikian. 
Dalam kesedihan aku teringat seorang seniman yang pernah membacakan sajaknya Taufik Ismail di TIM, Malu Aku Jadi Orang Indonesia. Dalam bait-bait terakhirnya aku merinding mendengarnya:

III
..... ... ...
Di negeriku ada pembunuhan, penculikan
dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh,
Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng,
Nipah, Santa Cruz dan Irian,
ada pula pembantahan terang-terangan
yang merupakan dusta terang-terangan
di bawah cahaya surya terang-terangan,
dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai
saksi terang-terangan,
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,
tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang
menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.

IV
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.

Saturday, February 1, 2014

KAMAR 310: ASYLUM - SUAKA POLITIK


Asylum dalam terminologi hukum keimigrasian AS adalah Peminta Suaka Politik. Mereka adalah orang-orang dari berbagai bangsa yang mengajukan dan meminta perlindungan kepada pemerintah Amerika karena alasan-alasan yang berkaitan dengan pelanggaran hak azasi manusia terhadap dirinya.

Ketika meletus kerusuhan Mei 98 banyak WNI keturunan Cina yang lari ke Amerika untuk meminta suaka politik dengan alasan kekerasan rasial dan kriminal. Banyak dari mereka akhirnya menjadi penduduk tetap dan kemudian mengajukan naturalisasi menjadi warga negara Amerika.
Tiga tahun berlalu, tepatnya setelah peristiwa 911, ketika serangan bunuh diri pesawat yang menghujam ke gedung kembar WTC dan Pentagon, Amerika menjadi paranoid dengan hal-hal yang berbau muslim. Mereka lantas mengadakan program wajib lapor diri bagi warga negara yang berasal dari negara - negara yang “dicurigai” ada kaitannya dengan terorisme, Al Qaida, dan Indonesia termasuk di dalamnya.
Kala itu banyak pendatang gelap merasa ketakutan. Status mereka yang dicap seolah-olah atau setengahnya "teroris" membuat nyali mereka ciut. Beberapa dari mereka mengadu ke Kedutaan Indonesia untuk meminta penjelasan tentang proses wajib lapor dan nasib mereka di kemudian hari. Saat itu kalau mereka tidak lapor atau mangkir, mereka akan diburu oleh satgas khusus bentukan Department of Homeland Security. Beberapa yang ketakutan mematuhi peraturan itu, mereka antri menyerahkan paspornya, didata, diperiksa, dan yang ketahuan overstay pasrah tinggal menunggu dideportasi.
Dalam suasana yang kacau dan penuh ketidakpastian, ada satu cara yang ditempuh para imigran gelap agar bisa tetap bertahan atau minimal memperpanjang waktu untuk "tinggal" di Amerika, yaitu mengajukan Suaka Politik. Maka mereka berbondong-bondong mencari tahu pengacara imigrasi mana yang bisa membantu menangani kasus mereka.
Selalu ada yang bermain. Yaa demikian istilah dalam dunia abu-abu Imigran Gelap di Amerika. Sebut saja mbak Rani -- yang bekerja sebagai staff paralegal di sebuah kantor Pengacara Imigrasi di area DC, Maryland, Virginia -- akhirnya kebanjiran klien dadakan dari imigran gelap Indonesia.
