Tuesday, September 29, 2009

CerpenRantau: Kereta Terakhir Ayah

Oleh Janu Jolang
(Terbit di Kompas.com,Oase,Kamis, 17 September 2009)

Aku berada di stasiun Yogyakarta sore itu, menunggu dengan gelisah kereta Purbaya dari arah Surabaya. Ayahku sakit keras, demikian kabar yang kuterima dan aku harus segera pulang. Barangkali ini saatnya, saat ajal menjemput Ayah. Bukannya aku tak hormat pada beliau, atau tak sayang – tapi beberapakali terlintas dalam pikiranku kapan Ayah meninggal dunia. Dan mungkin ini saatnya.

Hampir satu jam kumenunggu, akhirnya kereta kelas rakyat itu nampak juga di kejauhan, bergoyang lelah di atas bantalan rel. Kereta berhenti menurunkan sebagian penumpang yang keletihan karena seharian terkurung dalam gerbong. Aku bergegas naik, berebut dengan penjaja asongan yang menawarkan bakpia Pathuk. Gerbong terasa pengap, kucium bau khas kereta kumuh. Barangkali dari asap diesel yang menempel dinding dan tertutup debu, bercampur dengan kulit jeruk dan cangkang telur asin yang berserakan di lantai. Aroma itu tiba-tiba memicu kepiluan diriku. Setiap orang akan mati, dan mungkin kini giliran ayahku. Kematian adalah satu paket dengan kehidupan. Dan ketika aku mulai mengenal arti sebuah kematian, aku makin takut memikirkannya. Perasaanku, hidup hanyalah sekedar menanti proses kematian yang menakutkan.

Tiba-tiba lamunanku buyar oleh hentakan gerbong. Kereta mulai jalan. Kusapu pandangan keluar jendela. Rumah – rumah di pinggir rel seolah berkelebat melewatiku satu demi satu. Sempat kuhitung tak lama konsentrasiku buyar. Ayahku mengenalkan permainan itu ketika aku masih kecil. Apa manfaatnya aku tidak tahu. Barangkali sekedar belajar menghitung, atau sekedar menghabiskan waktu di kereta. Tapi mungkin juga untuk melatih konsentrasi anak kecil -- karena begitu kereta lewat persawahan, tak ada satu rumahpun yang kutemui sampai ketika aku menemui rumah lagi aku sudah lupa berapa jumlah yang kuhitung. Dan Ayah kini tergolek sakit menanti ajal.

Apakah beliau juga menghitung hari - harinya sekedar menghabiskan waktu? Seperti terpidana mati yang menandai hari dengan mencoret dinding begitu matahari tenggelam di ufuk Barat? Adakah sesuatu yang bisa dimaknai Ayah dari penderitaan itu?

Sakitnya sendiri datang perlahan-lahan, hanya seperti kesemutan di telapak tangan kanan. Seiring berjalannya waktu, tangan menjadi kehilangan tenaga, menjalar ke tangan kiri, dan terus ke kaki. Dokter rumah sakit di kotaku tak tahu pasti penyakitnya. Ayahku lumpuh perlahan-lahan, Ia berjuang keras melawan penyakit misteriusnya. Adik ipar ayah yang tahu tentang hal-hal gaib menganjurkan pengobatan spiritual. Sepertinya dalam terawangan Paman, Ayah terkena guna-guna. Paman kemudian membawa dukun sakti ke rumah.
“Buat apa kamu bawa dukun segala, Dik?”
“Ini orang pinter langganan pejabat penting di Pusat, Mas. Menteri Anu disantet berkali-kali dan semuanya balik ke pengirimnya. Apa salahnya dicoba Mas, siapa tahu cocok.”

Dan hari berlalu - makin banyak dukun – dukun berdatangan. Ayahku tak pernah percaya dukun sebelumnya tapi entah kenapa sekarang berubah. Barangkali bujukan paman atau putus asa karena penyakitnya. Ayahku tampak pasrah.

Setiap dukun yang datang punya penglihatan dan pengobatannya sendiri. Ada yang bilang ayahku diguna-guna dan si dukun beraksi menghilangkan guna-guna itu. Kenyataannya sakit ayahku makin parah. Kedua tangannya lumpuh dan kaki sudah mulai kehilangan tenaga. Ayah hanya bisa duduk di kursi roda.

Lain hari ada dukun yang bilang rumah kami sesungguhnya adalah Pasar Setan, tempat makhluk halus berjual-beli barang dagangan. Si dukun lantas membuat ritual sedekah dedemit. Waktu berlalu, ternyata tak ada perubahan juga pada diri Ayah. Dan yang lebih keterlaluan lagi, terawangan si dukun muda yang bilang bahwa Ayah terkena karma sehingga untuk menebusnya harus menyembelih kambing delapan ekor dan 'nanggap' wayang semalam suntuk. Belum lagi seorang dukun yang mengatakan Ayah terkena penyakit tulang dan memberikan jejamuan yang pahitnya nggak ketulungan hingga mampu merontokkan tahi lalat di sekujur tubuh ayah.

Dari semua dukun yang mengobati Ayah, kupahami ilmu kedigdayaan mereka saling bertolak belakang. Aku kasihan Ayah hanya dijadikan obyek belaka, sepertinya Ayah tempat berbagai macam penyakit, karma, dan guna-guna. Tak ada seorang dukunpun yang berhasil menyembuhkannya. Hari-hari ayahpun selanjutnya hanya tergolek di tempat tidur.

