Saturday, August 25, 2012

SENOR COYOTE

Coyote adalah sejenis anjing liar yang ganas, mirip srigala, punya daya endus yang hebat dan efisien dalam membunuh mangsanya. Binatang ini banyak ditemui di Dataran Amerika hingga Kanada.


Dalam dunia penyelundupan manusia, human trafficking, terutama di daerah perbatasan Mexico dengan Amerika Serikat dikenal istilah Senor Coyote, dia bukan anjing melainkan orang yang pekerjaannya memandu rombongan orang orang gelap masuk ke Amerika. Pekerjaan ini dibayar mahal karena memang tugasnya cukup berat. Membawa rombongan imigran gelap menempuh perjalanan berat selama berhari-hari melewati gunung-gunung, menyebrangi sungai, padang bebatuan, atau padang pasir. Garis batas sepanjang 8000 miles dari Tijuana dekat California turun ke Juares dekat New Mexico sampai Matamoros dekat Texas adalah lahan pekerjaan Senor Coyote.

Ibarat Rambo yang menguasai medan, tahu seluk beluk menghapus jejak, tahu menghindar dari sergapan musuh, perjalanan melintasi perbatasan adalah sesuatu hal yang mendebarkan. Mereka harus tahu kapan berangkat, kapan istirahat, dari daerah mana mereka masuk Amerika, juga menghindar atau bersembunyi dari patroli petugas perbatasan.

Ketika helikopter melintas, mereka harus tiarap, menutupi tubuh mereka dengan selimut atau bersembunyi di semak semak pohon perdu, tak boleh menyalakan api unggun, memasak dan membuang bungkus sisa-sisa makanan. Dan ketika mereka berjalan lagi, orang terakhir harus menghapus bekas jejak langkah mereka dengan ranting-ranting pohon.
Tukang cuci piring di restoran tempatku bekerja bernama Jose cerita bahwa untuk bisa masuk ke Amerika dia harus bayar 7000 dollar pada mafia penyelundup di Tegucigalpa ibukota Honduras. Jose dulunya adalah kuli pemetik jeruk dengan bayaran 5 dollar sehari di kampung halamannya di sebuah kota kecil di Honduras. Lelaki muda dan ganteng serta bermata biru itu barangkali kalau di Indonesia sudah jadi bintang iklan dan jadi pujaan banyak wanita.

Ketika kutanya butuh paspor untuk melintasi tiga negara, Salvador, Guatemala, dan terakhir Mexico, Jose yang hanya bisa bahasa Spanyol dan buta huruf itu menjawab, " No necesidad de pasaporte, solo dinero." Nggak butuh paspor, hanya uang saja. Seolah jawaban Jose ingin menggambarkan bahwa untuk melintasi ketiga negara tersebut si Coyote Honduras akan mengurus mereka dengan aman dan nyaman layaknya seorang travel guide alias pemandu wisata yang akan memandu mereka melintasi 3 negara.

Tapi janganlah dibayangkan para pelintas batas itu mau pesiar seperti turis-turis berkantong tebal, melainkan mereka lebih mirip pengungsi. Jose si tukang cuci piring ketika kutanya hanya berbekal 1000 lempira mata uang Honduras yang kira-kira setara 50 US dollar. Sepanjang perjalanan Honduras – Mexico yang memakan waktu kurang lebih 8 hari dengan mengendarai mobil van, mereka hanya dijatah makan sehari sekali oleh Senor Coyote. Kalau ada dari mereka yang protes, rewel atau menyusahkan selama perjalanan, si Coyote tak segan-segan bersikap kasar dan menurunkannya di jalan.

Ketika mereka kelelahan dan kelaparan saat menginap di Guatemala, mereka tak boleh keluar rumah untuk membeli makanan atau minuman. Bisa bisa nanti mereka ditangkap petugas karena tak punya paspor. Selama perjalanan Honduras - Mexico mereka selalu kucing kucingan dengan aparat imigrasi atau menyuap kepada oknum petugas polisi yang mencegat di jalan.

Setelah sampai di Mexico, Jose bercerita bahwa mereka masih harus menunggu selama berhari-hari dan ditampung di sebuah rumah, berganti Coyote Mexico lain yang akan mengurus mereka hingga masuk Amerika. Di sini banyak polisi yang berpatroli, mencari-cari orang gelap yang akan menyeberang ke Amerika, aparat tahu bahwa daerah-daerah tertentu adalah “surga”nya mafia pemberangkatan para pelintas-batas. Jose dan kawan-kawan lebih banyak mengeram di rumah.10 hari mereka tersekap dalam ruangan sempit menunggu saat yang tepat untuk melewati perbatasan Mexico - Amerika.