Mbak Rani mempermudah proses pengajuan Asylum para pendatang gelap untuk didaftarkan ke Kantor Imigrasi. Mulai dari "karangan cerita" sampai bukti-bukti yang nantinya akan di review dan diputuskan di pengadilan oleh hakim urusan keimigrasian. Kenapa disebut karangan cerita? Karena kebanyakan data dan fakta yang disodorkan ke pengadilan adalah fiktif alias karangan belaka. Isu yang diangkat kalau kebetulan si pemohon adalah WNI keturunan Tionghoa maka ceritanya dia "seolah-olah" menjadi korban sentimen ras, dengan diperlakukan secara kejam, disiksa, atau diperkosa.
Kalau kebetulan si pemohon adalah orang yang beragama Nasrani, maka cerita yang akan diangkat bisa bermacam-macam. Mulai dari dilarang beribadah, dianiaya warga, hingga gereja dibakar.
Andai si pemohon orang Aceh, maka isu GAM-lah yang diangkat sebagai cerita di pengadilan. Tapi kalau anda orang Purwokerto maka tidak masuk akal kalau alasannya adalah mau mendirikan Gerakan Purwokerto Merdeka. Cerita yang masuk akal adalah Anda "seolah-olah" dituduh sebagai pemasok kebutuhan logistik untuk GAM. Hidup anda merasa terancam karena dikejar-kejar aparat polisi atau intelijen negara.
Lain lagi kalau si pemohon adalah seorang aktivis demokrasi, maka tindakan represif dari sang penguasa; lewat agen intelijen, polisi, atau preman suruhan; lewat tindakan menculik mereka, mengintimidasi, menganiaya, atau bahkan sampai menghilangkan nyawa.
Salah satu teman dari Indonesia sebut saja Romli yang dahulu di Indonesia adalah pembalap motor liar yang kerjanya kebut-kebutan di jalan raya, bahwa ia pernah kecelakaan parah hingga tangan dan kakinya patah, maka dengan menyajikan foto-foto ronsen yang penuh sambungan pin diantara kaki dan tangannya sebagai bukti di persidangan, ditambah plintiran cerita bahwa itu akibat disiksa tentara di masa era Presiden Soeharto, akhirnya permohonan Asylum Romli disetujui oleh hakim.
Singkatnya, inti cerita dan bukti-bukti yang akan disampaikan ke hakim haruslah masuk akal, meyakinkan, dan memenuhi kriteria sebagai korban pelanggaran hak azasi manusia, entah itu berkaitan dengan ras, agama, kebangsaan, anggota kelompok sosial tertentu, atau pandangan politik yang berbeda dengan pihak penguasa.
Para pemohon Asylum sadar bahwa rasa nasionalismenya tengah digadaikan. Mereka mengambil sikap seolah-olah sebagai “musuh” negara atau”korban” dari sebuah institusi negara. Tujuannya jelas, untuk tetap bisa bertahan dan mencari nafkah serta hidup di Amerika. Dan kondisi mereka yang serba belum pasti, yaitu mengambil sikap sebagai musuh Indonesia sekaligus belum diakui (bahkan bisa ditolak) oleh hakim, para pemohon Asylum tak mau statusnya diketahui oleh sesama perantau. Mereka takut akan dicap sebagai “pengkhianat” bangsa.
Aku jadi teringat lagunya Gombloh: Indonesia .. Merah darahku, Putih tulangku, Bersatu dalam semangatmu. Indonesia ... debar jantungku, Getar nadiku, Berbaur dalam angan anganmu. Kebyar ... kebyar ... pelangi jingga. Sekali lagi, hidup memberikan warnanya tak sekedar hitam atau putih melainkan juga abu-abu.

