Thursday, May 13, 2010

MR WANG CHUAN SI PENGANTAR MAKANAN MENERANGKAN TEORI DARWIN

Mr Wang Chuan si 'delivery man' berperawakan sedang, ukuran kepalanya besar, berkacamata minus, serta fasih dan jelas berbahasa Inggris. Ia adalah orang yang suka ngobrol, juga suka membaca. Ia tak pernah lupa membawa 'e-reader' bikinan China yang ukurannya setebal buku novel ke restoran. Ada kebiasaan unik ketika membaca, ia selalu meencari tempat yang remang-remang. Ketika kutanyakan, ia menjawab - sudah kebiasaan. Lantas ia bercerita - waktu kecil dulu keluarganya di China tak mampu berlangganan listrik sehingga kalau belajar ia hanya memakai lampu teplok. Kebiasaan itu akhirnya terbawa sampai sekarang. Entah cerita itu benar atau bohong, sambil menunggu order delivery datang – ia menghabiskan waktunya dengan membaca.

Suatu sore ketika sedang rehat makan malam, Wang Chuan ngobrol tentang kuatnya tradisi bangsa Eropa dan Amerika dalam mendokumentasikan penelitian-penelitian ilmiah mereka. Salah satunya mengenai karya Darwin, tentang teori evolusi yang sangat kontroversial. Pernah sekilas kudengar, antara ilmuwan dan agamawan berbeda pendapat tentang asal – usul manusia pertama yang ada di bumi.

Hal yang kusuka dari Wang Chuan, ia selalu menggunakan perumpamaan sederhana untuk menjelaskan teori-teori berat macam itu. Mengenai Seleksi Alamnya Darwin, Siapa yang kuat akan terus melangsungkan hidupnya, Wang Chuan mengambil contoh seekor induk harimau yang menggiring anak-anaknya meninggalkan daerah tandus - musim panas di Afrika. Karena panas terik yang menyengat serta tidak menemui buruan, maka dalam perjalanan si induk harimau itu mati. Bagaimana nasib anak-anaknya? Karena hukum alam, anak-anak harimau itu juga akan mati. Mereka masih tergantung kepada induknya, belum dibekali naluri untuk mempertahankan hidup, untuk mencari mangsa, atau menghindar dari keadaan bahaya.

Adaptasi dengan lingkungan adalah faktor penting dalam kelangsungan hidup makhluk hidup. Seperti halnya jerapah yang berleher panjang karena (ada dugaan) mereka beradaptasi dengan pohon-pohon sumber makanannya. Demikian pula Beruang Kutub yang mempunyai kaki lebih kuat untuk berjalan di atas es sekaligus untuk berenang, juga bulunya lebih tebal untuk menahan dingin, serta berleher lebih panjang untuk mencari buruan di dalam lubang persembunyian.

Demikian pula ketika Wang Chuan mencontohkan bahwa gempa bumi yang terjadi di kota kelahirannya, Sichuan Mei 2008, dan mengakibatkan ribuan nyawa melayang - adalah salah satu bentuk dari seleksi alam. Dalam nada bicaranya tak kudengar nuansa kesedihan sedikitpun tentang korbannya (barangkali saudaranya). Seolah gempa bumi adalah sebuah kejadian natural yang terjadi karena pergeseran atau patahan dalam lempeng bumi. Barangkali kalau gempa bumi itu terjadi di Indonesia, tentu persepsi kita akan langsung tertuju pada keberadaan Sang Pencipta. Sebuah konsep “Kehendak Mutlak” yang tak bisa ditawar – tawar. Selanjutnya, ada sebagian masyarakat yang menilai gempa bumi itu sebagai sebuah “Cobaan” dan sebagian lain menterjemahkannya sebagai “Kutukan”.

Kembali pada si tukang antar makanan, Wang Chuan kemudian berbicara pada titik kontroversinya: kalau kita percaya teori evolusinya Darwin, bahwa manusia adalah evolusi dari bangsa kera, lantas yang jadi pertanyaannya adalah: Ada satu titik, satu masa, dimana kera itu berubah jadi manusia. Kapankah itu?