Ketika kutanyakan darimana mereka berangkat. Jose hanya menjawab, “No saber” alias nggak tahu. Layaknya seseorang yang bermimpi di suatu tempat yang awam baginya, yang tak tau mana Utara mana Selatan, yang bisa dia ceritakan hanyalah  dia berjalan bersama rombongan melewati pinggir sungai selama berjam – jam, dan ketika sungai itu mulai menyempit dan dangkal -- mereka menyeberang. Setelah itu mereka menemui rintangan alam -- padang tandus berbatu. Mereka berjalan di bawah sengatan matahari yang panas. Seseorang amat mudah tertinggal dari rombongan dan tersesat karena mengalami dehidrasi, kelelahan, dan tak jarang mereka tidur sambil jalan. Saat mereka berasa lapar, si Coyote hanya bilang, “momento”, nanti di pemberhentian selanjutnya akan mendapatkan makanan. Tapi apa yang dijanjikan Tuan Coyote hanyalah bualan belaka. Ketika mereka istirahat dan tak mendapatkan makanan, si Coyote mengulangi lagi kata-katanya dengan bilang, .. nanti, ....nanti, sampe Jose dan teman-teman lainnya merasakan kelaparan yang amat sangat.


Malam menjelang, rombongan mereka yang berjumlah 20 an orang itu istirahat di daerah perbukitan, udara sangat dingin dan tak boleh menyalakan api unggun. Ketika kutanya Jose, jika ada salah satu orang yang sakit, “una persona enfermo”, sambil aku memperagakan orang yang sakit, “todo personas ayuda”? Apakah semua teman-teman membantu? Sambil aku memperagakan gerakan  memapah kemudian  menggendong.

Jose dengan santainya menjawab, “Nada”, Enggak ada. Sambil dia memperagakan lambaian tangannya dan bilang “Adios - Amigo”, Slamat tinggal, kawan. Yaa, mereka “terpaksa” meninggalkan si sakit, sambil Jose menambahkan ucapannya, “para perro”, alias si sakit biar untuk mangsa anjing liar. Sungguh ironis, betapa kerasnya hidup mereka hingga tak tersisa sedikitpun jiwa tolong menolong antar sesama yang sedang mengalami kesusahan. Banyak para pelintas batas ditemukan mati setiap tahunnya, entah itu tersesat, kehabisan bekal, atau sakit.

Dan setelah berjalan kaki selama 3 hari akhirnya mereka bisa memasuki Amerika.  Sebuah truk yang disupiri Coyote Amerika sudah siap menunggu mereka di kegelapan malam. Rasa letih dan lapar tiba-tiba sirna. Mereka tak peduli lagi dengan keadaan yang compang camping kepayahan. Rasa gembira dan sorak sorai kemenangan memenuhi hati mereka. Gembira karena separuh impiannya untuk bisa keluar dari kemiskinan telah tercapai. Mereka membayangkan segera bisa bekerja di restoran, atau di  jasa konstruksi, atau jadi tukang bersih-bersih gedung perkantoran. Dalam benak mereka terbayang bayaran 80 dolar sehari, 16 kali lipat dari yang selama ini mereka dapatkan di negeri asalnya. Tak sia-sialah usaha mereka sampai mempertaruhkan harta dan nyawanya.

Perjalanan ke tujuan akhir Maryland masih memakan waktu sehari. Baru saja truk keluar dari jalan tanah berbatu tiba-tiba mereka dikepung oleh gabungan petugas perbatasan. Semua imigran gelap yang berjumlah 20 orang itu disuruh keluar, dijejerkan secara berderet dengan tangan ke atas. Tampak wajah mereka kecewa bercampur sedih. Impian untuk bekerja dan hidup layak di Amerika pupus sudah. Mereka digiring ke penjara imigrasi. di data asal negaranya, direkam identitas tubuhnya, di check pernah berbuat kriminal di Amerika sebelumnya. Dan nasib Jose selanjutnya berakhir di penjara, ia mendekam selama 20 hari sebelum ia dipulangkan ke Honduras bersama-sama imigran gelap dari negaranya.

40 hari perjalanan menempuh bahaya yang “gagal” tak menyurutkan niat Jose untuk tetap kembali mencoba masuk Amerika. Tiga bulan berikutnya dia mengulangi lagi dan berhasil. Perjuangan yang luar biasa dahsyat itu diceritakan Jose dengan nada enteng, tanpa beban, sungguh ekspresi wajahnya seolah-olah dia hanyalah seorang pecinta alam yang sedang napak tilas, naik gunung dan menyeberangi sungai saja. Atau memang dia sudah terbiasa ditempa dengan kerasnya hidup sehingga menjadikannya lebih “rileks” mensikapi hidup ...

Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap di Amerika

 
Site Meter