Monday, January 20, 2014

Cerpen: Crystal Ball


Wanita setengah baya berkulit hitam itu bernama Crystal, karena kepalanya plontos, mengkilat maka orang-orang menambahkan Ball, jadilah ia bernama Crystal Ball alias Bola Kristal. Nama yang sangat indah.

Kalau tak kenal Crystal Ball, siapapun pasti mengira ia seorang laki-laki tulen. Perawakannya kurus pendek, teteknya hampir tak ada, gaya bicaranya lantang, mudah marah, dan rokok tak pernah lepas dari mulutnya. Apabila dari mulutnya tercium bau alkohol, maka perangainya makin runyam. Caci maki dan sumpah serapah dalam bahasa "slank" paling kotor keluar bertubi-tubi dari mulutnya. Ibarat senjata api yang menyalak dalam perang kota Baghdad, si Crystal Ball mengutuk siapa saja secara membabi buta. Barangkali semua orang sepakat bahwa si Crystal Ball punya problem mental alias sakit jiwa.
Crystal Ball adalah bagian dari komunitas Dupont Circle daerah trendi downtown Washington DC. Ia bisa berada di hingar bingarnya Club dan Bar di sisi jalan. Lantas berpindah ke trotoar Cafe dan Restoran segala masakan. Entah ia menjual narkoba atau sekedar minta sebatang rokok, atau hanya sekedar meramaikan suasana antrian masuk Bar, diantara muda-mudi yang berpakaian gemerlap, seronok memperlihatkan belahan dada rendah, make up tebal dan setengah mabuk. Ya .. daerah Gay dan Lesbian di Washington D.C. menawarkan aneka kegembiraan, daerah yang tak pernah sepi, daerah dimana pasangan bercengkerama di keremangan bangku taman, atau bersama homeless dan pengemis yang lelah tertidur di rerumputan taman, atau membaur dalam gelak tawa di Bar hingga dini hari.
Perkenalanku dengan Crystal Ball sungguh tak sengaja. Waktu itu siang hari cerah di musim panas aku sedang duduk santai menikmati lalu lalang orang di undakan depan restoran tempatku bekerja. Tiba-tiba si Crystal Ball lewat trotoar dan berhenti tepat di mukaku sambil marah-marah. Ibarat angin topan yang datang tiba-tiba, dia meneriaki dan menuding-nuding aku dengan kata-kata kasar fucking bitch, berulang-ulang tanpa sebab apa-apa.
Aku hanya celilian bengong menggelengkan kepala. Orang-orang yang lalu lalangpun ikut bertanya dalam hati, mungkin aku bikin gara-gara. Yaa sebuah awal perkenalan yang tak mengenakkan. Selanjutnya kalau melihat dia aku memilih untuk menghindar, biar tak kena maki-maki lagi.
Celakanya pada suatu hari dalam kondisi yang tak bisa kuhindari, aku berpapasan dengannya di trotoar. Aku berusaha menyapa dia dengan lagak ramah dan tak kuduga dia membalasnya dengan senyuman. Lagaknya seolah kawan lama, ia memanggilku dengan sebutan sweety alias si manis.
Kutawarkan sebatang rokok untuk mengusir canggung dan ia dengan gembira menyambutnya. Sambil basa-basi kutanyakan dimana dia tinggal dan dia menjawab tinggal di komunitas orang hitam di daerah South East, Washington DC. Tempat yang angker karena tingkat kejahatannya yang tinggi dan hampir tiap hari terdengar suara pistol menyalak. Perampokan, pencurian dan perang narkoba antar geng, Breaking News TV lantas menyiarkan seseorang terbunuh lagi hari ini di South East.
Crystal Ball bercerita bahwa sesama orang hitam selalu ada rivalitas. Diapun tak ingin disamakan dengan orang hitam asal Afrika, ataupun dari Jamaika. Ia mengaku keturunan suku Indian. Kakek moyangnya adalah suku Cherokee yang hidup sepanjang Georgia - Carolina - Tennesse dan punya naluri berburu hebat. Gara-gara cerita tentang perburuan, si Crystal Ball berjanji kepadaku bahwa suatu saat dia akan menghadiahkan sebuah busur panah kebanggaan suku Cherokee. Memang benar dia kemudian menepati janji - tapi sayang apa yang kubayangkan sebuah busur panah yang kekar dan bagus ternyata (dia sempat-sempatnya) hanyalahlah rangkaian busur panah dari ranting pohon dengan di kedua ujungnya disambung seutas tali. Dalam hatiku aku tertawa melihat hadiah dari dia. Itu mah kerjaan anak SD bikin panah-panahan.
Aku tertawa dalam hati, tapi dengan senang hati pemberian itu aku terima. Dan Crystal Ball berjanji suatu saat ia akan membuatkan anak panahnya.