Sebuah pertanyaan yang susah untuk menjawabnya. Hingga kinipun, ilmuwan belum bisa menemukan mata rantai yang terputus antara kera dan manusia. Aku yang hanya pembuat sushi jelas tak mampu menjawabnya. Menurut yang aku tahu, manusia pertama yang ada di bumi adalah Adam dan Hawa. Itu yang diceritakan guru agamaku waktu sekolah dulu.

Akhirnya (ketika melihat aku bengong saja) Wang Chuan menjawab pertanyaan kontroversialnya tadi, dengan nada dan intonasi yang seolah meyakinkanku,
” Ada satu masa, satu waktu, ketika kera itu sedang duduk di atas bukit, menatap indahnya panorama sore hari, dan bertanya pada dirinya sendiri,” Who am I ? ” Siapakah Saya.

Sungguh jawaban itu diluar dugaanku. Barangkali Wang Chuan ingin menegaskan bahwa kera itu sudah mulai bertanya-tanya siapa sebetulnya dirinya. Bukankah itu sebuah esensi kehidupan manusia? Mempertanyakan jati dirinya? Eksistensi dirinya? Dalam alur berpikirnya, Wang Chuan selalu menyisakan sebuah sarkasme yang kental dalam tema-tema yang diceritakannya. Sebuah humor yang disertai ironi. Apapun itu, saya selalu menunggu Wang Chuan menceritakan hal-hal menarik dan lucu. Alih-alih untuk mengusir suasana jenuh bekerja seharian di restoran.


Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap Di Amerika

Saturday, May 1, 2010

CerpenRantau: Istri yang Merantau

(Oleh: Janu Jolang)
Angin musim gugur sore itu berhembus kencang melewati pilar - pilar kokoh monumen Lincoln, desirnya masuk ke dalam gedung. Lastri duduk di undakan tangga menggigil kedinginan. Rono kemudian mendekap dari belakang untuk memberi kehangatan. Lastri agak kikuk, ingin menolak tapi kemudian membiarkan saja. Beberapa turis sibuk bergaya di depan tustel, dan yang lain seksama mengamati patung marmer Abraham Lincoln sembari mengingat jasa-jasanya. Di bawah, pada pelataran kolam pantul terlihat keluarga Afrika - Amerika sedang berfoto dengan gaya ceria. Lastri tidak menghiraukan tingkah laku mereka. Ia tengah hanyut dalam masalah yang menguras perasaannya. Ia bingung ketika Rono membisikkan kata cinta di telinganya. Ia sudah menikah, demikian pula Rono. Walau suami dan istri mereka berada jauh di Indonesia.

Lastri sudah menolak secara halus tapi Rono tetap ngotot, seolah Rono bisa melihat kedalaman dirinya. Ya, tatapan sendu Lastri menjelaskan geliat kesepian di hatinya. Barangkali perpisahan dengan suaminya selama bertahun - tahun tanpa disadari telah mempengaruhi keteguhan hati wanita itu sebagai istri yang merantau.

Dan setelah pertemuan - pertemuan yang dilakukan mereka berdua, kini amat sulit bagi Lastri untuk memahami apa yang sebenarnya ada di kedalaman hatinya: cinta atau nafsu? Rasanya dua hal itu sudah membaur jadi satu. Bagi dirinya yang pernah mengalami cinta pertama, kali ini perasaan cintanya terhadap Rono lain. Tak ada rasa berdebar hebat ketika ia berjumpa dengannya kecuali Rono membelai-belai tangannya, tak ada rasa cemburu buta biar kata Rono bercerita tentang istrinya, tapi ia akan merasa gelisah jika tak bertemu Rono barang sehari. Rasanya ada sebuah kenikmatan tertunda yang selalu menghantui.

