Friday, May 24, 2013

BARU PERTAMA KALI AKU NAIK PESAWAT

Kakiku masuk ke dalam pesawat yang akan membawaku ke Singapore. Aku mengikuti Hendro yang berjalan santai di depanku. Dia sudah terbiasa bepergian jauh dengan pesawat, kali ini adalah yang ketiga kalinya ia ke Amerika. Tak ada rasa takut dan canggung dalam menghadapi para petugas bandara dan kru pesawat. Bagiku melihat pesawat dari jauh adalah hal yang biasa, aku dulu kos di dekat jalur naik turunnya pesawat di Bandara Adi Sucipto Jogja. Tapi urusan naik pesawat aku belum pernah sama sekali. Saat itu aku hanya bisa membayangkan betapa asyik terbang bersama burung besi meliuk-liuk menembus awan, menerjang badai, dan melaju tenang di ketinggian.

Hari ini adalah pertama kali aku terbang dan tak tanggung-tanggung jarak yang akan kutempuh 15.000-an km. Aku duduk di kelas ekonomi dekat sayap sisi jendela. Hendro mengajari aku cara memakai sabuk pengaman, juga cara merebahkan kursi. Hatiku berdebar ketika ada pemberitahuan pesawat segera lepas landas. Sabuk pengaman sudah kukenakan dari tadi dan kini kuperiksa kembali sembari mengencangkan perutku. Perasaan takut menyergap diriku. Ketika bunyi bising mesin jet mulai mendengung keras, roda-roda pesawat mulai terasa kencang melaju di atas landasan pacu, ketakutanku makin menjadi-jadi. Benar tingkat keamanan menggunakan pesawat jauh lebih aman daripada mengendarai mobil, tapi kalau sekali celaka dampaknya bisa dipastikan fatal. Dan ketika pesawat mulai terangkat oleh angin perutku terasa berdesir, jantungku seakan meloncat. Moncong yang mendongak ke atas bergoncang ketika menembus awan tebal yang menggantung di atas langit.  
Tak lama posisi pesawat datar dan aku merasa lega, barangkali ini sudah di ketinggian. Suara dari kabin pilotpun sudah memperbolehkan kita melepas sabuk pengaman. Kulihat di kejauhan kerlap kerlip cahaya kapal di laut Jawa. Hatiku mulai agak tenang, Hendro yang duduk di sebelahku mulai sibuk dengan menyetel film-film yang ada di layar kecil di balik punggung tempat duduk. Para pramugari sudah mulai mondar mandir sepanjang lorong pesawat. Mereka menawarkan handuk panas untuk membasuh wajah dan tangan. Aku coba pencet-pencet remote ingin nonton film, Hendro akhirnya memberitahuku cara mengoperasikannya.
Jamuan makan malam tak lama diantar oleh pramugari yang gesit lagi ayu. Dari gerobak dorongnya mereka menawarkan kepadaku pilihan ayam atau daging sapi. Mereka juga menawarkan minuman. Hendro memesan red wine, minuman anggur beralkohol sedangkan aku pilih jus jeruk. Tak terasa perutku keroncongan, aku belum makan sejak siang. Kumakan daging ayam dan nasi gurih dengan lahap sambil sesekali menyeruput jus jeruk. Hendro minta tambah red wine lagi, aku ikut-ikutan, rasanya pahit.
" Perjalanan masih panjang, satu jam lagi sampai Singapore. Transit 4 jam kemudian dilanjut 10an jam ke Frankfurt. Entar nunggu lagi 4 jam di sana, baru ke Amerika. Total kira-kira 21 jam lagi .." 
Hendro punya pengalaman kerja di kapal pesiar Eropa, ia pernah ke Venesia, Yunani, Prancis, Belanda, dan Inggris. Pergi bersama dia aku tak merasa khawatir. Inggrisnya lancar, lagak bicara dan tingkah lakunya sopan. Diapun pandai memuji dan suka bercanda, pramugari tak keberatan menuangkan gelas ketiga red wine-nya.
Tak terasa perjalanan ke Singapore hampir sampai, pilot menyuruh penumpang untuk memakai sabuk pengaman. Kurasakan badan pesawat mulai turun perlahan-lahan, juga mulai mengurangi kecepatannya, sesekali kurasakan pesawat itu mengerem di udara, terasa seperti kehilangan daya dorong dan terhenyak kena gravitasi. Badan pesawat sesekali miring kekiri kanan untuk mensejajarkan sudut pendaratan dengan landasan. Dan tak lama roda-roda mulai keluar menimbulkan bunyi gemeretak seakan pesawat akan pecah. Tak terasa roda-roda sudah menyentuh landasan di bandara Changi, pilotnya sangat pandai dan halus dalam mengoperasikan burung besi itu.
***
Singapore, inilah pertama kali aku menginjakkan kaki di luar negeri. Ya, walau hanya sekedar transit di bandara Changi, tapi tetap saja ini berada di Singapore, aku menghirup udara dan menjejakkan kakiku di sana, meminum air kran dan meninggalkan air kencing di toilet.
Teman-teman pelaut semua berjumlah 12 orang. Kami berjalan beriringan menuju Gate tempat pemberangkatan pesawat yang menuju Frankfurt. Masih ada waktu empat jam menunggu. Diantara kami ada team leader yang membawa dokumen perjalanan. Tadi dalam penerbangan Jakarta - Singapore Hendro sudah wanti-wanti kepadaku untuk tidak bercerita apapun tentang rencana "Jump Ship" alias kabur dari kapal. Aku mendengar ada rombongan yang akan menuju Miami dan New York.
Aku melihat-lihat sekeliling bandara Changi yang megah. Banyak toko-toko yang menjual barang oleh-oleh, ada permen coklat, rokok, minuman beralkohol, barang elektronik juga barangi-barang bermerk seperti tas, sepatu, dan jam tangan. Aku tak tertarik sama sekali dengan apa-apa yang ditawarkan mereka. Uang di saku celanaku hanya 500 dolar, dan aku bukan mau pesiar, tapi mau merantau. Perjalanan ke Amerika masih jauh. Hendro bilang bahwa nanti aku akan ditampung di rumah mas Windi di Maryland, dan itu sudah termasuk dalam perjanjian awal ketika aku sepakat untuk menggantikan Tirta Projo yang batal mengurus visa.
Hendro juga memberikan jaminan bahwa nanti saudaranya akan mencarikan aku pekerjaan ketika sudah sampai di Amerika. Yaa, kini aku masih berada di Singapore, dan uangku hanya 500 dollar. Aku harus berhemat dan uangku akan kugunakan untuk kebutuhan yang penting saja.

 
Site Meter