+++
Crystal Ball tak punya pekerjaan tetap. Kadang ia membantu membersihkan kaca di toko grocery milik orang Korea, atau mengelap meja kursi di kedai Sandwich, atau menyapu trotoar sepanjang blok. Kalau kutanya siapa yang membayarmu untuk menyapu jalanan, dia hanya menjawab tak ada yang membayar. Dia melakukan untuk kebersihan lingkungan. Rasa peduli lingkungannya kuacungi jempol. Di sini orang dilihat dari partisipasinya dalam komunitas sosial. Kadang ia mampir ke restoran dan memberikan sebotol bir kepadaku. Atau memberikan baju bekas yang diambilnya dari box tempat pengumpulan barang bekas.
Kubayangkan si Crystal Ball adalah seorang pesakitan mental yang mencoba bertahan hidup. Ia selalu berkata dan mengulangi pernyataannya, " somebody gonna kill me." Dan entah siapa yang akan membunuhnya aku tak tahu. Pernah dia menuding pemuda gelandangan kulit putih yang lagi asyik mengorek sisa makanan di tempat sampah. Barangkali siapa saja bisa jadi tertuduhnya, suka-suka dia.
Sore hari kulihat di seberang jalan di depan pintu hotel si Crystal Ball sedang marah-marah dengan petugas Doorman dan manager hotel. Kulihat mereka saling otot-ototan tak ada yang mau mengalah. Tak lama polisi datang melerai dan membawa Crystal Ball pergi. Beberapa hari kemudian ketika aku bertemu dengannya ia menceritakan bahwa ia dituduh meludahi pegawai hotel. Sedangkan dia beralasan saking antusiasnya berargumen ludah muncrat dari mulutnya. Sejak kejadian itu ia mendapatkan notice dari polisi tak boleh mendekati hotel tersebut. Dalam komunitas Dupont Circle dia dipandang sebagai seorang relawan sosial sekaligus  "trouble maker". Sungguh sangat absurd.
***
Setiap bertemu Crystal Ball selalu mengeluh padaku tak punya uang. Kemudian ia merajuk dan minta uang kepadaku. Dan entah sudah berapa puluh kali jawabanku selalu sama, " I don't have money. I'm broke"
Lantas aku mengeluarkan bungkus rokok dari saku celanaku dan kutawarkan padanya. Ia menyambut gembira sambil mengambil sebatang dan aku menyalakannya. Masalah uang pun akhirnya lupa dan kita basa-basi ngobrol.
Pertemananku dengan Crystal ball dilihat teman kerjaku sangat aneh. Terutama oleh si Kepala Chef Mr. Chong, yang notabene benci banget dengan si hitam plontos itu. Suatu malam ketika Mr. Chong pulang kerja dia mendapati ban mobilnya robek ditusuk pisau di pelataran parkir. Mr Chong lantas menghubungkan kejadian itu dengan ulah si kepala plontos yang beberapa hari lalu diusirnya karena masuk restoran dalam kondisi mabuk dan teriak-teriak minta ketemu Mr. Tan pemilik restoran. 
Suatu hari Crystal ball sengaja datang menghampiriku di restoran dan tiba-tiba dari saku celana ia mengeluarkan duit 20an dollar dan memberikannya kepadaku. Aku kaget dan bertanya," Uang ini untuk apa?".
"This is for you .. Sweety ..."
" No ... No ..no .. I am fine", aku menolak dengan halus.
" Keep it ... Keep it sweety ... Jangan menolak pemberianku."
Sekali lagi aku menolak dengan halus sambil mengatakan bahwa aku masih ada sedikit uang untuk hidup. Tak kuduga Crystal Ball berubah marah atas penolakanku. Barangkali yang dia pahami aku selalu bilang tak punya uang ketika ia meminta. Sekarang ia punya uang dan ingin berbagi tetapi aku menolaknya. Sambil ngomel-ngomel dengan suara keras ia memaksa aku untuk menerima uang pemberian itu. Sungguh sangat absurd berurusan dengan Crystal Ball. Akhirnya uang 20 dollar kuterima sambil aku mengucapkan terima kasih. Dia langsung ngeloyor pergi.
Chong san si head sushi chef yang melihat kejadian itu memperingatkanku untuk waspada kalau-kalau uang itu hasil penjualan narkoba dan suatu saat aku bisa tersangkut masalah hukum karena pemberian uang itu. Bisa jadi uang itu terkait dengan sebuah jaringan peredaran narkoba.
 +++