Lastri yang mendengar pengakuan cinta Rono diam tak menjawab. Wajahnya tunduk tersipu, rona merah tampak pada pipinya. Ia tetap diam, nyata kedalaman hatinya berbunga-bunga. Dibiarkan Rono terlunta - lunta tanpa jawaban, harap - harap cemas. Sejujurnya, pengakuan Rono itu telah lama ditunggu - tunggu. Ya, Rono telah mencuri hatinya, Rono yang begitu baik, perhatian dan dewasa, Rono yang mapan penghasilannya, Rono yang selalu memenuhi lamunannya sepanjang hari. " Salahkah aku jatuh cinta?", Lastri selalu bertanya - tanya dalam hati. Apakah benar Gusti Allah yang memberikan perasaan cinta ini? Tapi aku sudah menikah, apakah boleh orang sudah menikah jatuh cinta lagi? Kini dilihatnya Rono diam terpaku, malu - malu, tanpa daya, rasanya seperti bocah kecil yang baru saja kepergok memainkan kemaluannya. Berani - beraninya dia menyatakan cinta.

Lastri terkejut dari lamunan ketika tangannya digenggam erat Rono, seolah - olah ia menginginkan kepastian secepatnya. Lastri diam saja, kini kebimbangan merasuki hatinya. Ia lantas teringat pada Jiman. Ya, Jiman suaminya, pemuda lugu yang ditinggal merantau selama 4 tahun, Jiman yang terpisah ribuan kilometer, Jiman yang kini masih setia tinggal di dusun, bersama Menik - anak perempuanya, di kaki gunung Merapi ditepian kali Krasak. Rasa - rasanya ia tak tega untuk mengkhianati suami dan anaknya dengan berpaling pada cinta Rono. Mereka tidak bersalah, tak ada satu alasanpun yang bisa membuat ia meninggalkan mereka. Tapi Rono kini telah mencuri hatinya. Ia jadi bingung.

Ingatan Lastri kembali pada saat - saat indah 10 tahun yang lalu di desa, ketika ia dan Jiman dimabuk asmara. Ia begitu tergetar melihat Jiman sebagai pemain utama dalam kesenian rakyat Kubrosiswo, yang menari dengan gagah bak punggawa perang dalam perayaan 17 Agustus-an. Semenjak itu mereka memutuskan untuk menikah pada usia muda. Kala itu, banyak pemuda desa yang bekerja di kota merasa kecewa mendengar berita itu. Jiman hanyalah pemuda lugu di dusunnya, dan dialah sedikit dari pemuda yang tidak meninggalkan dusunnya. Tapi sedikitnya Jiman rajin dan ulet, ia bekerja menambang pasir di hilir kali Krasak, memecah batu gunung menjadi kerikil, dan menjualnya pada truk - truk pasir yang lalu lalang.
Lastri ingat ketika ia jadi manten, jadi ratu semalam, dengan kain batik dan baju kebaya bak putri kraton. Ia berikrar untuk taat dan berbakti kepada suami, itu muncul dari lubuk hati yang terdalam. Ketika Jiman menginjak sebutir telur dalam upacara adat Jawa, maka saat itu juga ia ikhlas, Jiman telah memiliki kesucian dirinya, Jiman telah memecahkan selaput daranya. Kemudian ia membasuh kaki suaminya tanda ia bakti dan tunduk pada suaminya.

Lastri tersadar dari lamunan, dari anak tangga di atasnya kini Rono mendekap tubuhnya lebih erat, kemudian mencium pipinya. Lastri tak kuasa menolak, dilihatnya kini tatapan mata Rono berubah yakin, sepertinya Rono akan mampu membereskan semua aral melintang di depannya.

" Kamu mau menerima cintaku, Las?", desak Rono.

" Tapi mas, sampeyan kan sudah beristri ..", Lastri mengelak, dibiarkannya pelukan Rono erat mendekap dadanya. Dalam hatinya ia ragu untuk menjawab, barangkali lebih aman untuk berkata demikian.