Kereta berjalan lambat, di depanku duduk anak kecil bersama ayahnya. Anak kecil itu mulai mengantuk, barangkali kelelahan. Walau demikian kulihat garis mata dan mulutnya menampakkan rona bahagia. Kualihkan pandangan ke luar jendela. Sore itu di ufuk Barat matahari hampir tenggelam menyisakan rona merah kekuningan. Di antara Kutoarjo - Kebumen kulihat ribuan burung yang terbang rendah saling berpapasan, berhimpitan, dan tak satupun yang bertabrakan. Mereka mencari sarangnya dalam rumah-rumah kosong. Aku tak tau pasti itu gerombolan burung Walet atau Sriti, tapi yang pasti pemandangan itu selalu menghadirkan ketakjuban bagiku. Sejenak kurasakan udara masih menyisakan panas yang menyengat. Aku teringat ketika Ayah menangis dalam pembaringan meneteskan air mata. Barangkali Ayah sedang kebingungan memikirkan bagaimana nasib anak-anaknya kelak.

Kepulanganku waktu itu karena aku butuh uang untuk membayar uang sekolah di tingkat pertamaku kuliah. Hal itu menyadarkan Ayah bahwa anak - anaknya masih membutuhkan biaya untuk sekolah. Tanpa pikir panjang, dengan pengorbanannya Ayah menghentikan membeli obat-obatan pemacu syaraf otot yang berharga mahal. Untung Ibu adalah seorang yang sabar dalam merawat Ayah. Ibu selalu membesarkan hati Ayah. Kalau tidak, barangkali Ayah tak sanggup lagi menanggung derita sakitnya. Juga ajakan pasrah kepada Tuhan membuat Ayah semakin bisa menerima keadaan dirinya.

Lampu gerbong tak menyala - kereta gelap gulita. Lewat cahaya lampu dari luar yang sesekali masuk kulihat anak kecil itu ketakutan. Ia bolak – balik menengok ayahnya, sorot mata itu seolah menyatakan Ia takut kehilangan ayahnya. Dan betul, ketika kereta memasuki terowongan Ijo – anak kecil itu menangis keras-keras. Bunyi bising udara dalam terowongan barangkali menambah ketakutan anak kecil itu. Sepertinya Ia benar-benar kehilangan Ayah dari penglihatan dan pendengarannya.

Entah di stasiun mana, kereta berhenti agak lama. Rasanya waktu berjalan lambat. Aku tak sabar ingin cepat sampai rumah melihat kondisi Ayah. Kereta bisnis menyusul dari belakang dan berhenti di rel samping, tanpa pikir panjang Aku memutuskan pindah kereta. Sisa perjalanan itu sendiri tak menarik lagi bagiku.
Sampai di rumah orang-orang telah berkumpul . Beberapa membacakan surat Yasin. Aku masuk ke dalam kamar. Kulihat Ibu sangat sedih, tapi ketabahan merawat Ayah selama ini memunculkan ketegaran diri. Kakak, adik, paman, dan kerabat keluarga semuanya juga sedih. Bagi beberapa orang yang mempunyai ide mencintai kehidupan, tentu Ia juga mencintai kematian itu sendiri. Barangkali sugesti mencintai kematian akan mempermudah saat maut menjemput. Makin dilawan makin sakit kita dibuatnya. Tapi insting alamiah makhluk hidup adalah mempertahankan hidupnya.

Setiap hari tubuh kita merasakan kesakitan, ketidaknyamanan, tak lain karena tubuh ingin tetap hidup. Dalam kadarnya yang paling ringan, rasa gatal di kulit adalah cara tubuh bereaksi terhadap ancaman dari luar. Juga bersin, atau batuk. Tapi dalam kadar akut, kulit yang tadinya gatal akan timbul nanah, melepuh, juga hidung yang bengkak atau tenggorokan yang meradang. Panas tubuh berubah tinggi, dan badan menggigil. Itu sebuah perlawanan tubuh secara alamiah terhadap serangan penyakit.

Dan disaat terakhirnya kulihat Ayah berjuang keras melawan maut. Aku tak hirau apakah itu reaksi tubuh secara alamiah atau memang Ayah ingin bertahan hidup. Nafasnya sengal seolah paru-paru sudah tak mampu lagi menarik udara. Matanya memancarkan sebuah pertahanan hidup. Apa yang bisa kauharapkan lebih dari seseorang yang berjuang melawan ajal. Tak seorangpun berhak menilai, biar dukun, alim ulama atau seorang sucipun, kematian tidaklah sekedar diomongkan sebagai kematian yang mudah, susah, menyakitkan, atau memalukan.

Bagiku ayah terlihat jantan dan tegar. Disetiap senggal tarikan nafasnya ada keberanian menatap maut, dengan kesadaran diri masih terpancar di matanya. Barangkali itulah satu-satunya yang ditunggu Ayah selama sakitnya.
Bagiku sangat manusiawi,“ .... sesuatu yang pasti dalam kehidupan ini adalah kematian, Ayah. Selamat jalan”

********
Kenangan
Stasiun Yogyakarta

Wednesday, September 9, 2009

STUPID CRIMES 3

Laki-laki dari Sarasota ditangkap pada hari Minggu karena mengijinkan anaknya yang baru berumur 8 tahun mengendarai mobil. Akibatnya parking lot rusak.

MB, 34 tahun mengatakan kepada polisi bahwa ia menyuruh anaknya menggantikannya dibalik kemudi karena ia merasa 'woozy' alias pusing. Anaknya hampir menabrak dua pejalan kaki sebelum akhirnya menabrak pohon. Ketika polisi menanyakan kepada anak kecil itu, ia menjawab bahwa bapaknya baru saja meminum obat cair supaya reda sakitnya, sambil si anak menunjuk pada sebuah botol whiskey. (Dari Tabloid Examiner)


Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap Di Amerika

 
Site Meter