Ada satu hal yang bikin aku risih ketika bertemu Crystal Ball, kini ia sok akrab dan minta peluk. Pernah ia mengecup pipiku dengan tiba-tiba saat kami berpelukan. Aku kaget setengah mati. Lantas kubayangkan ketika Crystal Ball mau ditangkap polisi tempo hari. Tiga polisi memakai sarung karet dengan susah payah menaklukkan ia yang meronta-ronta seperti banteng terluka. Walau kecil tenaganya perkasa. Ia juga sempat mencakar salah satu polisi hingga berdarah. Gelandangan yang hidup di jalan bisa jadi kotor, jorok, tak pernah mandi, pecandu narkoba, atau habis onani.
" Give me a hug sweety ...", katanya manja.
" I'm sweat ... I'm sweat ...", aku menolak dengan halus sambil memperagakan badanku keringatan dan bau. Akupun buru-buru masuk restoran bilang sedang sibuk.
Malam hari di belakang restoran kulihat Crystal Ball bersandar di tembok dan meracau nggak karuan. Entah mabuk minuman keras atau ganja yang jelas dia mabuk berat. Dalam keadaan setengah sadar dia mulai meneriaki orang-orang yang akan menuju ke Omega Bar dengan sebutan Congo Army. Istilah itu sangat kasar bagi orang yang mendengarnya, istilah yang menggambarkan segerombolan orang-orang bersenjata di Kongo Afrika yang sering bikin teror, menggedor rumah-rumah, merampok serta (dapat dipastikan) memperkosa penghuninya dengan sadis. "Fuck my ass .. Congo Army - bitch!!! .... Fuck my ass .. Congo Army - bitch!!! "
Crystal Ball si trouble maker tak hanya sekali ini saja mabuk berat. Pada suatu malam di tengah - tengah trotoar depan restoran kulihat si Crystal Ball sedang menepuk-nepuk pantatnya dan mengacungkan jari tengahnya ke udara. Gerakannya seperti mengejek seseorang, dengan menepuk pantat dan mengacungkan jari tengah yang melambangkan bahasa "fuck my ass", tapi ia mengejek kepada siapa aku tak tahu. Barangkali kepada burung - burung di angkasa atau makhluk UFO yang lewat.
Aku baru menyadari ketika tiba-tiba melintas sebuah helikopter dengan lampu sorotnya dan si Crystall Ball mengulangi gerakannya memamerkan pantat sambil menepuk-nepuk dan mengacungkan jari tengahnya, ternyata dia sedang mengejek helikopter polisi yang sedang patroli di udara. Aku tertawa melihat tingkah polahnya.
Lain waktu pada suatu malam Crystal Ball pernah membuat seorang gay mendapat masalah gara-gara melihat si Crystal Ball sedang tergeletak di trotoar dekat klub malam khusus gay. Beberapa orang yang lewat berhenti, mencoba mendekat dan membangunkannya. Si Crystal Ball tak bergeming, kerumunan orang makin banyak, saling berbicara dan kemudian salah satu gay atau barangkali banci yang berlagak genit cemas menelpon 911.
Tak berapa lama datang sebuah mobil ambulan beserta truk pemadam kebakaran. Empat orang paramedis mendekat ke arah Crystal Ball yang tergeletak. Kerumunan orang makin banyak. Aku yang melihat kejadian itu menduga-duga barangkali si Crystal Ball mabuk hingga tak sadarkan diri, atau barangkali ia terkena serangan jantung. Kulihat paramedis memakai sarung tangan dan mulai memegang tubuh Crystal Ball, memeriksa denyut nadinya. Salah satu paramedis itu menggoyang-goyangkan tubuh Crystal Ball.
Tiba-tiba si Crystall Ball melek. Terjadi pembicaraan singkat antara mereka, tak lama ia bangun dan ngeloyor pergi. Kulihat ia tak mabuk, juga tak berkata-kata kasar seperti biasanya. Ia juga tak terlihat sakit. Mungkin ia hanya kelelahan saja dan tertidur pulas di pinggir jalan.
Paramedis yang melihat kejadian itu hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum kecut. Mereka lantas memberi kode kepada para pemadam kebakaran untuk bisa pergi meninggalkan tempat. Orang-orang yang berkerumun mulai membubarkan diri. Si gay yang tadi menelpon 911 kulihat sudah kabur entah kemana. Barangkali dia nggak mau kena urusan dengan "panggilan telpon palsu"nya.
Restoran mau tutup aku mulai bersih-bersih dan membuang sampah. Kulihat Crystal Ball masih berada di belakang restoran, bersandar di dinding dalam kondisi mabuk berat. Yang bikin aku tercengang, dia tengah memelorotkan celananya dan kencing sambil berdiri. Air kencingnya ndlewer kemana-mana. Celananya basah. Aku membayangkan kembali ketika ia memeluk dan mencium pipiku, aku jadi gigu. Ingin rasanya membasuh pipiku berulang-ulang hingga bersih. Ingin rasanya buru-buru mandi. Sungguh sangat absurd.