" Ya, kenyataannya memang aku menikah.," suara Rono tersekat, " aku harus bilang apa lagi untuk meyakinkanmu ." Sejenak mereka terdiam, bisu, hanya angin - angin yang berhembus memainkan nada - nadanya, menerobos sela - sela ranting pohon tak berdaun, menerobos pilar - pilar kokoh bangunan, mendesau datang dan pergi.

" Lastri.., kalau aku mau berbohong sejak awal, aku pasti mengaku bujang atau duda padamu. Tapi itu tidak kulakukan, aku mau hubungan kita jujur sejak awal."
" Dan kini Lastri..., " Rono berpindah posisi dan menggenggam erat tangannya, " istriku telah mengijinkan aku untuk menikah lagi. Aku sudah bilang tentangmu."

" Mbak Sumi mengijinkan?," tanya Lastri kurang percaya, " trus apa katanya, mas?"

" Ya daripada aku terlanjur berbuat zina di perantauan, ia akhirnya mengijinkan aku untuk menikah lagi. "

Lastri tersenyum, dalam hatinya ia tertawa getir, alasan yang sama selalu diucapkan kebanyakan lelaki beristri, mereka sepertinya kompak walau tak saling kenal. Istri - istri mereka mengijinkan suaminya menikah lagi. Ya seperti itu alasan mereka, seolah - olah istri mereka digambarkan oleh sang suami sebagai istri yang telah puas limpahan kasih sayang, istri yang gairah syahwatnya sudah meredup, istri yang sedia berbagi, dan barangkali istri sholehah yang mengijinkan suaminya di perantauan beristri lagi. Alasan - alasan itu tak pernah ditelusuri kebenarannya oleh Lastri. Mungkin mereka berbohong. Sesungguhnya, mereka tak pernah berterus terang pada istrinya untuk menikah lagi.

" Bagaimana Lastri?", desak Rono lagi. Kini ia merasa barangkali kesabarannya mulai diuji.
Lastri diam terpaku, pandangannya terarah pada kolam pantul di depannya, beberapa unggas asik berenang di kejauhan, tampak deretan ranting - ranting pepohonan membayang pada kedua sisi kolam itu. Tiba - tiba Lastri bersuara lirih," Aku masih bersuami, mas Rono."

" Aku tahu Lastri, tapi ..apakah kamu .. ", tiba - tiba kalimat Rono dipotong suara Lastri. " Tapi,..entahlah mas, rasanya ., aku bingung mas .", Lastri membenamkan kepalanya pada dekapan lututnya, isak tangis terdengar lirih.

" Kamu masih mencintai suamimu, Las?", tanya Rono.

Lastri tak menjawab. Empat tahun berpisah dari suami diakuinya menimbulkan sebuah jarak dalam hati. Ia tak bisa memungkiri, sosok suaminya tak pernah lagi hadir dalam benaknya. Rasanya keseharian yang dialami di Amerika tidak lagi berpusat pada sosok suaminya, pada alam pedukuhannya, pada adat istiadat yang melingkupinya. Apalagi dengan kehadiran Rono di sisinya, duh . maafkan aku kang Jiman.

Ya, rasa cinta yang dulu menggelora kini surut sudah. Kadang ia bertanya-tanya dalam hati: apakah perasaan itu dialami juga oleh istri - istri yang merantau? Istri - istri yang jauh meninggalkan suaminya di Indonesia? Terkadang Lastri mencari pembenaran ketika melihat beberapa temannya yang telah bersuami menjalin asmara dengan laki - laki lain. Ada Rani yang hidup seatap dengan Mike lelaki kulit hitam asal Jamaica, ada Yani yang menikah lagi dengan Modesto pegawai konstruksi dari Honduras, dan beberapa malah terlihat sering gonta - ganti pacar, mencobai kamar - kamar hotel di daerah pinggiran kota. Kedalaman dirinya tak bisa berbohong, ia masih muda, bertubuh sehat, sintal, dan gairah berahinya masih kuat. Terutama kalau masa subur datang, sungguh menggelisahkan dirinya. Disaat tubuhnya menggeliat resah, ketika puting susunya mengeras, ketika peranakannya dirasakan turun ke bawah dan mengembang sampai ke pucuknya, saat itulah ia butuh belaian tangan kokoh dengan gerakan lembut mengusap tubuhnya. Menebar benih - benih pada persawahannya, atau sebelumnya mencangkul keras - keras, dengan hujaman menghentak - hentak, hingga tanah sekeliling bergetaran, dan lumpur bercipratan kesekujur tubuh.