Wednesday, January 1, 2014

TERLAHIR KEMBALI DI AMERIKA

Pada sebuah acara perkawinan teman Indonesia di sebuah restoran buffet di Silver Spring kulihat seorang lelaki setengah baya berkulit keling sedang asyik ngobrol sambil menyantap hidangan secara prasmanan. Dari logatnya yang kental aku yakin ia berasal dari Jawa, tapi begitu kutahu namanya yang Yahudi banget, Mark Goldstein, dalam hati aku bertanya-tanya siapakah diantara kedua orang tuanya yang Yahudi.  

Usut punya usut ternyata si Mark Goldstein itu berayah dari Semin Gunung Kidul, dan ibunya adalah wanita dari Bagelen Purworejo. Nama aslinya adalah Paino. Ia merantau sudah puluhan tahun dan terlahir kembali di Amerika sebagai Mark Goldstein.
Memang pernah kudengar kisah bahwa di Amerika orang bisa mendapatkan identitas baru, jati diri baru sebagai bagian dari Program Perlindungan Saksi. Program ini di bawah Departemen Kehakiman dan yang melaksanakan adalah US Marshal Service. Saksi-saksi kunci dalam kejahatan terorganisir akan mendapatkan perlindungan dari ancaman-ancaman yang bisa membahayakan jiwanya 24 jam sehari baik sebelum sidang, masa-masa persidangan sampai sesudahnya. Para saksi dan keluarganya akan mendapatkan identitas baru yang dijamin keasliannya, rumah tinggal baru, sejumlah uang untuk kehidupan dasar sehari-hari, jaminan kesehatan, dan pekerjaan baru di tempat yang aman.
Kalau melihat tampang si Mark Goldstein asal Gunung Kidul ini, sepertinya ia tidak ikut dalam Program Perlindungan Saksi. Tampangnya bukanlah seperti anggota mafia Itali John Gotti yang terkenal sadis, atau Pengedar Narkoba dari Mexico yang terkenal brutal. Siapapun dia, nyatanya kini ia terlahir kembali di Amerika.
Menurut cerita diantara para imigran gelap, Identitas baru bisa didapatkan dengan cara yang cukup unik dan sedikit rumit. Langkah awal yang harus dilakukan adalah kita bisa pergi ke kuburan dan memeriksa, adakah orang-orang yang seusia kita telah meninggal, atau meninggal dikala usia mereka masih belia. Atau kita bisa pergi ke Perpustaan Kota dan memeriksa file-file surat kabar lama yang memajang iklan obituari, di sana kita akan tahu siapa-siapa yang meninggal di hari itu. 
Langkah selanjutnya adalah lewat kantor Bureau of Vital Records kita bisa meminta kutipan akte kelahiran. Atau kalau prosesnya terlalu berbelit kita bisa melakukan cara kedua yaitu membuat akte kelahiran palsu dari penyedia jasa yang bisa mencetak dengan tingkat keaslian mendekati sempurna. Setelah mendapatkan Akte Kelahiran maka langkah selanjutnya kita harus mendapatkan kartu Social Security Number.
Social Security Number atau disingkat SSN, atau sering disebut SS, adalah secarik kertas seukuran KTP berwarna biru yang berisi nama pemiliknya dan 9 digit nomer yang dikeluarkan kantor Social Security. Di Amerika, nomer SS digunakan sebagai identitas tunggal pemiliknya. Jadi ketika lahir sampai meninggal dunia, ia hanya punya satu nomer SS saja, nomer itu tak bisa diganti. Keperluan yang menyangkut pengadministrasian seperti cari kerja, daftar sekolah, cari SIM/ID, buka akun bank, beli asuransi kesehatan, beli mobil, rumah, mendapatkan pengembalian pajak tahunan, dan benefit pensiun dimasa tua, mereka selalu mensyaratkan nomer SS.
Untuk mendapatkan nomer SS atas nama identitas baru yang sesuai dengan akte kelahiran, kita bisa memanfaatkan "loophole" atau kelemahan sistem, dimana beribu-ribu bayi yang lahir belum didaftarkan oleh orang tuanya untuk mendapatkan nomer SS, atau anak-anak terlantar maupun Juvenile yang secara mandiri bisa meminta nomer SS.
Dengan berbekal akte kelahiran aspal dan nomer SS yang telah kita dapatkan maka jalan lapang terbentang di hadapan kita. Cari kerja, SIM, buka akun bank, membangun credit record, mendapatkan tax return, semuanya akan terasa mudah. Si Mark Goldstein mendapatkan kedua hal di atas dari seorang makelar yang menjual birth certificate dan nomer Social Security kepunyaan si empunya aslinya yang sudah meninggal dunia. Entah Paino yang asli Semin itu harus membayar berapa ratus dollar sehingga ia terlahir kembali di Amerika dengan identitas baru. nyatanya kini ia berstatus sebagai warga negara Amerika yang terpandang, bisa membeli sebuah rumah di Kensington, memiliki paspor Amerika guna menengok orang tuanya di Semin, mempunyai pekerjaan di sebuah perusahaan swasta besar ternama, dan tentunya mendapatkan benefit dari kantor Social Security kelak kala ia pensiun.

 
Site Meter