Lastri tak sadar pagutan Rono telah membelit bibirnya. Ia tak kuasa menolak. Dirasakan hangat bibir Rono menyelimuti dingin tubuhnya. Menghalau angin - angin yang membekukan hatinya. Ia tak ingat lagi keramaian di sekitarnya, diantara turis - turis yang menghabiskan sore di gedung Lincoln Memorial. Ia hanya bisa pasrah kemana angin kan membawanya pergi.

****
Di belahan dunia lain, pada waktu yang sama, subuh di sebuah pedusunan di tepi kali Krasak, Jiman terbangun dari tidurnya. Semilir angin menerobos celah dinding bambu rumah, rasa dingin merayapi sekujur tubuhnya yang kurus berotot. Sisa air hujan pada dedaun bambu jatuh ke tanah menimbulkan derap berirama. Kokok ayam terdengar bersahutan, sesekali suara kambing tetangga mengembik. Gemuruh air kali Krasak terdengar keras pertanda arus sedang deras. Dam Senthong mungkin semalam dibuka. Hujan lebat mengakibatkan sungai meluap, membawa partikel - partikel vulkanik dari gunung Merapi. Baginya, ini adalah anugerah rezeki melimpah yang diberikan alam kepadanya, kepada penduduk dukuhnya. Namun banyak pemuda dusun lebih tertarik mengadu nasib di kota, bekerja sebagai buruh di pabrik tekstil, pabrik kertas, atau pabrik penyamakan kulit sepanjang jalan Magelang - Yogjakarta. Demikian pula istrinya, karena iming - iming teman sedusunnya, akhirnya ia merantau ke Arab sebagai TKW pada keluarga seorang pejabat pemerintahan. Setelah satu tahun bekerja kemudian istrinya ikut pindah ke Amerika karena tuannya menjadi diplomat. Dan kabar terakhir dari Lastri, ia pindah memilih bekerja sebagai 'babby sitter' pada keluarga dokter berkebangsaan Yahudi. Ah.... sudah empat tahun berlalu.

Adzan Subuh lamat - lamat terdengar dari langgar di ujung dusun. Jiman bangun dari amben, segera mengambil air wudlu. Di bilik sebelah, Menik - buah cintanya dengan Lastri delapan tahun lalu masih tertidur pulas, nafasnya teratur. Dalam remang nyala teplok, dilihatnya wajah polos Menik menyiratkan kedamaian. Jiman kemudian membangunkan anaknya, "Subuhan Nik, .. ayo bangun."

Anaknya masih pulas. Untuk kedua kalinya ia membangunkan dengan suara lebih keras. Dengan masih terkantuk - kantuk anaknya membuka kelopak mata, mengucek matanya.
"Pakne, aku ngimpi ketemu ibu."

" O ya?," kata Jiman," Opo ngimpimu, cah ayu?"

" Ibu kupanggil - panggil nggak dengar."

" Ya tentu, wong ibumu itu lagi kerja di Amerika," Jiman tidak menggubris mimpi anaknya," sudah sana wudlu."

" Wong ibu sedang nyebrang di kali Krasak situ kok Pakne ", Menik membantah.

" Ya sudah, sana wudlu dulu."

Menik bangkit ogah - ogahan, lantai tanah yang diinjaknya terasa dingin, ia kemudian menggeragap mencari sandal. Dengan mata setengah terpejam ia menuju bilik belakang. Pada sisi yang bertentangan dengan perapian masak, Menik mentangkupkan tangannya pada pancuran gentong dan kembali ke ruang tengah dengan air masih menetes pada wajah dan tangannya. " Ibu hebat ya Pak, bisa keliling dunia."

Jiman diam saja, ia sedang menebah balai - balai dengan sapu lidi, kemudian menggelar tikar di atasnya.

" Ibu hebat .", gumam Menik

" Makanya belajar yang rajin, nanti bisa seperti ibumu."

" Ibu hebat ya Pak., bisa ke Arab, trus .. ke Amerika."

Jiman berdiri di atas balai - balai kayu menggelar sajadah. Menik mengikuti gerakan ayahnya persis dibelakangnya. Sembari memakai mukena Menik bertanya," Amerika jauh ya Pak?"
Jiman tidak menjawab. Digulungnya lipatan sarung sebatas perut, memakai peci, dan merapikan baju kokonya. Menik bertanya lagi pada ayahnya, " Amerika jauh sekali ya Pak?"

" Iya ", jawab Jiman singkat.

" Banyak salju di Amerika ya Pakne?" Jiman diam saja, ia bersegera memulai sholat.

" Ibu kok nggak pulang - pulang sih, Pakne?", suara Menik berubah kesal, bercampur rindu.

Jiman membalikkan badan, menatap wajah polos anaknya: mata anaknya berkaca - kaca. Ia kemudian merebahkan lutut pada balai - balai. Jiman mendekap erat anaknya ke dalam rengkuhannya, suara Jiman bergetar, "Sudah . sudah ., ibumu pasti pulang ., sebentar lagi ibumu pulang." Jiman merasakan basah air menempel pada baju kokonya.

" Nanti kalau ibumu pulang, kalau ibumu sudah selesai kerja di Amerika, kita bertiga akan tamasya ke kota. Hari Minggu, ya, pagi - pagi sekali, ibumu sudah menyiapkan baju dan sepatu baru oleh - oleh dari Amerika. Bapak juga pakai baju baru. Ya, kita naik bis dari Tempel. Kita pilih bisnya yang bagus, yang besar. Trus kita langsung ke kebun binatang Gembira Loka."

" Ceritakan ada apa di sana Pakne?"

" Sudah, sholat dulu, critanya nanti saja .."

" Ayo Pakne, sebentar saja .", rengek Menik

" Ya . ya .., tapi sebentar saja ya. Di Gembira Loka Pakne liat gajah, besaaaar sekali. Gajahnya suka makan kacang, kacang rebus. Trus ada onta yang tinggi - tinggi dan berpunuk. Trus ada monyet, ada yang besar, ada yang kecil - banyak jenisnya, juga macan loreng."

" Ada kancil nggak Pakne?", tanya Menik.

" Wooo ya jelas ada," seru Jiman seolah-olah pernah melihat kancil, padahal Jiman hanya mendengar dari dongeng ibunya ketika ia masih kecil," kancilnya itu pinter, Nik, wong sudah dikrangkeng, eeh... ini bisa lepas. Trus kancilnya ke kandang gajah nyolong timun, ke kandang menjangan nyolong kacang panjang. Sudah critanya Nik, kita sholat dulu ya?"

" Selesai sholat Pakne crita lagi ya?"

" Ya sudah, nanti Pakne crita lagi."

Dan kedua bapak dan anak itu mulai menghadapkan wajahnya ke kiblat, mengangkat ke dua tangan dan sedakep khusyu. Jiman memasrahkan jiwa, pikiran, serta hatinya dalam lafal merdu puji syukur dan mohon hidayah pada Sang Pencipta, Allah yang pengasih dan penyayang. Kedamaian meliputi sekujur nadinya. Persis di belakang, Menik mengikuti gerakan ayahnya. Ia gelisah membayangkan kembali mimpinya, mimpi tentang ibunya yang menyeberangi derasnya kali Krasak, dengan seseorang yang rasa - rasanya bukan ayahnya. Mereka menuju dusun seberang. (Washington Dc, 2003)

 
Site Meter